• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jalan Hadat

Dalam dokumen T2 752009012 BAB III (Halaman 40-51)

4. Perjanjian Perkawinan menurut Adat Dayak Ngaju

4.3. Isi Surat Perjanjian Perkawinan

4.3.2. Jalan Hadat

Bagian ini berisi tentang kesepakatan dari kedua calon mempelai dan persetujuan orang tua untuk melaksanakan perkawinan menurut tata cara

Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah. Dan juga pemenuhan Jalan hadat

perkawinan oleh pihak pertama kepada pihak kedua.

Jalan Hadat perkawinan atau yang lazimnya dikenal oleh masyarakat umum sebagai jujuran, adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya pada

saat upacara perkawinan adat. Jalan hadat dilaksanakan berdasarkan

ketentuan hukum Adat Dayak Ngaju yang berlaku, serta tradisi dalam

keluarga mempelai perempuan, yang disebut: manyalurui pelek rujin

pangawin oloh bakas.164 Artinya, persyaratan jalan hadat yang ditempuh

harus sesuai dengan jalan hadat yang dimiliki oleh orang tuanya dulu (palaku

indu=mas kawin ibu), sebagai standar untuk menentukan persyaratan jalan hadat selanjutnya (keturunannya). Banyaknya persyaratan jalan hadat

berlaku umum, mencakup 16-17 butir. Tetapi berat dan besarnya nilai materi

barang masing-masing orang berbeda, sesuai dengan kesepakatan dalam acara hakumbang auh dan maja misek, perkembangan jaman dan kemampuan pihak

163Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, hasil wawancara dengan Damang Suhardi Monong Stepanus, di Palangka Raya 08Juli 2011,Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011.

laki-laki. Sampai saat ini, belum pernah ada keluhan mengenai jalan hadat.165

Jalan Hadat sudah dikenal luas dalam masyarakat Dayak Ngaju, tetapi

apa makna yang terkandung dibalik simbol-simbol Jalan Hadat tersebut

secara keseluruhan belum banyak diketahui orang, sehingga pemahaman

masyarakat terhadap Jalan Hadat hanya terfokus pada upacara saja.

Orang Dayak tidak mempunyai aksara seperti suku-suku lain. Pengganti aksara bagi orang Dayak Ngaju adalah simbol-simbol yang disebut Totok Bakaka (sandi/kode umum yang dimengerti oleh suku Dayak Ngaju). Tidak mudah untuk memahami budaya Dayak, karena ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, namun dirasakan dan dilihat pantas untuk dilakukan.

Sebab itu dalam bagian ini akan menjelaskan makna yang tersirat dari benda-benda adat perkawinan tersebut, berdasarkan konteks kehidupan

masyarakat Dayak Ngaju;166

1. Palaku

Palaku berasal dari kata laku artinya: minta, permintaan. Orang Dayak selalu menempatkan perempuan pada posisi utama. Hal ini dapat terlihat dari kehidupan masyarakat sehari-hari yang selalu mengedepankan perempuan

misalnya dalam menyebutkan orang yang lebih tua dengan sebutan: tambi-

bue (nenek-kakek) , indu-bapa (ibu-ayah), mina-mama (tante-om), sindah-

165

Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011.

166

Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, hasil wawancara dengan Damang Suhardi Monong Stepanus, di Palangka Raya 08 Juli 2011,Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011.

ayup (ipar perempuan- ipar lelaki). Penempatan demikian bukan berarti perempuan lebih berharga, lebih berkuasa atau lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki. Tetapi orang Dayak berbuat demikian karena menganggap bahwa kaum perempuan adalah kaum yang lemah, patut dijaga, dipelihara dan patut diperhatikan.

Dalam mitologi Dayak Ngaju, palaku muncul dari permintaan Nyai

Endas Bulau ketika menikah dengan Raja Garing Hatungku. Nyai Endas

ingin membuktikan kesungguhan hati Raja Garing Hatungku dengan

meminta jaminan kehidupan berupa tanah atau kebun. Permintaan ini cukup lumrah karena manusia bisa mempertahankan hidupnya dari hasil pengolahan

tanah atau kebun. Palaku merupakan simbol dari harkat dan martabat

perempuan Dayak. Perempuan adalah penatalaksana dalam rumah tangga, sebagai ibu dari anak-anak, ia patut meminta jaminan yang pasti dari calon suaminya sebagai awal baginya untuk mulai menata rumah tangganya.

Palaku adalah hak mutlak seorang istri. Seorang suami tidak berhak menjual maupun menggadaikannya kepada pihak lain. Nilai palaku

ditetapkan menurut nilai berat dalam satuan kilogram/pikul atau kati.

Misalnya: 300 kg (3 pikul) gong, atau 500 kg (5 pikul) gong. Pada masa

sekarang barang ini sudah sulit ditemukan, sebab itu biasanya Palaku dapat

diganti dengan emas atau perhiasan lainnya. Ada juga yang memberi dalam

bentuk sejumlah uang, dan umumnya tanah atau kebun. Biasanya, palaku

adalah bagian dari harta kekayaan orang tua mempelai laki-laki yang di

dalamnya terkandung nilai magis yang disebut galang pambelom atau dasar

Pada dasarnya orang Dayak dapat menerima istilah mas kawin

sehakekat dengan Palaku, namun jika dilihat dari makna simboliknya;

serupa tetapi tidak sama. Sebab itu, dalam Surat Perjanjian Kawin menurut

Adat Dayak Ngaju, istilah Palaku tetap ditulis demikian, tidak

diterjemahkan.167

2. Saput

Dalam tatanan kekeluargaan suku Dayak Ngaju, lelaki adalah pelindung bagi keluarga. Seorang lelaki dianggap cakap dan tangkas dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Ia bertanggung jawab untuk mengayomi seluruh anggota keluarga dan melindungi dari gangguan ataupun pelecehan dari pihak lain.

Saput merupakan pemberian dari calon mempelai laki-laki kepada saudara-saudara lelaki calon mempelai perempuan. Pemberian ini mengandung makna penghormatan, mengikat rasa persaudaraan yang tulus sebagai bagian dari keluarga calon mempelai perempuan. Pemberian ini dapat berupa barang atau uang.

3. Pakaian Sinde Mendeng

Diberikan kepada ayah kandung calon mempelai perempuan, sebagai tanda penghormatan atas kasih sayang dan perlindungan yang diberikan. Bingkisan ini berupa seperangkat pakaian laki-laki.

4. Garantung Kolok Pelek:

Biasanya diberikan berupa sebuah gong sebagai bukti ikatan/perjanjian perkawinan. Pada masa sekarang barang ini sudah sulit ditemukan, sehingga dapat diganti dengan uang atau emas, sejumlah nilai gong itu.

Secara harafiah memang kata-kata ini berarti “gong kepala patah.” Namun dalam konteks ini, Garantung kolok pelek tidak bisa diterjemahkan

demikian. Garantung Kolok Pelek terbentuk dari dua kata yaitu: garantung,

alat yang mengeluarkan bunyi ketika dipukul (gong). Garantung berfungsi sebagai alat musik, yang oleh orang Dayak, alat ini sering digunakan sebagai alat komunikasi yang berfungsi sebagai tanda undangan rapat, undangan kawin, tanda untuk memanggil orang yang sedang tersesat di hutan.

Kolok Pelek, merupakan tanda yang dibuat oleh seseorang ketika ia

tersesat di hutan. Tanda itu dibuat dengan cara mamelek (mematahkan) anak

pohon kayu. Pelekan (patahan) pertama disebut kolok pelek sebagai tanda

seseorang memulai kegiatannya di hutan tersebut. Masyarakat Dayak Ngaju telah belajar dari pengalaman para pendahulu bahwa sebelum memasuki hutan, apalagi kalau hutan itu baru pertama kali dijelajahinya, maka ia akan membuat tanda dengan cara mematahkan pokok kayu kecil sebagai tanda arah jalan ketika memulai memasuki hutan. Sebelum ia memasuki hutan lebih jauh, ia akan memperhatikan pepohonan dan berusaha mengenal dan mengingat jenis pohon yang ada di situ. Selanjutnya ia memotong kayu dan menancapkannya di tanah yang sudah dibersihkan agar lebih jelas dan tidak keliru dengan tonggak orang lain. Barulah ia mulai masuk hutan. Dalam jarak tertentu ia mematahkan lagi anak pohon kecil. Apabila orang yang masuk ke dalam hutan itu belum pulang hingga larut malam, maka pihak

keluarga akan membawa gong serta mencari kolok pelek di sekitar hutan itu.

Jika sudah ditemukan, maka gong dibunyikan sebagai alat komunikasi untuk memanggilnya pulang.

Makna simbolik dari garantung kolok pelek adalah bahwa perkawinan

dimulai dari kesepakatan bersama kedua pihak. Dan barang hadat ini

mengingatkan mereka supaya memelihara ikatan perkawinan, jangan merusaknya. Mereka harus meluruskan arah hidupnya, sehingga jika ada hal yang dapat menyesatkan mereka harus kembali kepada kesepakatan awal,

janji setia di hadapan Raying Hatalla Langit.168

5. Lamiang Turus Pelek169

Lamiang adalah perhiasan sejenis manik-manik yang terbuat dari bahan batu Lamiang berwarna merah. Panjangnya berkisar antara 6-10 cm, kurang

lebih sebesar jari manis. Turus adalah kayu yang ditancapkan ke dalam

tanah. Adapun kegunaan turus antara lain: sebagai tanda batas tanah, tonggak

untuk mengikat binatang peliharaan (kerbau atau sapi), dan umumnya tonggak sering digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tali perahu dan

juga batang170 agar tidak hanyut oleh derasnya arus sungai, terutama pada

musim penghujan. Sedangkan Pelek adalah patahan kayu sebagai tanda

untuk mengarahkan seseorang ketika berada di hutan.

Pada zaman dahulu Lamiang ini digunakan untuk acara-acara ritual

seperti upacara kelahiran, perkawinan maupun kematian. Lamiang diikat

pada pergelangan tangan. Dalam perkawinan, Lamiang Turus Pelek menjadi

tonggak peringatan awal dimulainya suatu rumah tangga yang baru. Selain

itu, lamiang sebagai simbol kejujuran dan keteguhan ikrar kedua calon

168

Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak, 03 Agustus 2011

169 Ibid 170

Batang adalah kumpulan dari beberapa pohon besar yang dirakit menjadi satu,

diletakkan di tepi sungai sebagai tempat masyarakat Dayak Ngaju melakukan aktivitas sehari-hari seperti mengambil air, mencuci pakaian, mandi. Untuk bisa sampai ke batang maka dibuatlah tangga.

mempelai; sebagai tonggak janji setia sejalan dengan kesepakatan yang telah mereka buat.

Lamiang

6. Bulau Singah Pelek171

Pemberian berupa emas minimal 1 kiping (2,7 gram). Bulau artinya

emas, terbuat dari logam mulia, cahayanya tidak akan pudar/luntur dan

mempunyai nilai jual yang tinggi. Singah artinya penerang atau penerangan.

Bulau Singah Pelek adalah cincin kawin yang dipasang pada jari manis calon suami dan calon istri. Cincin emas ini melambangkan cinta suci dan ketulusan hati kedua calon mempelai untuk menjalani kehidupan rumah tangga bersama. Cincin kawin mengingatkan mereka akan janji yang pernah diucapkan.

7. Lapik Luang

Lapik artinya alas, dasar atau tempat duduk. Luang artinya perantara,

juru runding atau kurir. Luang dipercayakan untuk mewakili keluarga calon

mempelai dalam membicarakan janji-janji terdahulu (persyaratan adat),

sebelum pelaksanaan perkawinan tersebut. Lapik Luang diberikan dalam

171

Diolah dari hasil wawancara dengan Damang Basel Abangkan, di Palangka Raya 06 Juni 20011, Wawancara dengan Marli G. Matan (Bp. Erni), Mantir Adat Kereng Bangkirai di kota Palangka Raya 16 Juni 2011.

bentuk bahalai yaitu selembar kain panjang, sebagai perwujudan rasa terima

kasih atas jasa luang.

8. Sinjang Entang172

Sinjang entang berasal dari kata Sinjang artinya kain penutup tubuh,

dikenal dengan istilah tapih (sarung), sedangkan entang adalah kain panjang

untuk menggendong bayi/balita (bahalai). Sinjang entang ini mengingatkan

akan kasih sayang sang ibu dalam memelihara anak gadisnya sejak kecil hingga dewasa. Ada puluhan kain sinjang dan kain entang yang telah hancur dimakan waktu, selama mengasihi dan memelihara anak gadisnya. Sebab itu, adalah kepatutan bagi seorang calon menantu untuk menghargai pengorbanan

calon ibu mertuanya dengan memberikan selembar tapih dan bahalai pada

acara jalan hadat, sebagai lambang rasa syukur dan terima kasih serta

permohonan doa restu dari calon ibu mertua. 9. Tutup Uwan

Tutup Uwan secara harafiah berarti penutup uban; merupakan bingkisan

penghormatan berupa 2 meter kain hitam yang diberikan kepada tambi

(nenek) sebagai tanda terimakasih karena telah turut menjaga dan membesarkan cucunya (calon mempelai perempuan). Dalam masyarakat Dayak Ngaju, peranan orang-orang tua sangat diperlukan dalam pembinaan rumah tangga yang baru. Rambut boleh memutih tetapi nasehat, petunjuk, saran serta doanya sangat diperlukan oleh anak cucunya.

10. Lapik Ruji

Lapik Ruji atau lapik panatau diberikan dalam bentuk uang logam perak Belanda senilai satu ringgit, maksudnya bahwa dalam membangun

rumah tangga di perlukan modal dasar. Uang Lapik Ruji tidak dibelanjakan karena uang itu dianggap sebagai alas kehidupan.

Uang Ringgit Tampak Belakang Uang Ringgit Tampak Depan

11. Timbuk Tangga

Secara harafiah berarti timbun tangga. Pekerjaan ini tidak bisa dikerjakan sendiri, tetapi membutuhkan bantuan dari orang lain. Menjelang hari perkawinan, biasanya sanak saudara dari berbagai tempat akan datang

membantu (mandep). Ada yang menyediakan kayu untuk memasak,

menyiapkan laladang (tenda), memperbaiki titian tangga (hejan), menimbun

halaman di depan tangga (manimbuk tangga). Jadi, Timbuk Tangga

merupakan bantuan yang diberikan dari pihak calon mempelai laki-laki dan perempuan, pekerjaan yang dilakukan bersama-sama (gotong-royong) dalam

suasana kekeluargaan. Timbuk Tangga diberikan dalam bentuk sebuah piring

yang diisi dengan beras atau ada juga yang menggantinya sejumlah uang. 12 . Pinggan Pananan Pahinjean Kuman

Berupa satu buah piring, satu buah gelas, satu buah mangkok, satu sendok dan peralatan makan lainnya. Mereka makan sepiring berdua, minum dengan gelas yang sama, semangkok berdua dan makan dengan sendok yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal mereka masuk kehidupan rumah tangga, mereka belajar hidup dalam persatuan dan kesatuan.

13. Rapin Tuak

Tuak adalah minuman khas Dayak yang dibuat dari beras ketan yang dimasak dan diproses dengan ragi. Hasil fermentasi ini menjadi minuman

beralkohol yang disebut tuak. Dalam acara Haluang, pihak calon mempelai

laki-laki memberikan tuak ini untuk memperlancar para luang berbicara, sehingga acara ini menjadi semarak dan penuh senda gurau dalam keakraban. 14. Bulau Ngandung/Panginan Jandau

Merupakan biaya pesta dalam pesta perkawinan. Biaya pesta ini biasanya ditanggung bersama-sama sesuai dengan kesepakatan kedua belah

pihak pada waktu maja misek. Namun, ada juga yang disanggupi oleh pihak

laki-laki.

Ketentuan mengenai jumlah panginan jandau yang harus dibayar,

tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Apakah dibayar sepenuhya oleh

pihak calon mempelai laki-laki atau ditanggung bersama. Jumlah nilai

materi untuk biaya pesta ditentukan berdasarkan berapa jumlah para undangan, tempat pelaksanaan (gedung atau rumah mempelai perempuan), kemudian dibuatlah perincian. Umumnya biaya pesta yang diadakan di rumah lebih ringan, mencapai Rp. 35.000.000,- sampai Rp. 50.000.000,- dibandingkan dilaksanakan di gedung yang bisa mencapai Rp. 50.000.000,- ke atas.

15. Jangkut Amak

Jangkut berarti kelambu, amak artinya tikar. Merupakan seperangkat perlengkapan tidur. Melambangkan kelengkapan sarana kesejahteraan keluarga. Pembayaran dilakukan sebelum pelaksanaan pesta perkawinan berlangsung.

16. Turus Kawin

Turus Kawin diberikan dalam bentuk uang logam recehan yang disediakan oleh kedua belah pihak. Karena jaman dahulu perjanjian kawin dilakukan secara lisan, maka turus kawin ini dibagi-bagikan kepada yang hadir saat itu, terutama kepada para orangtua dengan maksud bahwa mereka adalah saksi-saksi secara umum dari perkawinan itu. Mereka telah menyaksikan pemenuhan hukum adat perkawinan, sehingga jika dikemudian hari terjadi perselisihan yang mengarah kepada perceraian, maka para orang

tua yang pernah menerima duit turus dipanggil untuk turut

menyelesaikannya. 17. Batu Kaja

Merupakan pemberian dari orang tua mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Pemberian ini dapat berupa perhiasan emas atau barang adat lainnya, sesuai dengan kemampuan. Ini akan diberikan saat sang

suami memboyong istrinya ke rumah orangtuanya pada acara Pakaja

Manantu.

Barang-barang berupa tutup uwan, sinjang entang, pakaian sinde

mendeng, saput, lapik luang, bulau ngandung/panginan jandau dan duit turus merupakan sikap penghargaan yang diberikan kepada keluarga dekat,

pelek, laming turus pelek, bulau singah pelek, lapik ruji, pinggan pananan pahinjean kuman dan jangkut amak merupakan sikap, tekad dan ikrar

mempelai terhadap perkawinan.

Dalam dokumen T2 752009012 BAB III (Halaman 40-51)

Dokumen terkait