• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trades, Habitat Charactesictics And Demographyc Parameters Of Harvested Reticulated Pythons (Python Reticulatus Scheider 1801) In Central Kalimantan Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Trades, Habitat Charactesictics And Demographyc Parameters Of Harvested Reticulated Pythons (Python Reticulatus Scheider 1801) In Central Kalimantan Province"

Copied!
291
0
0

Teks penuh

(1)

(Python reticulatus SCHEIDER 1801) YANG DIPANEN

DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

SEPTI EKA WARDHANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul Tata Niaga, Karakteristik Habitat dan Parameter Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, September 2012

(3)

ii

Demographyc Parameters of Harvested Reticulated Pythons (Python Reticulatus Scheider 1801) in Central Kalimantan Province. Under direction of Yanto Santosa and Nandang Prihadi.

Reticulated python (Python reticulatus) has 180.000 heads annual quota. Despite of the commercial use of this species, a good management of the habitat and population is needed for its sustainability. This research was aimed to identify trades, the habitat charactesictics, harvestings, demographyc parameters and morphometry of harvested reticulated python. The research area was within harvesting areas, management authority, snakes collectors and traders in six regency in Central Kalimantan Province. The research method for trades was done by interviewing several actors of management authority, snakes collectors and traders. The habitat was performed by measuring the environment variables at every plot of capturing and nesting habitat, neither the snakes were captured or not. Harvestings, demographyc parameters morphometry variables of harvested snakes at every plot of habitats, catchers and collector were calculated and measured. Descriptive statistical analyzes showed that traders structure were consisted of collectors, middle man and legal permit owner. Kruskal Wallis and Kolmogorov-Smirnov test showed that there was no habitat preference by the reticulated python. Harvesting estimation derived from location of survey was 26.73% at collector stage and about 31.95 % at middle man stage comparing to annual quota of Central Kalimantan Province. Capturing criteria was based on the size of body length, rather than the sex. The sex ratio of captured snakes in collectors was 1:0.72 and middle man was 1:1.07. The age class most captured both in collectors and middle men was the adult male (99% and 89% from all male). This trend occurred because the adult male has a similar size with the young female.

(4)

iii

Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh Yanto Santosa dan Nandang Prihadi.

Sanca batik(Python reticulatus Scheider 1801) adalah salah satu jenis ular yang banyak dieksploitasi. Pemanenan dari alam diperbolehkan namun pemanenan tersebut harus menjamin adanya kelestarian. Populasi akan lestari bila jumlah kematian sama dengan jumlah kelahiran. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan. Otoritas Pengelola di Indonesia telah menerapkan sistem kuota untuk menjamin kelestarian populasi di alam. Namun selama ini, kuota tahunan hanya ditetapkan berdasarkan jumlah realisasi tahun sebelumnya tanpa memperhatikan data yang lain. Kelemahan dalam penetapan kuota tangkap tersebut menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan kuota tangkap. Penelitian ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai tata niaga, karakteristik habitat, panenan, parameter demografi dan morfometri Python reticulatus yang dipanen di Kalimantan Tengah agar bisa dijadikan sebagai salah satu informasi ilmiah untuk penentuan kuota panenan yang lestari.

Data tata niaga diambil dengan metode wawancara dengan narasumber dari Balai KSDA Kalimantan Tengah, pengumpul perantara, penangkap dan pemilik ijin. Jenis data yang dipergunakan untuk analisis tata niaga adalah pelaku, jalur, teknik penangkapan dan pengulitan, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Data karakteristik habitat diambil pada lokasi ular ditangkap. Data habitat tangkap adalah ada/tidak ular, ketinggian lokasi (m dpl), suhu air (0C), suhu udara (0C), kelembaban udara (%) dan ph air. Data habitat bersarang adalah ada/tidak ular pada suatu sarang, suhu udara (0C), kelembaban udara (%), pH tanah, kedalaman sarang (cm) dan lebar mulut sarang (cm). Analisis yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis, Kolmogorov-Smirnov, t-test dua sampel independen dan deskriptif. Data panenan, parameter demografi dan morfometri diambil di tingkat penangkap dan pengumpul perantara dengan jenis data berupa jumlah, jenis kelamin. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah adalah penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin resmi (penangkap berijin dan pengedar dalam negeri). Harga kulit Python reticulatus ditentukan oleh ukuran, yaitu ukuran dengan harga paling tinggi adalah panjang ≥ 350 cm, lebar perut ≥ 32 cm dan lebar ekor ≥ 12 cm dengan harga Rp 80 000,00 pada tingkat pemilik ijin.

(5)

iv

Kelimpahan panenan pada penangkap pada saat penelitian adalah 117 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja penangkap pada akhir tahun 2012 adalah 2 940 ekor atau 26.73% dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012. Kelimpahan panenan pada pengumpul perantara pada saat penelitian adalah 56 ekor dan estimasi kelimpahan panenan berdasarkan kinerja pengumpul perantara pada akhir tahun 2012 adalah 3 515 ekor atau 31.95 % dari kuota tangkap Kalimantan Tengah tahun 2012.

Sex rasio Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat penangkap adalah 1:0.72 dan pada tingkat pengumpul perantara adalah 1:1.07. Pada tingkat penangkap, Python reticulatus yang tertangkap 57.26% pada kelas umur jantan dewasa, 40.17% pada kelas umur betina dewasa, 1.71% betina muda dan 0.85% jantan muda dan tidak ada bayi yang tertangkap. Pada pengumpul perantara, prosentase Python reticulatus jantan dewasa dan betina dewasa yang dikumpulkan sama, yaitu masing-masing 42.86%, sedangkan betina muda yang dikumpulkan sebanyak 8.93% dan jantan muda 5.36%.

Berdasarkan hasil analisis, tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukuran Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap, baik pada penangkap maupun pada pengumpul perantara. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan kriteria penangkapan. Penangkapan cenderung mengikuti permintaan pasar dengan ukuran tertentu.

(6)

v

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)
(8)

vii

DI PROPINSI KALIMANTAN TENGAH

SEPTI EKA WARDHANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesi

pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

viii

(10)
(11)

x

Special for:

My son

FAISA AZIZ ADIBA

(My spirit, my inspiration and my everything)

My parents

Bapak IMAM SOBRI SUWARTO

Ibu SRI DARYATUN

(Thanks for every wishes and prays)

My little sisters

DWI ARI SETYA WARDHANI

MEGA TRIANTIKA WARDHANI

(12)

xi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kemudahan dan kelancaran yang diberikan dalam penyusunan tesis yang berjudul Tata Niaga, Karakteristik Habitat dan Parameter Demografi Sanca Batik (Python reticulatus Scheider 1801) yang Dipanen di Propinsi Kalimantan Tengah. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian studi Program Studi Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr.Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut, MSc

sebagai komisi pembimbing

2. Seluruh dosen pengajar pada program studi KKH

3. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan bantuan beasiswa pada Program Studi Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

4. IRATA dan Bapak George selaku Ketua IRATA yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian

5. Bapak Ir. Kholid Indarto (Kepala Balai KSDA Kalimantan Tengah) beserta staf

6. Penangkap, pengumpul perantara dan pengumpul Python reticulatus di Kalimantan Tengah beserta keluarganya.

7. Ely Santari dan Gedhe Wiprada Palangkaraya

8. Teman-teman PS KKH 2010 (Mas Budi, Cahyo, Mbak Desi, Ferdi, Mas Hendra, Mbak Lintang, Mbak Lusi, Mbak Lenni, Mbak Mina, Mbak Masudah, Mirta, Mas Nyoto, Mas Parjoni, Teguh, Mbak Via, Mas Yusuf, Mas Yarman dan Mas Andoko)

9. Pak Sofwan, Bunga, Bi Uum dan Pak Udin 10. Teman-teman di Balai KSDA Bali

11. Anak tersayang Faisa, bapak, mama dan adik yang memberikan dorongan semangat dan do’a

12. Semua pihak yang telah membantu dalam pengumpulan data dan penyusunan tugas akhir ini

Semoga hasil tugas akhir ini dapat memberi manfaat bagi upaya konservasi Python reticulatus dan bisa bermanfaat pula bagi semua pihak.

(13)

xii

Penulis lahir di Desa Bandingan Kec. Bawang Kab. Banjarnegara Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1980 dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Imam Sobri Suwarto dan Sri Daryatun.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD N Blambangan 03 Desa Blambangan Kec. Bawang Kab. Banjarnegara pada tahun 1986-1992. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMP N 1 Bawang Banjarnegara pada tahun 1992-1995. Pendidikan lanjutan penulis tempuh di SMU N 1 Banjarnegara pada tahun 1995-1998. Setelah lulus dari SMU, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjahmada Yogyakarta mulai tahun 1999 dan lulus pada tahun 2004. Mulai tahun 2005, penulis bekerja sebagai fungsional Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam Bali Kementerian Kehutanan dan secara spesifik bertugas pada bagian pemanfaatan tumbuhan dan satwaliar. Pada tahun 2010, penulis mendapatkan beasiswa dari Kementerian Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(14)

xiii

2.3. Kebijakan Pemanfaatan Satwaliar di Indonesia ... 20

2.4. Tata Niaga Satwaliar ... 22

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 27

3.1. Letak dan Luas Propinsi Kalimantan Tengah ... ... 27

3.2. Kondisi Umum Propinsi Kalimantan Tengah ... 28

3.3. Kabupaten Kotawaringin Barat ... 28

(15)

xiv

5.1.2. Jalur Tata Niaga ... 49

5.1.3. Teknik Penangkapan dan Pengulitan ... 53

5.1.4. Ukuran dan Harga Python reticulatus yang Diperdagangkan ... 60

5.2. Karakteristik Habitat ... 63

5.2.1. Habitat Tangkap ... 63

5.2.2. Habitat Bersarang ... 75

5.3. Panenan ... 83

5.3.1. Panenan pada Penangkap ... 84

5.3.2. Panenan pada Pengumpul Perantara ... 87

5.4. Parameter Demografi ... 91

5.4.1. Parameter Demografi pada Penangkap ... 91

5.4.2. Parameter Demografi pada Pengumpul Perantara 96 5.5. Morfometri ... 99

5.5.1. Morfometri pada Penangkap ... .... 99

5.5.2. Morfometri pada Pengumpul Perantara ... ... 102

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

6.1. Kesimpulan ... 105

6.2. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(16)

xv

No Halaman

1. Matriks metode pengambilan dan analisis data ... 41

2. Ukuran kulit Python reticulatus yang diperjualbelikan di Kalimantan Tengah ... 61

3. Kisaran harga Python reticulatus di Sumatera Utara menurut Siregar (2012) ... 62

4. Rata-rata jumlah tangkapan/hari... 83

5. Estimasi populasi tangkapan per tahun pada penangkap ... 83

6. Perkiraan jumlah ular yang tertangkap oleh lima penangkap ... 84

7. Jumlah kulit yang diproduksi/dikumpulkan pengumpul perantara Januari-Juli 2012 ... 86

8. Hasil pengukuran morfometri pada tiap penangkap ... 97

9. Hasil pengukuran morfometri pada tiap penangkap berdasarkan jenis kelamin ... 98

10. Hasil pengukuran morfometri pada tiap pengumpul perantara ... 100

(17)

xvi

No Halaman

1. Peta Kalimantan Tengah ... 27 2. Titik pengambilan data habitat ... 35 3. Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah ... 50 4. Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Yuwono (1998) .. 50 5. Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Semiadi dan

Sidik (2011) ... 51 6. Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Siregar (2012) .... 51 7. Proses pemasangan jerat (a) dan jerat yang telah dipasang (b) ... 54 8. Ular yang terjerat ... 54 9. Proses pemasukan air (a) dan pembesaran kulit (b) ... 56 10. Pembelahan kulit perut (a) dan pengelupasan kulit (b) pada

proses pengulitan ... 57 11. Proses pembersihan kulit dari daging dengan cara dikerok (a)

dan pencucian dengan menggunakan air (b) ... 57 12. Kulit dibentangkan pada papan dan dipaku diseluruh bagian tepi

sambil ditarik (a) dan kulit dijemur dibawah matahari

langsung (b) ... 58 13. Proses penyortiran dan pengukuran kulit ... 63 14. Ketinggian tempat titik pengamatan (a) dan prosentase

masing-masing tingkat ketinggian titik pengamatan (b) ... 65 15. Suhu udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase

masing-masing tingkat suhu (b) ... 67 16. Kelembaban udara pada titik pengamatan (a) dan prosentase

masing-masing tingkat kelembaban (b) ... 69 17. Suhu air parit di titik pengamatan (a) dan prosentase

masing-masing tingkat suhu (b) ... 70 18. Tingkat keasaman air parit di titik pengamatan (a) dan

prosentase jumlah masing-masing tingkat (b) ... 71 19. Kedalaman parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase

masing-masing tingkat kedalaman (b) ... 72 20. Lebar parit pada titik pengamatan (a) dan prosentase

masing-masing tingkat kedalaman (b) ... 72 21. Ketinggian tempat jembatan untuk sarang ... 75 22. Suhu udara pada jembatan untuk sarang ... 76 23. Suhu udara di mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing

tingkat suhu (b) ... 76 24. Kelembaban udara di mulut sarang (a) dan prosentase

(18)

xvii

untuk bersarang ... 79 27. Lebar mulut sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat

lebar mulut sarang (b) ... 80 28. Kedalaman sarang (a) dan prosentase masing-masing tingkat

kedalaman sarang (b) ... 80 29. Jumlah Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat

penangkap ... 82 30. Jumlah Python reticulatus yang tertangkap pada tingkat

pengumpul perantara ... 85 31. Jumlah Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap

pada tingkat penangkap ... 89 32. Sebaran kelas umur Python reticulatus betina pada penangkap ... 90 33. Sebaran kelas umur Python reticulatus jantan pada penangkap ... 91 34. Jumlah Python reticulatus jantan dan betina yang tertangkap

pada tingkat pengumpul perantara... 94 35. Sebaran kelas umur Python reticulatus betina pada pengumpul

perantara ... 95 36. Sebaran kelas umur Python reticulatus jantan pada pengumpul

(19)

xviii

No Halaman

1. Hasil uji normalitas data habitat tangkap ... 117 2. Hasil uji t-test dua sampel independen untuk suhu air dan

kelembaban udara pada habitat tangkap ... 118 3. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov pada habitat tangkap ... 120 4. Hasil uji normalitas data habitat sarang... 121 5. Hasil uji t-test dua sampel independen untuk suhu udara

pada habitat bersarang... 122 6. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov habitat bersarang... 123 7. Hasil uji normalitas data morfometri Python reticulatus yang

tertangkap pada tingkat penangkap ... 124 8. Hasil uji t-test dua sampel independen pada morfometri Python

reticulatus yang tertangkap pada tingkat Penangkap... 125 9. Hasil uji Kruskal-Wallis morfometri Python reticulatus

tertangkap pada penangkap ... 130 10. Hasil uji t-test dua sampel independen pada morfometri

tingkat penangkap ... 131 11. Hasil uji Kruskal-Wallis morfometri Python reticulatus jantan

dan betina tertangkap pada penangkap ... 133 12. Hasil uji normalitas morfometri Python reticulatus yang

terkumpul pada pengumpul perantara ... 134 13. Hasil uji t-test dua sampel independen pada morfometri Python

(20)
(21)

1.1. Latar Belakang

Konservasi satwaliar meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan (Sekditjen PHKA 2007a). Pemanfaatan satwaliar menjadi kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya (Indrawan et al. 2007). Satwaliar merupakan salah satu produk yang mempunyai nilai kegunaan produktif. Salah satu bentuk pemanfaatan satwaliar di Indonesia adalah untuk perdagangan, baik perdagangan di dalam negeri maupun luar negeri (ekspor).

Ekspor reptil Indonesia sebagian besar dilakukan dalam bentuk kulit dan sebagian kecil satwaliar hidup untuk peliharaan (Arifin 1998; Yuwono 1998; Mardiastuti & Soehartono 2003; Semiadi & Sidik 2011). Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Pada kurun waktu tahun 1983-1999, Indonesia telah mengekspor 30 juta lembar kulit dengan negara tujuan utama adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Mexico dan Italia (Mardiastuti & Soehartono 2003).

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu jenis ular yang banyak dipanen adalah Python reticulatus atau sanca batik (Abel 1998; Requier 1998; Shine et al. 1998a; Yuwono 1998; Auliya et al. 2002; Mardiastuti & Soehartono 2003). Menurut Mardiastusti dan Soehartono (2003), pada tahun 1983-1999 Python reticulatus, diekpor dengan jumlah lebih dari 200 000 lembar/tahun. Kuota tangkap Python reticulatus pada tahun 2010, 2011 dan 2012 sebanyak 180 000 ekor, dari jumlah itu, 175 000 ekor untuk kulit dan 5 000 ekor dalam bentuk hidup untuk binatang peliharaan (pet) (PHKA 2010a, 2010b, 2011). Daerah pengambilan Python reticulatus tahun 2010, 2011 dan 2012 meliputi 16 propinsi untuk kulit dan 7 propinsi untuk pet.

(22)

memudahkan untuk dibentuk menjadi berbagai barang kerajinan seperti tas, dompet, ikat pinggang, gelang, sepatu bahkan baju dan jaket.

Kuota panenan (kuota tangkap) seharusnya ditetapkan berdasarkan jumlah panenan yang lestari. Masalahnya adalah otoritas pengelola seringkali tidak mempunyai data yang up to date mengenai populasi yang ada pada saat tersebut, padahal mereka harus menentukan kuota panenan justru sebelum jumlah panenan tahunan diketahui dengan pasti (Sinclair et al. 2006). Pada umumnya, pengelola hanya mengetahui sedikit mengenai populasi dari informasi yang diperoleh dari panenan yang berhasil pada tahun sebelumnya. Informasi tersebut akan menjadi dasar ijin jumlah perkiraan panenan yang diperbolehkan, berdasarkan kelimpahan populasi pada akhir pemanenan. Dengan kata lain, pengelola harus mengetahui kondisi populasi pada saat akhir panenan untuk menentukan kuota panen pada tahun berikutnya agar populasi tetap konstan. Ketidakpastian akan menyebabkan peningkatan resiko panenan yang berlebih (overharvesting).

Menurut Sinclair et al. (2006), strategi pemanenan yang lestari sebenarnya sangat sederhana, yaitu melakukan panenan pada populasi dengan jumlah yang sama dengan pertumbuhannya. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan (Webb & Vardon 1998). Keberlanjutan populasi yang dipanen tergantung pada strategi regulasi (batasan secara legal) yang digunakan untuk mengatur panenan tersebut dan strategi yang paling mudah adalah penerapan kuota panenan yang tetap dari tahun ke tahun (Sinclair et al. 2006).

(23)

kepunahan spesies yang dipanen tersebut. Populasi akan lestari bila jumlah kematian (pemanenan) sama dengan jumlah kelahiran (laju pertumbuhan). Untuk mengetahui laju pertumbuhan populasi, diperlukan data parameter demografi. Selain itu, faktor habitat juga sangat menentukan pertumbuhan populasi. Oleh karena itu, penelitian mengenai parameter demografi dan kondisi habitat harus dilakukan.

Faktor lain yang juga perlu dikaji adalah tata niaga karena tata niaga berperan dalam tinggi rendahnya pemanenan. Gambaran tata niaga bisa menunjukkan nilai ekonomi satwaliar tersebut. Semakin tinggi nilai ekonominya maka akan semakin banyak pelaku tata niaga dan akan semakin besar pula panenan yang dilakukan. Mekanisme penangkapan dan peredaran satwaliar sudah diatur dalam SK Menteri Kehutanan No. 443/Kpts-II/2003, namun perlu dilihat apakah mekanisme penangkapan dan peredarannya sudah sesuai dengan aturan tersebut. Jumlah penangkapan sudah ditentukan dengan kuota, namun perlu diketahui pula benarkah jumlah yang ditangkap tersebut benar-benar sesuai kuota. Informasi mengenai tata niaga, habitat dan populasi akan memberikan gambaran kelestarian satwaliar tersebut di alam. Tata niaga yang menyimpang dari aturan bisa jadi menyebabkan terjadinya gangguan pada kelestarian. Data habitat bisa menggambarkan kondisi aktual lokasi panenan dilakukan. Data populasi yang meliputi parameter demografi, morfometri dan populasi panenan akan memberikan gambaran keadaan populasi satwa di alam, apakah jumlah panenan masih melimpah yang berarti keberadaannya di alam masih banyak dan mudah ditemukan, sex rasio masih seimbang, kelas umur yang dipanen dan ukuran yang dipanen.

(24)

Sedangkan propinsi terluas untuk daerah pengambilan ini adalah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Kalimantan Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena beberapa alasan. Sebagai lokasi pengambilan terluas nomor dua, Kalimantan Tengah hanya mempunyai kuota tangkap nomor tujuh. Dengan luasnya wilayah Kalimantan Tengah, kemungkinan populasi Python reticulatus lebih besar dibanding lokasi lain yang lebih sempit namun memiliki kuota yang lebih banyak. Selama ini, penelitian mengenai Python reticulatus di Kalimantan Tengah juga masih sangat sedikit. Shine et al. (1998a, 1998b, 1998c), Abel (1998), Semiadi dan Sidik (2011) dan Siregar (2012) melakukan penelitian di Sumatera. Sedangkan Riquier (1998) telah melakukan penelitian di Kalimantan, namun lebih banyak dilakukan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dalam penelitiannya itu, Riquier menyatakan bahwa hasil penelitiannya belum bisa menggambarkan kepadatan populasi di Kalimantan karena wilayah studi yang tidak lengkap. Wilayah studi harusnya difokuskan dengan memilih satu tapak tertentu. Dengan demikian, cukup tepat alasan memilih Kalimantan Tengah sebagai lokasi penelitian.

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Mendeskripsikan tata niaga Python reticulatus dari penangkap sampai

eksportir di Kalimantan Tengah.

b. Mendeskripsikan karakteristik habitat Python reticulatus di Kalimantan Tengah.

c. Mengidentifikasi parameter demografi Python reticulatus yang tertangkap di Kalimantan Tengah.

d. Mengidentifikasi morfometri Python reticulatus yang tertangkap di Kalimantan Tengah.

1.3. Manfaat Penelitian

(25)
(26)
(27)

2.1. Bioekologi Python reticulatus Scheider 1801

Python reticulatus dimasukkan dalam kelompok ular pembelit raksasa oleh Hoesel (1959) dan diklasifikasikan dalam:

Kingdom : Animal Filum : Chordata Kelas : Reptilia Ordo : Squamata Famili : Pythonidae Genus : Python

Spesies : Python reticulatus Scheider 1801

Python reticulatus biasa disebut dengan nama reticulated python (Tweedie 1983), sanca batik dan puspo kajang (Indonesia) (Hoesel 1959). Penangkap di Kalimantan Tengah menyebutnya ular sawa. Python reticulatus merupakan saudara satu genus dengan ular raksasa lain yaitu Python morulus yang biasa disebut sebagai ular sawah (Hoesel 1959), sanca bodo (Indonesia), Indian python atau rock python (Tweedie 1983).

Corak pada kulit Python reticulatus menyerupai jala dengan bentuk mata jala agak bulat dan warna utamanya coklat muda dan kuning (Hoesel 1959). Menurut Tweedie (1983), Python reticulatus mempunyai kulit bermotif coklat kekuningan dengan garis hitam membujur dari moncong hingga ke belakang kepala. Python reticulatus mempunyai warna dasar coklat terang yang akan menjadi lebih gelap pada Python reticulatus yang tua dan besar dengan pola garis batik yang berwarna hitam tebal dan rumit, dibatasi oleh warna kuning dibagian dalamnya hingga menjadi sebuah pola yang tersusun secara reguler. Python reticulatus mempunyai sisa-sisa kaki belakang yang terlihat seperti sepasang cakar pendek pada kiri dan kanan lubang pelepasan (Hoesel 1959). Anak matanya pipih tegak, ini merupakan ciri-ciri satwa ini berburu makanan pada malam hari.

(28)

bertelur antara 10 sampai 100 butir tergantung pada ukuran tubuhnya. Python reticulatus dapat bereproduksi setiap tahun pada iklim tropis (Stuebing & Inger 1999). Semakin besar ukuran tubuh, semakin banyak telurnya. Betina mengerami telurnya dengan cara melingkarkan tubuhnya disekeliling telur. Masa pengeraman berlangsung selama 94 sampai 101 hari.

2.2. Pengelolaan Satwaliar Secara Lestari

Hilangnya habitat dan penangkapan satwaliar secara besar-besaran akan menyebabkan menurunnya jumlah tangkapan setiap tahunnya, mengurangi keuntungan bagi manusia dan dalam beberapa kasus akan mempercepat terjadinya kepunahan (Webb & Vardon 1998). Menurut Webb dan Vardon (1998), satwaliar seringkali tidak memiliki nilai ekonomi yang melebihi nilai ekonomi habitatnya, sehingga habitatnya diluar hutan yang dilindungi akan diubah untuk penggunaan lain. Sedangkan satwaliar yang diketahui mempunyai nilai ekonomi tinggi, akan semakin banyak dieksploitasi.

Kepunahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kepunahan masal pernah terjadi di dunia pada masa geologi lalu (Indrawan et al. 2007). Bumi telah mengalami lima kali periode kepunahan. Namun hal ini disebabkan oleh perubahan ekstrim yang terjadi pada bumi itu sendiri. Sedangkan kepunahan yang terjadi saat ini lebih banyak disebabkan karena aktivitas manusia. Indrawan et al. (2007) menyebut ini sebagai kepunahan yang terhutang (extinction debt). Kepunahan akibat kegiatan manusia berlangsung 100 kali lebih cepat dibanding kepunahan secara alami (Indrawan et al. 2007).

(29)

Kadang ketika populasi tersebut sudah sangat kecil ukurannya, daya lenting untuk kembali menjadi kecil dan akhirnya bisa menjadi punah sama sekali. Laju kepunahan bisa diperlambat dengan pengelolaan yang tepat.

Pengelolaan satwaliar adalah seni untuk membuat lahan memproduksi satwaliar yang bernilai (Bailey 1982). Pengelolaan satwaliar merupakan bagian dari konservasi satwaliar. Bailey (1982) menyatakan bahwa konservasi secara sederhana didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya secara bijaksana. Menurut Bailey (1982) pula, konservasi adalah kebidupan yang harmonis antara manusia dengan alam. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mendefinisikan konservasi sebagai pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Sekditjen PHKA 2007a).

Pengelolaan satwaliar harus dilakukan berdasarkan prinsip kelestarian hasil (Alikodra 1997). Ini berarti bahwa satwaliar dapat dipanen secara periodik tanpa mengurangi potensi perkembangbiakannya. Menurut Webb dan Vardon (1998), arti dari penangkapan secara lestari dan hubungannya dengan konservasi masih cukup membingungkan. Penangkapan yang kurang dari batas maksimum perolehan secara lestari adalah lestari secara teoritis, sedangkan penangkapan pada atau dekat dengan batas maksimum perolehan secara lestari akan bersifat lebih riskan (Webb & Vardon 1998). Strategi pengelolaan, baik pada populasi maupun pada habitatnya diperlukan untuk mendapatkan jumlah maksimal individu yang dipanen. Populasi dan habitat menjadi faktor yang sangat utama untuk diperhatikan dalam pengelolaan satwaliar.

2.2.1. Populasi

(30)

spesies yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan. Menurut Alikodra (2002), populasi diartikan sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Suatu populasi bisa menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung spesies dan kondisi daya dukung habitatnya. Populasi satwaliar berfluktuasi dari waktu ke waktu mengikuti fluktuasi lingkungannya

Sifat-sifat khas yang dimiliki populasi menurut Tarumingkeng (1994) adalah kerapatan (kelimpahan/densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran (distribusi), umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Alikodra (2002) menyatakan bahwa kelahiran, kematian, kepadatan populasi, struktur umur dan struktur kelamin merupakan parameter populasi yang mempengaruhi fluktuasi populasi. Ketika kematian sama dengan kelahiran, maka populasi akan stabil. Populasi akan berkembang jika kelahiran lebih banyak dari kematian dan populasi akan menurun jika kematian lebih besar dari kelahiran. Menurut Odum (1994), sifat populasi satwaliar adalah kerapatan, natalitas (laju kelahiran), mortalitas (laju kematian), penyebaran umur, potensi biotik, dispersi dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan. Populasi juga mempunyai sifat genetik yang secara langsung berkaitan dengan ekologinya misalnya sifat adaptif, sifat keserasian reproduktif dan ketahanan (peluang meninggalkan keturunannya dalam waktu yang lama). Sifat populasi di alam sangat sulit untuk diukur meskipun sudah ada perbaikan-perbaikan dan perkembangan dalam metodenya. Untungnya, sering kali tidak perlu mengukur semua sifat populasi tersebut karena kadang sifat populasi bisa diukur dari data sifat yang lainnya.

(31)

Kerapatan populasi bervariasi menurut waktu dan tempat (Indriyanto 2010). Dalam pengkajian suatu kondisi populasi, kerapatan merupakan parameter utama yang harus diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu hal yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau ekosistem. Kerapatan populasi juga sering digunakan untuk mengetahui perubahan populasi pada saat tertentu. Perubahan tersebut adalah berkurang atau bertambahnya individu dalam satu unit luas atau volume.

Menurut Odum (1994), dalam pengkajian populasi, kerapatan menjadi ciri yang pertama mendapatkan perhatian. Pengaruh populasi dalam ekosistem tidak hanya tergantung pada jenis, namun juga pada jumlah individunya atau kerapatan populasinya. Sering kali lebih penting untuk mengetahui apakah suatu populasi sedang berubah (bertambah atau berkurang) daripada mengetahui besarnya pada suatu saat.

Kerapatan populasi bisa diukur dengan menghitung jumlah organisme secara aktual dalam daerah atau volume yang diketahui (Indriyanto 2010). Perhitungan secara aktual terhadap densitas sering kali sangat sukar untuk dilakukan, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Indriyanto (2010) menyatakan bahwa perhitungan kerapatan populasi satwaliar bisa dilakukan dengan metode menangkap dan melepas kembali. Odum (1994) mengemukakan bahwa kerapatan populasi bisa dihitung dengan beberapa metode, yaitu: (1) perhitungan total (kadang-kadang mungkin untuk organisme besar, jelas tampak atau berkelompok); (2) pengambilan contoh secara kuadrat (perhitungan dan penimbangan organisme dalam petak contoh atau transek yang cukup besar ukuran dan jumlahnya); (3) menandai dan menangkap kembali (sampel ditangkap, ditandai dan dilepaskan kembali); (4) removal sampling (sejumlah organisme disingkirkan dari daerah itu); dan (5) tanpa petak contoh (untuk organisme yang duduk seperti pohon). Krebs (2001) menyatakan bahwa kerapatan bisa dihitung dengan metode penghitungan total dan sampling.

(32)

geografis dan sifat herpetofauna (termasuk ular) menjadi faktor yang menyebabkan tidak mungkin dilakukannya sensus yang terstruktur dalam satu satuan waktu yang pendek (Iskandar & Erdelen 2006). Untuk itu perlu dilakukan kajian tidak langsung yang bisa menggambarkan kondisinya di alam (TRAFFIC 2008). Pendekatan yang akan dilakukan untuk mengukur estimasi kerapatan adalah dengan menghitung jumlah yang ditangkap.

Mortalitas (Kematian). Mortalitas akan menentukan populasi, terutama pada kerapatan populasi. Mortalitas akan menyebabkan berkurangnya kepadatan populasi (Krebs 2001; Odum 1994). Mortalitas (kematian) diartikan sebagai kematian individu-individu dalam populasi pada suatu kurun waktu tertentu (Odum 1994). Mortalitas terbagi menjadi (1) mortalitas minimun yaitu kematian pada kondisi yang ideal atau tidak ada faktor yang membatasi atau individu mati hanya karena faktor umur yang sudah tua dan (2) mortalitas ekologi (mortalitas saja) yaitu hilangnya individu dalam kondisi lingkungan tertentu.

Krebs (2001) menyatakan bahwa ada dua jenis panjang umur individu, yaitu panjang umur fisiologi (physiological longevity) dan panjang umur ekologi (ecological longevity). Panjang umur fisiologi bisa didefinisikan sebagai rata-rata panjang umur individu pada suatu populasi yang hidup dalam kondisi optimum. Sedangkan panjang umur ekologi merupakan rata-rata panjang umur individu dalam populasi secara empiris pada keadaan yang ada. Secara ekologi, kematian dipengaruhi oleh predator, penyakit dan sebab lain sebelum individu tersebut mencapai umur maksimal untuk hidup.

Mortalitas bergantung pada lingkungan yang merugikan, persaingan, pemangsaan dan penyakit (Indriyanto 2010). Mortalitas merupakan karakteristik dari populasi, dan bukan merupakan karakteristik individu. Kematian merupakan keharusan bagi setiap individu dan hanya terjadi satu kali, sedangkan populasi memiliki kematian dalam suatu periode tertentu.

(33)

jumlah yang dipanen kemungkinan lebih besar dari jumlah kuota itu apabila pemanenan tidak dilakukan secara terpilih namun kebutuhan ekspor adalah ular dengan ketentuan tertentu. Jumlah tersebut akan lebih banyak lagi bila kuota untuk kebutuhan dalam negeri tercatat. Selama ini, kebutuhan dalam negeri belum diatur dengan kuota dan jumlahnya belum tercatat dengan pasti. Sedangkan data kematian karena alam sama sekali tidak tercatat karena belum ada penelitian yang lengkap mengenai tingkat kematian Python reticulatus secara alami.

Penghitungan mortalitas bisa dilakukan secara langsung dan tidak langsung (Krebs 2001). Perhitungan langsung dilakukan dengan cara menangkap dan menandai organisme pada suatu waktu (t) dan diobservasi jumlah yang masih hidup pada jangka waktu tertentu berikutnya (t+1). Sedangkan cara tidak langsung bisa dilakukan salah satunya dengan cara mengetahui kelimpahan pada suatu kelas umur dari suatu populasi dan membandingkannya dengan kelas umur sebelumnya, biasanya dilakukan pada suatu unit penangkaran.

Perhitungan mortalitas Python reticulatus di Kalimantan Tengah dilakukan melalui pendekatan jumlah panenan. Asumsinya adalah semua ular yang dipanen berarti mengalami kematian. Pendekatan ini dilakukan karena ular yang sudah dipanen tidak dikembalikan lagi kealam, sehingga mengurangi jumlah populasi di alam. Selain itu, tujuan utama pemanenan adalah untuk diambil kulitnya, sehingga bisa dipastikan ular tersebut akan dibunuh dan untuk pet sehingga tidak mungkin ular yang tertangkap akan dilepaskan kembali.

Struktur Umur. Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi (Alikodra 2002). Struktur umur dapat digunakan untuk menilai perkembangbiakkan satwaliar sehingga bisa digunakan untuk menilai prospek kelestariannya. Indriyanto (2010) menyatakan bahwa peyebaran umur merupakan suatu karakteristik populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas karena perbandingan dari berbagai golongan umur individu dalam suatu populasi menentukan status reproduktif populasi dan menyatakan kondisi yang diharapkan pada masa mendatang.

(34)

distribusi umur statis dan akan tetap menjaga distribusinya (Krebs 2001). Ada dua kondisi dimana struktur umur yang tetap akan terpelihara dalam populasinya. Pada keadaan dibawah tekanan lingkungan disekitarnya, struktur umur akan berubah setiap waktu. Pada kondisi alami tanpa tekanan, struktur umur akan konstan. Namun jarang sekali ditemukan populasi yang mempunyai struktur umur tetap karena populasi tidak akan meningkat lama pada keadaan yang tidak terbatas.

Kajian mengenai dinamika populasi sangat bergantung pada kemampuan untuk mengenali umur individu dalam populasi tersebut (Caughley 1977). Namun, menentukan umur satwaliar di lapangan adalah suatu hal yang sangat sulit untuk dilakukan sehingga perlu dilakukan suatu pendekatan yang lebih sederhana untuk pendugaan umur (Alikodra 2002). Pendugaan kelas umur bisa dilakukan dengan pendekatan misalnya pengukuran tinggi, berat badan, warna, bentuk, ukuran tanduk (Alikodra 2002), gigi, berat lensa mata, pertumbuhan tahunan pada cakar, tanduk, gigi dan tulang, dan jumlah plasenta atau ovarium pada betina (Caughley 1977).

(35)

Shine et al. (1998a) menyatakan bahwa hasil penelitian yang dilakukan di Sumatera menunjukkan bahwa jumlah panenan pada jantan, 18% diantaranya adalah jantan muda, sedangkan pada betina 49%. Pada penelitiannya di Sumatera Utara, Shine et al. (1998a) juga menunjukkan bahwa jumlah panenan pada jantan, sebagian besar adalah jantan dewasa sedangkan pada betina, sebagian besar adalah betina muda. Shine et al. (1999, 1998b) menyatakan bahwa banyak Python reticulatus betina muda yang tertangkap berukuran sama dengan jantan dewasa yang tertangkap. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pasar menghendaki ukuran minimal dimana pada ukuran tersebut betina masih berusia remaja namun jantan sudah mencapai dewasa.

Mengenali struktur umur Python reticulatus di alam secara teknis sangatlah sulit. Pada ular anakan mungkin bisa dibedakan dari kelas umur lain. Namun ketika sudah bukan anakan lagi, maka akan sulit membedakan kelas umurnya. Apalagi belum ada patokan yang pasti mengenai ukuran SVL untuk mengetahui umur. Shine et al. (1999) mendapatkan ukuran untuk membedakan antara kelas umur remaja dan dewasa dengan pendekatan kematangan organ reproduksi dan selanjutnya diukur panjangnya hingga akhirnya mendapatkan ukuran tersebut.

Struktur Jenis Kelamin. Selain distribusi individu menurut kelas umur, ukuran populasi juga dipengaruhi oleh perbandingan jenis kelamin, yaitu perbandingan antara jantan dan betina dalam suatu populasi yang biasanya dinyatakan dalam jumlah jantan terhadap 100 ekor betina (Indriyanto 2010). Keseimbangan jumlah jantan dan betina menjadi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan populasi tersebut.

(36)

jenis satwaliar yang bersifat poligami, perbandingan akan dianggap seimbang jika betina lebih banyak dari jantan. Sedangkan pada yang poligini, akan seimbang jika jantan lebih banyak dari betina.

Menurut Duval et al. (1993), system perkawinan ular bisa poligami, poliandri, poligini maupun monogami, namun lebih banyak kecenderungan untuk poligini. Pada kondisi sistem perkawinan poligini, jumlah jantan lebih banyak dari betina untuk mendapatkan perkawinan yang optimal hasilnya. Ular betina akan memilih jantan melalui kompetisi sperma potensial. Shine et al. (1999) menyatakan bahwa Python reticulatus yang dipanen di Sumatera pada saat penelitian dilakukan, sebagian besar adalah jantan (52%), dan 89% dari jantan yang ditangkap adalah jantan dewasa. Menurut Shine et al. (1999), kemungkinan ini bisa terjadi karena memang jantan lebih banyak jumlahnya dibandingkan betina.

Shine et al. (1999) menyatakan bahwa pada Python reticulatus yang pernah diteliti di Sumatera, ukuran betina lebih besar dari jantan. Shine (1998) menyatakan bahwa ukuran jantan dan betina juga tergantung pada sistem perkawinannya. Jantan yang memperebutkan betina untuk kawin, biasanya berkuran lebih besar dari betina. Sering terlihat bahwa pada Python reticulatus, jantan bersama-sama mengawini satu betina (poligini) dan ukuran jantan lebih kecil dari betina.

Membedakan jenis kelamin jika hanya berdasarkan ukuran tubuh sangat sulit dilakukan. Barker DG dan Barker TM (1994) mengatakan bahwa untuk menentukan jenis kelamin ular, bisa dilihat dari kloakanya. Pada ular jantan, apabila kloaka ditekan ke arah luar, maka akan keluar hemipenis. Apabila masih ragu, bisa dilakukan dengan mengecek kedalaman kloaka (probe). Ular jantan mempunyai kloaka lebih dalam dibanding ular betina. Kedalaman dua kloaka jantan biasanya sama, sedangkan pada betina biasanya berbeda antara kanan dan kiri. Namun ini bukan cara yang disarankan secara ginekologi.

2.2.2. Habitat

(37)

beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak bagi satwaliar. Faktor fisik bisa berupa air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Faktor biotik terdiri dari komponen vegetasi, mikro dan makro fauna dan manusia. Habitat harus bisa menjamin kebutuhan pokok satwaliar seperti makanan, minuman, tempat berlindung dan berkembangbiak.

Sejumlah faktor lingkungan, mempengaruhi habitat satwaliar (Bailey 1984). Faktor-faktor ini bervariasi menurut waktu dan tempat dan berinteraksi secara komplek untuk membantu atau mengganggu satwaliar. Faktor lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu (1) biotik: jumlah dan kualitas makanan, predasi, penyakit dll.; (2) fisik: suhu, curah hujan, karakteristik salju, kelembaban dll.; dan (3) edafik (tanah): kedalaman, kelembaban, tekstur, kimia dll. Alikodra (2002) menyebutkan sejumlah faktor yang berperan dalam pertumbuhan populasi satwaliar, yaitu (1) faktor fisik: air, radiasi surya, temperatur, panjang hari, aliran dan tekanan udara dan tanah; dan (2) faktor biotik: makanan, energi, vegetasi, suksesi dan perilaku satwaliar.

Reinert (1993) menyatakan bahwa faktor habitat atau variabel yang bertanggung jawab pada habitat biasanya berupa faktor fisik dan kimia seperti (tetapi tidak terbatas pada) ketinggian, kepadatan kanopi, komunitas tumbuhan, kelembaban tanah dan pH. Perbedaan habitat sering kali dihubungkan pada prinsip persaingan antar spesies yang sama agar bisa tetap mempertahankan eksistensinya.

(38)

aspek relung ekologi tersebut dapat dikatakan sebagai ruangan atau relung habitat, relung trofik dan relung multidimensi (hypervolume).

Menurut Reinert (1993), suatu tipe habitat umumnya digunakan oleh suatu spesies tertentu. Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat yang cocok bagi suatu spesies belum tentu cocok bagi spesies lain. Berarti dalam hal ini ada pemilihan suatu karakteristik tertentu pada suatu habitat oleh spesies. Habitat berada dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan organisme yang menghuninya (Soemarwoto 2004). Batas bawah disebut titik minimum, batas atas disebut titik maksimum dan diantara keduanya ada titik optimum. Bila sifat habitat berubah diluar titik minimum atau maksimumnya, penghuninya harus pindah atau dia akan mati. Organisme selalu mempunyai insting untuk mencari tempat hidup yang sesuai dengan kebutuhannya.

Python reticulatus di Kalimantan umumnya bisa ditemukan dihampir seluruh wilayah Kalimantan (Stuebing & Inger 1999). Python reticulatus merupakan jenis ular terrestrial (hidup di daratan). Di Kalimantan, Python reticulatus bisa ditemukan di dataran rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m diatas permukaan laut (dpl). Meskipun termasuk ular terrestrial, namun di Kalimantan tidak ditemukan Python reticulatus yang tinggal dalam lubang tanah. Python reticulatus banyak ditemukan di serasah, tanah dan pohon meskipun sering ditemukan pula sedang berada di perairan tawar (Tweedie 1983; Stuebing & Inger 1999). Sedangkan sarang biasanya berada diantara serasah (Shine 1998; Stuebing & Inger 1999).

(39)

Python reticulatus selalu mengerami telurnya dengan melingkarkan tubuhnya disekitar telur untuk menjaga suhu dan meninggalkannya hanya untuk berjemur atau minum (Shine 1998). Selama mengerami, Python reticulatus tahan untuk tidak makan sama sekali. Pada iklim tropis yang hangat, ular betina bisa bereproduksi setiap tahun, sedangkan pada iklim yang dingin biasanya betina akan bereproduksi beberapa tahun sekali (Stuebing & Inger 1999).

Makanan merupakan salah satu faktor penentu bagi ular dalam memilih habitatnya. Ketika pada suatu tempat terdapat banyak makanan, maka biasanya akan ditemukan Python reticulatus di lokasi tersebut. Python reticulatus merupakan satwa karnivora, makanan utamanya adalah jenis-jenis burung dan mamalia (Tweedie 1983). Penangkap Python reticulatus biasanya menangkapnya dengan menggunakan jaring di perairan tawar pada malam hari. Kemungkinan ini terjadi karena Python reticulatus merupakan satwa nokturnal yang mencari makan malam hari (Stuebing & Inger 1999). Ular ini bisa makan makanan yang ukurannya lebih besar dari diameter tubuhnya dan bukan termasuk ular yang berbisa, namun sangat berbahaya karena dapat menyerang mangsanya dengan belitan yang kuat (Hoesel 1959).

Jenis data yang diambil untuk mendapatkan gambaran karakteristik habitat pada habitat terestrial untuk ampibi adalah (1) lokasi penangkapan yang ditulis secara spesifik, (2) tipe habitat, (3) vegetasi yang dominan, (4) koordinat lokasi, (5) ketinggian, (5) deskripsi data klimatologi (suhu, kelembaban, pH), (6) indikasi adanya gangguan dan (7) faktor habitat lain (tipe tanah, kapasitas menahan air, frekuensi banjir) (Kusrini 2009). Sedangkan untuk habitat perairan, data yang perlu dikumpulkan adalah (1) tipe habitat (sungai besar, sungai kecil, anak sungai, danau, rawa), (2) indikasi durasi relative habitat (permanen, mengalir sepanjang tahun, musiman ), (3) lebar dan kedalaman, (4) indikasi laju kecepatan air, (5) kondisi vegetasi dipinggiran, dan (6) substrat dasar (lumpur, batu, pasir). Dengan merujuk pada Bailey (1984), Reinert (1993) dan Alikodra (2002), data yang perlu dikumpulkan untuk menggambarkan karakteristik habitat ular bisa disamakan (mirip) dengan ampibi.

(40)

melakukan penelitian mengenai habitat. Tidak semua lokasi ditemukan Python reticulatus, namun hanya pada tempat tertentu. Mengamati tipe habitat preferensial juga tidak mungkin dilakukan dengan mengikuti ular tersebut sepanjang hari dan mencatat habitat yang paling banyak digunakan oleh Python reticulatus. Bahkan ketika menangkap Python reticulatus di lokasi tertentu, mungkin belum bisa menggambarkan habitat yang sesungguhnya. Habitat tersebut mungkin hanya merupakan lokasi jalurnya mencari makan atau beraktifitas lain. Bahkan sebagai ular terestrial, Python reticulatus justru banyak ditangkap di daerah perairan pada malam hari. Python reticulatus merupakan satwa nocturnal sehingga banyak ditemukan pada malam hari.

Pendekatan mengenai habitat yang tepat mungkin bisa dilakukan dengan mengetahui keadaan pada sarang dan pada lokasi terestrial didekat perairan dimana Python reticulatus ditangkap. Asumsinya adalah habitat sarang sudah dipilih oleh Python reticulatus dengan selektif dan sesuai dengan faktor biotik dan abiotik yang dibutuhkan, sedangkan habitat di dekat perairan dimana ular ini ditangkap mungkin merupakan habitat tempat tinggalnya.

2.3. Kebijakan Pemanfaatan Satwaliar di Indonesia

Pemanfaatan satwaliar di Indonesia diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990 (UU No. 5/1990) dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 (PP No. 8/1999). Menurut UU No. 5/1990, sumberdaya alam hayati Indonesi harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari (Sekditjen PHKA 2007a). Sedangkan PP No. 8/1999 menyatakan bahwa satwaliar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pemanfaataannya dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragamannya (Sekditjen PHKA 2007b). Bahkan pemanfaatan satwaliar ditujukan agar satwaliar tersebut bisa tetap lestari.

(41)

Pemanfaatan TSL untuk kegiatan ekonomi yang komersial, diijinkan sesuai dengan UU No. 5/1990 yang menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan yang salah satunya adalah pemanfaatan secara lestari dan salah satu bentuk pemanfaatannya adalah untuk perdagangan (tata niaga) (Sekditjen PHKA 2007a). Dalam PP No. 8/1999 juga disebutkan bahwa pemanfaatan jenis TSL dilaksanakan dalam bentuk yang salah satunya adalah perdagangan (tata niaga) (Sekditjen PHKA 2007b). Lebih lanjut dalam SK Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 disebutkan bahwa TSL yang diperdagangkan bisa diperoleh dari penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam (Sekditjen PHKA 2007c).

Pemanfaatan untuk tata niaga dilaksanakan dengan sistem kuota. Dalam SK Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003, kuota didefinisikan sebagai batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwaliar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim. Kuota pengambilan di alam ditetapkan oleh Dirjen PHKA dengan memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan (LIPI) untuk kurun waktu satu tahun takwim dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember (Sekditjen PHKA 2007c). Ketika kuota pengambilan sudah ditetapkan, bisa dilakukan peninjauan kembali kuota tersebut pada tahun berjalan dengan tetap memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan. Kuota pengambilan dari alam selanjutnya menjadi dasar bagi kuota ekspor dan pemanfaatan lainnya (penangkaran, penelitian, pasar dalam negeri). Kuota ekspor tidak akan melebihi kuota pengambilan dari alam.

Kuota ditetapkan oleh Ditjen PHKA sebagai Otoritas Pengelola dengan berdasarkan pada rekomendasi LIPI sebagai Otoritas Keilmuan CITES di Indonesia. LIPI memberikan rekomendasi berdasakan peta data dan informasi ilmiah hasil monitoring populasi (Sekditjen PHKA 2007c). Namun bila data dimaksud tidak tersedia, kuota dapat diperoleh atas dasar (1) kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan; (2) informasi ilmiah dan teknis lainnya tentang populasi dan habitat; (3) realisasi pegambilan tahun sebelumnya; dan (4) kearifan tradisional.

(42)

dilindungi undang. Khusus untuk jenis satwaliar yang dilindungi undang-undang, sebelum ditetapkan kuota pengambilannya, satwaliar tersebut harus ditetapkan sebagai satwa buru (Sekditjen PHKA 2007c).

Kuota yang sudah ditetapkan oleh Dirjen PHKA menjadi dasar untuk pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan termasuk dalam Appendix CITES dan oleh Kepala Dinas propinsi setempat untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai KSDA dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan ijin tanpa didasarkan pada kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA (Sekditjen PHKA 2007c).

Seluruh kegiatan pemanfaatan satwaliar, baik untuk komersial maupun non komersial, harus dengan ijin dari Otoritas Pengelola. Ijin pengambilan dari alam harus menjamin kelestarian populasi, maka lokasi pengambilan harus dirotasi. Jangka waktu rotasi didasarkan pada kondisi populasi, habitat dan sifat-sifat biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan harus memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana penggunaan lahan dan aspek sosial budaya masyarakat setempat (Sekditjen PHKA 2007c).

2.4. Tata Niaga Satwaliar

Tata niaga satwa liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam menurunnya banyak populasi spesies (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut. Peres (2010) menyatakan bahwa eksploitasi satwaliar yang berlebihan menjadi penyebab menurunnya populasi.

(43)

Pengesahan CITES. Indonesia telah pula menetapkan Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan sebagai Otoritas Pengelola dan LIPI sebagai Otoritas Keilmuan melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 (Dit. KKH 2010).

Tujuan dari CITES adalah menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di alam melalui pengendalian tata niaga serta produk-produknya secara internasional (Dit. KKH 2010). Eksploitasi tumbuhan dan satwaliar untuk kepentingan komersial dianggap sebagai ancaman terhadap kelestarian sehingga tata niaganya perlu diatur agar membantu pelestariannya. Tanpa adanya mekanisme tata niaga internasional, dikhawatirkan akan terjadi ekploitasi yang lebih besar dan semakin mengancam kelestarian tumbuhan dan satwaliar. Adanya CITES sebagai mekanisme tata niaga yang legal, mengakibatkan adanya tata niaga yang ilegal. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Dit. KKH) Kementerian Kehutanan menduga bahwa tata niaga tumbuhan dan satwa ilegal menduduki posisi kedua dari segi nilai tata niaga setelah narkotika (Dit. KKH 2010).

(44)

Tata niaga satwaliar yang tidak lestari di Asia Tenggara sudah diidentifikasi sebagai salah satu tantangan dalam pelestarian satwaliar (Nijman 2010). Mardiastuti dan Soehartono (2004) menyebutkan angka 300 juta kulit reptil sudah diekspor dari Indonesia pada periode tahun 1983-1999. Sedangkan Nijman (2010) menyatakan bahwa selama tahun 1998-2007, lebih dari 35 juta satwaliar diperdagangkan di Asia Tenggara dan 30 juta diantaranya merupakan hasil tangkapan dari alam.

Nijman (2010) menyatakan bahwa reptil mempunyai jumlah terbesar yang diperdagangkan, yaitu 17.4 juta ekor dan 13.79 juta diantaranya berasal dari alam. Negara yang menjadi pengekspor terbesar adalah Indonesia dan Malaysia, sedangkan negara pengimpor terbesar adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Indonesia menjadi penyuplai 62% reptil pada tata niaga satwaliar di Asia Tenggara yang berasal dari tangkapan alam selama tahun 1998-2007 (Nijman 2010).

Komponen utama dalam tata niaga reptil di Indonesia adalah tata niaga kulit dan pet (Yuwono 1998). Nijman (2010) juga menyatakan bahwa bentuk reptil yang diperdagangkan adalah kulit dan pet. Yuwono (1998) dan Nijman (2010) menyatakan bahwa kulit reptil diperdagangkan dalam jumlah yang lebih besar daripada pet. Dalam penetapan kuota tangkap di Indonesia, spesies yang ditangkap untuk tata niaga kulit lebih sedikit daripada untuk pet, namun jumlah kuota untuk tiap spesies jauh lebih banyak daripada untuk pet (Ditjen PHKA 2010a, 2010b, 2011). Mardiastuti dan Soehartono (2003) mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, kulit reptil mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan membanjiri pasar internasional, termasuk diantaranya dari Indonesia. Mulai tahun 1980-an, tujuh jenis reptil Indonesia mulai dimanfaatkan untuk skala besar tata niaga dunia. Salah satu diantaranya adalah Python reticulatus.

(45)

dua terbanyak untuk ekpor yaitu 1.2 juta antara tahun 1998-2007. Amerika Serikat dan Singapura menjadi negara pengimpor kulit Python reticulatus terbesar dari Indonesia. Amerika Serikat juga menjadi negara pengimpor Python reticulatus untuk pet dari Indonesia. Tahun 2010-2012, jumlah kuota tangkap menurun menjadi 180 000 ekor dan kuota ekspor 162 000 ekor.

Rute normal untuk tata niaga kulit dan pet di Indonesia terdiri dari empat komponen yaitu pengumpul/penangkap, perantara, supplier (pedagang besar) dan eksportir (Yuwono 1998). Kadang-kadang, terdapat lebih dari satu orang perantara dan kadang-kadang penangkap langsung membawa tangkapannya ke eksportir atau pedagang besar tanpa melalui perantara (biasanya pada penangkap skala kecil atau tangkapan yang tidak disengaja). Sebelum akhir tahun 1980-an, tidak ada penangkap ular yang professonal. Namun sejak PT. Terraria Indonesia beroperasi pada tahun 1988, penangkap ular profesional mulai bermunculan.

Alur tata niaga ular bisa diketahui melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah dengan mengetahui siapa saja eksportir atau pedagang besar. Mulai dari eksportir atau pedagang besar tersebut, bisa dirunut kebawah untuk mengetahui siapa dan berapa jumlah perantara dan selanjutnya bisa dirunut sampai tingkat penangkap (snow ball). Pendekatan kedua bisa dilakukan dengan cara sebaliknya. Namun pada umumnya akan lebih mudah merunut dari tingkat eksportir atau pedagang besar.

(46)
(47)

4.1. Waktu

Pengumpulan data secara langsung di lapangan dilakukan mulai pertengahan Maret s.d. awal Mei 2012. Beberapa data didapatkan pula antara bulan Mei s.d. Juli yang dikirimkan melalui pos, email dan telepon.

4.2. Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, clipboard, tally sheet, kamera digital, meteran, timbangan pegas, kertas lakmus, thermo-higrometer, GPS, peta dasar, dan software pengolahan data. Bahan penelitian adalah Python reticulatus yang ditangkap, habitat dan pelaku perdagangannya.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang digunakan untuk menguji hipotesis. Data primer dikumpulkan di lapangan, baik secara langsung maupun melalui perantara seperti telepon, email dan data dikirim melalui pos. Data sekunder adalah semua data penunjang yang dibutuhkan, namun tidak untuk menguji hipotesis. Data sekunder didapatkan dari berbagai sumber, seperti internet, buku-buku, artikel ilmiah dan data-data yang didapatkan langsung dari dinas terkait yang bisa mendukung. Metode pengambilan data dan analisis data secara lengkap disajikan dalam Tabel 1 pada akhir bab ini. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah sebagai berikut :

4.3.1. Tata Niaga

(48)

mempunyai ijin tangkap maupun edar, namun menjadi perantara antara penangkap dan pengumpul. Pengumpul adalah pedagang yang memiliki ijin tangkap dan atau ijin edar dari Balai KSDA Kalimantan Tengah.

Data yang dikumpulkan adalah pelaku perdagangan, jalur perdagangan, teknik penangkapan dan pengulitan, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan di Kalimantan Tengah. Data pengumpul diambil dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Selanjutnya dari pengumpul yang terdata, dikumpulkan data perantara dan penangkap beserta lokasi penangkapannya. Jumlah lokasi pengumpul yang ditentukan adalah 1 titik. Jumlah ini berdasarkan jumlah pengumpul yang mempunyai ijin dari BKSDA Kalimantan Tengah. Jumlah narasumber dari Balai KSDA Kalimantan Tengah sebanyak tiga narasumber. Pengumpul perantara yang menjadi narasumber dalam penelitian ini berjumlah empat orang masing-masing di Pangkalan Banteng Kabupaten Kotawaringin Barat (PP A), Anjir Kabupaten Pulang Pisau (PP B), Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur (PP C), dan Kapuas Kabupaten Kuala Kapuas (PP D). Jumlah penangkap yang langsung menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah satu kelompok dan dua penangkap perorangan profesional yang berasal dari Pangkalan Banteng Kabupaten Kotawaringin Barat (penangkap A, B dan C), dua penangkap dari Anjir Kabupaten Pulang Pisau (Penangkap D dan E), satu penangkap tidak profesional dari Pulang Pisau dan Kapuas dan satu mantan penangkap dari Katingan. Profesional berarti memerlukan kepandaian khusus untuk melakukan pekerjaannya (Kemdiknas 2012). Penangkap profesional tersebut memiliki kepandaian khusus untuk menangkap ular.

4.3.2. Karakteristik habitat

(49)

diindikasikan sebagai sarang. Pengambilan data di habitat tangkap dan sarang dilakukan dengan mengikuti penangkap ular.

Metode survei yang dilakukan adalah dengan metode penjebakan (trapping), yaitu membuat jebakan pada titik-titik yang sudah ditentukan (TPBC 1998). Pada setiap titik dimana jebakan dibuat, diambil data sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan. Metode ini diterapkan untuk pengambilan data karakteristik habitat tangkap. Sedangkan pada habitat bersarang, tidak dilakukan metode penjebakan.

Jenis data yang diambil untuk mendapatkan gambaran karakteristik habitat sesuai dengan Kusrini (2009) dengan beberapa penyesuaian. Jenis data yang diambil pada habitat tangkap adalah ada/tidak ular, ketinggian lokasi (m dpl), suhu air (0C), suhu udara (0C), kelembaban udara (%) dan ph air. Jumlah titik pengamatan untuk habitat tangkap adalah 75 titik yang terdiri dari 17 titik ditemukan ular dan 58 titik tidak ditemukan ular. Peubah yang dianalisis pada sarang adalah: keberadaan Python reticulatus pada suatu sarang, suhu udara pada sarang (0C), kelembaban udara pada sarang (%), pH tanah pada sarang, kedalaman sarang (cm) dan lebar mulut sarang (cm). Jumlah sarang yang diamati adalah 13 buah yang ada ularnya dan 114 buah tidak ada ularnya. Lokasi titik pengambilan data disajikan dalam Gambar 2 berikut ini.

(50)

4.3.3. Panenan

Data panenan dikumpulkan dengan cara menghitung langsung Python reticulatus yang dipanen pada tingkat (1) penangkap; dan (2) pengumpul perantara. Panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kelimpahan panenan pada tingkat penangkap dan pengumpul perantara. Kelimpahan yang bisa dihitung hanya pada tingkat ini karena pada tingkat pengumpul, ular sudah dalam bentuk kulit mentah. Pengambilan data pada tingkat penangkap dilakukan dengan cara menghitung langsung jumlah ular yang berhasil ditangkap oleh penangkap dalam kurun waktu tertentu. Pengambilan data pada pengumpul perantara dilakukan dengan menghitung jumlah ular yang berhasil dikumpulkan oleh pengumpul dalam kurun waktu tertentu. Sumber data berasal dari satu pengumpul perantara dan lima penangkap.

4.3.4. Parameter Demografi

Data parameter demografi diambil pada dua lokasi, yaitu (1) penangkap; dan (2) pengumpul perantara. Parameter demografi yang bisa diketahui dari data yang diambil adalah (1) sex rasio; dan (2) kelas umur. Variabel yang diukur dan diambil datanya adalah Snout-vent lenght (SVL), jenis kelamin dan jumlah ular pada masing-masing lokasi. Menurut Caughley (1977) dan Alikodra (2002), ukuran tubuh satwaliar bisa digunakan untuk pendekatan pendugaan kelas umur. Caughley (1977) menyatakan bahwa pada reptil, pendekatan pembagian umurnya biasanya didasarkan pada ukuran tubuh. Jumlah ular yang tertangkap untuk analisis parameter demografi adalah 117 ekor pada tingkat penangkap dan 56 ekor pada tingkat pengumpul perantara.

4.3.5. Morfometri

(51)

diperlukan informasi mengenai panjang total seekor ular (TPBC 1998). Panjang badan diukur karena dalam perdagangan panjang badan menjadi indikator utama untuk penangkapan. Jarak mata diukur untuk mengetahui kemungkinan adanya hubungan antara jarak mata dengan ukuran tubuh yang lain. Sumber data berasal dari satu pengumpul perantara dan lima penangkap dengan jumlah ular yang tertangkap 56 ekor pada tingkat pengumpul perantara dan 117 ekor pada tingkat penangkap

4.4. Analisis Data 4.4.1. Tata Niaga

Data tata niaga dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan pelaku perdagangan, jalur perdagangan, teknik penangkapan dan pengulita, jumlah, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan di Kalimantan Tengah. Analisis menggunakan program SPSS 19.0 (Santoso 2012) dan Microsoft Excel 2010 untuk tabulasi data.

4.4.2. Karakteristik Habitat

Kenormalan data diuji dengan menggunakan Test One Sample Kolmogorov-Smirnov pada program SPSS 19.0. Hipotesis untuk melakukan uji normalitas data adalah (Santoso 2012):

Ho : Data tersebar normal H1 : Data tidak tersebar normal

Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05

Analisis yang digunakan untuk data yang tersebar normal adalah t test dua sampel independen pada program SPSS 19.0 (Santoso 2012). Hipotesis untuk melakukan pengujian adalah:

Ho : Nilai peubah pada habitat ditemukan ular sama dengan habitat tidak ditemukan ular

H1 : Nilai peubah pada habitat ditemukan ular berbeda dengan pada habitat tidak ditemukan ular

(52)

Analisis yang digunakan untuk data yang tidak tersebar normal adalah Uji Kolmogorov-Smirnov dengan program SPSS 19.0 (Santoso 2012). Hipotesis untuk melakukan pengujian pada habitat tangkap adalah:

Ho : Nilai peubah pada habitat ditemukan ular sama dengan habitat tidak ditemukan ular

H1 : Nilai peubah pada habitat ditemukan ular berbeda dengan pada habitat tidak ditemukan ular

Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05.

Hipotesis untuk melakukan pengujian pada habitat sarang adalah:

Ho : Nilai peubah pada sarang ditemukan ular sama dengan sarang tidak ditemukan ular

H1 : Nilai peubah pada sarang ditemukan ular berbeda dengan pada sarang tidak ditemukan ular

Kriteria penolakan Ho adalah apabila probabilitas < 0.05.

4.4.3. Panenan

Kelimpahan panenan pada tingkat penangkap dihitung berdasarkan jumlah ular yang tertangkap oleh seorang penangkap pada kurun waktu tertentu. Estimasi kelimpahan panenan (jumlah tangkapan) pada akhir tahun dihitung berdasarkan estimasi jumlah hari kerja dan produktifitas penangkap dengan menggunakan rumus:

a) ∑ hari kerja/th = 365-hari libur

b) Rata-rata ∑ tangkapan/hari = Ʃ � � � � � � � � Ʃℎ� � �� � �� � � � � � c) ∑ tangkapan/th = ∑ hari kerja/th X Rata-rata ∑ tangkapan/hari

Gambar

Gambar 2. Titik pengambilan data habitat.
Tabel 1  Matriks metode pengambilan dan analisis data
Gambar 3  Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah.
Gambar 5   Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Semiadi dan Sidik
+7

Referensi

Dokumen terkait

The 2015 IBBS survey for FSW, Waria, MSM, PWID, high risk males collected data from 11 selected provinces and 16 districts in Indonesia, selected based on their having high

H!K Siwas dengan S&amp;K, Satintelkam, Satreskrim, Stresnarkoba, Satbinmas, Satsabhara, Satlantas, Sattahti, Sitipol adalah berkoordinasi dalam rangka pengawasan

ICCTF telah menyeleksi 18 program yang akan didanai untuk periode 2016 hingga 2018 yang diklasifikasikan dalam 3 fokus area penanganan perubahan iklim yaitu program Mitigasi

Tujuan pembekuan ikan adalah menerapkan metode unggul guna mempertahankan sifat  – sifat mutu pada ikan dengan teknik penarikan panas secara efefktif dari ikan agar

Menurut Saputra (2001 ,hlm.1) “atle tik merupakan salah satu aktivits fisik yang dapat diperlombakan atau dipertandingkan dalam bentuk kegiatan jalan, lari, lempar

Tegangan maju akan terukur sebagai tegangan jatuh pada keluaran dioda yang terhubung pada saluran tambahan bagian atas, sedangkan arus listrik pada saluran

[r]

[r]