• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. BAHAN DAN METODE

2.5 Karakterisasi Morfometrik

3.1.4 Jarak Genetik

Berdasarkan analisis keragaman genetik interpopulasi menunjukkan nilai jarak genetik berkisar antara 0,257 hingga 0,343 (Tabel 5)

Tabel 5. Jarak genetik 3 populasi ikan sepat

Populasi Ikan Sepat Sumatera Jawa Kalimantan

Sumatera *****

Jawa 0.257 *****

Kalimantan 0.277 0.343 *****

Hubungan kekerabatan interpopulasi 3 populasi ikan sepat yang digambarkan dalam bentuk dendrogram UPGMA menunjukkan populasi ikan sepat dari populasi Sumatra dan Jawa membentuk satu kelompok terpisah dari sepat Kalimantan (Gambar 3).

3.1.5 Karakteristik Morfometrik

Pengukuran 21 karakter morfometrik pada ketiga populasi ikan sepat (Lampiran 2), disajikan dalam bentuk rata-rata (Tabel 6) dan koefisien keragaman (Lampiran 3). Koefisien keragaman tertinggi adalah karakter C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral) dan yang terendah adalah karakter A4 (jarak antara punuk dengan sirip ventral).

Gambar 3. Dendrogram 3 populasi ikan sepat (Jawa, Sumatra, Kalimantan)

Jawa

Sumatra

Tabel 6. Rata-rata 21 karakter morfometrik (cm) ikan sepat

Keterangan

A1 : Jarak antara titik awal mulut dengan punuk A2 : Jarak antara titik awal mulut dengan bawah mulut A3 : Jarak antara punuk dengan bawah mulut

A4 : Jarak antara punuk dengan sirip ventral A5 : Jarak antara punuk dengan sirip pektoral A6 : Jarak antara punuk dengan awal sirip anal B1 : Jarak antara punuk dengan awal sirip dorsal

B2 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan akhir sirip dorsal B3 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan sirip pektoral B4 : Jarak antara sirip dorsal dengan awal sirip ventral B5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip ventral B6 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip pektoral B7 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan awal sirip anal C1 : Jarak antara awal sirip anal dengan sirip pektoral C2 : Jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral C3 : Jarak antara sirip ventral dengan bawah mulut

D1 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan akhir sirip caudal D2 : Jarak antara awal sirip caudal dengan akhir sirip caudal D3 : Jarak antara akhir sirip caudal dengan awal sirip anal D4 : Jarak antara awal sirip anal dengan awal sirip caudal D5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan awal sirip caudal

Karakter yang diukur Sumatra Jawa Kalimantan

A1 2,441±0,211 1,673±0,221 1,765±0,150 A2 2,222±0,404 1,544±0,263 1,456±0,195 A3 3,165±0,697 1,817±0,207 2,000±0,286 A4 3,734±0,194 2,325±0,257 2,556±0,279 A5 7,157±0,337 4,379±0,585 4,588±0,661 A6 4,641±0,337 2,978±0,283 3,167±0,347 B1 4,672±0,231 2,917±0,453 3,077 ±0449 B2 3,463±0,481 1,856±0,291 2,133±0,194 B3 5,783±0,415 3,435±0,525 3,777±0,505 B4 5,583±0,379 3,303±0,557 3,611±0,390 B5 7,481±1,181 4,533±0,592 5,113±0,688 B6 7,584±0,595 4,212±0,534 4,844±0,782 B7 5,636±1,200 3,105±0,485 3,511±0,406 C1 0,90±1,490 0,536±0,082 0,533±0,323 C2 0,634±0,172 0,511±0,128 0,555±0,070 C3 1,635±0,176 1,094±0,087 1,299±0,324 D1 2,762±0,231 1,813±0,280 1,944±0,211 D2 1,879±0,336 1,177±0,211 1,300±0,226 D3 7,847±1,699 4,933±0,899 5,655±0,818 D4 8,988±0,681 5,177±0,776 5,888±0,723 D5 3,626±0,239 2,298±0,341 2,644±0,483

Uji perbandingan karakter morfometrik (Tabel 7) menunjukkan 3 karakter berbeda.

Tabel 7. Uji signifikansi pada 21 karakter morfometrik ikan sepat

* Karakter yang berbeda (P≤0,05)

Karakter yang berbeda nyata adalah B2 (jarak antara awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung), B6 (jarak antara akhir sirip punggung dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral).

Hasil ilustrasi fungsi kanonikal memperlihatkan bahwa karakter morfometrik ketiga populasi ikan sepat terdistribusi pada kuadran yang berbeda (Gambar 4). Populasi sepat Sumatra (kuadran II dan III) terpisah dari populasi Kalimantan (kuadran I) dan Jawa (Kuadran IV). Kemiripan komponen morfometrik antar populasi ikan sepat dapat digambarkan menggunakan sharing component (index kesamaan) pada Tabel 8.

 Jarak 

genetik  LambdaWilks' F df1 df2 Sig. A1 .833 2.703 2 27 .085 A2 .863 2.149 2 27 .136 A3 .954 .654 2 27 .528 A4 .993 .099 2 27 .906 A5 .935 .941 2 27 .403 A6 .973 .379 2 27 .688 B1 .974 .362 2 27 .700 B2 .774 3.931 2 27 .032* B3 .965 .482 2 27 .622 B4 .948 .735 2 27 .489 B5 .986 .190 2 27 .828 B6 .698 5.837 2 27 .008* B7 .866 2.093 2 27 .143 C1 .978 .302 2 27 .742 C2 .788 3.627 2 27 .040* C3 .832 2.718 2 27 .084 D1 .951 .694 2 27 .508 D2 .988 .168 2 27 .846 D3 .963 .524 2 27 .598 D4 .824 2.882 2 27 .073 D5 .908 1.362 2 27 .273

Gambar 4. Penyebaran karakter morfometrik 3 populasi ikan sepat

Berdasarkan Indeks kesamaan morfometrik (Tabel 8) menunjukkan bahwa terdapat sharing component ikan sepat Kalimantan dengan sepat Jawa sebesar 20%. Kemiripan antar ketiga populasi yang diamati digambarkan pada dendrogram (Gambar 5).

Tabel 8. Indeks kemiripan (%) morfometrik pada 3 populasi ikan sepat

Populasi ikan sepat Sumatera Jawa Kalimantan Total

Sumatera 100,0 0,0 0,0 100,0 Jawa 100,0 0,0 0,0 100,0 Kalimanta 0,0 20,0 80,0 100,0

25 20 15 10 5 0

+---+---+---+---+---

Gambar 5 Dendrogram kemiripan morfometrik pada 3 populasi ikan sepat

Sumatra Kalimantan Jawa

I II

Pada dendrogram kemiripan morfometrik interpopulasi (Gambar 5) menunjukkan adanya hubungan yang lebih dekat antara sepat Jawa dan Kalimantan dibanding dengan sepat Sumatra.

3.2 Pembahasan

Aspek-aspek genetik dari suatu sistem budidaya merupakan faktor penting untuk menentukan kemampuan potensialnya terkait dengan keragaan produksi. Selain itu faktor lingkungan (habitat) juga berpengaruh terhadap stabilitas struktur genetik yang berkaitan dengan pertukaran dan aliran gen antar populasi pada proses seleksi dan persilangan. Perbedaan variasi genetik ikan di alam maupun di lingkungan budidaya dapat dilihat dari proporsi lokus polimorfik, jumlah alel per lokus (keragaman alelik), heterozigositas dan diperkuat dengan uji perbandingan Fst. (Wigati et al., 2003)

Pada penelitian ini jumlah fragmen DNA teramplifikasi pada populasi ikan sepat Jawa (27-30) lebih tinggi daripada kedua populasi lainnya. Ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi pada ketiga populasi memiliki kisaran 125-2.000 bp. Perbedaan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan setiap primer RAPD menggambarkan keunikan genom yang diamati. Pada ikan dengan tingkat variasi genetik tinggi dibutuhkan 6-7 primer untuk menguji variasi genetiknya, serta 10-15 primer untuk spesies dengan tingkat variasi genetik yang rendah (Liu et al.,

1994 dalam Feni, 2008). Pemilihan primer pada RAPD berpengaruh terhadap polimorfisme fragmen yang dihasilkan karena setiap primer memiliki situs penempelan sendiri sehingga fragmen dari DNA yang diamplifikasi oleh primer berbeda menghasilkan polimorfik dengan jumlah fragmen dan berat molekul berbeda (Roslim, 2001).

Derajat polimorfisme ditentukan oleh besarnya proporsi lokus polimorf terhadap total lokus yang teridentifikasi. Polimorfik dikatakan ada jika suatu pita muncul pada satu jenis parental tetapi tidak muncul pada parental lain (Soewardi, 2007). Polimorfisme tersebut dapat memberikan gambaran mengenai tingkat keragaman genetik suatu populasi. Derajat polimorfisme pada populasi sepat Kalimantan dan Sumatra yaitu 26,67% lebih tingggi dibandingkan populasi sepat Jawa (13,33%). Hal ini mengindikasikan bahwa populasi Kalimantan dan Sumatra

keragaman genetiknya lebih tinggi dibanding Jawa. Tingkat polimorfisme dipengaruhi oleh faktor seleksi alam dan persilangan serta didukung juga oleh adanya migrasi dan tingkat mutasi gen pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.

Tingginya polimorfisme pada populasi Kalimantan dipengaruhi dari kondisi habitat populasi ikan tersebut. Sampel populasi Kalimantan diperoleh dari alam dengan kondisi perairan yang didominasi oleh rawa dan cenderung fluktuatif. Keragaman genetik yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan beradaptasi lebih baik dengan perubahan lingkungan yang fluktuatif sehingga bisa bertahan hidup. Spesies yang berada di alam memiliki variasi genetik yang lebih besar dan terbentuk selama proses adaptasi terhadap kondisi alam yang berfluktuasi (Tave, 1999). Sedangkan populasi sepat Jawa dan Sumatra berasal dari hasil budidaya yang dipelihara dalam lingkungan yang stabil dan terkontrol sehingga variasi alel yang dimiliki lebih kecil (sedikit) karena seleksi oleh lingkungan relatif rendah.

Selain itu pada ikan-ikan hasil budidaya potensi terjadinya inbreeding

lebih besar karena ikan hanya akan melakukan perkawinan dengan ikan sejenisnya yang terbatas dalam wadah budidaya tersebut sehingga dalam waktu tertentu populasi akan semakin seragam. Selain itu pada ikan budidaya pengelolaan sistem rekrutmen calon induk yang tidak terarah serta tidak mengetahui sejarah calon induk tersebut dapat menyebabkan terjadinya seleksi tanpa sengaja sehingga berpengaruh pada penurunan keragaman genetik ikan tersebut (Mulyasari, 2007).

Heterosigositas merupakan ukuran keragaman genetik berdasarkan proporsi jumlah individu heterozigot populasi (Soewardi, 2007). Rata-rata heterosigositas terendah terdapat pada populasi sepat Jawa (0,06), sedangkan yang tertinggi adalah pada populasi sepat Kalimantan (0,12). Heterosigositas ikan sepat tergolong rendah dibandingkan ikan air tawar lainya seperti ikan nila (0,6) dan ikan baung (0,7) (Nugroho et al., 2005). Hal ini menunjukkan bahwa populasi sepat memiliki laju pertukaran genetik yang sempit karena keterbatasan populasi sumber genetik pada proses reproduksinya. Selain itu variasi genetik pada ikan sepat diduga terkait dengan tingkah laku ikan sebagai spesies yang menjaga

anaknya (parental care), sehingga cenderung membatasi penyebaran populasi. Kepadatan populasi pada suatu daerah juga mempengaruhi nilai keragaman genetik. Jumlah populasi ikan sepat di Kalimantan lebih besar dibandingkan dengan di Jawa karena hasil tangkapan ikan sepat didominasi dari Kalimantan sehingga nilai heterosigositas juga lebih tinggi

Selain itu menurut Sugama et al. (1996) pada lingkungan yang stabil akan lebih sedikit ditemukan variasi alel dari pada lingkungan dinamis, laju seleksi dan mutasi juga rendah. Rendahnya peluang terjadinya perkawinan acak diduga juga karena terbatasnya jumlah individu sehingga terjadi pembatasan pertukaran gen dan terkait dengan perkawinan sekerabat yang semakin meningkat dan menyebabkan genetic drift (penghanyutan gen) dan memicu kemunculan homozigot semakin tinggi. Jika suatu populasi nilai homosigotnya tinggi maka kemungkinan akan rentan terhadap perubahan lingkungan dan serangan penyakit, daya tahan hidup rendah, pertumbuhan lambat, abnormalitas dan lebih fatal lagi kematian massal. Sebaliknya suatu populasi dengan nilai heterosigositas tinggi, maka variasi genetiknya juga tinggi. Populasi dengan variasi genetik tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. (Haryanti et al., 2005).

Secara statistik, uji perbandingan Fst menunjukkan tidak terdapat perbedaan genetik secara nyata antara ketiga populasi ikan sepat. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan sepat yang berasal dari Sumatra, Jawa dan Kalimantan tersebut memiliki banyak unsur kesamaan materi genetik (P>0,05). Jarak genetik antar populasi yang terdekat adalah populasi ikan sepat Jawa dengan Sumatra (0,257), sedangkan yang terjauh adalah populasi sepat Jawa dan Kalimantan (0,343). Menurut Nugroho et al., (2006) jarak genetik menunjukkan nilai kekerabatan. Semakin kecil jarak genetik maka akan semakin banyak kemiripan populasi tersebut. Spesies yang dikoleksi pada daerah berdekatan akan mempunyai nilai kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan spesies yang dikoleksi pada daerah yang berjauhan (Nugroho et al., 2006). Perbedaan letak geografis antara Kalimantan dan Jawa diduga berkontribusi terhadap nilai jarak genetik. Selain itu, jarak genetik dipengaruhi juga oleh kondisi perairan yang berbeda serta pola migrasi yang terbatas. Jarak antara Sumatra dan Jawa lebih

dekat dibandingkan dengan Jawa dan Kalimantan sehingga kemungkinan ikan sepat bermigrasi dari Jawa ke Sumatra atau sebaliknya.

Berdasarkan dendrogram UPGMA menunjukkan bahwa antara populasi sepat Sumatra dan Jawa memiliki kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan populasi yang berasal dari Kalimantan (Gambar 3). Introduksi populasi bisa berlangsung melalui perdagangan sehingga mendukung aliran materi genetik

(genetic introgression) (Haryanti et al., 2005), yang mengarah pada perkembangbiakan populasi secara lokal serta meningkatkan kemiripan populasi pada kedua lokasi Sumatra dan Jawa. Pada populasi Kalimantan memiliki kondisi perairan yang berbeda serta terpisahkan secara geografis, atau pola migrasinya terbatas sehingga menyebabkan pertukaran gen juga semakin sempit, namun memiliki indeks kemiripan dengan populasi Jawa sebesar 20% (Gambar 4). Dalam hal ini peningkatan laju aliran gen antara populasi pada lokasi yang terpisah dapat meningkatkan kemiripan kedua populasi.

Berbagai aktivitas manusia yang sering mencemari lingkungan, merusak habitat organisme perairan dengan melakukan penangkapan berlebih serta dengan cara yang tidak ramah lingkungan, misalnya penggunaan bom dan bahan kimia dapat mengancam kepunahan suatu spesies. Penurunan jumlah stok populasi ikan sepat di alam dan rendahnya produktivitas diduga terkait dengan keseragaman, peningkatan inbreeding individu dan sebagai dampak dari keterbatasan jumlah individu di alam (Mamangkey et al.,, 2007).

Koefisien keragaman karakter morfometrik yang tertinggi adalah C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral), sedangkan koefisen keragaman terendah adalah karakter A4 (jarak antara punuk dengan sirip ventral) (Lampiran 3). Berdasarkan uji signifikansi morfometrik menunjukkan 18 karakter tidak berbeda dan hanya 3 karakter yang berbeda nyata (P<0,05) yaitu karakter B2 (jarak antara awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung), B6 (jarak antara akhir sirip punggung dengan sirip pektoral) dan C2 (Jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral). Hal ini menunjukkan bahwa secara genetik ketiga populasi memiliki kemiripan materi genetik namun secara morfometrik menunjukkan perbedaan. Karakter yang berbeda secara nyata dapat digunakan sebagai penciri ikan tersebut (Kusmini et al., 2010). Perbedaan tiga karakter tersebut diduga

dipengaruhi oleh perbedaan faktor lingkungan kondisi perairan yang secara geografis berbeda antara Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Ikan yang berasal dari alam cenderung memiliki lingkungan yang berfluktuatif dan tidak terkontrol. Menurut Ariyanto (2003) ekspresi fenotipik ikan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu genetik dan lingkungan serta interaksi keduanya. Variasi umur dan ukuran sampel ikan diduga berpengaruh terhadap hasil analisis karakteristik morfometrik pada fungsi 1 (Gambar 4) dan (Lampiran 2). Pada gambar 4 tersebut terlihat bahwa populasi Kalimantan dan Jawa saling mendekati, sedangkan populasi Sumatra terpisah dari kedua populasi lainya. Ikan sepat yang berasal dari Sumatra diduga berukuran induk dan siap konsumsi, sedangkan sampel ikan yang berasal dari Jawa dan Kalimantan berukuran benih.

Indeks kemiripan populasi ikan sepat Sumatra dan Jawa adalah 100%, sedangkan populasi Kalimantan dan Jawa adalah 20%. Perbedaan ukuran tubuh berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan (lokal) tempat hidupnya. Hal ini diduga karena variasi fenotip yang diamati secara kuantitatif adalah gabungan dari variasi genetik, variasi lingkungan, dan variasi interaksi genetik dengan lingkungan (Tave, 1999). Perbedaan karakter morfometrik menunjukkan adanya faktor lingkungan yang membentuk morfologi yang berbeda walaupun secara genetik tidak berbeda nyata antar populasi.

Potensi genetik tidak dapat terealisasi dengan baik tanpa dukungan lingkungan (Dunham, 2004). Semua fenotip dikontrol oleh lingkungan (nutrisi, kualitas fisik/biologi/kimia, dan penyakit) tetapi lingkungan memiliki peranan penting dalam memunculkan fenotipe kuantitatif (Tave, 1999). Pengaruh lingkungan terhadap setiap individu berbeda. Potensi genetik yang baik tidak akan bisa mendapatkan hasil yang optimal jika tidak didukung oleh lingkungan yang sesuai. Pada kondisi yang optimal kemampuan metabolisme tubuh akan berjalan secara optimum sehingga pertumbuhan dan respon stres akan berjalan baik. Namun, jika kondisi yang tidak optimal akan terjadi sebaliknya (Mahardika, 2010).

Demikian halnya dengan populasi Kalimantan dan Jawa perbedaan diduga karena letak geografis yang terpisah antara keduanya dan memiliki jarak yang jauh serta kondisi alam yang berbeda terkait dengan ketersediaan makanan,

predasi, dan faktor stress lainya yang dapat mempengaruhi morfologi sebagai bentuk adaptasi ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusrini et al. (2010) dimana setiap daerah menunjukkan perbedaan laju variabel tumbuh yang di pengaruhi oleh lingkungan hidupnya.

Informasi keragaman genetik dan morfometrik dari hasil penelitian ini merupakan data awal dalam seleksi individu untuk dikembangkan sebagai calon induk melalui kegiatan budidaya yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas, menjamin ketersediaan populasi di alam dan juga peningkatan kualitas populasi melalui program seleksi dan persilangan. Dalam hal ini populasi ikan sepat dari Kalimantan menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan populasi Jawa dan Sumatra berdasarkan tingkat keragaman genetiknya, sehingga bisa digunakan dalam persilangan untuk meningkatkan kualitas populasi ikan sepat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Keragaman genetik berdasarkan analisa RAPD pada populasi ikan sepat Jawa, Sumatra dan Kalimantan tidak berbeda nyata. Pada populasi Jawa menunjukkan polimorfisme dan heterosigositas terendah dibandingkan sepat Sumatra dan sepat Kalimantan. Terdapat 3 karakter morfometrik yang berbeda nyata antara ketiga populasi yaitu B2 (jarak antara awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung), B6 (jarak antara akhir sirip punggung dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral).

4.2 Saran

Penggunaan primer lebih banyak dapat mendiskripsikan status genetik yang lebih komprehensif. Analisis morfometrik disarankan menggunakan contoh ikan uji yang lebih banyak dengan ukuran dan umur yang seragam.

Dokumen terkait