• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of Food Safety System for Catering Industry, A Case Study in PT ELN, Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of Food Safety System for Catering Industry, A Case Study in PT ELN, Jakarta"

Copied!
236
0
0

Teks penuh

(1)

JASA BOGA, STUDI KASUS PADA PT ELN, JAKARTA

TUTI HANDAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta

adalah karya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

(3)

TUTI HANDAYANI. Analysis of Food Safety System for Catering Industry, A Case Study in PT ELN, Jakarta.. Under supervision of DAHRUL SYAH and

HARSI KUSUMANINGRUM.

In accordance to comply with Regulation of the Minister of Health No. 1096/Menkes/Per/VI/2011, catering businesses is defined as companies or individuals that providing foodservice at a remote site on the basis of orders. The rapid development of the catering businesses due to increased demand for foods by a consumer who is too busy. However, catering businesses can have the possible risk of food borne diseases, if not done properly. The rise of food poisoning incident in Indonesia can reduce the level of consumer confidence in the catering business, so that the incident should be reduced or avoided by the business player with the effective food safety system.The result of this study indicated that food safety in catering business specified in the Regulation No 1096/Menkes/Per/VI/2011 is sufficient to reduce the likelihood of the risk of outbreaks (epidemics) of food-borne diseases in catering business based on analysis of primer and secondary data. In order to meet the requirements demanded by partners of PT ELN and realizing the importance of food safety management practices in the catering business, the management of PT ELN committed to implementing food safety management system based on HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). In general, the obstacle faced by PT ELN in implementing HACCP system due to the lack of a written job descriptions, SOP (Standard Operation Procedure), and IK (Instruksi Kerja) for each field of work.

(4)

iv

RINGKASAN

TUTI. Kajian Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta. Dibimbing oleh DAHRUL SYAH dan HARSI KUSUMANINGRUM.

Industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian pangan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah berkembang dengan pesat. Industri semacam ini banyak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai keperluan.

Pada kenyataannya, industri jasa boga yang menyediakan pangan siap saji mempunyai resiko dapat menyebabkan terjadinya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) apabila tidak dilakukan penanganan pangan dengan baik. Selain itu, seringnya terjadi kasus keracunan sebagai akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi bahan berbahaya merupakan indikasi bagi pengelola jasa boga untuk meningkatkan sanitasi dan higiene pengelolaan usaha jasa boga dan kejadian tersebut harus dapat ditekan atau dihindarkan oleh pelaku usaha.

Penerapan standar sanitasi dan sistem keamanan pangan pada industri jasa boga merupakan alternatif yang dapat dilakukan untuk menekan resiko kejadian luar biasa (outbreak) penyakit yang ditularkan melalui pangan. Hal tersebut mendorong perusahaan-perusahaan pengguna jasa katering mensyaratkan penerapan dan sertifikasi sistem keamanan pangan bagi industri pangan jasa boga atau katering rekanannya.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam aturan dan program keamanan pangan. Dalam hal jasa boga, telah ada program-program sistem keamanan pangan terpadu seperti sertifikat laik hygiene dan sanitasi, Program Piagam Bintang Keamanan Pangan, CPPB, dan HACCP. Pada kenyataannya banyak industri yang memanfaatkan katering untuk menyediakan pangan siap saji bagi para karyawannya mensyaratkan penerapan dan sertifikasi HACCP dibandingkan dengan program sistem keamanan pangan yang dikembangkan oleh pemerintah. Muncul pertanyaan, apakah program keamanan pangan jasa boga yang dikembangkan oleh pemerintah dirasa tidak cukup untuk menjamin produk yang dihasilkan aman, atau ada alasan lain sehingga sertifikasi HACCP lebih banyak di persyaratkan oleh perusahaan-perusahaan pengguna jasa katering.

Peneltian ini bertujuan untuk memperoleh informasi kecukupan sistem keamanan pangan, untuk menekan kemungkinan terjadinya resiko kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga serta memberikan rekomendasi bagi pemilihan jenis sertifikasi sistem keamanan pangan untuk usaha jasa boga atau katering.

(5)

Aspek kedua, berdasarkan data kasus KLB akibat masakan rumah tangga dibandingkan dengan Kasus KLB akibat jasa boga, dapat disimpulkan bahwa sistem keamanan pangan yang ada yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan terlihat secara umum masakan rumah tangga merupakan penyebab tertinggi (44.41%) dari total jumlah kasus KLB keracunan pangan.

Aspek ketiga, berdasarkan data tren pertumbuhan jumlah usaha jasa boga terhadap korban KLB keracunan pangan, dapat disimpulkan bahwa sistem keamanan pangan yang ada yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi cukup untuk menekan kasus KLB keracunan pangan karena tumbuhnya usaha jasa boga yang belum bersertifikat seiring dengan pertambahan jumlah korban KLB keracunan pangan.

Aspek keempat, berdasarkan data persepsi pengguna usaha jasa boga yang umumnya tidak mengenal kewajiban usaha jasa boga untuk memiliki sertifikat keamanan pangan jasa boga yaitu sertifikat laik hygiene sanitasi. Pengetahuan pengguna jasa boga akan kewajiban sertifikat keamanan pangan harus ditingkatkan. Media promosi keamanan pangan dapat dijadikan alternatif untuk sosialisasi. Meningkatnya pengetahuan pengguna jasa boga akan sertifikat keamanan pangan merupakan indikasi bagi pengelola jasa boga untuk memiliki jaminan keamanan pangan jasa boga ini.

Secara umum sistem keamanan pangan jasa boga yang ada melalui Sertifikat Laik Hygiene dan Santasi yang diwajibkan pemerintah melalui Permenkes No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 untuk dimiliki oleh usaha jasa boga atau katering, cukup untuk menekan kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan. Namun demikian masih di butuhkan penelitian lebih lanjut dengan jangkauan data kasus KLB dan pertumbuhan usaha jasa boga dari beberapa wilayah yang lebih luas lagi untuk mendukung kajian ini.

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

JASA BOGA, STUDI KASUS PADA PT ELN, JAKARTA

TUTI HANDAYANI

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesi pada

Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

(9)

Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta

Nama : Tuti Handayani

NRP : F252090055

Program Studi : Teknologi Pangan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Dr. Ir. Harsi Kusumaningrum

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Magister Profesi Teknologi Pangan

Prof. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala kemudahan yang diberikan-NYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 ini adalah Kajian Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga, Studi Kasus Pada PT ELN, Jakarta.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Agr dan Dr. Ir. Harsi Kusumaningrum, M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tugas akhir ini;

2. Dr. Ir. Elvira Syamsir, M.Si sebagai penguji luar komisi pada ujian tugas akhir, dan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M. Si sebagai moderator dan penguji pada ujian tugas akhir, dalam memberikan masukan dan sarannya;

3. PT ELN yang telah memberikan ijin untuk digunakannya data perusahaan dalam penyusunan tugas akhir ini;

4. Ibu dan kakak-kakak yang selalu memberikan dukungan moral dan spiritual hingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan tugas akhir ini;

5. Suami tercinta Muhammad Zahirsyah, M.T yang telah memberikan segala bentuk dukungan dalam menyelesaikan pendidikan ini;

6. Program Studi MPTP, khususnya Dr. Lilis Nuraida selaku ketua program studi dan Fatikhaturohmah, Amd. selaku staf sekretariat MPTP yang banyak membantu selama masa perkuliahan dan penyusunan tugas akhir.

7. Rekan-rekan angkatan V MPTP IPB : Mbak Wulan, Virna, Pak Hafzialman, Pak Deddy, Mbak Lisa, Shinta, Pak Joko, Mbak Hilda, dan Bu Sumaria atas kebersamaan dan dukungan semangat dalam penyelesaian tugas akhir; 8. BPOM RI terutama Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan

yang telah membantu dalam pengambilan data di dalam penelitian ini;

9. Dinas Kesehatan Kota Depok terutama Divisi Penyehatan Lingkungan Kota Depok yang telah membantu dalam pengambilan data di dalam penelitian ini; 10. Seluruh pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian dan penulisan tugas akhir ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian Penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

(11)

Penulis dilahirkan di Mentok-Bangka, pada tanggal 15 November 1974 sebagai anak bungsu dari almarhum Bapak Bustami Ali, B.Sc dan Ibu Mimi Suparmi. Tahun 1993, penulis lulus dari Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBO) dan pada tahun 1994 melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Penulis menyelesaikan program Sarjana Kimia pada tahun 1999.

Pada tahun 1999 – 2001 penulis bekerja sebagai asisten peneliti bidang Biokimia di Pusat Antat Universitas (PAU) ITB. Tahun 2001 - 2007 penulis bekerja sebagai Koordinator Bagian R&D dan QC di PT Unican Surya Agung, perusahaan yang bergerak di bidang pangan khususnya untuk produk-produk

confectionery. Tahun 2007 hingga sekarang, penulis bekerja di perusahaan konsultan sertifikasi sistem pada bagian pangan.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ...i

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR ...v

DAFTAR LAMPIRAN ...vi

I. PENDAHULUAN ...1

1.1.Latar Belakang ...1

1.2.Tujuan ...4

1.3.Manfaat ...4

II. TINJAUAN PUSTAKA ...7

2.1.Industri Pangan Jasa Boga ...7

2.1.1. Definisi dan Karakteristik ...7

2.1.2. Persyaratan Hygiene dan Sanitasi...11

2.2.Batasan Keamanan Pangan Siap Saji ...13

2.2.1. Bahaya Keamanan Pangan ...13

2.2.2. Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Jasa Boga (Katering) ...18

2.3.Jaminan Keamanan Pangan Untuk Jasa Boga ...21

2.4.Implementasi Sistem HACCP Dalam Industri Jasa Boga (Katering) ...37

III. METODE PENELITIAN ...41

3.1.Tempat dan Waktu ...41

3.2.Bahan dan Alat ...41

3.3.Metode Penelitian ...41

3.3.1. Kajian Kecukupan Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga ...42

3.3.2. Melakukan Evaluasi Kondisi Pada Usaha Jasa Boga atau Katering dalam Rangka Sertifikasi Sistem HACCP di PT ELN ...43

3.3.3. Pembuatan Rancangan Sistem HACCP atau HACCP Plan untuk Produksi Pangan Siap Saji di PT ELN ...45

3.3.4. Pembuatan Rekomendasi Pengembangan Sistem HACCP pada PT ELN ...45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...47

4.1.Kecukupan Sistem Keamanan Pangan Untuk Industri Jasa Boga ...47

4.2.Evaluasi Kondisi Pada Usaha Jasa Boga atau Katering dalam Rangka Sertifikasi Sistem HACCP di PT ELN ...61

4.2.1. Sanitasi dan Hygiene ...61

4.2.2. Ketersediaan SSOP dan Penerapannya ...67

4.3.Rancangan Sistem HACCP atau HACCP Plan untuk Produksi Pangan Siap Saji di PT ELN ...74

(13)

5.1.Simpulan ...87

5.2.Saran ...88

DAFTAR PUSTAKA ...89

(14)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Pemanasan minimal pada beberapa makanan ... 15

Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit atau keracunan ... 16

Tabel 3. Suhu Penyimpanan Bahan Makanan ... 26

Tabel 4. Suhu Penyimpanan Pangan Jadi/Masak ... 26

Tabel 5. Jenis-Jenis Bahaya ... 31

Tabel 6. Karakteristik Bahaya ... 32

Tabel 7. Penetapan Kategori resiko ... 33

Tabel 8. Signifikansi Bahaya ... 33

Tabel 9. Contoh Critical Limit (Batas Kritis) Pada CCP... 35

Tabel 10. Hasil Wawancara Unit Usaha Jasa Boga ... 47

Tabel 11. Hasil Wawancara Unit Usaha Pengguna Jasa Boga ... 49

Tabel 12. Total KLB Keracunan Pangan yang terlaporkan, Jumlah Orang yang mengkonsumsi dan Jumlah Korban KLB Keracunan Pangan Tahun 2001 - 2011 ... 51

Tabel 13. Jenis Pangan penyebab KLB Keracunan Pangan tahun 2001 – 2011 ... 52

Tabel 14. Penyebab KLB Keracunan Pangan yang Terlaporkan Tahun 2001 – 2011 ... 54

Tabel 15. Prosentase penyebab KLB Keracunan Pangan yang tidak terdeteksi tahun 2001 – 2011. ... 55

Tabel 16. Kasus KLB Keracunan Pangan Sepanjang Tahun 2012 Di Beberapa Tempat Berbeda... 59

Tabel 17. Hasil Evaluasi Kondisi Penerapan Hygiene dan Sanitasi di PT ELN...61

Tabel 18. Ketidaksesuaian Kondisi PT ELN dalam Penerapan Hygiene dan Sanitasi berdasarkan Kriteria menurut Permenkes 2011…………62

Tabel19. Ketersediaan dan Penerapan SSOP di PT ELN. ... 68

Tabel 20. Monitoring yang perlu dilakukan Pada Program Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) di PT ELN. ... 72

Tabel 21. Struktur tim HACCP di PT ELN ... 76

Tabel22. Analisis Bahaya Kelompok Menu Pangan yang tidak melalui Proses Pemanasan ... 77

(15)

Tabel 25. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan siap saji di PT ELN ... 80 Tabel 26. Batas Kritis, Prosedur Monitoring, Tindakan Koreksi, Verifikasi

(16)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam Industri Pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission) ... 28 Gambar 2. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau

CCP decision tree ... 34 Gambar 3. Pendekatan Tiga Jenis Diagram Alir Produk untuk Pangan Jasa

Boga ... 39 Gambar 4. Prosentase Jenis Pangan Penyebab KLB Keracunan Pangan

Terlapor Tahun 2001-2011 ... 53 Gambar 5. Tren Pertumbuhan Usaha Jasa Boga dan Korban KLB

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pertanyaan untuk Unit Usaha Jasa Boga dan Unit Usaha Pengguna Jasa Boga ...93 Lampiran 2. Contoh Permohonan Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga ...94 Lampiran 3. Contoh Berita Acara Kelaikan Fisik ...95 Lampiran 4. Contoh Formulir Pengambilan atau Pengiriman Contoh dan

Spesimen ...96 Lampiran 5. Contoh Berita Acara Pemeriksaan Contoh dan Specimen ...97 Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan Uji Laik Fisik untuk Hygiene dan Sanitasi

Perusahaan ...98 Lampiran 7. Hasil Pengamatan Terhadap Pelaksanaan SSOP di PT ELN ...101 Lampiran 8. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan yang

tidak melalui Proses Pemanasan ...105 Lampiran 9. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan yang

diolah dan disajikan pada hari yang sama ...106 Lampiran10. Titik Kendali Kritis atau CCP Kelompok Menu Pangan

(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Jasa boga termasuk di dalamnya restoran atau rumah makan dan katering adalah istilah umum untuk usaha yang melayani pemesanan berbagai macam pangan (makanan dan minuman) siap saji baik untuk pesta maupun untuk kebutuhan suatu instansi. Ciri khas utama jasa boga adalah pangan yang disajikan tidak dimasak di tempat yang sama dengan tempat pangan dihidangkan. Industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian pangan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah berkembang dengan pesat pada saat ini. Industri semacam ini banyak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai keperluan, misalnya di pusat-pusat makanan jajanan, restoran fast food, hotel, dan penyajian makanan-makanan di suatu pesta, seminar, untuk karyawan pabrik dan perkantoran, perusahaan transportasi, dan lain-lain. Menjamurnya usaha jasa boga di perkotaan terjadi karena kebutuhan akan pangan yang praktis dan siap dikonsumsi oleh konsumen di perkotaan yang serba sibuk, sehingga mereka tidak perlu membuang waktu terlalu lama hanya untuk mempersiapkan pangan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1096/Menkes/ PER/VI/2011, definisi jasa boga atau katering adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Usaha jasa boga meliputi usaha penjualan makanan jadi (siap dikonsumsi) yang terselenggara melalui pesanan-pesanan untuk perayaan, pesta, seminar, rapat, paket perjalanan haji, angkutan umum dan sejenisnya. Biasanya makanan jadi yang dipesan diantar ke tempat pesta, seminar, rapat dan sejenisnya berikut pramusaji yang akan melayani tamu-tamu atau peserta seminar atau rapat pada saat pesta atau seminar berlangsung.

(19)

usaha jasa boga. Maraknya kejadian keracunan pangan di Indonesia dapat menurunkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap industri jasa boga, sehingga kejadian tersebut harus dapat ditekan atau dihindarkan oleh pelaku usaha.

Beberapa puluh tahun terakhir ini, masalah keracunan pangan dan isu keamanan pangan di dunia telah meningkat akibat maraknya kejadian keracunan pangan serta meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan isu keamanan pangan. Di wilayah Asia termasuk Indonesia, terdapat kecendrungan (trend) yang sama (Embarek, 2004). Menurut Badan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centre for Disease Control and Prevention (CDC), terjadi 6-53 juta keracunan pangan di Amerika Serikat. Sebanyak 50.000 kasus di antaranya disebabkan oleh Salmonella (CDC, 2011).

Di negara-negara berkembang, penyakit akibat keracunan pangan dan air dapat mencapai 0,8 juta orang meninggal setiap tahun. Sedangkan di negara-negara industri yang maju, penyakit akibat keracunan pangan berakibat mencapai 30% dari jumlah populasi manusianya, dan 20 orang di antara 1 juta orang yang meninggal setiap tahun dikarenakan kasus penyakit keracunan pangan. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, di Negara-negara di Asia, kasus penyakit yang disebabkan karena keracunan pangan telah meningkat karena adanya penyediaan pangan dari industri jasa boga untuk keperluan-keperluan seperti di kantin sekolah, kantin perusahaan, dan untuk keperluan social dalam rangka pesta perayaan perkawinan (Embarek, 2004).

Penyebab keracunan pangan dari produk jasa boga atau katering kemungkinan dapat disebabkan adanya mikroba patogen, kondisi sanitasi dan higiene tempat mengolah makanan yang buruk, serta penggunaan bahan kimia. Pangan yang berasal dari jasa boga dan masakan rumah tangga umumnya merupakan makanan berasam rendah dan berkadar air tinggi sehingga mudah busuk dan mudah diserang mikroorganisme. Kurangnya pengawasan dalam peredaran penggunaan bahan kimia yang digunakan dalam produksi pangan juga menjadi penyebab keracunan pangan (Suhaeni, 2011).

(20)

3

luar biasa (outbreak) penyakit yang ditularkan melalui pangan. Alternatif inilah yang menyebabkan perusahaan-perusahaan besar padat karya mulai memberlakukan syarat penerapan dan sertifikasi sistem keamanan pangan bagi industri pangan jasa boga atau katering rekanannya. Salah satu sistem manajemen keamanan pangan yang diakui secara internasional adalah sistem Hazard Analysis Critical and Control Point (HACCP). Banyak industri yang memanfaatkan katering untuk menyediakan pangan siap saji bagi para karyawannya mensyaratkan penerapan dan sertifikasi HACCP kepada para pengusaha jasa boga.

Saat ini PT ELN merupakan perusahaan katering yang memproduksi pangan siap saji dengan kategori perusahaan termasuk Golongan A3. Namun demikian, seiring dengan kemajuan perusahaan dan meningkatnya kapasitas pengolahan untuk dapat melayani pengguna jasa katering yang lebih besar lagi, PT ELN berniat untuk naik kategori menjadi Golongan B sesuai peraturan Kepmenkes.

Selain itu, dalam rangka memenuhi persyaratan yang diminta oleh perusahaan pengguna jasa katering rekanan PT ELN, dan persyaratan pemerintah untuk menjadi perusahaan katering dengan golongan yang sesuai kriteria pelayanan, serta menyadari pentingnya penerapan manajemen keamanan pangan pada industri jasa boga dan menanggapi maraknya kasus-kasus keracunan akibat mengkonsumsi pangan siap saji, maka pihak manajemen katering PT ELN berkeinginan untuk menerapkan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Sistem manajemen keamanan pangan model HACCP ini telah diakui secara internasional baik oleh CODEX, European Union (EU), dan WTO serta telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN).

Penerapan sistem manajemen keamanan pangan jasa boga melalui sistem HACCP dapat diterapkan dan diintegrasikan bersama dengan sistem lain yaitu

Good Hygiene Practices (GHP).

(21)

keracunan pangan, hilangnya pendapatan pasien penderita keracunan pangan akibat kehilangan waktu kerja karena sakit, serta biaya untuk penyembuhan pasien akibat keracunan pangan.

Penerapan sistem HACCP di PT ELN dinilai efektif untuk mencegah dan meminimalisasi resiko bahaya keracunan pangan, sehingga dinilai cukup baik untuk memberi jaminan keamanan pangan. Melalui penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP, diharapkan perusahaan industri pangan siap saji atau katering PT ELN bisa menghasilkan produk pangan dengan kualitas yang baik dan konsisten serta yang paling penting adalah aman untuk dikonsumsi, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan dan meningkatkan penjualan produk pangan siap saji perusahaan katering.

1.2. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Melakukan kajian kecukupan sistem keamanan pangan, untuk menekan kemungkinan terjadinya resiko kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang ditularkan melalui pangan pada industri jasa boga serta memberikan rekomendasi bagi pemilihan jenis sertifikasi sistem keamanan pangan yang efektif untuk usaha jasa boga atau katering.

2. Mengevaluasi kondisi yang ada pada usaha jasa boga atau katering dalam rangka sertifikasi HACCP di PT ELN.

3. Menyusun dokumen rancangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) atau HACCP Plan dan merekomendasikan rancangan sistem HACCP tersebut sebagai panduan dasar dalam penerapan dan sertifikasi sistem HACCP untuk produksi pangan pada industri jasa boga di PT ELN.

1.3. MANFAAT

(22)

5

keamanan pangan yang tepat untuk diterapkan pada industri jasa boga atau katering.

Dalam rangka memenuhi persyaratan perusahaan pengguna jasa boga, maka PT ELN berusaha menerapkan sistem keamanan pangan HACCP guna mendapatkan sertifikasi sistem HACCP. Namun demikian, kajian yang dilakukan pada penelitian ini berusaha mendapatkan informasi apakah industri jasa boga pada akhirnya wajib memiliki sertifikasi sistem HACCP atau cukup dengan mengikuti program-program keamanan pangan yang telah dikembangkan oleh pemerintah.

Tersusunnya sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang didukung dengan pemenuhan dokumen persyaratan kelayakan dasar (prerequisite programs) dan cara produksi pangan yang baik melalui good hygiene practices

(GHP) pada PT ELN menyebabkan dapat dilakukannya penerapan dan sertifikasi sistem HACCP sesuai dengan SNI 01-4582-1998 (Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman BSN 1004-2002.

(23)
(24)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.INDUSTRI PANGAN JASA BOGA

2.1.1. Definisi dan Karakteristik

Saat ini usaha jasa penyediaan makanan dan minuman atau jasa boga atau katering adalah usaha yang memberikan prospek yang baik jika dilakukan dengan benar, karenanya banyak sekali bermunculan usaha jasa boga di kota-kota besar di Indonesia. Setiap usaha jasa boga haruslah memiliki izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan setempat. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh usaha jasa boga, tergantung dari kriteria atau golongan usaha tersebut. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, yang mengatur tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Pada tahun 2011 Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes RI No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 guna menyempurnakan Kepmenkes No. 715/Menkes/SK/V/2003 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum. Untuk usaha jasa boga yang telah memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, sertifikat tersebut masih berlaku sampai habis masa berlakunya. Sedangkan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi yang sedang dalam proses sebelum Permenkes 2011 diberlakukan, maka pelaksanaannya sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga. Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 ditetapkan pada tanggal 7 Juni 2011, dan untuk selanjutnya akan menjadi acuan yang digunakan dalam penelitian ini.

(25)

masyarakat umum, yang terdiri dari A1, A2, dan A3. Sedangkan golongan B yakni jasa boga yang melayani kebutuhan khusus seperti asrama penampungan jemaah haji, perusahaan, pengeboran lepas pantai, angkutan umum dalam negeri, dan sarana pelayanan rumah sakit. Untuk golongan C yakni jasa boga yang melayani kebutuhan untuk alat angkutan umum internasional dan pesawat udara. Sedangkan beberapa kriteria serta persyaratan yang harus dipenuhi pengusaha saat memulai usaha di bidang jasa boga adalah sebagai berikut :

1. Golongan A, yang terdiri dari :

1.1. Golongan A1 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat umum, menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola keluarga, serta kapasitas pengolahan yang kurang dari 100 porsi.

1.2. Golongan A2 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat umum, menggunakan dapur rumah tangga dan memperkerjakan tenaga kerja (karyawan), dan kapasitas pengolahan antara 101-500 porsi.

1.3. Golongan A3 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat umum, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan) dan kapasitas pengolahan yang lebih dari 500 porsi.

2. Golongan B dengan kriteria melayani kebutuhan khusus untuk asrama seperti asrama penampungan jemaah haji, asrama transito, pengeboran lepas pantai, perusahaan, angkutan umum dalam negeri dan sebagainya, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan). 3. Golongan C dengan kriteria melayani kebutuhan alat angkutan umum internasional dan pesawat udara, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan).

Untuk persyaratan usaha jasa boga termasuk katering, Permenkes No. 1096/Menkes/PER/VI/2011 memberikan persyaratan sebagai berikut :

(26)

9

1.1.1. Ruang pengolahan makanan tidak boleh dipakai sebagai ruang tidur.

1.1.2. Menyediakan ventilasi yang cukup.

1.1.3. Pembuangan udara kotor/asap tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan.

1.1.4. Tersedia tempat cuci tangan yang permukaannya halus dan mudah dibersihkan.

1.1.5. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es sebagai tempat penyimpanan makanan mudah basi.

1.2. Golongan A2 :

1.2.1. Memenuhi persayaratan jasaboga golongan A1.

1.2.2. Ruang pengolahan makanan harus dipisahkan dengan ruang lain.

1.2.3. Dilengkapi alat pembuangan asap dari dapur.

1.2.4. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es untuk menyimpan makanan yang cepat busuk.

1.2.5. Tersedia tempat penyimpanan dan ganti pakaian. 1.3. Golongan A3 :

1.3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A2.

1.3.2. Ruang pengolahan makan terpisah dengan bangunan tempat tinggal.

1.3.3. Pembuangan asap dari dapur dilengkapi dengan alat pembuangan asap dan cerobong asap.

1.3.4. Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat penyiapan makanan.

1.3.5. Tersedia lemari pendingin yang dapat mencapai suhu -5o Celcius.

1.3.6. Tersedia kendaraan pengangkut makanan yang khusus dan hanya digunakan untuk mengangkut makanan jadi.

(27)

makanan harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha, serta laik hygiene sanitasi.

1.3.9. Jasaboga yang tidak mempunyai kotak dalam penyajiannya, harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha serta laik hygiene sanitasi di tempat penyajian yang mudah diketahui umum.

2. Golongan B yakni :

2.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A3.

2.2. Pembuangan air kotor dilengkapi grease trap (penangkap lemak). 2.3. Pertemuan lantai dan dinding tidak terdapat sudut mati agar tidak

menjadi tempat berkumpulnya kotoran.

2.4. Memiliki ruang kantor dan ruang untuk belajar yang terpisah dari ruang pengolahan makanan.

2.5. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuangan asap dan cerobong asap.

2.6. Fasilitas pencucian dari bahan yang kuat, permukaan halus dan mudah dibersihkan.

2.7. Setiap peralatan dibebas hamakan dengan larutan kaporit atau air panas selama 2 menit.

2.8. Setiap tempat pengolahan makanan dilengkapi tempat cuci tangan yang diletakkan didekat pintu.

2.9. Ruang pengolahan makanan terpisah dengan ruangan tempat penyimpanan bahan makanan mentah.

2.10.Tersedia lemari penyimpanan dingin yang dapat mencapai suhu -10oC sampai -5oC.

3. Golongan C yakni :

3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan B.

3.2. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuang asap, cerobong asap, saringan lemak yang dapat dibuka dan dipasang untuk dibersihkan secara berkala.

(28)

11

3.4. Tempat pencucian alat dan bahan terbuat dari bahan logam tahan karat seperti stainless steel.

3.5. Air untuk pencucian peralatan dan cuci tangan harus mempunyai tekanan sedikitnya 5ps.

3.6. Tersedia lemari penyimpanan dingin untuk makanan secara terpisah sesuai dengan jenis makanan/bahan makanan yang digunakan. 3.7. Tersedia gudang tempat penyimpanan makanan untuk bahan kering,

makanan terolah dan bahan yang tidak mudah membusuk.

3.8. Rak penyimpanan makanan harus mudah dipindah dengan menggunakan roda penggerak.

2.1.2. Persyaratan Hygiene dan Sanitasi

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1096/Menkes/PER/VI/2011, tentang persyaratan hygiene sanitasi jasa boga atau usahakatering yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, setiap usaha jasa boga atau usaha katering harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya kontaminasi terhadap pangan, baik yang berasal dari bahan makanan, orang, tempat dan peralatan agar aman dikonsumsi. Pengelolaan makanan oleh jasaboga harus memenuhi higiene sanitasi dan dilakukan sesuai cara pengolahan makanan yang baik.

(29)

dalam usaha jasa boga atau usaha katering, perolehan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering merupakan persyaratan mutlak berjalannya usaha. Untuk memperoleh Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering, pengusaha dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota/Pelabuhan setempat (Lampiran 2). Untuk perusahaan Jasa Boga atau Usaha Katering yang telah lolos, diberikan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi syarat. Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang diperoleh oleh perusahaan harus dipasang di dinding yang mudah dilihat oleh petugas atau masyarakat umum.

Pengajuan permohonan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasaboga oleh pengusaha kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat disertai lampiran-lampiran yang diwajibkan.

Dalam rangka pemberian Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk Tim Pemeriksa Uji Kelaikan Jasa Boga yang bertugas melakukan penilaian terhadap kelengkapan persyaratan. Tim Pemeriksa terdiri dari orang-orang yang memiliki pengetahuan di bidang higiene sanitasi dan bertugas melakukan pemeriksaan lapangan dan menilai kelaikan higiene sanitasi jasaboga.

Pemeriksaan Hygiene Sanitasi Jasa Boga menggunakan formulir uji kelaikan fisik hygiene sanitasi jasaboga (Lampiran 6) dan formulir pengambilan atau pengiriman contoh dan spesimen (lampiran 4). Penilaian Hygiene Sanitasi Jasa Boga didasarkan kepada nilai pemeriksaan yang dituangkan di dalam berita acara kelaikan fisik (Lampiran 3) dan berita acara pemeriksaan contoh atau specimen (Lampiran 5), sebagai berikut :

1. Pemeriksaan fisik

1.1. Golongan A1, minimal nilai 65 maksimal 70, atau rangking 65 – 70%

(30)

13

1.3. Golongan A3, minimal nilai 74 maksimal 63, atau rangking 74 – 83%

1.4. Golongan B, minimal nilai 83 maksimal 92, atau rangking 83 – 92%

1.5. Golongan C, minimal nilai 92 maksimal 100, atau rangking 92 – 100%

2. Pemeriksaan laboratorium

2.1. Angka kuman E.coli pada makanan 0/gr contoh makanan 2.2. Angka kuman pada alat makan dan minum 0 (nol)

2.3. Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen) pada penjamah makanan yang diperiksa.

2.4. Cemaran kimia pada makanan negatif

Jika hasil pemeriksaan fisik yang telah memenuhi syarat, tetapi belum didukung dengan hasil laboratorium, maka pemberian Rekomendasi Laik Hygiene Sanitasi kepada Pengusaha Jasa Boga ditunda sampai hasil laboratorium memenuhi syarat.

Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha jasa boga juga diatur dalam Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011, Dinas Kesehatan sewaktu-waktu dapat melakukan uji petik audit hygiene sanitasi dan pengujian mutu jasa boga untuk menilai kondisi fisik, fasilitas dan lingkungan Tempat Pengelolaan Makanan (TPM), tingkat cemaran makanan dan atau dalam hal ada kejadian luar biasa atau wabah dan keadaan yang membahayakan lainnya. Uji petik dilaksanakan dalam rangka pemantapan pelaksanaan pengawasan dan untuk tujuan pembinaan dan pengembangan pengawasan jasa boga. Biaya pelaksanaan uji petik dibebankan pada anggaran Pemerintah.

2.2.BATASAN KEAMANAN PANGAN SIAP SAJI

2.2.1. Bahaya Keamanan Pangan

(31)

atau dideteksi langsung oleh konsumen biasanya dihubungkan dengan segi kebersihan pangan tersebut. Pangan yang terlihat bersih, baik penampakannya, cara penjualannya maupun lingkungan tempat penjualan, biasanya dianggap aman oleh konsumen untuk dikonsumsi. Hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan, karena pangan yang terlihat bersih pada waktu penyajiannya, belum tentu baik dalam pengolahan atau persiapannya, sehingga masih mungkin mengandung jasad renik atau bahan berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan.

Bahan-bahan berbahaya yang mungkin mencemari pangan dapat berupa bahaya biologis seperti bakteri, virus, kapang, parasit dan protozoa, bahaya kimia seperti logam berat, pestisida, bahan tambahan berbahaya, dan racun, atau bahaya fisik seperti pecahan gelas, potongan tulang, kerikil, kawat, dan sebagainya. Bahan-bahan berbahaya tersebut dapat masuk ke dalam pangan melalui udara, air, bahan pangan, pekerja, hewan, serangga, atau alat-alat memasak. Pekerja dapat mencemari pangan dengan bakteri patogen melalui hidung, kotoran (feses) dan air ludah.

Beberapa sumber pencemaran utama pada pangan siap saji adalah sebagai berikut:

1. Cemaran biologis

Beberapa penyebab terjadinya cemaran biologis pada pangan misalnya: penggunaan bahan mentah dan air yang tercemar jasad renik dalam jumlah tinggi, lingkungan pengolahan dan penjualan/penyajian yang tidak bersih (udara kotor, dekat tempat pembuangan sampah), pekerja yang kotor atau menderita sakit infeksi, peralatan wadah yang tidak bersih, dan kontaminasi silang antara pangan yang telah dimasak dengan bahan mentah.

2. Cemaran kimia

(32)

15

3. Cemaran fisik

Cemaran fisik dapat disebabkan oleh kecerobohan dalam pengolahan, atau penggunaan bahan mentah yang tidak bersih/kotor. Cemaran fisik tidak menimbulkan penyakit atau keracunan tetapi dapat menimbulkan bahaya, menandakan rendahnya sanitasi dan hygiene, serta memberi citra buruk bagi pangan yang disajikan.

4. Pemantauan Terhadap Proses Pemasakan

Variabel proses pemasakan pangan siap saji yang memerlukan pemantauan khusus terutama adalah suhu, waktu, kadar keasaman (pH) makanan, dan penambahan bahan-bahan pembantu.

Pangan yang dipersiapkan dalam jumlah besar mungkin mendapatkan risiko bahwa pemasakan yang dilakukan tidak merata sehingga setiap bagian pangan tidak mendapatkan perlakuan panas yang sama. Akibatnya pada beberapa bagian pangan mungkin masih ditemukan jasad renik dalam jumlah tinggi dan menyebabkan pangan menjadi mudah busuk/basi, atau menyebabkan keracunan. Tabel 1 menyajikan pemanasan minimal pada beberapa makanan.

Tabel 1. Pemanasan minimal pada beberapa makanan* Jenis makanan

Pemanasan minimal Suhu (oC) Waktu Daging potongan tebal

(>5cm)

107-135 4-8 jam

Daging potongan tipis (<5cm)

Macam-macam saus (tergan-tung pH/keasamannya)

121-204

93

2-40 menit

2 menit-6 jam

Buah-buahan, sayuran,

makanan berpati 100-21 10 menit

Roti, adonan kue 177 5-40 ment

•Snyder(1986)

(33)

bakteri, kapang maupun khamir, dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada pangan misalnya menimbulkan bau basi/busuk, bau tengik, bau dan rasa asam, pelendiran, perubahan wama, atau menimbulkan gas/busa.

Pangan siap saji sebenanarnya bukan merupakan pangan yang steril karena tidak dikemas secara rapat, oleh karena itu tidak pernah bebas dari pencemaran oleh jasad renik pembusuk. Tabel 2 menyajikan jumlah minimal setiap bakteri patogen untuk menimbulkan gejala sakit atau keracunan, dan jumlah yang diperbolehkan di dalam bahan mentah sebelum pemasakan.

Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit atau keracunan

Penyebab Makanan yang sering tercemar

Salmonella Telur, daging

unggas < 10

Bacillus cereus Beras/nasi >106 < 100

Vibrio

parahaemolyticus

Makanan hasil laut

105 - 107 < 100

Vibrio cholera* Air, makanan

mentah 10

5

< 10

Shigefla Air, makanan

mentah 10

Eschrichia coli Air, makanan

mentah 10

6

< 10

b

1-10 sel untuk bayi dan manula. Sumber : Fardiaz, S (1994)

(34)

17

dengan cepat, maka memungkinkan terjadinya kebusukan sebelum pangan sampai ke tangan konsumen, atau menyebabkan keracunan jika kebetulan terdapat bakteri patogen yang dapat berkembang biak dengan baik. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, maka Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan bahwa untuk menjamin suatu pangan siap saji tidak busuk dan aman untuk dikonsumsi, maka sebaiknya pangan disimpan pada suhu lemari es yaitu maksimal 5oC untuk pangan yang dikonsumsi dalam keadaan dingin seperti berbagai macam salad dan minuman dingin, atau pada suhu di atas 60oC untuk pangan yang dikonsumsi dalam keadaan panas/hangat. Suhu di antara 5°C dan 60°C merupakan suhu kritis (danger zone) karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan pangan. Di Indonesia, pangan siap saji yang disajikan dalam keadaan hangat (hotfood) belum mendapat pengawasan khusus mengenai suhu yang diterapkannya, sehingga kemungkinan risiko bahwa penyimpanan hangat justru menjadi inkubator bagi pertumbuhan jasad renik dapat terjadi.

Jika jumlah jasad renik pembusuk dan patogen di dalam pangan cukup kecil dan dipertahankan supaya tidak berkembang biak selama penyimpanan maka pangan tersebut masih dapat diterima dan aman untuk dikonsumsi. Dengan kata lain pangan tidak mengalami perubahan yang menyimpang atau menyebabkan keracunan atau penyakit karena jumlah bakteri patogen masih di bawah jumlah minimmal yang dapat menimbulkan penyakit.

(35)

(Katering)

Perkembangan industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian makanan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah berkembang dengan pesat pada saat ini. Industri semacam ini banyak dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai keperluan, seperti penyajian makanan-makanan di suatu pesta, seminar, atau untuk karyawan pabrik dan perkantoran. Data sampai tahun 2004, di Bali saja tercatat ada 326 usaha jasa katering, 1498 usaha restoran atau rumah makan, dan 145 hotel berbintang yang menyediakan jasa boga (Antara, 2005). Menjamurnya usaha jasa boga ini terjadi karena kebutuhan akan makanan yang praktis dan siap dikonsumsi oleh konsumen yang serba sibuk, sehingga konsumen tidak perlu membuang waktu terlalu lama hanya untuk mempersiapkan dan menyajikan pangan.

Namun demikian, usaha jasa boga yang menyediakan pangan siap saji mempunyai resiko kemunginan dapat terjadinya penyakit yang ditularkan melalui pangan (foodborne disease) apabila tidak dilakukan penanganan yang baik. Dari laporan-laporan di berbagai media massa diketahui bahwa pangan yang berasal dari katering sering menimbulkan masalah keracunan yang meminta korban cukup banyak. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan di media massa umumnya yang menyerang sekelompok orang dalam jumlah besar, misalnya yang menyerang karyawan-karyawan di suatu pabrik yang mengkonsumsi pangan yang dipesan dari pengusaha jasa boga atau katering. Terdapat pula kasus keracunan pangan tetapi tidak dilaporkan, biasanya terjadi pada kelompok kecil konsumen atau yang konsumennya menyebar.

(36)

19

tahun 2006, dalam kurun waktu 8 bulan terjadi 62 KLB. Dari 11.745 orang yang mengkonsumsi pangan, 4.235 di antaranya jatuh sakit dan 10 di antaranya meninggal dunia (BPKN, 2011).

Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 adalah adanya 2 orang penderita atau lebih dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan dan adanya dugaan pangan sebagai sumber keracunan yang dibuktikan secara epidemilogis (menunjukkan hubungan sebab akibat).

Hasil penelitian Sparingga (2011) menunjukkan bahwa dugaan penyebab KLB keracunan pangan paling banyak disebabkan oleh mikroba yaitu sebesar 21 persen, sedangkan bahan kimia 13 persen dan sisanya tidak ada sampel. Sedangkan kasus-kasus keracunan pangan penyebab kejadian luar biasa diperoleh data karena beberapa hal yaitu : (1) pangan rumah tangga (562 kasus); (2) pangan olahan (205 kasus); (3) pangan jasa boga atau jasa katering (271 kasus); (4) pangan jajanan (186 kasus); (5) lain-lain (15 kasus); (6) tidak dilaporkan (25 kasus).

(37)

pengolah makanan yang tidak baik (19%), peralatan yang tercemar (16%), proses pemasakan yang kurang termasuk pemanasan kembali yang tidak cukup (11%), bahan baku dari sumber tercemar (6%), dan penyebab-penyebab lain seperti menyiapkan makanan terlalu lama (lebih dari 12 jam) sebelum dikonsumsi (11%). Di Indonesia diperkirakan penyebab utama kasus keracunan dari pangan katering diantaranya adalah penggunaan bahan mentah yang tercemar mikroorganisme patogen, pangan didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi, dan proses pemanasan kembali yang tidak cukup. Seringkali pangan katering tersebut dipersiapkan pada malam hari dan baru dihidangkan untuk makan siang pada hari berikutnya, sedangkan proses pemanasan kembali mungkin tidak cukup karena jumlah pangan yang dipersiapkan terlalu banyak. Selain itu jika selama waktu menunggu tersebut telah terbentuk racun bakteri yang relatif tahan panas, misalnya enterotoksin Staphylococcus aureus, kemungkinan pemanasan yang diberikan tidak cukup untuk menginaktifkan racun tersebut. Penggunaan bahan tambahan pangan yang berbahaya dan cemaran kimia sukar untuk dideteksi secara langsung karena gejalanya pada umumnya tidak bersifat akut (Fardiaz, 1994).

Masih banyaknya kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh pangan yang disediakan oleh industri jasa boga disebabkan pengusaha atau pedagang makanan, termasuk pengusaha katering dan restoran, pada umumnya tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam praktek sanitasi yang baik dalam pengolahan dan penyajian makanan sehingga makanan yang dihidangkan cukup terjamin keamanannya. Menurut survei yang dilakukan di Indonesia, sebanyak 87,5% dari manager katering dan 19,7% dari perusahaan katering belum pernah mendapatkan petunjuk atau pengetahuan mengenai sanitasi pangan (Purawidjaja, 1992).

(38)

21

akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat dalam industri pangan dan tidak dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di pasaran, karenanya dibutuhkan suatu tindakan preventif yang efektif untuk mengidentifikasi berbagai bahaya sejak tahap awal persiapan, pengolahan sampai penyajian makanan, menilai risiko-risiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana prosedur pengendalian akan berdaya guna. Sehingga, prosedur pengendalian lebih diarahkan pada kegiatan tertentu yang penting dalam menjamin keamanan makanan.

Jumlah inspektur pangan yang masih sangat terbatas di Indonesia menyebabkan prioritas inspeksi terutama hanya dilakukan terhadap industri pangan, sedangkan industri jasa boga yang jumlahnya semakin banyak belum mendapat inspeksi yang memadai. Cara yang terbaik untuk mengatasi hal ini adalah dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada pengusaha-pengusaha pangan, baik pengusaha-pengusaha katering, restoran, hotel, maupun pedagang pangan jajanan mengenai praktek sanitasi yang baik dalam mengolah dan mempersiapkan serta menyajikan pangan, serta pengetahuan mengenai kemungkinan bahaya yang timbul jika praktek pengolahan dan persiapan pangan tidak dilakukan dengan benar.

2.3.JAMINAN KEAMANAN PANGAN UNTUK JASA BOGA

(39)

telah mengembangkan program keamanan pangan terpadu yaitu Program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga.

Namun demikian, di Indonesia telah diakui beberapa sertifikasi keamanan pangan yang menyangkut pengadaan pangan oleh jasa boga. Beberapa sertifikasi tersebut bersifat wajib dimiliki oleh jasa boga sebagai ijin usahanya yang tertuang dalam peraturan pemerintah, dan beberapa yang lain bersifat sukarela, atau merupakan persyaratan kerjasama dari rekan bisnis usaha jasa boga itu sendiri. Beberapa jenis sertifikasi keamanan pangan untuk usaha jasa boga yang diakui di Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Sertifikasi Laik Hygiene Sanitasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1096/Menkes/PER/VI/2011, Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa boga, dengan demikian sertifikat ini bersifat wajib (mandatory).

Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang terhadap jasaboga yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sertifikat ini diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota daerah setempat dimana usaha jasa boga tersebut beroperasi. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga serta berlaku selama 3 (tiga) tahun dan untuk selanjutnya dapat diperpanjang jika memenuhi syarat.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk Tim Pemeriksa yang bertugas melakukan penilaian, kunjungan dan pemeriksaan untuk menilai kelaikan persyaratan bangunan, peralatan, ketenagaan, dan bahan makanan baik fisik, kimia, maupun bakteriologis dan seluruh rangkaian proses produksi pangan.

(40)

23

Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP yang telah menugaskannya dalam berita acara kelaikan fisik (Lampiran 3), berita acara pemeriksaan sampel makanan (Lampiran 5), dan surat rekomendasi laik higiene sanitasi (Lampran 6). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dapat dikeluarkan setelah pemohon dinyatakan telah memenuhi persyaratan oleh Tim Pemeriksa yang melihat langsung ke lokasi pengolahan pangan (Lampran 7).

2. Program Piagam Bintang Keamanan Pangan

Pada akhir tahun 2003, Badan POM menyelenggarakan Pilot Project

program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini merupakan salah satu kegiatan dari Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan, yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga.

Piagam Bintang Satu diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan prinsip-prinsip dasar keamanan pangan. Piagam Bintang Dua diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dan mengembangkan prosedur serta mengisi lemar kerja. Piagam Bintang Tiga diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan manajemen Keamanan Pangan berdasarkan prinsip Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Namun demikian, sifat dari Program Piagam Bintang Keamanan Pangan ini adalah sukarela (voluntary) sebagai penghargaan Pemerintah kepada industri pangan atas usaha mereka menerapkan keamanan pangan di industrinya.

3. Program CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik)

(41)

pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan, diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (NACMCF, 1998).

Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standar prosedur operasional sanitasi atau

sanitation standard operation procedures (SSOP). Di Indonesia, BPOM telah menerbitkan pedoman CPPB atau GMP sesuai Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.5.1639 tahun 2003. Surat Keputusan ini menetapkan bahwa seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pengolahan pangan wajib berpedoman pada CPPB. Hanya saja SK BPOM No. HK 00.05.5.1639 berlaku wajib untuk industri rumah tangga. Untuk usaha jasa boga, belum ada pedoman CPPB yang khusus disusun untuk pengolahan pangan siap saji jasa boga, namun demikian prinsip-prinsip hygiene sanitasi dapat diadaptasi pada usaha jasa boga. Pedoman penerapan GMP disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Pada Usaha jasa boga, penerapan GMP lebih ditekankan pada GHP (Good Hygiene Practice).

(42)

25

Pedoman penerapan CPPB ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan; (2) memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak; (3) mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional; (4) memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen.

Standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation procedures (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses.

Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, pengendalian proses produksi (pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman), pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan), higiene/kebersihan personil/karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung), transportasi (persyaratan, penggunaan dan pemeliharaan), informasi produk, serta pelatihan.

(43)

rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan pangan kering disimpan ditempat yang kering dan tidak lembab. Penyimpanan bahan pangan harus memperhatikan suhu seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Suhu penyimpanan bahan makanan No Jenis bahan makanan

Digunakan dalam waktu

Selain itu, penyimpanan pangan yang telah masak atau jadi tidak dicampur dengan bahan pangan mentah. Tabel 4 menyajikan suhu penyimpanan pangan jadi/masak.

Tabel 4. Suhu penyimpanan pangan jadi /masak

No Jenis pangan

(santan, telur, susu) 65,5

o

C -5o s/d -1oC 4 Makanan disajikan

dingin 5

o

s/d 10oC < 10°C Permenkes No.1096/2011

(44)

27

akan ditempatkan, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap makanan yang mencair (kondensasi).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan pemanasan terhadap suatu pangan adalah pH/keasaman, dan komposisi makanan. Makanan berasam tinggi (pH rendah) memerlukan pemanasan yang lebih sedikit dibandingkan makanan netral (pH sekitar 7). Makanan yang mengandung garam, gula, protein dan lemak dalam jumlah tinggi memerlukan pemanasan yang lebih tinggi dibandingkan makanan dengan kandungan bahan-bahan tersebut dalam jumlah lebih rendah.

4. Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)

Pemerintah melalui BSN (Badan Standarisasi Nasional) telah mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidlines for application ) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis,HACCP-serta Pedoman Penerapannya) dan telah menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-2002 tentang panduan penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACCP (Suprapto, 1999). Di Indonesia, penerapan HACCP masih bersifat sukarela (voluntary) dan biasanya karena kebutuhan sebagai persyaratan perdagangan. HACCP atau Hazard Analysis Critical Control Point adalah suatu pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF, 1998). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) intinya adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen.

(45)

Prinsip 1

Prinsip 2

Prinsip 7 Prinsip 6

Prinsip 5 Prinsip 4 Prinsip 3

diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya bahaya pada suatu produk pangan.

Gambar 1. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius Commission)

Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : (1) Analisis bahaya dan penetapan resiko, (2) Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), (3) Penetapan batas kritis untuk setiap CCP yang telah diidentifikasi, (4) Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor, (5) Menentukan tindakan koreksi yang harus diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya, (6) Penetapan dan pengembangan sistem

1.Menyusun Tim HACCP

2. Mendeskripsikan Produk

3. Identifikasi Penggunaan Produk

4. Menyusun Diagram Alir

5. Melakukan Verifikasi Diagram Alir di tempat

6. Mendaftar semua Bahaya Potensial Melakukan Analisis Bahaya Menentukan Tindakan Pengendalian

7. Menentukan CCP

8. Menetapkan Batas Kritis untuk Setiap CCP

9. Menetapkan Sistem Monitoring untuk Setiap CCP

10. Menetapkan tindakan koreksi untuk penyimpangan yang

mungkin terjadi

11. Menetapkan Prosedur Verifikasi

12. Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan

(46)

29

dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record keeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP, (7) Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik.

Implementsi prinsip-prinsip di atas tergantung dari jenis perusahaannya. Bagi perusahaan jasa boga, sistem HACCP tersebut dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan mudah untuk diterapkan di lapangan.

Untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP, tahap pertama yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen dari manajemen kepemimpinan perusahaan dengan fokus keamanan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Hal ini berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaan.

Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan pada Gambar 1. Langkah 1 sampai 5 pada Gambar 1 merupakan lima tahap pendahuluan sedangkan langkah 6 sampai 12 merupakan tujuh langkah prinsip penerapan dan pengembangan sistem HACCP.

Langkah 1

Menyusun Tim HACCP

Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam usaha pangan jasa boga yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan yang aman.

Langkah 2

Mendeskripsikan Produk

(47)

penyimpanan, cara penyajian, serta keterangan lain yang berkaitan dengan produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan evaluasi.

Langkah 3

Identifikasi Penggunaan Produk

Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya kelompok vegetarian, kelompok diet bahan pangan tertentu, kelompok penderita penyakit tertentu, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.

Langkah 4

Menyusun Diagram Alir Proses

Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan penyajian produk. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya.

Langkah 5

Melakukan Verifikasi Diagram Alir Proses

(48)

31

Langkah 6

Analisa Bahaya (Prinsip 1)

Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan produk, distribusi, hingga tahap penyajian ke konsumen. Tujuan analisis bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.

Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya, penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara penyimpanan, dan lain sebagainya.

Tabel 5. Jenis-jenis bahaya

Jenis Bahaya Contoh

Biologi

Sel Vegetatif : Salmonella sp, Eschericia coli

Kapang : Aspergillus, Penicillium, Fusarium

Virus : Hepatitis A Parasit : Cryptosporodium sp

Spora Bakteri :

Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diijinkan, residu pestisida, logam berat, bahan allergen Fisik Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau kerikil, rambut, kuku, perhiasan, plastic, serangga dan

kotorannya

(49)

Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya Bahaya A

Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok beresiko (lansia, bayi, immunocompromised )

Bahaya B Produk mengandung ingridient sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik

Bahaya C

Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik

Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum pengemasan Bahaya E

Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya

Bahaya F

Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah

pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik

Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman. Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GHP ( Good Hygiene Practices) , SSOP (Sanitation Standard Operational Procedure) , SOP (Standard Operational Procedure), dan sistem pendukung lainnya.

Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya, maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat diterapkan kategori resiko I sampai VI ( Tabel 7 ). Selain itu, bahaya yang ada dapat juga dikelompokkan berdasarkan signifikansinya (Tabel 8). Signifikansi bahaya dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya (

(50)

33

Tabel 7. Penetapan kategori resiko

Karakteristik Bahaya Kategori Resiko Jenis Bahaya

0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F

(+) I Mengandung satu bahaya B sampai F

(+ +) II Mengandung dua bahaya B sampai F

(+ + +) III Mengandung tiga bahaya B sampai F (+ + + +) IV Mengandung empat bahaya B sampai F (+ + + + +) V Mengandung lima bahaya B sampai F A+(kategori khusus)

dengan atau tanpa bahaya B-F

VI Kategori resiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)

Tabel 8. Signifikansi bahaya

Tingkat Keparahan (Severity)

L M H

Peluang Terjadi (Reasonable likely to occur)

l Ll Ml Hl

m Lm Mm Hm*

h Lh Mh* Hh*

*) Umumnya dianggap signifikan dan akan diteruskan/dipertimbangkan dalam penetapan CCP

Keterangan : L=l= low, M=m= medium, H=h=high

Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan critical control point.

Langkah 7

Menentukan Critical Control Point (Prinsip 2)

(51)

Gambar 2.Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP

decision tree

Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah ditetapkan diuji dengan menggunakan diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree yang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar

Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit
Gambar 1.    Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem
Tabel 6. Karakteristik bahaya
Tabel 7. Penetapan kategori resiko
+7

Referensi

Dokumen terkait