• Tidak ada hasil yang ditemukan

informasi dalam 24 jam tentang makanan yang dikonsumsi oleh seseorang.

Pengukuran menggunakan metode ini dengan cara menanyakan kepada

responden tentang banyaknya sisa makanan, kemudian responden menaksir sisa

makanan dengan menggunakan skala visual (Nuryati, 2008). Metode recall memiliki kelebihan antara lain murah, cepat dan jelas untuk menggambarkan masukan zat gizi perorangan juga tidak melibatkan penanganan tempat makanan. Kekurangan metode recall antara lain sangat tergantung pada daya ingat responden, tidak dapat digunakan pada anak-anak, ketepatan responden dalam mengestimasi porsi makanan yang dikonsumsi.

Metode taksiran visual. Salah satu cara yang dikembangkan untuk

menilai konsumsi makanan pasien adalah metode taksiran visual Comstock.

Pada metode ini sisa makanan diukur dengan cara menaksir secara visual banyaknya sisa makanan untuk setiap jenis hidangan. Hasil taksiran ini bisa dinyatakan dalam gram atau bentuk skor bila menggunakan skala pengukuran (Nuryati, 2008).

Evaluasi sisa makanan menggunakan metode ini melihat makanan tersisa di piring dan menilai jumlah yang tersisa, dan juga digambarkan skala 5 poin. Cara tafsiran visual yaitu dengan menggunakan skala pengukuran yang dikembangkan oleh Comstock yang dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut (Ratnaningrum, 2005).

1. Skala 0 : Dikonsumsi seluruhnya oleh pasien (habis dimakan) 2. Skala 1: tersisa ¼ porsi

3. Skala 2 : tersisa ½ porsi 4. Skala 3 : tersisa ¾ porsi

5. Skala 4 : hanya dikonsumsi sedikit (1/9 porsi) 6. Skala 5 : tidak dikonsumsi

Penilaian untuk skor diatas berlaku untuk setiap porsi masing-masing jenis makanan (makanan pokok, sayuran, lauk). Setelah menetapkan skor, kemudian skor tersebut dikonversikan ke dalam bentuk persen.

1. Skor 0 (0%): Semua makanan habis 2. Skor 1 (25%): 75% makanan dihabiskan 3. Skor 2 (50%): 50% makanan dihabiskan 4. Skor 3 (75%): 25% makanan dihabiskan 5. Skor 4 (95%): 5% makanan dihabiskan 6. Skor 5 (100%): Tidak dikonsumsi pasien

Menurut Comstock, metode tafsiran visual memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu mudah dilakukan, memerlukan waktu yang singkat, tidak memerlukan alat yang banyak dan rumit, menghemat biaya, dan dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya. Sedangkan kekurangannya yaitu diperlukan penaksir (estimator) yang terlatih, terampil, dan memerlukan kemampuan dalam menaksir (over estimate), metode ini efektif tetapi bisa menyebabkan ketidaktelitian (NHS, 2005). Masalah subjektifitas keandalan pengamat visual menjadi penting, namun metode ini telah diuji validitasnya dengan membandingkan dengan penimbangan sisa makanan dan memberikan hasil yang cukup baik (Williams and Walton, 2011).

Setelah itu hasilnya diasumsikan berdasarkan tafsiran visual Comstock dengan kategori (Sumiyati, 2008), seperti :

a. Bersisa, jika jumlah sisa makanan lebih dari 25%

b. Tidak bersisa, jika jumlah sisa makanan kurang dari atau sama dengan 25%

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Sisa Makanan

Banyaknya sisa makanan yang ditinggalkan pasien bukan didominasi oleh penyakit saja tetapi ada faktor risiko lain seperti jenis kelamin, resep diet yang dimodifikasi, lama rawat dan makan malam yang tidak memadai, sehingga instalasi gizi harus meningkatkan pelayanan di rumah sakit. Faktor utamanya adalah nafsu makan, tetapi ada faktor yang berasal dari luar pasien sendiri atau faktor eksternal dan faktor yang berasal dari dalam pasien atau faktor internal (Moehyi, 2014).

Faktor internal. Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari pasien itu sendiri. Faktor ini meliputi umur, jenis kelamin, kebiasaan makan, keadaan psikis, aktivitas fisik dan gangguan pencernaan.

Umur. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan,

semakin tua umur manusia maka kebutuhan energi dan zat gizi semakin sedikit.

Bagi orang yang dalam periode pertumbuhan yang cepat yaitu, pada masa bayi dan masa remaja memiliki peningkatan kebutuhan zat gizi. Pada usia dewasa zat gizi diperlukan untuk melakukan pekerjaan, penggantian jaringan tubuh yang rusak, meliputi perombakan dan pembentukan sel. Pada usia tua kebutuhan energi dan zat gizi hanya digunakan untuk pemeliharaan. Pada usia 65 tahun kebutuhan energi berkurang mencapai 30% dari usia remaja dan dewasa (Kemenkes RI, 2013). Semakin bertambahnya umur pasien maka nafsu makan berkurang.

Berkurangnya nafsu makan disebabkan karena indera pengecap yang sudah tidak fungsional seperti banyaknya gigi yang rusak.

Kepekaan indera seseorang terhadap bau dan rasa akan berkurang seiring dengan bertambahnya umur sehingga dapat mempengaruhi rendahnya asupan makan dan menimbulkan sisa makanan karena cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan. Berdasarkan penelitian Dewi (2015) di RS Djatiroto menyatakan bahwa umur terbanyak responden yang tidak menghabiskan makanan adalah 50-64 tahun. Umur pasien berhubungan dengan asupan makan pasien, umur 40-90 tahun mempunyai kemungkinan 0,4 kali lebih kecil dalam asupan makan pasien rawat inap dibandingkan dengan pasien 15-40 tahun (Almatsier, 2017).

Jenis kelamin. Ada kemungkinan bahwa jenis kelamin dapat

mempengaruhi terjadinya sisa makanan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan energi antara laki-laki dan perempuan yaitu kalori basal perempuan lebih rendah sekitar 5-10% dari kebutuhan kaori basal laki-laki. Perbedaan ini terlihat pada susunan tubuh dan aktivitas laki-laki lebih banyak menggunakan kerja otot daripada perempuan. Menurut hasil penelitian Djamaludin (2005), pasien

perempuan mengkonsumsi makanan nasi lebih sedikit dibanding pasien laki-laki.

Hal ini dikarenakan AKG pada perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki, sehingga kemampuan menghabiskan makanan lebih sedikit dengan laki-laki.

Kebiasaan makan. Kebiasaan makan menggambarkan kebiasaan makan dan prilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makan, kepercayaan tentang makanan,

distribusi makanan di antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan (Wirasmadi, 2015).

Kebiasaan makan adalah ekspresi setiap individu dalam memilih makanan yang akan membentuk pola perilaku makan.oleh karena itu, ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain.

Keadaan psikis. Perubahan lingkungan pada pasien yang dirawat di rumah

sakit seperti perubahan makanan dan hadirnya orang-orang baru, misalnya dokter, perawat dan paramedis lainnya membuat orang sakit dapat mengalami tekanan psikologis. Tekanan psikologis dapat ditunjukkan dengan rasa tidak senang, rasa takut karena sakit, ketidakbebasan bergerak yang mengakibatkan rasa putus asa.

Rasa putus asa bisa menimbulkan hilangnya nafsu makan, rasa mual dan sebagainya. Oleh karena itu, warna makanan, cara menyajikan dan alat makan harus dipilih dengan baik agar menimbulkan kesan menarik pada orang sakit sehingga makanan yang disajikan bisa habis. Jenis makanan yang diberikan juga mampu merubah persepsi pasien. Perubahan dari makanan cair ke lunak bisa dianggap pasien sebagai tanda penyakit yang diderita akan segera sembuh.

Petugas yang merawat harus bisa memberikan penjelasan untuk mengurangi tekanan psikis yang timbul baik dari pasien maupun keluarga pasien (Moehyi, 2014).

Aktivitas fisik. Aktivitas fisik berpengaruh terhadap kebutuhan gizi bagi

pasien. Aktifitas fisik pada orang normal berbeda tiap individu ada yang pekerjaan ringan, sedang ataupun berat. Tidak hanya pada orang normal, pada orang sakit, aktivitas fisik juga memiliki peranan dalam menetapkan kebutuhan energi. Dalam

perhitungan kebutuhan zat gizi, nilai faktor aktivitas pada orang sakit dibedakan menjadi dua yaitu istirahat di tempat tidur dan tidak terikat di tempat tidur (Almatsier, 2017).

Selain kaitannya dengan kebutuhan gizi, aktivitas fisik ini juga

mempengaruhi faktor psikis pasien. Pada pasien terjadi penurunan aktivitas fisik selama dirawat, rasa tidak senang, rasa takut karena sakit, ketidakbebasan bergerak adanya penyakit yang menimbulkan rasa putus asa. Manifestasi rasa putus asa ini berupa hilangnya nafsu makan dan rasa mual. Faktor ini membuat pasien terkadang tidak menghabiskan porsi makanan yang telah disajikan (Nuryati, 2008).

Gangguan pencernaan. Ketika ada gangguan dalam saluran pencernaan,

maka asupan makan menjadi terganggu dan memungkinkan pasien untuk tidak mampu mengkonsumsi lagi makanannya hingga menyebabkan terjadinya sisa makanan (Supariasa, 2013). Jenis penyakit berperan dalam terjadinya sisa makanan. Salah satu penyakit yang menyebabkan rendahnya konsumsi makanan adalah penyakit infeksi saluran pencernaan.

Faktor Eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar pasien. Faktor-faktor yang termasuk dalam faktor eksternal adalah

penampilan makanan, cita rasa makanan, variasi makanan, sikap petugas penyaji, jadwal penyajian dan makanan dari luar rumah sakit.

Penampilan makanan. Penampilan makanan memegang peranan penting dalam penyajian makanan. Jika penampilannya tidak menarik waktu disajikan

akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan penampilan makanan yaitu :

Warna makanan. Warna makanan adalah rupa hidangan yang disajikan

dan dapat memberikan penampilan lebih menarik terhadap makanan yang disajikan. Kombinasi warna adalah hal yang sangat diperlukan dan membantu dalam penerimaan suatu makanan dan secara tidak langsung dapat merangsang selera makan, dimana makanan yang penuh warna mempunyai daya tarik untuk dilihat, karena warna juga mempunyai dampak psikologis pada konsumen (Khan, 1987). Berdasarkan hasil penelitian Aritonang (2014), terdapat 1,5% pasien menyatakan tidak puas, 17,75% menyatakan kurang puas terhadap warna makanan.

Tekstur makanan. Tekstur makanan adalah derajat kekerasan, kepadatan

atau kekentalan. Cair, kenyal, dan keras merupakan karakteristik dari konsistensi.

Bermacam-macam tekstur dalam makanan lebih menarik daripada hanya satu macam tekstur dalam makanan lebih menarik daripada hanya satu macam tekstur (Spear dan Vaden, 1984). Makanan yang mempunyai tekstur padat atau kenyal akan memberikan rangsang yang lebih lambat terhadap indera kita (Moehyi, 2014).

Bentuk makanan. Bentuk makanan dapat juga digunakan untuk

menimbulkan ketertarikan dalam menu. Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Moehyi, 2014). Berdasarkan penelitian Aritonang (2014) menyatakan penilaian pasien terhadap bentuk makanan 13,64% pasien menyatakan kurang puas.

Porsi makanan. Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan

dan kebutuhan setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan makannya. Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan.

Porsi makanan juga berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan penampilan hidangan yang disajikan. Berdasarkan penelitian Aritonang (2014) sebesar 16,3%

pasien menyatakan kurang puas terhadap porsi makanan, terutama sayur yang porsinya terlalu sedikit, sementara nasi terlalu banyak, sehingga pasien tidak mampu menghabiskan.

Keempukan makanan. Keempukan adalah hal yang berkaitan dengan

struktur makanan yang dirasakan dalam mulut. Gambarannya meliputi gurih, krispi, berserat, halus, keras dan kenyal. Keempukan dan kerenyahan (krispi) ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan dan cara memasaknya (Moehyi, 2003).

Penyajian makanan. Penyajian makanan merupakan faktor terakhir dari

proses penyelenggaraan menu makanan. Meskipun makanan diolah dengan cita rasa yang tinggi bila dalam penyajiannya tidak dilakukan dengan baik, maka nilai makanan tersebut tidak akan berarti, karena makanan yang ditampilkan waktu disajikan akan merangsang indra penglihatan sehingga menimbulkan selera yang berkaitan dengan cita rasa (Moehyi, 2014). Penyajian makanan meliputi pemilihan alat, cara penyusunan makanan, dan penghiasan hidangan.

Berdasarkan penelitian Nuryati (2008). Penggunaan dan pemilihan alat makan yang tepat dalam penyusunan makanan akan mempengaruhi penampilan

makanan yang disajikan dan terbatasnya perlengkapan alat merupakan faktor penghambat bagi pasien untuk menghabiskan makanannya.

Cita rasa makanan. Rasa makanan lebih banyak melibatkan penginderaan

kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi kecapan utama yaitu asin, manis, asam, dan pahit. Mengkombinasikan berbagai rasa sangat diperlukan dalam menciptakan keunikan sebuah menu. Jenis diet, penampilan dan rasa makanan yang disajikan akan berdampak pada asupan makanan. Variasi makanan yang disajikan merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan rasa bosan.

Orang sakit akan merasa bosan apabila menu yang dihidangkan tidak menarik sehingga mengurangi nafsu makan. Akibatnya makanan yang dikonsumsi sedikit atau asupan zat gizi berkurang (Lisdiana, 2003). Menurut Moehyi (2014) rasa makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan dan

merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Adapun beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan yaitu :

Aroma makanan. Aroma Makanan adalah aroma yang disebarkan oleh

makanan yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga mampu membangkitkan selera. Aroma yang

dikeluarkan oleh makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan yang berbeda akan memberikan aroma yang berbeda pula (Moehyi, 2014).

Menurut penelitian Stanga et al (2001) pada dua rumah sakit di Swiss, pasien merasa bahwa suhu dan aroma makanan sangat penting.

Bumbu masakan. Berbagai macam rempah-rempah dapat digunakan

sebagai bumbu masakan untuk memberikan rasa pada makanan, misalnya cabai, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya. Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan dengan maksud untuk mendapatkan rasa yang enak dan khas dalam setiap pemasakan. Dalam setiap resep makanan sudah ditentukan jenis bumbu yang digunakan dan banyaknya masing-masing bumbu tersebut. Bau yang sedap dari berbagai bumbu yang digunakan dapat membangkitkan selera makan karena memberikan rasa makanan yang khas (Khan, 1987).

Tingkat kematangan. Pada masakan khas Indonesia, tingkat kematangan

belum mendapatkan perhatian karena umumnya makanan Indonesia harus

dimasak sampai benar-benar matang. Bila dibandingkan dengan Eropa yang telah memiliki perbedaan tingkat kematangan. Ada steak yang dimasak setengah matang, dan ada juga yang benar-benar matang. Tingkat kematangan adalah mentah atau matangnya hasil pemasakan pada setiap jenis bahan makanan yang dimasak dan makanan akan mempunyai tingkat kematangan sendiri-sendiri.

Tingkat kematangan suatu makanan itu tentu saja mempengaruhi cita rasa makanan.

Temperatur makanan. Suhu makanan pada waktu disajikan memegang

peranan penting dalam penentuan cita rasa makanan. Makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin akan sangat mengurangi sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa makanan. Makanan yang sebaiknya dihidangkan dalam keadaan panas terutama makanan yang dapat memancarkan aroma sedap seperti sop, soto, dan sate. Untuk menyajikan makanan itu harus dipilih tempat yang bertutup atau dapat

digunakan panci yang dilengkapi alat pemanas. Sebaliknya, makanan yang harus disajikan dalam keadaan dingin hendaknya dihidangkan dalam keadaan dingin (Moehyi, 2014).

Berdasarkan penelitian Nuraini (2016) menyatakan bahwa tidak puas terhadap temperatur makanan. Ada hubungan antara suhu makaan dengan sisa makanan menu sayur. Semakin tinggi suhu makanan akan semakin rendah sisa makanan. Untuk menjaga suatu makanan tetap hangat, tentunya harus difasilitasi dengan kereta makanan yang dilengkapi alat pemanas, sementara alat ini belum tersedia di Rumah Sakit tempat penelitiannya.

Tekstur, aroma, dan penampilan makanan bisa cepat membusuk ketika suhu yang digunakan tidak tepat saat penyajiannya. Semua makanan panas harus disajikan panas diatas 140°F dan semua makanan dingin harus disajikan dalam keadaan dingin dibawah 45°F. Suhu penyajian harus ditetapkan dan dipertahankan untuk semua bagian penyajian. Aturan dan prosedur yang jelas dibutuhkan untuk memeriksa kualitas suhu dengan termometer selama proses penyajian dan

sebelum disajikan kepada pasien (Kemenkes RI, 2016).

Variasi makanan. Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan

menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen/pasien dan kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Menu adalah kumpulan beberapa macam hidangan atau makanan yang disajikan untuk seseorang atau kelompok orang untuk setiap kali makan berupa hidangan pagi, hidangan siang, dan hidangan malam. Menu makanan meliputi variasi menu dan variasi bahan makanan. Menu yang disajikan kepada pasien haruslah bervariasi agar pasien

tidak bosan untuk mengkonsumsi makanan. Selain variasi menu variasi bahan makanan dalam sebuah menu dapat memberikan kesan yang menarik dan membangkitkan nafsu makan. Variasi menu adalah susunan golongan bahan makanan yang terdapat dalam satu hidangan berbeda pada tiap kali penyajian (Depkes RI, 2017)

Sikap petugas penyaji. Sikap petugas penyaji mempengaruhi faktor

psikologis pada pasien. Sikap petugas dalam menyajikan makanan, sangat diperlukan untuk meningkatkan nutrisi yang optimal bagi pasien rawat inap. Hal ini selain menguatkan program penyembuhan, juga mampu menciptakan

ligkungan yang menguatkan selera makan. Oleh karena itu menyajikan makanan berperan dalam terjasinya sisa makanan.

Jadwal atau ketepatan waktu penyajian. Makanan di rumah sakit harus

tepat waktu, tepat diet dan tepat jumlah. Waktu pembagian makanan yang tepat dengan jam makan pasien serta jarak waktu makan yang sesuai, turut berpengaruh terhadap timbulnya sisa makanan. Hal ini berkaitan dengan ketepatan petugas dalam menyajikan mekanan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.

Makanan yang terlambat dapat menurunkan selera makan pasien, sehingga dapat menimbulkan sisa makanan yang banyak.

Makanan dari luar rumah sakit. Makanan yang dimakan oleh pasien

yang berasal dari luar RS akan berpengaruh terhadap terjadinya sisa makanan.

Rasa lapar yang tidak segera diatasi pada pasien yang sedang dalam perawatan dan timbulnya rasa bosan karena mengkonsumsi makanan yang kurang bervariasi menyebabkan pasien mencari makanan tambahan dari luar RS atau jajan. Hal

iniah yang menyebabkan kemungkinan besar makanan yang disajikan kepada pasien tidak dihabiskan. Bila hal ini selalu terjadi maka makanan yang

diseenggarakan oleh pihak RS tidak dimakan sehingga terjadi sisa makanan (Moehyi, 2014).

Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit

Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada pasien. Hal ini termasuk pencatatan dan evaluasi dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Penyelenggaraan makanan rumah sakit dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi pasien yang membutuhkan. Keberhasilan suatu

penyelenggaraan makanan dapat dinilai dari ada tidaknya sisa makanan, sehingga sisa makanan dapat dipakai sebagai indikator untuk mengevaluasi kegiatan penyelenggaraan makanan rumah sakit.

Sasaran penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah konsumen atau pasien maupun karyawan. Pemberian makanan yang memenuhi gizi seimbang serta habis termakan merupakan salah satu cara untuk mempercepat penyembuhan dan memperpendek hari rawat inap (PGRS, 2013). Dalam penyelenggaraan makanan rumah sakit, standar masukan (input) meliputi biaya, tenaga, sarana dan prasarana, metode, peralatan. Sedangkan standar proses meliputi penyusunan anggaran belanja bahan makanan setahun, perencanaan menu, perencanaan

kebutuhan bahan makanan harian dan bulanan, pengadaan/pembelian, penerimaan dan penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan

makanan dan pendistribusian makanan. Sedangkan standar keluaran (output) adalah mutu makanan dan kepuasan konsumen.

PGRS adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien (Kemenkes RI, 2016).

Proses penyelenggaraan makanan rumah sakit meliputi : penetapan peraturan pemberian makanan rumah sakit, penyusunan standar makanan, perencanaan anggaran bahan makanan, perencanaan menu, perhitungan taksiran kebutuhan bahan makanan, perhitungan harga makanan, pengadaan bahan

makanan, pemesanan bahan makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, distribusi bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan bahan makanan dan distribusi makanan (Depkes RI, 2017).

Standar Umum Makanan Rumah Sakit

Makanan yang diberikan kepada pasien harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. Menurut Almatsier (2017) makanan orang sakit dibedakan dalam makanan biasa, makanan lunak, makanan saring, makanan cair.

Makanan biasa. Makanan biasa adalah makanan yang diberikan kepada pasien yang tidak memerlukan diet khusus berhubungan dengan penyakitnya. Susunan makanannya sama dengan makanan sehari-hari yang beraneka ragam, bervariasi dengan bentuk, tekstur, dan aroma yang normal.

Susunan makanan mengacu pada pola menu seimbang dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat. Makanan biasa diberikan kepada pasien yang berdasarkan penyakitnya tidak memerlukan makanan khusus (diet). Walaupun tidak ada pantangan secara khusus, makanan sebaiknya diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna dan tidak merangsang saluran cerna misalnya bumbu tidak terlalu banyak, tidak terlalu pedas atau asin. Contoh pasien yang mendapatkan jenis makanan biasa misalnya konjungtivis tanpa demam, penyakit kulit yang bukan alergi, low back pain, penyakit pada hidung telinga dan tenggorokan (THT) yang tidak memerlukan operasi. Tujuan diet makanan biasa adalah memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk mencegah dan mengurangi keruakan jaringan tubuh.

Tidak ada pantangan secara khusus tetapi makanan sebaiknya diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna. Standar porsi yang berlaku untuk makanan biasa dan khusus mengacu pada Buku Penuntun Diet tahun 2010 tetapi untuk standar porsi makanan biasa standar rumah sakit disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan rumah sakit. Nilai gizi makanan biasa pada Buku Penuntun Diet tahun 2017 adalah energi 2146 kalori, protein 76 gram, lemak 59 gram dan karbohidrat 331 gram. Pembagian bahan makanan sehari untuk makanan biasa dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1

Standar Porsi Makanan Biasa Menurut Penuntun Diet

Waktu Makan Bahan Makanan Penuntun Diet

Pagi Nasi 150 gram

Lauk hewani ( telur/penukar) 50 gram

Sayuran 50 gram

Minyak 5 gram

Snack pagi Kue -

Siang Nasi 250 gram

Lauk hewani (daging/penukar) 50 gram Lauk nabati (tempe/penukar) 50 gram

Sayuran 75 gram

Minyak 10 gram

Buah/penukar 100 gram

Snack sore Bubur kacang hijau (25 gram) 1 gelas

Sore Nasi 200 gram

Lauk hewani (daging/penukar) 50 gram Lauk nabati ( tahu/penukar) 50 gram

Sayuran 75 gram

Minyak 10 gram

Sumber: Peraturan Pemberian Makan Rumah Sakit (PPMRS) tahun 2014 Penuntun Diet tahun 2017

Makanan lunak. Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah dikunyah, ditelan, dan dicerna dibandingkan makanan biasa. Makanan lunak dapat langsung diberikan kepada pasien atau sebagai

Makanan lunak. Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah dikunyah, ditelan, dan dicerna dibandingkan makanan biasa. Makanan lunak dapat langsung diberikan kepada pasien atau sebagai

Dokumen terkait