• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

4.2. Evaluasi Kondisi Pada Usaha Jasa Boga atau Katering dalam

4.2.1. Sanitasi dan Hygiene

Perusahaan industri pangan siap saji atau katering PT ELN termasuk usaha jasa boga dengan kriteria Golongan A3 dan belum menerapkan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP. Untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh perusahaan pengguna jasa katering dan dalam rangka memenuhi kategori usaha jasa boga atau katering Golongan B sesuai Permenkes RI No. 1096/PER/VI/2011, maka PT ELN berkeinginan untuk memenuhi persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga kategori Golongan B dan menerapkan sistem HACCP.

Berdasarkan pengamatan (observasi) yang dilakukan di lapangan, wawancara, pengamatan keadaan nyata perusahaan atas penerapan Hygiene dan Sanitasi di PT ELN dibandingkan dengan standar yang ada (berdasarkan Kriteria menurut Permenkes No. 1096/PER/VI/2011), dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Hasil evaluasi kondisi penerapan hygiene dan sanitasi di PT ELN

No. ASPEK URAIAN BOBOT No. ASPEK URAIAN BOBOT

1 Lokasi, Bangunan,

Fasilitas 4 10 Makanan 6

2 Pencahayaan 1 11 Perlindungan

Makanan 9

3 Penghawaan 1 12 Peralatan Makan dan

Masak 17

4 Air Bersih 5 13 Khusus Golongan A.1 5

5 Air Kotor 1 14 Khusus Golongan A.2 3

6 Fasilitas Cuci Tangan

dan Toilet 3 15 Khusus Golongan A.3 8

7 Pembuangan Sampah 2 16 Khusus Golongan B 6 8 Ruang Pengolahan

Makanan 2 17 Khusus Golongan C -

Tabel 17 menunjukkan bahwa kondisi penerapan hygiene dan sanitasi di PT ELN diperoleh nilai bobot sebesar 82. Nilai bobot 82 ini masih termasuk dalam range kategori Golongan A3 (nilai bobot 74 – 83). Oleh karena itu, berdasarkan standar permenkes, PT ELN harus melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk mencapai nilai bobot minimal 83 agar dapat masuk ke kategori usaha jasa boga Golongan B (nilai bobot 83 – 92). Hasil selengkapnya dari pemeriksaan kondisi hygiene dan sanitasi perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil identifikasi dari ketidaksesuaian nilai bobot terhadap penerapan hygiene dan santasi (berdasarkan Kriteria menurut Permenkes No. 1096/PER/VI/2011) dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Ketidaksesuaian kondisi PT ELN dalam penerapan hygiene dan sanitasi berdasarkan kriteria menurut Permenkes tahun 2011

No. ASPEK KETIDAKSESUAIAN URAIAN

1 Pencegahan Kontaminasi Silang - Status kesehatan dan kebersihan karyawan

- Penggunaan atribut kerja - Pada lokasi kerja tidak terdapat

himbauan tertulis dalam hal hygiene dan sanitasi

2 Pemeliharaan Sarana dan Pengendalian Hama

- Program pest control belum dilaksanakan dengan baik

3 Persyaratan Fasilitas Sanitasi - Perusahaan baru memiliki fasilitas dua bak pencuci

4 Persyaratan Bangunan - Pertemuan sudut lantai dan dinding tidak konus

Dari Tabel 18, diketahui terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam penerapan hygiene dan sanitasi berdasarkan kriteria menurut Permenkes. Ketidaksesuaian pertama adalah berkaitan dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh status kesehatan karyawan, kebersihan karyawan, dan kebiasaan karyawan (hygiene karyawan). Walaupun semua karyawan yang bekerja bebas dar penyakit infeksi, kulit, bisul dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) namun masih ada karyawan yang bekerja dengan luka terbuka walaupun sudah mengering. Selain itu masih ada karyawan yang menggunakan kosmetik saat melakukan

pengolahan makanan, bahkan terkadang ada pengolah pangan yang tidak menggunakan penutup mulut serta sarung tangan saat menjamah pangan masak. Ketidakpraktisan dalam bekerja jika menggunakan penutup mulut dan sarungtangan merupakan keluhan sebagian besar karyawan. Hal ini merupakan kendala psikologis bagi para karyawan dalam penerapan hygiene karyawan, padahal manusia adalah sumber dari berbagai bakteri terutama bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi pangan melalui tenaga pengolah pangan (Longree, 1980). Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan dan pemantauan kesehatan karyawan yang sedang bertugas secara visual, misalnya penggunaan atribut penutup kepala, penutup mulut, dan sarung tangan, atau luka dan penyakit kulit, yang dapat dilakukan langsung oleh pihak penanggungjawab usaha jasa boga sebelum kegiatan pengolahan pangan dimulai. Depkes (2001), menguraikan bahwa bakteri dapat mengkontaminasi pangan melalui rambut, kulit (penyakit kulit), kuku, saluran nafas (penyakit saluran nafas), tangan, bersin, meludah, menguap, dan batuk.

Semua karyawan diberikan pelatihan dalam hal sanitasi dan hygiene sekaligus untuk memperbaiki sikap dan perilaku karyawan dalam berkomitmen untuk mendukung program rencana penerapan sistem manajemen keamanan pangan di perusahaan.. Apabila ditemui ada karyawan yang tidak menjaga kebersihan dan tingkah laku karyawan selama proses pengolahan pangan, maka karyawan yang bersangkutan dapat ditegur atau diperingatkan dan dicatat terlebih dahulu. Bila karyawan yang diperingatkan dan dicatat telah 5 kali tetapi masih berperilaku yang tidak sesuai dengan aturan penerapan hygiene dan sanitasi serta kebiasaan karyawan yang baik, maka diperlukan adanya tindakan tegas berupa sangsi dari penanggung jawab usaha jasa boga. Menurut penelitian Nurlela (1998) penyuluhan dan pelatihan terbukti telah meningkatkan pengetahuan dan sikap penjamah pangan tentang hygiene dan sanitasi pangan.

Pada lokasi pengolahan tidak terdapat satupun poster/tulisan himbauan untuk menjaga hygien dan sanitasi karyawan, karenanya sebagai mediator pengingat, perlu untuk menempelkan di tempat yang strategis

poster/tulisan himbauan menjaga kebersihan diri dan tempat kerja seperti selalu mencuci tangan setelah dari kamar mandi, sebelum mengolah pangan, atau setelah membuang sampah (Jacob, 1989).

Pemeriksaan dan pemantauan kesehatan secara berkala juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa karyawan terbebas dari penyakit yang dapat mengkontaminasi pangan siap saji. Ketidak adaan dokumen yang disimpan menyebabkan pemeriksaan kesehatan karyawan ke praktek kesehatan terdekat sering terlewatkan, karenanya perlu dibuat jadwal pemeriksaan kesehatan karyawan yang hasilnya dapat didokumetasikan oleh penanggunjawab usaha.

Ketidaksesuaian kedua adalah berkaitan dengan pemeliharaan sarana dan pengendalian hama berupa menghilangkan pest dari unit pengolahan. Walaupun sudah ada usaha perlindungan terhadap serangga, tikus, hewan peliharaan dan hewan pengganggu lainnya (Lampiran 7), namun belum dilaksanakan dengan konsisten. Tidak ingat letak semua pest control dan karena kesibukan pekerjaan yang lain menjadi alasan utama petugas terkait. Ketidaksesuaian ini dapat diatasi dengan membuat denah penempatan pest control dan dibuat jadwal monitoring serta rekaman hasil monitoring pelaksanaan program pest contol yang dapat disimpan oleh penanggungjawab usaha.

Ketidaksesuaian ketiga berhubungan dengan persyaratan fasilitas sanitasi. Perusahaan telah memiliki fasilitas pencucian yang cukup baik, namun hanya memiliki dua bak pencuci. Ketidaksesuaian ini dapat diatasi dengan penambahan sarana bak pencucian yang disanggupi perusahaan untuk diadakan.

Ketidaksesuaian keempat berkaitan dengan persyaratan bangunan dimana pertemuan sudut lantai dan dinding tidak konus. Ketidaksesuaian ini termasuk dalam persyaratan khusus usaha jasa boga Golongan B. Sulit bagi perusahaan untuk melakukan renovasi keseluruhan bangunan guna memenuhi standar ini, namun demikian ketidaksesuaian ini dapat diatasi dengan senantiasa menjaga kebersihan ruang pengolahan dan menjamin program

sanitasi berjalan dengan baik melalui penyusunan jadwal pembersihan dan monitoring kebersihan ruang pengolahan secara berkala.

Ditinjau dari aspek cara produksi pangan yang baik atau higiene dan sanitasi yang sudah diterapkan perusahaan, selain beberapa ketidaksesuaian di atas, ada beberapa ketidaksesuaian lain yang bersifat administratif dan operasional sebagai berikut :

1. Sebagaimana karakteristik dari industri jasa boga yaitu jenis pangan yang diproduksi dan disajikan sangat beragam, sehingga sifat dari industri ini adalah industri yang menggunakan banyak bahan baku atau ingridien, karenanya perlu dikenali ingridien yang seringkali mengandung bahaya tertentu (sensitive ingredients) seperti bahaya mikrobiologi, kimia, dan fisik. Untuk menentukan bahan baku yang sensitif ini, informasi dapat diperoleh dari data pustaka, data suplaier, data keracunan, CoA bahan baku, hasil analisis berkala yang mungkin dilakukan atau data bagian pembelian. Selain itu, untuk mengantisipasi adanya bahaya dari bahan baku, penting untuk menyimpan catatan sejarah suplaier, adanya jaminan suplaier, audit suplaier serta pengujian suplaier secara berkala jika diperlukan.

2. Alat-alat yang sudah rusak dan tidak terpakai, sebagian masih ada yang disimpan di gudang penyimpanan bergabung dengan bahan baku kering dan sebagian di letakkan di luar dekat tempat pencucian alat. Meskipun rak penyimpanan alat-alat terpisah dengan rak/lemari penyimpanan bahan baku kering, namun penyimpanan alat-alat yang sudah tidak terpakai dan berdebu dapat menjadi sarang serangga dan berpotensi menimbulkan kontaminasi silang. Penumpukkan alat-alat yang sudah rusak di luar ruang pengolahan dapat berpotensi menjadi sarang tikus. Perusahaan harus melakukan penanganan/membuang peralatan yang sudah rusak/tidak digunakan lagi sehingga kebersihan dan program hygiene sanitasi dapat berjalan dengan baik.

3. Higiene karyawan ditemukan masih adanya karyawan yang menggunakan kosmetik pada saat melakukan pengolahan pangan, serta sarung tangan, penutup kepala, dan penutup mulut yang tidak digunakan oleh beberapa

tenaga penjamah pangan juga kebiasaan mencuci tangan yang harus ditingkatkan oleh semua tenaga pengolah pangan dengan penempelan poster himbauan menjaga kebersihan diri dan tempat kerja, karena kebersihan tangan, pencucian tangan, dan kebersihan diri pengolah pangan sangat penting dalam proses pengelolaan pangan (Swane, 1998). 4. Kondisi dan kebersihan permukaan meja kerja seperti meja persiapan

bahan mentah dan meja persiapan pangan masak sudah dilakukan pembersihan dan sanitasi, namun pada saat tidak digunakan/dipakai terlihat masih ada sisa-sisa bumbu atau minyak yang menempel di meja tersebut, sehingga dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi silang ke pangan berikutnya yang dihasilkan. Program pembersihan dan santasi pada peralatan perlu lebih diefektifkan untuk menjamin tidak adanya sisa-sisa pangan yang menjadi kotoran pada alat dan menjaga agar kondisi peralatan yang kontak dengan pangan tetap bersih dan hygienis. Pembersihan peralatan yang terbuat dari bahan stainless steel dapat digunakan larutan pembersih deterjen alkali non ionik, dan desinfektan yang antara lain hipoklorit, yodophor, dan klorin organik (Jenie, 1998). 5. Sistem kontrol dan tahap-tahap pekerjaan sudah ada di perusahaan, hanya

saja secara umum belum ada standard operating procedure (SOP), sanitation standard operating procedure (SSOP), Instruksi Kerja (IK), catatan hasil rekaman serta dokumentasi, dan hasil evaluasi dari semua kegiatan yang dilakukan oleh setiap bagian pekerjaan. Kebiasaan menulis juga belum terbangun di perusahaan, terlihat dari keengganan personil dan kekhawatiran akan kesulitan dalam melakukan kegiatan pencatatan. Untuk mengantisipasi hal ini, pelatihan tentang pentingnya dokumentasi rekaman kepada karyawan dengan cara mencari cara yang mudah dalam pencatatan dan penyimpanan serta pelaporan, sebagai cara untuk meningkatkan keamanan pangan yang dihasilkan. Karyawan diberi pendidikan dan pelatihan berkenaan dengan pembuatan dokumen standar prosedur operasi dan instruksi kerja supaya karyawan menjadi lebih percaya diri dan perhatian terhadap pengendalian keamanan pangan (Sudibyo, 2008). Program keamanan pangan sebaiknya terdokumentasi

dengan baik dalam SOP yang tertulis dan dimengerti serta dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan yang bersangkutan, dan jika diperlukan dapat ditinjau ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan, dapat diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang hendak dicapai (Bernard dan Parkinson, 1999).

Dokumen terkait