SKRIPSI
Oleh
IZHANI ISMA ZAHARA NIM : 131000220
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
IZHANI ISMA ZAHARA NIM : 131000220
PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
VARIASI MAKANAN DI RSUD H.ABDUL MANAN SIMATUPANG
KISARAN” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, Desember 2018
Izhani Isma Zahara
TIM PENGUJI SKRIPSI
Ketua : Fitri Ardiani, SKM., M.P.H Anggota : 1. Ir. Etti Sudaryati, MKM, Ph.D
2. Prof. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si 3. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes
faktor, salah satunya adalah faktor eksternal. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran sisa makanan berdasarkan cita rasa, penampilan dan variasi makanan. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit H.Abdul Manan Simatupang Kisaran dengan pendekatan kuantitatif dan uji Cross Tabulation pada 55 pasien, menggunakan teknik Purposive Sample, analisis data dengan menggunakan distribusi frekuensi dan tabulasi silang. Pengumpulan data dengan wawancara langsung menggunakan kuesioner. Sisa makanan diukur berdasarkan hasil selisih antara penimbangan berat awal makanan dengan sisa makanan pasien dalam sehari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sisa makanan yang ditemukan di rumah sakit tersebut rata rata sebanyak 30,92% atau 216,46 gram dan termasuk banyak karena melebihi angka yang ditetapkan oleh PGRS yaitu 20%. Lauk nabati merupakan jenis makanan yang memiliki sisa makanan paling banyak yaitu 62,3%, sedangkan yang memiliki sisa makanan paling sedikit yaitu snack dan buah. Sebanyak 15 pasien menilai rasa makanan yang disajikan kurang baik dan 11 pasien menyatakan penampilan makanan masih kurang, serta 21 pasien menyatakan variasi makanan kurang. Dari analisis tabulasi silang antara cita rasa makanan , penampilan makanan dan variasi makanan dengan sisa
makanan didapatkan hasil bahwa pasien yang memilih kategori kurang, cukup dan baik pada aspek yang telah diberikan ternyata masih memiliki sisa makanan banyak. Saran dalam penelitian ini kepada pihak rumah sakit dan instalasi gizi untuk meningkatkan penampilan makanan menjadi lebih menarik dan perlu dilakukan pelatihan kembali terhadap ahli gizi dan juru masak pada rumah sakit tersebut sehingga dapat meningkatkan kualitas makanan yang disajikan.
Kata kunci : Sisa Makanan, Variasi Makanan, Penampilan Makanan, Cita Rasa Makanan
factors. This research is a descriptive study that aims to know the description of leftover food based on taste, appearance and variety of food. This research was conducted at H.Abdul Manan Simatupang Kisaran Hospital with a quantitative approach and cross sectional in 55 patients, using purposive sample techniques, analyzing data using frequency distribution and cross tabulation. Data collection by direct interviews using questionnaires. The leftover food is measured based on the difference between weighing the early weight of the food and the leftover food for the patient in a day. The results showed that the leftover food found in the hospital averaged as much as 30.92% or 216.46 grams and included a lot because it exceeded the rate set by the hospital nutrition services of 20%.
Vegetable side dish is the type of food that has the most food scraps, which is 62.3%, while those that have the least food scraps are snacks and fruit. A total of 15 patients assessed the taste of the food served was poor and 11 patients stated that the appearance of food was still lacking, and 21 patients stated that the variation in food was lacking. From the cross tabulation analysis between food taste, food appearance and food variation with the rest of the food, it was found that patients who chose the less category, enough and good on the aspects that were given turned out to still have a lot of leftovers. Suggestions in this research to the hospital and nutrition installation to improve the appearance of food become more interesting and it is necessary to do re-training of nutritionists and kitchener at the hospital so that it can improve the quality of the food served.
Keyword: Leftover Food, Food Variations, Food Appearance, Food Taste
Makanan Pasien Berdasarkan Cita Rasa, Penampilan dan Variasi Makanan di Rumah Sakit Umum Daerah H.Abdul Manan Simatupang Kisaran” yang merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Banyak pengalaman yang diperoleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan semua itu berkat bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si., selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Fitri Ardiani, SKM., MPH., selaku Dosen Pembimbing dan juga Ketua Penguji yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran, masukan, ilmu serta motivasi dalam penulisan skripsi ini.
5. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan, bahan, referensi dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.
dan masukan yang diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini.
8. Drs. Jemadi, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala bimbingan yang diberikan
9. Seluruh dosen dan staff di FKM USU yang telah memberikan ilmu dan membantu penulis menyelesaikan kepentingan administrasi selama masa perkuliahan.
10. dr. Edi Iskandar, selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah H.Abdul Manan Simatupang Kisaran yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis.
11. Meifrida Panjaitan selaku Kepala Instalasi Gizi dan seluruh staf di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran yang telah memberikan data-data dan arahan kepada penulis.
12. Kepada orang tua penulis, Aysan Surya dan Effi Zahara yang telah membesarkan penulis, mendidik, membimbing, mendoakan, memberi dukungan dan motivasi serta memberikan kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis.
13. Saudara-saudari penulis, Tenny Purwanty, Wiwit Dwi Astuti, Taruna Dasa Satria, Jaka Surya Laksana, Fadh Akbar Prawiranegara dan keluarga besar yang senantiasa memberikan kasih sayang, semangat, perhatian, motivasi, serta doa yang tiada henti kepada penulis.
dukungan dan semangat luar biasa agar skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
15. Teman-teman PBL di Desa Lubuk Saban, Eva Simorangkir, Anita
M.Magdalena, Nurholijah, Dwi Efriyanti, Riri Novia Sumanti, Agnes Purba dan Dani Damanik. Teman-teman LKP di Badan Ketahanan Pangan, Sarah Mutia dan Dinda Dwi Khairani.
16. Teman-teman tidak terduga, Dina Wulan Suci, Rika Siregar, Ruslan Zuhair, Ulfa, Anggi, Huda, Cantika, Pua, Adis, dan Vella yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan dukungan, bantuan dan motivasinya.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat terutama dalam kemajuan ilmu pengetahuan.
Medan, Desember 2018
Izhani Isma Zahara
Halaman Pengesahan ii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xi
Daftar Gambar xiii
Daftar Lampiran xiv
Riwayat Hidup xv
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 8 Tujuan Penelitian 8 Tujuan Umum 8 Tujuan Khusus 9 Manfaat Penelitian 9 Tinjauan Pustaka 10
Sisa Makanan 10
Penilaian Mutu Makanan 12
Faktor yang Mempengaruhi Sisa Makanan 16
Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit 26
Standar Umum Makanan Rumah Sakit 27
Asupan Makanan Pasien 30
Landasan Teori 32
Kerangka Konsep 33
Metode Penelitian 35
Jenis Penelitian 35
Lokasi dan Waktu Penelitian 35
Populasi dan Sampel 35
Variabel dan Defenisi Operasional 38
Metode Pengumpulan Data 42
Metode Pengukuran 42
Metode Analisis Data 46
Hasil Penelitian 48
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 48
Instalasi Gizi RSUD H.Abdul Manan Simatupang 49
Gambaran Penampilan Makanan 54
Warna Makanan 55
Bentuk Makanan 56
Porsi Makanan 56
Cara Penyajian 57
Gambaran Variasi Makanan 58
Variasi Menu 58
Variasi Bahan Makanan 59
Gambaran Sisa Makanan 60
Sisa Makanan Pasien Menurut Waktu Makan 60
Sisa Makanan Pasien Menurut Jenis Makanan 62
Analisis Bivariat 63
Tabulasi Silang Cita Rasa Makanan dengan Sisa Makanan 63
Tabulasi Silang Penampilan dengan Sisa Makanan 63
Tabulasi Silang Makanan dengan Sisa Makanan 64
Pembahasan 65
Analisis Univariat 65
Karakteristik Responden 65
Sisa Makanan 66
Cita Rasa Makanan 67
Penampilan Makanan 70
Variasi Makanan 73
Analisis Bivariat 75
Tabulasi Silang 75
Kesimpulan dan Saran 78
Kesimpulan 78
Saran 78
Daftar Pustaka 80 Daftar Lampiran
2. Karakteristik Responden 51
3. Distribusi Cita Rasa Makanan 52
4. Distribusi Penilaian Aroma Makanan 52 5. Distribusi Penilaian Tingkat Kematangan Makanan 53 6. Distribusi Penilaian Tekstur Makanan 54 7. Distribusi Penilaian Suhu Makanan 54 8. Distribusi Penilaian Penampilan Makanan 55 9. Distribusi Penilaian Warna Makanan 56 10. Distribusi Penilaian Bentuk Makanan 56 11. Distribusi Penilaian Porsi Makanan 57 12. Distribusi Penilaian Penyajian Makanan 57 13. Distribusi Penilaian Variasi Makanan 58 14. Distribusi Penilaian Variasi Menu Makanan 59 15. Distribusi Penilaian Variasi Bahan Makanan 59
16. Distribusi Sisa Makanan Pagi 60
17. Distribusi Sisa Makanan Siang 61
18. Distribusi Sisa Makanan Malam 61
19. Distribusi Sisa Makanan 61
20. Distribusi Sisa Makanan Menurut Jenis Makanan 62 21. Tabulasi Silang Antara Cita Rasa dengan Sisa Makanan 63
2. Kerangka Konsep Penelitian 33
3. Defenisi Operasional 37
2. Kuesioner Penelitian 85
3. Form Penimbangan Makanan 88
4. Master Data 89
5. Output SPSS 97
6. Siklus Menu 10 Hari 104
7. Surat Selesai Penelitian 109
dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Aysan Surya dan Ibu Effi Zahara.
Pendidikan formal dimulai di TK Diponegoro Kisaran tahun 2000.
Pendidikan sekolah dasar di SD Swasta Diponegoro Kisaran tahun 2001-2007, sekolah menegah pertama di SMP Swasta Diponegoro Kisaran tahun 2007-2010.
Sekolah menengah atas di SMAN 3 Kisaran tahun 2010-2013, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Medan, Desember 2018
Izhani Isma Zahara
Pendahuluan
Latar Belakang
Masalah gizi pada berbagai keadaan sakit secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses penyembuhan, karena itu harus diperhatikan secara individual. Khususnya di rumah sakit, penyelenggaraan makanan
seharusnya dilakukan secara optimal dan sesuai dengan mutu pelayanan standar kesehatan, namun dalam prosesnya asuhan nutrisi seringkali diabaikan, padahal keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Semua ini memerlukan pelayanan gizi yang bermutu untuk mepercepat penyembuhan, memperpendek hari rawat pasien, dan mempertahankan status gizi yang optimal, sehingga tidak terjadi kurang gizi.
Penyelenggaraan makanan merupakan salah satu dari empat kegiatan pokok pelayanan gizi rumah sakit. Tujuan utama dari penyelenggaraan makanan adalah untuk menyediakan makanan yang berkualitas sesuai kebutuhan gizi, biaya, aman, dan dapat diterima oleh konsumen guna mencapai status gizi yang optimal (Pelayanan Gizi Rumah Sakit [PGRS], 2013). Juga membantu dan mempercepat proses penyembuhan, yang berarti pula memperpendek lama hari rawat sehingga dapat menghemat biaya pengobatan.
Penyelenggaraan makanan terutama makanan di rumah sakit harus optimal dan sesuai dengan mutu pelayanan standar kesehatan serta indikasi penyakit pasien. Penyelenggaraan makanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan (tidak saniter dan higienis) selain memperpanjang proses perawatan, juga dapat
(infeksi yang didapatkan di rumah sakit), diantaranya dapat melalui makanan.
Selain timbulnya infeksi nosokomial, penyelenggaraan makanan di rumah sakit yang tidak memenuhi standar kesehatan (tidak higienis) juga dapat menyebabkan keracunan makanan.
Malnutrisi di rumah sakit merupakan hal penting yang seringkali
terlewatkan pada penanganan pasien. Prevalensi yang sangat tinggi, komplikasi yang bervariasi, tingginya mortalitas dan biaya yang harus ditanggung akibat malnutrisi mengharuskan penanganan yang bersifat multidisiplin dan terintegrasi pada pasien dengan malnutrisi atau berisiko malnutrisi. Kendala yang dihadapi pada penatalaksanaan pasien malnutrisi di rumah sakit adalah belum tersedianya protokol atau kurangnya komunikasi antar pengelola pasien baik dokter spesialis gizi, ahli gizi, maupun perawat.
Hasil berbagai penelitian yang dilakukan di negara maju maupun
berkembang, ditemukan angka prevalensi malnutrisi di rumah sakit cukup tinggi.
Penelitian di Eropa tahun 2009 menemukan bahwa setengah dari pasien di RS berpotensi atau bahkan telah mengalami kekurangan gizi. Pada Hospital
Nutrition State of the Art Summit tahun 2011 diungkapkan bahwa ada 50% pasien
rumah sakit di seluruh dunia yang mengalami kekurangan gizi. Di Korea Selatan angka malnutrisi pada pasien mencapai 45% pada tahun 2003, di Denmark 38,9%, di negara lain seperti Amerika dan Inggris angkanya antara 40-50%. Indonesia sendiri angka malnutrisi mencapai 30-50% (Fresenius Kabi Advance Nutrition Corse (FRANC). Studi di Indonesia yang dilakukan di Jakarta, menghasilkan data
69%-nya mengalami penurunan status gizi selama rawat inap di rumah sakit (Mukhlis, 2017). Tingginya prevalensi malnutrisi di rumah sakit saat ini masih dihubungkan dengan ketidakmampuan atau kurangnya kesadaran dari pihak rumah sakit dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah malnutrisi di rumah sakit yang dapat memberi ancaman terhadap peningkatan angka kesakitan, kematian serta biaya pengobatan maupun perawatan. Fungsi organ yang terganggu akan lebih memburuk dengan adanya penyakit dan kekurangan gizi sehingga memerlukan terapi gizi untuk membantu penyembuhannya
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI], 2013).
Peranan makanan dalam penyembuhan penyakit sama pentingnya dengan penggunaan obat. Bahkan penggunaan makanan memiliki peran dalam jangka yang lebih panjang. Makanan yang diberikan kepada pasien rumah sakit haruslah disesuaikan dengan penyakitnya. Berdasarkan konsistensinya makanan yang paling umum diberikan kepada orang sakit yang dirawat dirumah sakit adalah makanan biasa dimana susunan makanan yang dipilih tidak berbeda dengan makanan orang sehat. Modifikasi yang paling ringan hanya dalam hal penggunaan bumbu-bumbu, karena dalam keadaan sakit, pasien tidak boleh makan makanan yang rasanya pedas atau zat-zat yang merangsang saluran perncernaan atau yang dapat menyebabkan diare (Moehyi, 2014).
Salah satu indikator standar pelayanan minimal gizi rumah sakit adalah persentase makanan yang tidak habis dikonsumsi dan dibuang sebagai sampah (sisa makanan) (Almatsier, 2017). Pencatatan sisa makanan bisa digunakan
indikator keberhasilan pelayanan gizi. Sisa makanan dalam hal ini merupakan jumlah makanan yang tidak habis dikonsumsi setelah makanan disajikan. Sisa makanan dikatakan tinggi jika seseorang meninggalkan sisa makanan lebih dari 25%. Menurut Asosiasi Dietisien Indonesia (2005), sisa makanan adalah jumlah makanan yang tidak dimakan pasien yang disajikan oleh rumah sakit menurut jenis makanannya. Bila jumlahnya tinggi dapat menyebabkan tingginya biaya yang terbuang yang akan mengakibatkan anggaran gizi yang kurang efisien dan merugi. Penelitian Wirasmadi (2015) mengatakan bahwa rata-rata biaya makan terbuang sehari sebesar Rp. 2.939 per pasien. Biaya rata-rata sisa makanan yang lebih banyak ditemukan pada penelitian Irawati (2009) di RSJ Madani Palu pada pasien skizofrenia sebesar Rp. 1.529,333 per hari.
Sisa makanan adalah berat makanan di piring yang tidak dihabiskan atau dibuang oleh seseorang yang disajikan dalam persentase. Sisa makanan
merupakan salah satu dari berbagai hal yang ada di rumah sakit yang harus diperhatikan. Jika sisa makanan masih dibiarkan, maka dalam jangka waktu yang lama akan mempengaruhi status gizi pasien yang kemudian menimbulkan
terjadinya malnutrisi. Hal ini kemudian akan berdampak pada lamanya masa perawatan di rumah sakit serta meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien yang berarti pula meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan. Menurut Hayes dan Gibson (2003) yang dikutip oleh Sembiring (2015) salah satu yang mempengaruhi lamanya hari perawatan yaitu intake makanan selama dirawat, dimana
penyembuhan pasien yang dirawat berkaitan dengan status gizi yang didapat dari
mengevaluasi efektifitas program penyuluhan gizi, penyelenggaraan dan pelayanan dan pelayanan makanan, serta kecukupan konsumsi makanan pada kelompok atau perorangan.
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya sisa makanan. Sisa makanan terjadi bukan hanya karena nafsu makan yang ada dalam diri seseorang, tetapi ada faktor lain yang menyebabkan terjadinya sisa makanan yaitu faktor internal dan eksternal (Moehyi, 2014). Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang meliputi usia, jenis penyakit, jenis kelamin, lama perawatan, nafsu makan, kebiasaan makan, keadaan psikis, aktivitas fisik, gangguan pencernaan, dan konsumsi obat. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang meliputi penampilan makanan yang dapat diamati dari warna, bentuk, konsistensi, besar porsi, dan rasa makanan dilihat dari aroma, bumbu, keempukan, tingkat kematangan, dan suhu makanan, termasuk juga sikap petugas ruangan, jadwal makan, suasana lingkungan tempat perawatan, variasi menu, mutu makanan, dan makanan dari luar rumah sakit (Almatsier, 2017). Faktor lain yang menentukan bagaimana seseorang memilih makanan yaitu kesenangan dan ketidaksenangan, kebiasaan, daya beli serta ketersediaan makanan, kepercayaan dan ketakhayulan, faktor agama serta
psikologis dan yang paling akhir dan sering tidak dianggap penting pertimbangan gizi dan kesehatan (Hartono, 2000). Sedangkan menurut Djamaluddin (2005) jenis kelamin, tingkat pendidikan, kelompok umur dan cita rasa pasien juga
mempengaruhi seseorang dalam memilih makanan yang dikonsumsi.
Banjarmasin rata-rata sisa makanan pasien bersisa banyak (>25%) pada jenis makanan lauk nabati yaitu sebesar (55,6%), lauk hewani dan buah sebesar (51,1%). Penelitian Sembiring (2015) di Rumah Sakit Pirngadi Medan
menunjukkan bahwa rata-rata sisa makanan pasien adalah sebanyak 32,92%. Sisa makanan menurut waktu makan yang masuk dalam kategori banyak terjadi pada jam makan malam (38,6%). Sisa makanan menurut jenis makanan dalam kategori banyak yaitu sisa makanan sayuran (78,1%). Penelitian Rahmawati dkk (2012) melaporkan bahwa masih terdapat sisa makanan di bangsal kelas III RSUD Salatiga yaitu sisa nasi 43,86%, sayur 40%, lauk nabati 34,74% dan lauk hewani 28,41%. Penulis juga melakukan observasi selama tiga hari dan menemukan bahwa sisa makanan pasien masih tinggi, yaitu bubur 50% dan sayur 75% pada waktu makan pagi, sedangkan Standar Pelayanan Minimal manajemen di Instalasi Gizi, sisa makanan pasien yang ditetapkan adalah 25%. Penelitian Aristi (2010) di RSU Kabupaten Tangerang 83 orang (58,5%) pasien yang meninggalkan sisa makanan banyak, dan 66 orang (46,5%) yang meninggalkan makanan sedikit, dan terdapat hubungan yang bermakna antara penampilan makanan, rasa makanan, kebiasaan makan, konsumsi makanan dari luar rumah sakit, dan hari rawat dengan terjadinya sisa makanan. Demikian juga dengan hasil penelitian Kurniawati (2016) bahwa 50,8% sampel menyatatakan menu lapas tidak bervariasi, lebih dari separuh sampel menyatakan penampilan makanan menarik dan makanan di lapas memiliki rasa yang enak dan hampir seluruh narapidana memiliki banyak sisa makanan (86,2%).
Kisaran yang dilakukan pada pasien di berbagai ruangan dan juga berbagai jenis diet makanan yang diamati secara visual selama 3 hari, diperkirakan 87,5% pasien menyisakan makanannya dan hasil wawancara kepada beberapa beberapa pasien rawat inap menyatakan makanan yang disajikan kurang enak, sehingga pasien tersebut tidak menghabiskan makanan yang disajikan. Dari 16 orang pasien yang diwawancara, hanya dua orang yang terlihat menghabiskan makanannya, sebagian lain menyisakan makanan sekitar 25%-75%, bahkan ditemukan satu orang yang sama sekali tidak memakan makanannya. Beberapa pasien bersalin mengatakan mereka tidak memakan ikan yang disajikan karena takut merasa gatal di area luka jahitan bekas melahirkan, padahal berdasarkan penelitian ibu yang baru
melahirkan justru membutuhkan protein tinggi untuk membantu proses perawatan luka setelah melahirkan. Bahkan ada pasien yang lebih memilih akses makanan dari luar, baik dari rumah maupun dari warung. Pada pasien penyakit DM ditemukan bahwa pasien tidak memakan makanan yang disediakan rumah sakit tetapi makan makanan yang dibawa pihak keluarga dari rumah dengan alasan makanan rumah sakit tidak enak. Sebagian pasien mengatakan bahwa mereka tidak selera makan karena sedang sakit, padahal pemenuhan nutrisi penting untuk kesembuhan dan jatah makan pasien tersebut seharusnya dihabiskan.
Penilaian cita rasa makanan di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran oleh pasien dilakukan melalui wawancara terhadap beberapa pasien yang dipilih secara acak pada setiap ruang rawat inap. Hasil dari penilaian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar menyatakan makanan yang disediakan untuk
hangat, waktu penyajian sesuai jam makan. Namun masih ditemukan beberapa aspek yang belum memuaskan seperti : variasi buah yang kurang dalam sehari, rasa olahan lauk hewani serta kematangan nasi.
Pengelolaan makanan pasien di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran belum pernah diteliti, khususnya yang terkait dengan sisa makanan pasien peneliti menemukan masih adanya sisa makanan dalam jumlah yang besar,
sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian atau kajian terhadap makanan sisa pasien berdasarkan cita rasa, penampilan dan variasi makanan.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dan juga survei pendahuluan di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran yang diperkirakan bahwa 87,5%
pasien menyisakan makanannya, mengingat pentingnya makanan bagi
kesembuhan pasien maka peneliti tertarik untuk mengetahui sisa makanan pasien berdasarkan cita rasa, penampilan, dan variasi makanan di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sisa makanan pasien berdasarkan cita rasa, penampilan, dan variasi makanan di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran.
1. Untuk mengetahui gambaran sisa makanan pada pasien rawat inap
2. Untuk mengetahui gambaran cita rasa makanan berdasarkan persepsi pasien dalam aspek aroma, kematangan, tekstur dan suhu.
3. Untuk mengetahui gambaran penampilan makanan berdasarkan persepsi pasien dalam aspek warna, bentuk, porsi dan cara penyajian.
4. Untuk mengetahui variasi makanan pasien dalam aspek variasi menu dan variasi bahan makanan.
Manfaat Penelitian
Bagi rumah sakit. Sebagai bahan masukan, informasi dan bahan evaluasi terhadap penyelenggaraan makanan bagi RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran dalam usaha untuk perbaikan dan peningkatan pelayanan makanan di rumah sakit, serta masukan kepada petugas instalasi gizi dalam meningkatkan pelayanan makanan pasien.
Bagi institusi pendidikan. Memberikan masukan dan referensi ilmu yang berguna sebagai bahan pembelajaran dan memperkaya ilmu pengetahuan dari hasil penelitian khususnya mengenai sisa makanan di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran.
Tinjauan Pustaka
Sisa Makanan
Sisa makanan adalah jumlah makanan yang tidak habis dikonsumsi setelah makanan disajikan. Menurut Komalawati, Dewi dkk (2005) sisa makanan adalah volume atau persentase makanan yang tidak habis termakan dan dibuang sebagai sampah dan dapat digunakan untuk mengukur efektivitas menu. Menurut Asosiasi Dietisien Indonesia (2005) sisa makanan adalah jumlah makanan yang tidak dimakan oleh pasien dari makanan yang disajikan oleh rumah sakit menurut jenis makanannya. Keberhasilan suatu pelayanan gizi di ruang rawat inap dapat
dievaluasi dengan pengamatan sisa makanan yang tidak dikonsumsi setelah makanan disajikan (Almatsier, 2017).
Sisa makanan dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Waste yaitu bahan makanan yang hilang karena tidak dapat diperoleh atau diolah atau tercecer.
2) Plate waste yaitu makanan yang disajikan kepada pasien, tetapi meninggalkan sisa di piring karena tidak habis dikonsumsi.
Pada penelitian ini, sisa makanan yang dimaksud adalah sisa makanan di piring (plate waste) karena berhubungan langsung dengan pasien sehingga dapat mengetahui dengan cepat penerimaan makanan pasien di rumah sakit.
Sisa makanan dapat diketahui dengan menghitung selisih berat makanan yang disajikan dengan berat makanan yang dihabiskan lalu dibagi berat makanan
yang disajikan dan diperlihatkan dalam persentase. Oleh karena itu sisa makanan dapat dirumuskan :
% sisa makanan = Berat sisa makanan x 100%
Berat makanan yang disajikan
Sisa makanan yang kurang dari 20% menjadi indikator keberhasilan pelayanan gizi di rumah sakit di Indonesia (Kemenkes RI, 2016). Sedangkan menurut (Reangtyas, 2004) yang dikutip oleh Sembiring (2015) mengatakan bahwa sisa makanan dikatakan tinggi atau banyak jika pasien meninggalkan makanan lebih dari 25% dan dalam waktu yang lama akan menyebabkan defisiensi zat-zat gizi. Sisa makanan merupakan dampak dari sistem pelayanan gizi di rumah sakit sehingga masalah terdapatnya sisa makanan tidak dapat diabaikan karena bila masalah tersebut diperhitungkan menjadi rupiah maka akan mengakibatkan suatu pemborosan anggaran makanan (Sumiati, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Haerani (2014) di RSUP Dr.Hasan Sadikin Bandung didapatkan informasi bahwa rata-rata sisa makanan pasien dewasa sebesar 28,04% dengan rincian sisa makanan biasa 13,09%.
Evaluasi sisa makanan. Sisa makanan merupakan suatu dampak dari sistem pelayanan gizi rumah sakit. Hal ini merupakan suatau implementasi dari pelayanan gizi dan aspek perilaku pasien. Banyaknya sisa makanan dalam piring pasien mengakibatkan kurangnya asupan gizi selama pasien dirawat di rumah sakit. Penilaian/evaluasi sisa makanan secara umum didefenisikan
sebagai suatu proses menilai jumlah/kuantitas porsi makanan yang tidak dihabiskan dari yang sudah disediakan oleh penyelenggaran makanan.
Penilaian Mutu Pelayanan Makanan
Penilaian mutu pelayanan makanan dapat dilakukan melalui evaluasi secara menyeluruh dari kegiatan penyelenggaraan makanan mulai dari perencanaan menu sampai dengan produk makanan yang dihasilkan sampai kepada pasien. Standar mutu makanan terdiri dari dua aspek utama yaitu aspek penampilan makanan dan rasa makanan. Penampilan makanan terdiri dari warna makanan, bentuk makanan, besar porsi dan cara menyajikan makanan.
Rasa makanan dipengaruhi oleh suhu dari setiap jenis hidangan yang disajikan, bumbu yang digunakan, aroma masakan, keempukan atau kerenyahan serta tingkat kematangan. Dalam penyajian makanan, penampilan dan rasa makanan harus diperhatikan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kesan yang
menarik bagi pasien untuk dapat menghabiskan makanan yang disajikan (Moehyi, 2014). Penilaian mutu makanan dapat dilakukan dengan mencatat jumlah sisa makanan yang tidak dikonsumsi (Kemenkes RI, 2016).
Menurut Kepmenkes no. 129/Menkes/SK/II/2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, indikator sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien kurang dari atau sama dengan 20%. Sisa makanan yang kurang atau sama dengan 20% menjadi indikator keberhasilan pelayanan gizi di setiap rumah sakit di Indonesia (Kemenkes RI, 2016).
Penilaian/evaluasi sisa makanan secara umum didefenisikan sebagai suatu proses menilai jumlah/kuantitas dari porsi makanan yang sudah
disediakan oleh penyelenggara makanan yang tidak dihabiskan. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai sisa makanan yaitu metode
penimbangan, metode recall dan metode taksiran visual.
Metode pengukuran sisa makanan. Metode pengukuran sisa makanan yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan dilakukannya menilai sisa makanan. Ada tiga jenis metode yang dapat digunakan menurut Connors dan Rozell (2004), yaitu :
Metode penimbangan. Metode ini digunakan dengan tujuan
mengetahui dengan akurat bagaimana intake zat gizi dari seseorang. Metode ini digunakan dengan cara mengukur/menimbang sisa makanan setiap jenis
hidangan atau mengukur total sisa makanan pada individu atau kelompok.
Menimbang langsung sisa makanan yang tertinggal di piring adalah metode yang paling akurat. Namun metode ini mempunyai kelemahan yaitu
memerlukan waktu yang banyak, peralatan khusus, kerjasama yang baik dengan responden, dan petugas yang terlatih. Pada metode penimbangan, petugas diharuskan untuk menimbang makanan yang dikonsumsi oleh subyek selama waktu tertentu.
Recall 24 jam. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan
informasi dalam 24 jam tentang makanan yang dikonsumsi oleh seseorang.
Pengukuran menggunakan metode ini dengan cara menanyakan kepada
responden tentang banyaknya sisa makanan, kemudian responden menaksir sisa
makanan dengan menggunakan skala visual (Nuryati, 2008). Metode recall memiliki kelebihan antara lain murah, cepat dan jelas untuk menggambarkan masukan zat gizi perorangan juga tidak melibatkan penanganan tempat makanan. Kekurangan metode recall antara lain sangat tergantung pada daya ingat responden, tidak dapat digunakan pada anak-anak, ketepatan responden dalam mengestimasi porsi makanan yang dikonsumsi.
Metode taksiran visual. Salah satu cara yang dikembangkan untuk
menilai konsumsi makanan pasien adalah metode taksiran visual Comstock.
Pada metode ini sisa makanan diukur dengan cara menaksir secara visual banyaknya sisa makanan untuk setiap jenis hidangan. Hasil taksiran ini bisa dinyatakan dalam gram atau bentuk skor bila menggunakan skala pengukuran (Nuryati, 2008).
Evaluasi sisa makanan menggunakan metode ini melihat makanan tersisa di piring dan menilai jumlah yang tersisa, dan juga digambarkan skala 5 poin. Cara tafsiran visual yaitu dengan menggunakan skala pengukuran yang dikembangkan oleh Comstock yang dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut (Ratnaningrum, 2005).
1. Skala 0 : Dikonsumsi seluruhnya oleh pasien (habis dimakan) 2. Skala 1: tersisa ¼ porsi
3. Skala 2 : tersisa ½ porsi 4. Skala 3 : tersisa ¾ porsi
5. Skala 4 : hanya dikonsumsi sedikit (1/9 porsi) 6. Skala 5 : tidak dikonsumsi
Penilaian untuk skor diatas berlaku untuk setiap porsi masing-masing jenis makanan (makanan pokok, sayuran, lauk). Setelah menetapkan skor, kemudian skor tersebut dikonversikan ke dalam bentuk persen.
1. Skor 0 (0%): Semua makanan habis 2. Skor 1 (25%): 75% makanan dihabiskan 3. Skor 2 (50%): 50% makanan dihabiskan 4. Skor 3 (75%): 25% makanan dihabiskan 5. Skor 4 (95%): 5% makanan dihabiskan 6. Skor 5 (100%): Tidak dikonsumsi pasien
Menurut Comstock, metode tafsiran visual memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu mudah dilakukan, memerlukan waktu yang singkat, tidak memerlukan alat yang banyak dan rumit, menghemat biaya, dan dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya. Sedangkan kekurangannya yaitu diperlukan penaksir (estimator) yang terlatih, terampil, dan memerlukan kemampuan dalam menaksir (over estimate), metode ini efektif tetapi bisa menyebabkan ketidaktelitian (NHS, 2005). Masalah subjektifitas keandalan pengamat visual menjadi penting, namun metode ini telah diuji validitasnya dengan membandingkan dengan penimbangan sisa makanan dan memberikan hasil yang cukup baik (Williams and Walton, 2011).
Setelah itu hasilnya diasumsikan berdasarkan tafsiran visual Comstock dengan kategori (Sumiyati, 2008), seperti :
a. Bersisa, jika jumlah sisa makanan lebih dari 25%
b. Tidak bersisa, jika jumlah sisa makanan kurang dari atau sama dengan 25%
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Sisa Makanan
Banyaknya sisa makanan yang ditinggalkan pasien bukan didominasi oleh penyakit saja tetapi ada faktor risiko lain seperti jenis kelamin, resep diet yang dimodifikasi, lama rawat dan makan malam yang tidak memadai, sehingga instalasi gizi harus meningkatkan pelayanan di rumah sakit. Faktor utamanya adalah nafsu makan, tetapi ada faktor yang berasal dari luar pasien sendiri atau faktor eksternal dan faktor yang berasal dari dalam pasien atau faktor internal (Moehyi, 2014).
Faktor internal. Faktor ini merupakan faktor yang berasal dari pasien itu sendiri. Faktor ini meliputi umur, jenis kelamin, kebiasaan makan, keadaan psikis, aktivitas fisik dan gangguan pencernaan.
Umur. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan,
semakin tua umur manusia maka kebutuhan energi dan zat gizi semakin sedikit.
Bagi orang yang dalam periode pertumbuhan yang cepat yaitu, pada masa bayi dan masa remaja memiliki peningkatan kebutuhan zat gizi. Pada usia dewasa zat gizi diperlukan untuk melakukan pekerjaan, penggantian jaringan tubuh yang rusak, meliputi perombakan dan pembentukan sel. Pada usia tua kebutuhan energi dan zat gizi hanya digunakan untuk pemeliharaan. Pada usia 65 tahun kebutuhan energi berkurang mencapai 30% dari usia remaja dan dewasa (Kemenkes RI, 2013). Semakin bertambahnya umur pasien maka nafsu makan berkurang.
Berkurangnya nafsu makan disebabkan karena indera pengecap yang sudah tidak fungsional seperti banyaknya gigi yang rusak.
Kepekaan indera seseorang terhadap bau dan rasa akan berkurang seiring dengan bertambahnya umur sehingga dapat mempengaruhi rendahnya asupan makan dan menimbulkan sisa makanan karena cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan. Berdasarkan penelitian Dewi (2015) di RS Djatiroto menyatakan bahwa umur terbanyak responden yang tidak menghabiskan makanan adalah 50-64 tahun. Umur pasien berhubungan dengan asupan makan pasien, umur 40-90 tahun mempunyai kemungkinan 0,4 kali lebih kecil dalam asupan makan pasien rawat inap dibandingkan dengan pasien 15-40 tahun (Almatsier, 2017).
Jenis kelamin. Ada kemungkinan bahwa jenis kelamin dapat
mempengaruhi terjadinya sisa makanan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan energi antara laki-laki dan perempuan yaitu kalori basal perempuan lebih rendah sekitar 5-10% dari kebutuhan kaori basal laki-laki. Perbedaan ini terlihat pada susunan tubuh dan aktivitas laki-laki lebih banyak menggunakan kerja otot daripada perempuan. Menurut hasil penelitian Djamaludin (2005), pasien
perempuan mengkonsumsi makanan nasi lebih sedikit dibanding pasien laki-laki.
Hal ini dikarenakan AKG pada perempuan lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki, sehingga kemampuan menghabiskan makanan lebih sedikit dengan laki- laki.
Kebiasaan makan. Kebiasaan makan menggambarkan kebiasaan makan dan prilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makan, kepercayaan tentang makanan,
distribusi makanan di antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan (Wirasmadi, 2015).
Kebiasaan makan adalah ekspresi setiap individu dalam memilih makanan yang akan membentuk pola perilaku makan.oleh karena itu, ekspresi setiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain.
Keadaan psikis. Perubahan lingkungan pada pasien yang dirawat di rumah
sakit seperti perubahan makanan dan hadirnya orang-orang baru, misalnya dokter, perawat dan paramedis lainnya membuat orang sakit dapat mengalami tekanan psikologis. Tekanan psikologis dapat ditunjukkan dengan rasa tidak senang, rasa takut karena sakit, ketidakbebasan bergerak yang mengakibatkan rasa putus asa.
Rasa putus asa bisa menimbulkan hilangnya nafsu makan, rasa mual dan sebagainya. Oleh karena itu, warna makanan, cara menyajikan dan alat makan harus dipilih dengan baik agar menimbulkan kesan menarik pada orang sakit sehingga makanan yang disajikan bisa habis. Jenis makanan yang diberikan juga mampu merubah persepsi pasien. Perubahan dari makanan cair ke lunak bisa dianggap pasien sebagai tanda penyakit yang diderita akan segera sembuh.
Petugas yang merawat harus bisa memberikan penjelasan untuk mengurangi tekanan psikis yang timbul baik dari pasien maupun keluarga pasien (Moehyi, 2014).
Aktivitas fisik. Aktivitas fisik berpengaruh terhadap kebutuhan gizi bagi
pasien. Aktifitas fisik pada orang normal berbeda tiap individu ada yang pekerjaan ringan, sedang ataupun berat. Tidak hanya pada orang normal, pada orang sakit, aktivitas fisik juga memiliki peranan dalam menetapkan kebutuhan energi. Dalam
perhitungan kebutuhan zat gizi, nilai faktor aktivitas pada orang sakit dibedakan menjadi dua yaitu istirahat di tempat tidur dan tidak terikat di tempat tidur (Almatsier, 2017).
Selain kaitannya dengan kebutuhan gizi, aktivitas fisik ini juga
mempengaruhi faktor psikis pasien. Pada pasien terjadi penurunan aktivitas fisik selama dirawat, rasa tidak senang, rasa takut karena sakit, ketidakbebasan bergerak adanya penyakit yang menimbulkan rasa putus asa. Manifestasi rasa putus asa ini berupa hilangnya nafsu makan dan rasa mual. Faktor ini membuat pasien terkadang tidak menghabiskan porsi makanan yang telah disajikan (Nuryati, 2008).
Gangguan pencernaan. Ketika ada gangguan dalam saluran pencernaan,
maka asupan makan menjadi terganggu dan memungkinkan pasien untuk tidak mampu mengkonsumsi lagi makanannya hingga menyebabkan terjadinya sisa makanan (Supariasa, 2013). Jenis penyakit berperan dalam terjadinya sisa makanan. Salah satu penyakit yang menyebabkan rendahnya konsumsi makanan adalah penyakit infeksi saluran pencernaan.
Faktor Eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar pasien. Faktor-faktor yang termasuk dalam faktor eksternal adalah
penampilan makanan, cita rasa makanan, variasi makanan, sikap petugas penyaji, jadwal penyajian dan makanan dari luar rumah sakit.
Penampilan makanan. Penampilan makanan memegang peranan penting dalam penyajian makanan. Jika penampilannya tidak menarik waktu disajikan
akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya menjadi hilang.
Beberapa faktor yang berkaitan dengan penampilan makanan yaitu :
Warna makanan. Warna makanan adalah rupa hidangan yang disajikan
dan dapat memberikan penampilan lebih menarik terhadap makanan yang disajikan. Kombinasi warna adalah hal yang sangat diperlukan dan membantu dalam penerimaan suatu makanan dan secara tidak langsung dapat merangsang selera makan, dimana makanan yang penuh warna mempunyai daya tarik untuk dilihat, karena warna juga mempunyai dampak psikologis pada konsumen (Khan, 1987). Berdasarkan hasil penelitian Aritonang (2014), terdapat 1,5% pasien menyatakan tidak puas, 17,75% menyatakan kurang puas terhadap warna makanan.
Tekstur makanan. Tekstur makanan adalah derajat kekerasan, kepadatan
atau kekentalan. Cair, kenyal, dan keras merupakan karakteristik dari konsistensi.
Bermacam-macam tekstur dalam makanan lebih menarik daripada hanya satu macam tekstur dalam makanan lebih menarik daripada hanya satu macam tekstur (Spear dan Vaden, 1984). Makanan yang mempunyai tekstur padat atau kenyal akan memberikan rangsang yang lebih lambat terhadap indera kita (Moehyi, 2014).
Bentuk makanan. Bentuk makanan dapat juga digunakan untuk
menimbulkan ketertarikan dalam menu. Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi setiap makanan yang disajikan (Moehyi, 2014). Berdasarkan penelitian Aritonang (2014) menyatakan penilaian pasien terhadap bentuk makanan 13,64% pasien menyatakan kurang puas.
Porsi makanan. Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan
dan kebutuhan setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan makannya. Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil akan mempengaruhi penampilan makanan.
Porsi makanan juga berkaitan dengan perencanaan dan perhitungan penampilan hidangan yang disajikan. Berdasarkan penelitian Aritonang (2014) sebesar 16,3%
pasien menyatakan kurang puas terhadap porsi makanan, terutama sayur yang porsinya terlalu sedikit, sementara nasi terlalu banyak, sehingga pasien tidak mampu menghabiskan.
Keempukan makanan. Keempukan adalah hal yang berkaitan dengan
struktur makanan yang dirasakan dalam mulut. Gambarannya meliputi gurih, krispi, berserat, halus, keras dan kenyal. Keempukan dan kerenyahan (krispi) ditentukan oleh mutu bahan makanan yang digunakan dan cara memasaknya (Moehyi, 2003).
Penyajian makanan. Penyajian makanan merupakan faktor terakhir dari
proses penyelenggaraan menu makanan. Meskipun makanan diolah dengan cita rasa yang tinggi bila dalam penyajiannya tidak dilakukan dengan baik, maka nilai makanan tersebut tidak akan berarti, karena makanan yang ditampilkan waktu disajikan akan merangsang indra penglihatan sehingga menimbulkan selera yang berkaitan dengan cita rasa (Moehyi, 2014). Penyajian makanan meliputi pemilihan alat, cara penyusunan makanan, dan penghiasan hidangan.
Berdasarkan penelitian Nuryati (2008). Penggunaan dan pemilihan alat makan yang tepat dalam penyusunan makanan akan mempengaruhi penampilan
makanan yang disajikan dan terbatasnya perlengkapan alat merupakan faktor penghambat bagi pasien untuk menghabiskan makanannya.
Cita rasa makanan. Rasa makanan lebih banyak melibatkan penginderaan
kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi kecapan utama yaitu asin, manis, asam, dan pahit. Mengkombinasikan berbagai rasa sangat diperlukan dalam menciptakan keunikan sebuah menu. Jenis diet, penampilan dan rasa makanan yang disajikan akan berdampak pada asupan makanan. Variasi makanan yang disajikan merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan rasa bosan.
Orang sakit akan merasa bosan apabila menu yang dihidangkan tidak menarik sehingga mengurangi nafsu makan. Akibatnya makanan yang dikonsumsi sedikit atau asupan zat gizi berkurang (Lisdiana, 2003). Menurut Moehyi (2014) rasa makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan dan
merupakan faktor kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Adapun beberapa komponen yang berperan dalam penentuan rasa makanan yaitu :
Aroma makanan. Aroma Makanan adalah aroma yang disebarkan oleh
makanan yang mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga mampu membangkitkan selera. Aroma yang
dikeluarkan oleh makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan yang berbeda akan memberikan aroma yang berbeda pula (Moehyi, 2014).
Menurut penelitian Stanga et al (2001) pada dua rumah sakit di Swiss, pasien merasa bahwa suhu dan aroma makanan sangat penting.
Bumbu masakan. Berbagai macam rempah-rempah dapat digunakan
sebagai bumbu masakan untuk memberikan rasa pada makanan, misalnya cabai, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya. Bumbu masakan adalah bahan yang ditambahkan dengan maksud untuk mendapatkan rasa yang enak dan khas dalam setiap pemasakan. Dalam setiap resep makanan sudah ditentukan jenis bumbu yang digunakan dan banyaknya masing-masing bumbu tersebut. Bau yang sedap dari berbagai bumbu yang digunakan dapat membangkitkan selera makan karena memberikan rasa makanan yang khas (Khan, 1987).
Tingkat kematangan. Pada masakan khas Indonesia, tingkat kematangan
belum mendapatkan perhatian karena umumnya makanan Indonesia harus
dimasak sampai benar-benar matang. Bila dibandingkan dengan Eropa yang telah memiliki perbedaan tingkat kematangan. Ada steak yang dimasak setengah matang, dan ada juga yang benar-benar matang. Tingkat kematangan adalah mentah atau matangnya hasil pemasakan pada setiap jenis bahan makanan yang dimasak dan makanan akan mempunyai tingkat kematangan sendiri-sendiri.
Tingkat kematangan suatu makanan itu tentu saja mempengaruhi cita rasa makanan.
Temperatur makanan. Suhu makanan pada waktu disajikan memegang
peranan penting dalam penentuan cita rasa makanan. Makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin akan sangat mengurangi sensitivitas saraf pengecap terhadap rasa makanan. Makanan yang sebaiknya dihidangkan dalam keadaan panas terutama makanan yang dapat memancarkan aroma sedap seperti sop, soto, dan sate. Untuk menyajikan makanan itu harus dipilih tempat yang bertutup atau dapat
digunakan panci yang dilengkapi alat pemanas. Sebaliknya, makanan yang harus disajikan dalam keadaan dingin hendaknya dihidangkan dalam keadaan dingin (Moehyi, 2014).
Berdasarkan penelitian Nuraini (2016) menyatakan bahwa tidak puas terhadap temperatur makanan. Ada hubungan antara suhu makaan dengan sisa makanan menu sayur. Semakin tinggi suhu makanan akan semakin rendah sisa makanan. Untuk menjaga suatu makanan tetap hangat, tentunya harus difasilitasi dengan kereta makanan yang dilengkapi alat pemanas, sementara alat ini belum tersedia di Rumah Sakit tempat penelitiannya.
Tekstur, aroma, dan penampilan makanan bisa cepat membusuk ketika suhu yang digunakan tidak tepat saat penyajiannya. Semua makanan panas harus disajikan panas diatas 140°F dan semua makanan dingin harus disajikan dalam keadaan dingin dibawah 45°F. Suhu penyajian harus ditetapkan dan dipertahankan untuk semua bagian penyajian. Aturan dan prosedur yang jelas dibutuhkan untuk memeriksa kualitas suhu dengan termometer selama proses penyajian dan
sebelum disajikan kepada pasien (Kemenkes RI, 2016).
Variasi makanan. Perencanaan menu adalah suatu kegiatan penyusunan
menu yang akan diolah untuk memenuhi selera konsumen/pasien dan kebutuhan zat gizi yang memenuhi prinsip gizi seimbang. Menu adalah kumpulan beberapa macam hidangan atau makanan yang disajikan untuk seseorang atau kelompok orang untuk setiap kali makan berupa hidangan pagi, hidangan siang, dan hidangan malam. Menu makanan meliputi variasi menu dan variasi bahan makanan. Menu yang disajikan kepada pasien haruslah bervariasi agar pasien
tidak bosan untuk mengkonsumsi makanan. Selain variasi menu variasi bahan makanan dalam sebuah menu dapat memberikan kesan yang menarik dan membangkitkan nafsu makan. Variasi menu adalah susunan golongan bahan makanan yang terdapat dalam satu hidangan berbeda pada tiap kali penyajian (Depkes RI, 2017)
Sikap petugas penyaji. Sikap petugas penyaji mempengaruhi faktor
psikologis pada pasien. Sikap petugas dalam menyajikan makanan, sangat diperlukan untuk meningkatkan nutrisi yang optimal bagi pasien rawat inap. Hal ini selain menguatkan program penyembuhan, juga mampu menciptakan
ligkungan yang menguatkan selera makan. Oleh karena itu menyajikan makanan berperan dalam terjasinya sisa makanan.
Jadwal atau ketepatan waktu penyajian. Makanan di rumah sakit harus
tepat waktu, tepat diet dan tepat jumlah. Waktu pembagian makanan yang tepat dengan jam makan pasien serta jarak waktu makan yang sesuai, turut berpengaruh terhadap timbulnya sisa makanan. Hal ini berkaitan dengan ketepatan petugas dalam menyajikan mekanan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.
Makanan yang terlambat dapat menurunkan selera makan pasien, sehingga dapat menimbulkan sisa makanan yang banyak.
Makanan dari luar rumah sakit. Makanan yang dimakan oleh pasien
yang berasal dari luar RS akan berpengaruh terhadap terjadinya sisa makanan.
Rasa lapar yang tidak segera diatasi pada pasien yang sedang dalam perawatan dan timbulnya rasa bosan karena mengkonsumsi makanan yang kurang bervariasi menyebabkan pasien mencari makanan tambahan dari luar RS atau jajan. Hal
iniah yang menyebabkan kemungkinan besar makanan yang disajikan kepada pasien tidak dihabiskan. Bila hal ini selalu terjadi maka makanan yang
diseenggarakan oleh pihak RS tidak dimakan sehingga terjadi sisa makanan (Moehyi, 2014).
Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit
Penyelenggaraan makanan rumah sakit adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada pasien. Hal ini termasuk pencatatan dan evaluasi dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat. Penyelenggaraan makanan rumah sakit dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik jumlah yang sesuai dengan kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai bagi pasien yang membutuhkan. Keberhasilan suatu
penyelenggaraan makanan dapat dinilai dari ada tidaknya sisa makanan, sehingga sisa makanan dapat dipakai sebagai indikator untuk mengevaluasi kegiatan penyelenggaraan makanan rumah sakit.
Sasaran penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah konsumen atau pasien maupun karyawan. Pemberian makanan yang memenuhi gizi seimbang serta habis termakan merupakan salah satu cara untuk mempercepat penyembuhan dan memperpendek hari rawat inap (PGRS, 2013). Dalam penyelenggaraan makanan rumah sakit, standar masukan (input) meliputi biaya, tenaga, sarana dan prasarana, metode, peralatan. Sedangkan standar proses meliputi penyusunan anggaran belanja bahan makanan setahun, perencanaan menu, perencanaan
kebutuhan bahan makanan harian dan bulanan, pengadaan/pembelian, penerimaan dan penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan
makanan dan pendistribusian makanan. Sedangkan standar keluaran (output) adalah mutu makanan dan kepuasan konsumen.
PGRS adalah pelayanan gizi yang disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status metabolisme tubuhnya. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien (Kemenkes RI, 2016).
Proses penyelenggaraan makanan rumah sakit meliputi : penetapan peraturan pemberian makanan rumah sakit, penyusunan standar makanan, perencanaan anggaran bahan makanan, perencanaan menu, perhitungan taksiran kebutuhan bahan makanan, perhitungan harga makanan, pengadaan bahan
makanan, pemesanan bahan makanan, penerimaan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, distribusi bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan bahan makanan dan distribusi makanan (Depkes RI, 2017).
Standar Umum Makanan Rumah Sakit
Makanan yang diberikan kepada pasien harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. Menurut Almatsier (2017) makanan orang sakit dibedakan dalam makanan biasa, makanan lunak, makanan saring, makanan cair.
Makanan biasa. Makanan biasa adalah makanan yang diberikan kepada pasien yang tidak memerlukan diet khusus berhubungan dengan penyakitnya. Susunan makanannya sama dengan makanan sehari-hari yang beraneka ragam, bervariasi dengan bentuk, tekstur, dan aroma yang normal.
Susunan makanan mengacu pada pola menu seimbang dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi orang dewasa sehat. Makanan biasa diberikan kepada pasien yang berdasarkan penyakitnya tidak memerlukan makanan khusus (diet). Walaupun tidak ada pantangan secara khusus, makanan sebaiknya diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna dan tidak merangsang saluran cerna misalnya bumbu tidak terlalu banyak, tidak terlalu pedas atau asin. Contoh pasien yang mendapatkan jenis makanan biasa misalnya konjungtivis tanpa demam, penyakit kulit yang bukan alergi, low back pain, penyakit pada hidung telinga dan tenggorokan (THT) yang tidak memerlukan operasi. Tujuan diet makanan biasa adalah memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi untuk mencegah dan mengurangi keruakan jaringan tubuh.
Tidak ada pantangan secara khusus tetapi makanan sebaiknya diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna. Standar porsi yang berlaku untuk makanan biasa dan khusus mengacu pada Buku Penuntun Diet tahun 2010 tetapi untuk standar porsi makanan biasa standar rumah sakit disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan rumah sakit. Nilai gizi makanan biasa pada Buku Penuntun Diet tahun 2017 adalah energi 2146 kalori, protein 76 gram, lemak 59 gram dan karbohidrat 331 gram. Pembagian bahan makanan sehari untuk makanan biasa dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1
Standar Porsi Makanan Biasa Menurut Penuntun Diet
Waktu Makan Bahan Makanan Penuntun Diet
Pagi Nasi 150 gram
Lauk hewani ( telur/penukar) 50 gram
Sayuran 50 gram
Minyak 5 gram
Snack pagi Kue -
Siang Nasi 250 gram
Lauk hewani (daging/penukar) 50 gram Lauk nabati (tempe/penukar) 50 gram
Sayuran 75 gram
Minyak 10 gram
Buah/penukar 100 gram
Snack sore Bubur kacang hijau (25 gram) 1 gelas
Sore Nasi 200 gram
Lauk hewani (daging/penukar) 50 gram Lauk nabati ( tahu/penukar) 50 gram
Sayuran 75 gram
Minyak 10 gram
Sumber: Peraturan Pemberian Makan Rumah Sakit (PPMRS) tahun 2014 Penuntun Diet tahun 2017
Makanan lunak. Makanan lunak adalah makanan yang memiliki tekstur yang mudah dikunyah, ditelan, dan dicerna dibandingkan makanan biasa. Makanan lunak dapat langsung diberikan kepada pasien atau sebagai perpindahan dari makanan saring ke makanan biasa. Makanan lunak diberikan kepada pasien dengan operasi tertentu, pasien dengan infeksi akut termasuk saluran cerna, serta kepada pasien dengan kesulitan mengunyah atau menelan, atau sebagai perpindahan dari makanan cair kental ke makanan lunak. Makanan ini kurang serat dan vitamin C, maka sebaiknya diberikan untuk jangka waktu pendek, yaitu selama 1-3 hari saja.
Makanan cair. Makanan cair adalah makanan yang mempunyai konsistensi cair hingga kental. Makanan ini diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan menelan, mengunyah, dan mencerna makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi, rasa mual, muntah, pasca pendarahan saluran cerna, serta pra dan pasca bedah. Makanan cair terdiri dari tiga jenis, makanan cair jernih, makanan cair penuh, dan makanan cair kental.
Asupan Makanan Pasien
Asupan makanan pada pasien harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi dalam keadaan sakit. Kebutuhan zat gizi dalam keadaan sakit tergantung jenis dan berat penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhi dalam keadaan sehat seperti umur, gender (jenis kelamin), aktivitas fisik, serta kondisi khusus, yaitu ibu hamil dan menyusui (Almatsier, 2013). Pasien rawat inap membutuhkan asupan makan
yang adekuat agar kebutuhan dan kecukupan gizi terpenuhi dan terhindar dari malnutrisi.
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit ada perbedaan pengertian istilah kebutuhan gizi dan kecukupan gizi. Kebutuhan gizi (nutrient
requirements) adalah banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh
seseorang agar hidup sehat. Kecukupan gizi (recommended dietary allowences) adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang atau rata-rata kelompok agar hampir semua orang (97,5% populasi) hidup sehat (Kemenkes RI, 2013). Jika dalam tubuh terjadi ketidakcukupan gizi, maka dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi. Patogenesis penyakit gizi kurang (malnutrisi) melalui 5 tahapan, yaitu: pertama ketidakcukupan zat gizi. Jika ketidakcukupan zat gizi ini berlangsung lama, maka persediaan/cadangan jaringan akan digunakan untuk memenuhi ketidakcukupan itu. Kedua, apabila ini berlangsung lama, maka akan terjadi kemerosotan jaringan, yang ditandai dengan penurunan berat badan. Ketiga, terjadi perubahan biokimia yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium. Keempat, terjadi perubahan fungsi yang ditandai dengan tanda yang khas. Kelima, terjadi perubahan anatomi yang dapat dilihat dari munculnya tanda yang klasik (Supariasa, 2013). Di rumah sakit, banyak pasien yang mengalami ketidakcukupan zat gizi sebagai akibat dari rendahnya asupan zat gizi pasien. Pasien yang memiliki asupan makan yang rendah akan meninggalkan sisa makanan dalam piringnya. Semakin rendah asupan makan, maka sisa makanan semakin tinggi.
Landasan Teori
Sisa makanan merupakan jumlah makanan yang tidak dimakan oleh pasien dari makanan yang disajikan oleh rumah sakit menurut jenis makanannya. Pasien menyisakan makanannya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang disajikan pada gambar 1 berikut :
Gambar 1. Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Moehyi (2014) dalam Umami (2017) Faktor Internal :
1. Usia
2. Jenis Kelamin 3. Lama Perawatan 4. Jenis Penyakit 5. Nafsu Makan 6. Kebiasaan Makan 7. Keadaan Psikis 8. Aktivitas Fisik 9. Gangguan Pencernaan 10. Konsumsi Obat
Faktor Eksternal :
1. Penampilan Makanan
Warna
Bentuk
Tekstur
Porsi
Penyajian 2. Cita Rasa Makanan
Aroma
Tingkat Kematangan
Suhu
3. Sikap Petugas Ruangan 4. Jadwal Makan
5. Lingkungan Perawatan 6. Variasi Menu
7. Mutu Makanan
8. Makanan dari Luar Rumah Sakit
Sisa Makanan
Teori faktor internal dan eksternal menurut Moehyi (2014) terjadinya sisa makanan yaitu usia, jenis kelamin, jenis penyakit, lama perawatan, nafsu makan, kebiasaan makan dan motivasi pasien untuk sembuh (internal). Sedangkan faktor eksternal meliputi sifat sensorik makanan, variasi menu, waktu pendistribusian dan adanya makanan dari luar rumah sakit. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Umami (2017) yang meneliti tentang faktor eksternal (mutu makanan rumah sakit dan makanan dari luar rumah sakit), serta faktor internal yaitu usia, jenis kelamin dan kebiasaan makan pasien dan dampak yang ditimbulkan terhadap estimasi biaya sisa makan. Pada penelitian kali ini faktor internal tidak akan diteliti dikarenakan segmentasi yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah pasien yang mendapatkan makanan biasa dan tidak mendapatkan diet khusus sehingga diasumsikan penyakitnya tidak mengganggu faktor fisik dan psikis.
Kerangka Konsep
Salah satu indikator pelayanan minimal gizi rumah sakit adalah sisa makanan. Sisa makanan menunjukkan adanya pemberian makanan yang kurang optimal. Sehingga sisa makanan dapat dijadikan sebaagai salah satu indikator untuk mengevaluasi suatu kegiatan penyelenggaraan makanan. Banyaknya sisa makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor eksternal.
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi sisa makanan adalah faktor cita rasa makanan, penampilan makanan dan variasi menu makanan. Berdasarkan
uraian diatas maka kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian Cita Rasa
Makanan Penampilan
Makanan Variasi Makanan
Sisa makanan
Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Desain penelitian menggunakan uji cross tabulation. Penelitian ini mencoba menggambarkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi sisa makanan berdasarkan persepsi pasien dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di RSUD H.Abdul Manan Simatupang Kisaran. Lokasi tersebut dipilih peneliti karena ditemukan masih tingginya angka sisa makanan berdasarkan survei awal yaitu sekitar 60% pasien rawat inap yang menyisakan makanannya dengan berbagai alasan.
Waktu penelitian. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2018 hingga September 2018.
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah semua pasien rawat inap di kelas I, II, dan III yang dirawat pada saat peneliti melakukan penelitian dan yang
mendapatkan makanan biasa.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap di kelas I, II, dan III yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi,
berikut :
n = N 1 + N (d2) Keterangan : N = Besar Populasi
n = Besar Sampel d = Galat Pendugaan (0,1)
Berdasarkan data pada survei pendahuluan diketahui bahwa jumlah tempat tidur pada ruang rawat inap kelas I, II, dan III adalah 94 tempat tidur, maka besar sampel yang diteliti adalah :
n = N 1 + N (d²) n = 94
1 + 94 (0,1²) n = 94 1 + 0,94 n = 94 1,94
n = 48 orang (minimal) n = 48 + 5
n = 53 orang
Besar sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah 55 orang, lebih dari sampel minimal. Sampel dipilih dengan teknik purposive sampel, namun untuk memenuhi kriteria sampel yaitu sampel dipilih dengan sengaja berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti.
1. Mendapatkan makanan biasa dengan makanan pokok berupa nasi, lauk nabati, lauk hewani dan sayur
2. Pasien rawat inap dewasa yang berusia sekitar 18-50 tahun, pemilihan pasien ini dilakukan karena diharapkan pasien dewasa dapat memberikan pendapatnya secara langsung.
3. Telah menjalani perawatan minimal 2 hari, pemilihan pasien ini dilakukan dengan alasan pasien sudah menjalani waktu makan selama 3x di rumah sakit (pagi, siang dan malam).
4. Pasien mampu berkomunikasi dengan baik 5. Pasien bersedia menjadi sampel
Sedangkan kriteria eksklusi yaitu :
1. Mendapat makanan cair / bubur/ saring
2. Pasien anak, karena dianggap belum mampu memberikan pendapatnya secara langsung
3. Kesadaran tidak baik
4. Tidak bersedia menjadi sampel
Variabel. Variabel yang diteliti terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas yaitu cita rasa makanan, penampilan makanan, variasi makanan, sedangkan variabel terikat adalah sisa makanan
Defenisi operasional
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Kategori 1. Usia Umur responden pada saat
penelitian dilakukan
Kuesioner 1 = 18-29 2 = 30-40 2. Jenis
Kelamin
Status gender responden yang telah dimiliki sejak lahir dan dapat diketahui dengan wawancara atau melihat postur dan
penampilan fisik responden
Kuesioner 1 = pria 2 = wanita
3. Penampilan Makanan
Gabungan pendapat responden terhadap
keseluruhan makanan yang disajikan dari aspek warna, bentuk, tekstur, porsi dan cara penyajian)
Kuesioner 1 = kurang ( jika jumlah skor <60%)
2 = cukup ( jika jumlah skor 60%-80%)
3 = baik ( jika jumlah skor ≥80%)
a. Warna Makanan
Warna dari makanan yang terlihat oleh pasien saat makanan disajikan
Kuesioner 1 = tidak menarik jika jumlah skor <60%
2 = kurang menarik jika jumlah skor 60%-80%
3 = menarik jika jumlah skor ≥80%
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Kategori b. Bentuk
Makanan
Bentuk dari makanan yang disajikan seperti potongan dari bahan makanan yang kemudian diolah dan disajikan untuk pasien
Kuesioner 1 = tidak menarik jika jumlah skor <60%
2 = kurang menarik jika jumlah skor 60%-80%
3 = menarik jika jumlah skor ≥80%
c. Porsi Besar volume makanan yang disajikan untuk pasien
Kuesioner 1 = tidak sesuai jika jumlah skor <60%
2 = kurang sesuai jika jumlah skor 60%-80%
3 = sesuai jika jumlah skor ≥80%
d. Cara Penyajian
Tanggapan responden terhadap penyajian makanan dari aspek pemilihan alat makan, penyusunan makanan, penghias makanan, kebersihan alat makan dan kelengkapan alat makan
Kuesioner 1 = kurang ( jika jumlah skor <60%)
2 = cukup ( jika jumlah skor 60%-80%)
3 = baik ( jika jumlah skor ≥80%)
4. Cita Rasa makanan
Gabungan tanggapan responden terhadap
keseluruhan makanan yang disajikan dari aspek aroma, kematangan, tekstur dan suhu
Kuesioner 1 = kurang ( jika jumlah skor <60%)
2 = cukup ( jika jumlah skor 60%-80%)
3 = baik ( jika jumlah skor ≥80%)
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Kategori a. Aroma Bau yang tercium khas
makanan oleh pasien saat makanan disajikan dihadapannya
Kuesioner 1 = beraroma tidak sedap jika jumlah skor
<60%
2 = beraroma kurang sedap jika jumlah skor 60%-80%
3 = beraroma sedap jika jumlah skor ≥80%
b. Kematangan Pendapat pasien mengenai tingkat keempukan, kerenyahan sesuai dengan jenis masakannya pada saat sudah dicicipi oleh
responden
Kuesioner 1 = tidak matang jika jumlah skor <60%
2 = kurang matang jika jumlah skor 60%-80%
3 = matang jika jumlah skor ≥80%
c. Suhu Temperatur dari setiap jenis makanan pada makanan yang disajikan kepada pasien
Kuesioner 1 = tidak sesuai jika jumlah skor <60%
2 = kurang sesuai jika jumlah skor 60%-80%
3 = sesuai jika jumlah skor ≥80%
d. Tekstur Pendapat pasien Kuesioner 1 = tidak sesuai jika jumlah skor <60%
2 = kurang sesuai jika jumlah skor 60%-80%
3 = sesuai jika jumlah skor ≥80%
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Kategori 5. Variasi
Makanan
Penilaian responden terhadap keragaman menu dan bahan makanan yang disajikan
Kuesioner 1 = tidak bervariasi jika jumlah skor <60%
2 = kurang bervariasi jika jumlah skor 60%- 80%
3 = bervariasi jika jumlah skor ≥80%
a. Variasi menu Pendapat responden mengenai variasi menu makanan yang disajikan dihadapan responden setiap waktu makan
Kuesioner 1 = tidak bervariasi jika jumlah skor <60%
2 = kurang bervariasi jika jumlah skor 60%- 80%
3 = bervariasi jika jumlah skor ≥80%
b. Variasi bahan makanan
Pendapat responden mengenai variasi bahan makanan yang
dipergunakan
Kuesioner 1 = tidak bervariasi jika jumlah skor <60%
2 = kurang bervariasi jika jumlah skor 60%- 80%
3 = bervariasi jika jumlah skor ≥80%
6. Sisa makanan Dinilai berdasarkan hasil pengukuran peneliti dilihat dari berat awal makanan dikurang sisa makanan untuk makanan pagi, siang, malam dan snack
Timbangan makanan
1 = banyak ( >20% sisa makanan)
2 = sedikit ( ≤ 20% sisa makanan)
Gambar 3. Defenisi Operasional