• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

4.4. Analisa Data

5.1.2. Jalur Tata Niaga

Jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah dimulai dari penangkap sampai pengedar dalam negeri. Secara ringkas, jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah disajikan dalam Gambar 3. Seluruh penangkap profesional di Kotawaringin Barat yang menjadi narasumber, langsung menjual kulit hasil produksinya kepada pengumpul di Katingan. Seluruh penangkap profesional dari Pulang Pisau juga langsung menjual kulit hasil produksinya kepada pengumpul di Katingan. Penangkap bukan profesional di Pulang Pisau yang menjadi narasumber, menjual ular hidup kepada pengumpul perantara di Pulang Pisau. Dari empat pengumpul perantara, seluruhnya langsung mendapatkan pasokan dari penangkap dan langsung disetorkan pada pengumpul di Katingan yang juga merupakan pengedar dalam negeri. Pengumpul tersebut langsung mengirimkannya pada pemesan diluar Kalimantan Tengah (Jakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Banjarmasin), artinya jalur tata niaga disini sangat pendek.

Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat juga langsung menjual keluar Kalimantan Tengah, yaitu ke Banjarmasin Kalimantan Selatan atau ke Semarang Jawa Tengah dan Surabaya Jawa Timur, terutama untuk kulit yang tidak diterima pengumpul di Katingan karena ukurannya yang kurang sesuai kriteria. Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Pulang Pisau dan Kuala Kapuas kadang menjual langsung ke Banjarmasin. Pengangkutannya tentu saja tanpa SATS-DN dari BKSDA Kalimantan Tengah. Penangkap dan pengumpul perantara yang menjadi narasumber, penangkap di Kalimantan Tengah bagian timur yang dekat dengan Banjarmasin juga langsung menjual ke Banjarmasin. Menurut informasi seorang penangkap di Kapuas, ada calo dari Banjarmasin yang berkeliling di daerah tersebut dan mendatangi orang-orang yang memiliki kulit. Seorang mantan penangkap ular juga menyatakan bahwa hasil tangkapannya langsung dijual ke Banjarmasin. Berarti banyak kulit dari Kalimantan Tengah yang masuk Banjarmasin tanpa surat.

Keterangan:

Jalur resmi dengan dokumen Jalur tidak resmi tanpa dokumen

Gambar 3 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah.

Jalur tata niaga reptil menurut Yuwono (1998) adalah sebagaimana disajukan dalam Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Yuwono (1998).

Menurut Semiadi dan Sidik (2011), jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara dan NAD adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.

Collector Collector Collector

Middleman

Middleman

Middleman

Supplier

Exporter

Penangkap Penangkap merangkap

pengumpul perantara

Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap

pengumpul perantara pengumpul perantara Pengumpul/pengedar dalam negeri Pengumpul/pengedar/pengrajin di luar Kalimantan Tengah

Keterangan:

Kegiatan yang biasa dilakukan Kegiatan dalam jumlah sangat terbatas

Gambar 5 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Semiadi dan Sidik (2011).

Menurut Siregar (2012), jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 6.

Keterangan:

Jalur yang diteliti langsung oleh Siregar (2012) Jalur yang tidak diteliti langsung oleh Siregar (2012)

Gambar 6 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Siregar (2012).

Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap Penangkap

merangkap pengumpul kecil Pengumpul kecil Pengumpul kecil Pengumpul besar Pengrajin kulit lokal Pengrajin kulit lokal Eksportir Pengumpul besar Eksportir Pengumpul Daerah Agen Masyarakat penangkap Pengasong Sambilan dan Insidentil Sub Agen

Jalur tata niaga kulit di Kalimantan Tengah cenderung lebih pendek apabila dibandingkan dengan jalur tata niaga kulit menurut Yuwono (1998), Semiadi dan Sidik (2011) dan Siregar (2012). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, untuk sampai pada pengumpul besar yang mempunyai ijin, hanya melalui satu jalur yaitu satu pengumpul perantara atau langsung dari penangkap ke pemilik ijin. Tidak ada level diantara penangkap dan pengumpul perantara atau antara pengumpul perantara dengan pemilik ijin. Pada pasar tidak resmi, pengumpul perantara langsung mengambil pada tingkat penangkap atau dari penangkap langsung menjual keluar daerah tanpa ada perantara lain.

Antara penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin yang menjadi narasumber di Kalimantan Tengah, terjadi hubungan yang bersifat langganan tetap, namun bukan berarti terjadi monopoli karena pemilik ijin mempersilahkan penangkap dan pengumpul perantara untuk menjual kepada orang lain. Sejauh ini, kulit yang dijual pada selain pemilik ijin tersebut adalah kulit dengan ukuran yang tidak sesuai standar yang ditentukan pemilik ijin tersebut, yaitu kulit dengan ukuran dibawah 250 cm, kulit jenis lain selain Python reticulatus dan kulit yang tingkat kerusakannya tidak bisa diterima pemilik ijin. Kulit tersebut biasanya langsung jual ke Jawa atau ke Banjarmasin. Tentunya tanpa dokumen legal dari otoritas pengelola (BKSDA).

Apabila ditinjau dari SK Menteri Kehutanan No.447/Kpts-II/2003 (Sekditjen PHKA 2007c), terjadi banyak penyimpangan peredaran dalam negeri. Hal ini bisa dikategorikan sebagai tata niaga illegal (illegal trading). Adanya kulit yang dikirim ke luar Kalimantan Tengah tanpa dokumen SATS-DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri) oleh mereka yang tidak memiliki ijin edar dalam negeri, jelas merupakan penyimpangan dari aturan yang ada. Pada level penangkap, penyimpangan ini lebih disebabkan karena ketidaktahuan mereka terhadap aturan yang ada. Dalam hal ini kembali fungsi pengawasan dan pembinaan oleh otoritas manajemen harus dilakukan untuk mengendalikan terjadinya lebih banyak illegal trading.

Siswomartono (1998) mengatakan bahwa kontrol terhadap tata niaga illegal di Indonesia bukan merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan karena

Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyaknya pintu keluar masuk wilayah propinsi tanpa pengawasan khusus untuk peredaran satwaliar juga membuka peluang adanya jalur tata niaga ilegal. Selama ini, pintu keluar masuk yang diawasai ketat adalah bandar udara. Maka pintu keluar masuk lewat darat dan laut menjadi sangat aman untuk tata niaga illegal. Memantau dan memeriksa setiap barang yang dibawa keluar masuk suatu wilayah propinsi mengakibatkan tidak mungkin dilakukannya pengawasan terhadap keluar masuknya satwaliar, terutama yang sudah dalam keadaan mati.

Tata niaga illegal sangat merugikan dalam beberapa hal. Menurut Dit. KKH (2010) tata niaga tumbuhan dan satwa ilegal menduduki posisi kedua dari segi nilai tata niaga setelah narkotika. Tata niaga illegal menimbulkan adanya over eksploitasi pada sumberdaya alam hayati yang diperdagangkan tersebut. Jumlah yang tercatat oleh otoritas pengelola sebagai realisasi kuota hanya merupakan jumlah yang resmi dan diperbolehkan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya tata niaga ilegal, jumlah yang dieksploitasi menjadi lebih banyak lagi dan tidak tercatat. Hal ini sangat berdampak pada kelestaian karena tidak bisa diketahui dengan pasti berapa jumlah yang diekploitasi. Berdasarkan pertimbangan bahwa kuota yang ditetapkan selalu mengikuti jumlah panenan lestari, maka dengan adanya tata niaga ilegal tersebut, jumlah yang dipanen bisa jadi berada diatas jumlah panenan yang lestari. Hal ini artinya tata niaga ilegal bisa menyebabkan laju kepunahan menjadi semakin cepat karena over ekploitasi dan panenan yang tidak terkontrol. Tata niaga ilegal juga menimbulkan kerugian dalam bidang penerimaan negara karena setiap barang yang diperdagangkan tersebut tidak memberi pemasukan terhadap negara.

5.1.3 Teknik Penangkapan dan Pengulitan

Dokumen terkait