• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Jaminan Keamanan Pangan Untuk Jasa Boga

Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab. Beberapa peraturan antara lain : Permenkes No. 23/MenKes/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB), Kepmenkes RI Nomor 1096 Tahun 2011 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga, Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang keamanan pangan, Pedoman Hygiene Makanan Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi pangan (Badan POM, 2004).

Selain peraturan-peraturan tersebut, sejak akhir tahun 2003, Badan POM telah mengembangkan program keamanan pangan terpadu yaitu Program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga.

Namun demikian, di Indonesia telah diakui beberapa sertifikasi keamanan pangan yang menyangkut pengadaan pangan oleh jasa boga. Beberapa sertifikasi tersebut bersifat wajib dimiliki oleh jasa boga sebagai ijin usahanya yang tertuang dalam peraturan pemerintah, dan beberapa yang lain bersifat sukarela, atau merupakan persyaratan kerjasama dari rekan bisnis usaha jasa boga itu sendiri. Beberapa jenis sertifikasi keamanan pangan untuk usaha jasa boga yang diakui di Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Sertifikasi Laik Hygiene Sanitasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1096/Menkes/PER/VI/2011, Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa boga, dengan demikian sertifikat ini bersifat wajib (mandatory).

Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang terhadap jasaboga yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sertifikat ini diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota daerah setempat dimana usaha jasa boga tersebut beroperasi. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga serta berlaku selama 3 (tiga) tahun dan untuk selanjutnya dapat diperpanjang jika memenuhi syarat.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk Tim Pemeriksa yang bertugas melakukan penilaian, kunjungan dan pemeriksaan untuk menilai kelaikan persyaratan bangunan, peralatan, ketenagaan, dan bahan makanan baik fisik, kimia, maupun bakteriologis dan seluruh rangkaian proses produksi pangan.

Pemeriksaan terhadap bahan pangan harus dilakukan melalui uji laboratorium terhadap sampel pangan di laboratorium yang memiliki kemampuan.

Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP yang telah menugaskannya dalam berita acara kelaikan fisik (Lampiran 3), berita acara pemeriksaan sampel makanan (Lampiran 5), dan surat rekomendasi laik higiene sanitasi (Lampran 6). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dapat dikeluarkan setelah pemohon dinyatakan telah memenuhi persyaratan oleh Tim Pemeriksa yang melihat langsung ke lokasi pengolahan pangan (Lampran 7).

2. Program Piagam Bintang Keamanan Pangan

Pada akhir tahun 2003, Badan POM menyelenggarakan Pilot Project program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini merupakan salah satu kegiatan dari Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan, yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga.

Piagam Bintang Satu diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan prinsip-prinsip dasar keamanan pangan. Piagam Bintang Dua diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan mengembangkan prosedur serta mengisi lemar kerja. Piagam Bintang Tiga diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan manajemen Keamanan Pangan berdasarkan prinsip Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Namun demikian, sifat dari Program Piagam Bintang Keamanan Pangan ini adalah sukarela (voluntary) sebagai penghargaan Pemerintah kepada industri pangan atas usaha mereka menerapkan keamanan pangan di industrinya.

3. Program CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik)

Program persyaratan kelayakan dasar merupakan suatu ukuran untuk mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik dalam segi/aspek sanitasi dan higiene maupun dalam aspek cara berproduksi. Program persyaratan kelayakan dasar sebaiknya terdokumentasi dengan baik dalam standard operating procedures (SOP) yang tertulis dan sebaiknya dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan kelayakan dasar ini jika

diperlukan dapat ditinjau ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan, diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (NACMCF, 1998).

Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation procedures (SSOP). Di Indonesia, BPOM telah menerbitkan pedoman CPPB atau GMP sesuai Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.5.1639 tahun 2003. Surat Keputusan ini menetapkan bahwa seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pengolahan pangan wajib berpedoman pada CPPB. Hanya saja SK BPOM No. HK 00.05.5.1639 berlaku wajib untuk industri rumah tangga. Untuk usaha jasa boga, belum ada pedoman CPPB yang khusus disusun untuk pengolahan pangan siap saji jasa boga, namun demikian prinsip-prinsip hygiene sanitasi dapat diadaptasi pada usaha jasa boga. Pedoman penerapan GMP disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Pada Usaha jasa boga, penerapan GMP lebih ditekankan pada GHP (Good Hygiene Practice).

Menurut Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan (Ditjen POM, 1996), tujuan penerapan CPPB adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik lokal maupun internasional. Sedangkan tujuan khusus penerapan GHP adalah : (1) memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir serta persyaratan higiene personal; (3) mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan.

Pedoman penerapan CPPB ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak; (3) mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional; (4) memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen.

Standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation procedures (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses.

Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, pengendalian proses produksi (pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman), pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan), higiene/kebersihan personil/karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung), transportasi (persyaratan, penggunaan dan pemeliharaan), informasi produk, serta pelatihan.

Dalam penerapan CPPB untuk industri jasa boga, untuk menyajikan pangan siap saji yang bermutu baik dan aman, perlu diketahui variabel yang memerlukan pemantauan khusus. Yang perlu diketahui oleh pengusaha jasa boga adalah sumber pencemaran bahan berbahaya yang mungkin masuk ke dalam pangan, pemantauan terhadap proses pemasakan, dan kondisi penyimpanan atau penyajian yang aman. Tempat atau wadah penyimpanan

harus sesuai dengan jenis bahan pangan contohnya bahan pangan yang cepat rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan pangan kering disimpan ditempat yang kering dan tidak lembab. Penyimpanan bahan pangan harus memperhatikan suhu seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Suhu penyimpanan bahan makanan No Jenis bahan makanan

Digunakan dalam waktu 3 hari atau kurang 1 minggu atau kurang 1 minggu atau lebih 1 Daging, ikan, udang

dan olahannya -5

o

s/d 0oC -10o s/d -5oC > -10oC 2 Telor, susu dan

olahannya 5

o

s/d 7oC -5o s/d 0oC > -5oC 3 Sayur, buah dan

minuman 10

o

C 10oC 10oC

4 Tepung dan biji 25

o C atau suhu ruang 25oC atau suhu ruang 25oC atau suhu ruang Permenkes No.1096/2011

Selain itu, penyimpanan pangan yang telah masak atau jadi tidak dicampur dengan bahan pangan mentah. Tabel 4 menyajikan suhu penyimpanan pangan jadi/masak.

Tabel 4. Suhu penyimpanan pangan jadi /masak No Jenis pangan Suhu penyimpanan Disajikan dalam waktu lama Akan segera disajikan Belum segera disajikan 1 Makanan kering 25o s/d 30oC 2 Makanan basah (berkuah) > 60 o C -10oC

3 Makanan cepat basi

(santan, telur, susu) 65,5

o C -5o s/d -1oC 4 Makanan disajikan dingin 5 o s/d 10oC < 10°C Permenkes No.1096/2011

Pengangkutan makanan jadi/masak/siap saji tidak boleh bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun (B3), menggunakan kendaraan khusus pengangkut makanan jadi/masak dan harus selalu higienis, setiap jenis makanan jadi mempunyai wadah masing-masing dan bertutup, wadah harus utuh, kuat, tidak karat dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan yang

akan ditempatkan, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap makanan yang mencair (kondensasi).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan pemanasan terhadap suatu pangan adalah pH/keasaman, dan komposisi makanan. Makanan berasam tinggi (pH rendah) memerlukan pemanasan yang lebih sedikit dibandingkan makanan netral (pH sekitar 7). Makanan yang mengandung garam, gula, protein dan lemak dalam jumlah tinggi memerlukan pemanasan yang lebih tinggi dibandingkan makanan dengan kandungan bahan-bahan tersebut dalam jumlah lebih rendah.

4. Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

Pemerintah melalui BSN (Badan Standarisasi Nasional) telah mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidlines for application ) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis,HACCP-serta Pedoman Penerapannya) dan telah menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-2002 tentang panduan penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACCP (Suprapto, 1999). Di Indonesia, penerapan HACCP masih bersifat sukarela (voluntary) dan biasanya karena kebutuhan sebagai persyaratan perdagangan. HACCP atau Hazard Analysis Critical Control Point adalah suatu pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF, 1998). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) intinya adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen.

Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan guna memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir

Prinsip 1 Prinsip 2 Prinsip 7 Prinsip 6 Prinsip 5 Prinsip 4 Prinsip 3

diproduksi, didistribusikan, dan disajikan. Oleh karena itu dengan diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya bahaya pada suatu produk pangan.

Gambar 1. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission)

Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : (1) Analisis bahaya dan penetapan resiko, (2) Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), (3) Penetapan batas kritis untuk setiap CCP yang telah diidentifikasi, (4) Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor, (5) Menentukan tindakan koreksi yang harus diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya, (6) Penetapan dan pengembangan sistem

1.Menyusun Tim HACCP 2. Mendeskripsikan Produk

3. Identifikasi Penggunaan Produk

4. Menyusun Diagram Alir 5. Melakukan Verifikasi

Diagram Alir di tempat

6. Mendaftar semua Bahaya Potensial Melakukan Analisis Bahaya Menentukan Tindakan Pengendalian

7. Menentukan CCP

8. Menetapkan Batas Kritis untuk Setiap CCP

9. Menetapkan Sistem Monitoring untuk Setiap CCP

10. Menetapkan tindakan koreksi untuk penyimpangan yang

mungkin terjadi

11. Menetapkan Prosedur Verifikasi

12. Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan

dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record keeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP, (7) Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik.

Implementsi prinsip-prinsip di atas tergantung dari jenis perusahaannya. Bagi perusahaan jasa boga, sistem HACCP tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan mudah untuk diterapkan di lapangan.

Untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP, tahap pertama yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen dari manajemen kepemimpinan perusahaan dengan fokus keamanan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Hal ini berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaan.

Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan pada Gambar 1. Langkah 1 sampai 5 pada Gambar 1 merupakan lima tahap pendahuluan sedangkan langkah 6 sampai 12 merupakan tujuh langkah prinsip penerapan dan pengembangan sistem HACCP.

Langkah 1

Menyusun Tim HACCP

Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam usaha pangan jasa boga yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman.

Langkah 2

Mendeskripsikan Produk

Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk,

termasuk jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan, penyimpanan, cara penyajian, serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi.

Langkah 3

Identifikasi Penggunaan Produk

Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok vegetarian, kelompok diet bahan pangan tertentu, kelompok penderita penyakit tertentu, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.

Langkah 4

Menyusun Diagram Alir Proses

Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan penyajian produk. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya.

Langkah 5

Melakukan Verifikasi Diagram Alir Proses

Diagram alir proses yang dibuat harus lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di lapangan, sehingga tim HACCP harus kembal meninjau proses produksinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.

Langkah 6

Analisa Bahaya (Prinsip 1)

Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, distribusi, hingga tahap penyajian ke konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.

Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.

Tabel 5. Jenis-jenis bahaya

Jenis Bahaya Contoh

Biologi

Sel Vegetatif : Salmonella sp, Eschericia coli Kapang : Aspergillus, Penicillium, Fusarium

Virus : Hepatitis A Parasit : Cryptosporodium sp

Spora Bakteri :

Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diijinkan, residu pestisida, logam berat, bahan allergen Fisik Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau kerikil, rambut, kuku, perhiasan, plastic, serangga dan

kotorannya

Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia dapat dilihat pada Tabel 5. Bahaya-bahaya (hazard) tersebut di atas dapat dikategorikan ke dalam enam kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik bahaya

Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya Bahaya A

Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok beresiko (lansia, bayi, immunocompromised )

Bahaya B Produk mengandung ingridient sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik

Bahaya C

Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik

Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan Bahaya E

Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya

Bahaya F

Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah

pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik

Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman. Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GHP ( Good Hygiene Practices) , SSOP (Sanitation Standard Operational Procedure) , SOP (Standard Operational Procedure), dan sistem pendukung lainnya.

Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat diterapkan kategori resiko I sampai VI ( Tabel 7 ). Selain itu, bahaya yang ada dapat juga dikelompokkan berdasarkan signifikansinya (Tabel 8). Signifikansi bahaya dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya ( reasonably likely to occur) dan keparahan ( severity ) suatu bahaya.

Tabel 7. Penetapan kategori resiko

Karakteristik Bahaya Kategori Resiko Jenis Bahaya

0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F

(+) I Mengandung satu bahaya B sampai F

(+ +) II Mengandung dua bahaya B sampai F

(+ + +) III Mengandung tiga bahaya B sampai F (+ + + +) IV Mengandung empat bahaya B sampai F (+ + + + +) V Mengandung lima bahaya B sampai F A+(kategori khusus)

dengan atau tanpa bahaya B-F

VI Kategori resiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)

Tabel 8. Signifikansi bahaya

Tingkat Keparahan (Severity)

L M H

Peluang Terjadi (Reasonable likely to occur)

l Ll Ml Hl

m Lm Mm Hm*

h Lh Mh* Hh*

*) Umumnya dianggap signifikan dan akan diteruskan/dipertimbangkan dalam penetapan CCP

Keterangan : L=l= low, M=m= medium, H=h=high

Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan critical control point.

Langkah 7

Menentukan Critical Control Point (Prinsip 2)

CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan.

Gambar 2. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree

Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree yang dapat dilihat pada Gambar 2. Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau

untuk menghindari kontaminasi silang. Suatu CCP dapat digunakan untuk mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan mikrobiologi.

Langkah 8

Penetapan Critical Limit (Prinsip 3)

Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak", berupa kisaran toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat disesuaikan, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan

Dokumen terkait