• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Ragam Genetik Ikan Sepat (Trichogaster pectoralis) Berdasarkan Analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan Morfometrik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Ragam Genetik Ikan Sepat (Trichogaster pectoralis) Berdasarkan Analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan Morfometrik"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

NOVA F. SIMATUPANG.

“Karakterisasi Ragam Genetik Ikan Sepat (Trichogaster pectoralis) Berdasarkan Analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Dan Morfometrik”. Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI dan RUDHY GUSTIANO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genetik ikan sepat yang berasal dari tiga lokasi berbeda yaitu Jawa (Tasikmalaya), Sumatra (Jambi) dan Kalimantan (Kalimantan Selatan) menggunakan metode RAPD dan karakter morfometrik. Hasil menunjukkan bahwa polimorfisme dan heterosigositas tertinggi yaitu populasi ikan sepat Kalimantan (26,67%) dan (0,12). Ukuran fragmen pada setiap populasi berkisar antara 125-2000 bp. Jarak genetik yang paling jauh adalah populasi Jawa dengan Kalimantan (0,343) sedangkan jarak genetik yang paling dekat adalah populasi Sumatra dengan Jawa (0,257). Berdasarkan uji karakter morfometrik diketahui terdapat 3 karakter yang berbeda nyata yaitu B2 (jarak antara awal sirip dorsal dengan akhir sirip dorsal), B6 (jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral). Hasil analisis fungsi kanonikal menunjukkan karakter morfologi ikan sepat Kalimantan memiliki nilai indeks kesamaan dengan Sepat Jawa sebesar 20%.

Kata kunci: ikan sepat, genotip, morfometrik, RAPD

ABSTRACT

NOVA F. SIMATUPANG.

“Characteristic of Sepat Fish (Trichogster pectoralis) based on RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Analysis and Morphometric Measurment”, Supervised by DINAR TRI SOELISTYOWATI dan RUDHY GUSTIANO.

This research aims to identify genetic relationship of sepat from Java (Tasikmalaya), Sumatera (Jambi), and Kalimantan (South Kalimantan) using RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and morfometric character. The results shows that Sepat population from Kalimantan has the highest polymorphism and heterozigosity. Fragment size of RAPD loci in each population is about 125-2000 bp. The largest genetic distance is about 0.343 between population Java and Kalimantan and the smallest is about 0.257 between population Sumatra and Jawa. Based on morfometric character, there are 3 different characters recognized them are : B2, B6, and C2. The highest diversity coefficient is in C2 and the lowest is in A4.

(2)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi. Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia adalah potensi perairan darat (air tawar). Keberadaan habitat sungai, rawa, danau secara alami atau buatan merupakan pendukung kehidupan keanekaragaman perikanan. Pengelolaan terhadap sumber daya tersebut terus dikembangkan sebagai andalan bagi kehidupan di masa mendatang baik ditinjau dari segi ekonomi, ketahanan pangan global, maupun pemenuhan konsumsi protein bagi masyarakat.

Keanekaragaman ikan air tawar yang dimiliki Indonesia sebagian telah dikenal dengan baik dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat, misalnya ikan mas, lele, nila, patin, gurame dan bawal yang telah dikuasai sistem budidayanya. Namun beberapa komoditas lain belum dikuasai sepenuhnya sistem budidayanya termasuk ikan sepat, sehingga sampai sekarang masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam, terutama pada musim penghujan dimana populasi ikan ini melimpah. Kegiatan penangkapan ikan sepat yang dilakukan secara berlebihan dapat mengancam kepunahan ikan, seperti halnya di Kalimantan Selatan populasi ikan ini sudah menurun (Anonim, 2010a). Berbagai aktivitas manusia yang merusak alam serta metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan telah berdampak pada penurunan stok populasi di alam yang dapat mengancam kelestariannya (Mamangkey et al., 2007). Sama halnya pada ikan sepat akan mengalami kepunahan jika dilakukan dengan metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan serta berlebihan.

(3)

Indonesia dengan dukungan penguasaan teknologi serta sistem budidaya yang memadai, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat serta memenuhi kebutuhan gizi khususnya dikalangan masyarakat pedesaan. (Anonim, 2010b). Ikan sepat memiliki keunggulan yaitu mampu beradaptasi dengan lingkungan buruk. Hal ini dimungkinkan karena ikan sepat sendiri memiliki alat pernafasan tambahan berupa labirin (bunga karang). Selain itu ikan ini juga memiliki bulu cambuk yang merupakan modifikasi dari sirip anal dan berfungsi sebagai alat perlindungan diri dan membantu dalam hal pencarian makanan. Berdasarkan keunggulan tersebut, ikan sepat berpotensi sebagai komoditas ikan budidaya di masa yang akan datang, khususnya pemberdayaan pada lahan-lahan kristis.

Pada periode 5 tahun terakhir produksi ikan sepat cenderung meningkat dari 6.46 ton (2004) menjadi 8,46 ton (2008). Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan produksi sebesar 7% setiap tahun. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi (Susenas), konsumsi dan serapan ikan sepat pada tahun 2008 termasuk salah satu ikan asin yang diawetkan dan banyak dikonsumsi masyarakat selain ikan tongkol, cakalang dan kembung. Harga ikan sepat yang diasinkan berkisar Rp. 20.000/kg. Angka konsumsi tertinggi adalah propinsi Kalimantan Tengah dengan tingkat konsumsi 2,07 kg/th per kapita, Kalimantan Selatan 1,82 kg/ th per kapita dan Sumatra Selatan 1,15 kg/th per kapita. Hal ini menunjukkan peluang pasar yang masih tinggi. (Anonim, 2010b)

Untuk memenuhi permintaan pasar tersebut maka dilakukan suatu kegiatan budidaya yang berkelanjutan, sehingga stok di alam tetap terjaga. Salah satu pendekatan dari sisi genetik adalah melakukan pemuliaan calon induk yang unggul secara genetik melalui seleksi dan pengelolaan reproduksinya. Seleksi dan pengelolaan genetik ini berhubungan erat dengan informasi populasi calon induk, khususnya potensi keragaman genetis. Selain dari sisi genotip variasi genetik juga dapat dilihat berdasarkan karakter morfologisnya, misalnya morfometrik dan meristik.

(4)

merupakan kunci penting bagi suatu spesies untuk dapat bertahan hidup dan menjamin kestabilan populasi dalam waktu yang lama, yaitu menentukan kemampuan respon suatu populasi terhadap seleksi, baik seleksi alam ataupun buatan. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih tinggi, karena banyak alternatif gen atau kombinasi gen yang tersedia untuk merespon perubahan kondisi lingkungan yang dihadapi. Penurunan keragaman genetik bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti isolasi populasi,

inbreeding, dan geneticdrift (Soewardi, 2007).

Salah satu metode karakterisasi genotip adalah analisa molekuler dengan metode Random Amplified Polymhorpic DNA (RAPD) menggunakan teknik PCR

(Polymerase Chain Reaction). Penanda molekuler RAPD yang digunakan merupakan sekuen DNA polimorfik yang dipisahkan oleh gel elektroforesis PCR menggunakan satu primer oligonukleotida pendek secara acak. Metode RAPD memiliki beberapa keunggulan diantaranya mampu mendeteksi sekuen nukleotida hanya dengan satu primer, polimorfisme tinggi, dan dapat digunakan tanpa mengetahui latar belakang genom sebelumnya (Dunham, 2004).

Selain itu, keragaman genetik dapat pula diidentifikasi berdasarkan variasi fenotip morfologi diantaranya dengan metode morfometrik. Metode pengukuran morfometrik dilakukan dengan menghubungkan titik-titik pada kerangka tubuh ikan (Blezinsky and Doyle, 1987). Pengukuran karakteristik morfologi dengan morfometrik lebih mudah dilakukan, dan biayanya jauh lebih murah. Karakterisasi morfologi ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama habitat perairannya.

(5)

1.2 Tujuan Penelitian

(6)

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Materi Ikan Uji

Ikan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 3 populasi yang dikoleksi dari Sumatra (Jambi), Jawa Barat (Tasikmalaya) yang berasal dari lingkungan budidaya, dan Kalimantan Selatan yang berasal dari alam, masing- masing sebanyak 10 ekor.

2.2 Ekstraksi DNA

Setiap sampel ikan diambil sirip ekor dan ditimbang sebanyak 5-10 mg dibilas 2 kali dengan menggunakan akuades, lalu dikeringkan dengan tissue dan dimasukan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml, kemudian dilisis dengan menambahkan urea sebanyak 500 µl dan protein kinase (K) 10 µl. Setelah itu dikocok menggunakan alat vortex dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam atau sampai sirip hancur. Selanjutnya ditambahkan larutan phenol:chloroform:

isoamilalkohol (PCL) dengan perbandingan 25:24:1 sebanyak 1000 µl dan disentrifuse dengan menggunakan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan lalu dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan etanol 90% sebanyak 1000 µl dan Na asetat sebanyak 10 µl lalu di sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan sampai etanol menguap. DNA dilarutkan dengan menambahkan

rehydration solution sebanyak 100 µl. DNA yang belum akan digunakan dalam jangka waktu lama disimpan pada suhu 2-8°C.

2. 3 Amplifikasi DNA dengan teknik PCR

Tiga jenis primer yang digunakan adalah OPA2, OPC2, OPC5 (Tabel 1) Tabel 1. Deskripsi sekuen primer RAPD pada amplifikasi DNA ikan sepat

Primer Sekuen Nukleotida (5’Æ3’)

OPA 2 TGCCGAGCTG

OPC 2 GTGAGGCGTC

(7)

Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan metode PCR. Komposisi bahan yang digunakan adalah 1 unit dry taq produk Promega, 2 µl DNA genom hasil ekstraksi, 2 µl primer, 21 µl air akuades sehingga total sebanyak 2 µl. Selanjutnya disenrtifugasi terlebih dahulu sampai tidak terdapat gelembung. Setelah itu dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan 35 siklus. Secara umum proses PCR terdiri dari 3 tahap yaitu denaturasi (penguraian utas ganda DNA), penempelan primer (annealing) dan pemanjangan utas DNA (elongasi). Predenaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 2 menit untuk memastikan kesempurnaan denaturasi, sedangkan denaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 1 menit, annealing pada suhu 36°C selama 1 menit dan elongasi pada suhu 72°C selama 2 menit. Elongasi akhir dilakukan pada suhu 72°C selama 7 menit untuk meyakinkan proses elongasi berjalan sempurna, dan proses penstabilan pada suhu 4ºC selama 3 menit. Proses PCR ini berlangsung selama 30 siklus.

2.4 Elektroforesis

Agar yang digunakan adalah gel agarose 2% ditimbang sebanyak 0.8 mg dan ditambahkan TBE buffer sebanyak 40 ml, kemudian dipanaskan dan sekaligus diaduk di atas hot plate pada suhu 150°C sampai larutan tersebut bewarna bening, kemudian ditambahkan ethidium bromide 10 µl. Setelah mendidih, kemudian dituang ke dalam cetakan agar dan dibentuk sumur gel dengan menggunakan sisir gel. Gel dibiarkan membeku dan sisir diambil dengan hati-hati. Gel kemudian ditempatkan pada alat/ tangki elektroforesis dengan posisi lubang berada pada kutub negatif.

(8)

2.5 Karakterisasi Morfometrik

Ikan sepat diambil secara acak sebanyak 10 ekor per masing- masing populasi dan dipilih berdasarkan kelengkapan anggota tubuhnya. Metode pengukuran morfometrik dengan menghubungkan jarak titik-titik tanda yang dibuat pada kerangka tubuh (Gambar 1). Pemilihan titik tersebut berdasarkan modifikasi teori Blezinsky and Doyle (1987). Pembuatan titik dilakukan dengan cara ikan diletakkan di atas kertas folio yang berlapis plastik kemudian mulai ditusuk tepat disisi titik-titik yang telah ditentukan. Karakterisasi morfometrik dilakukan dengan membagi tubuh ikan menjadi 3 bagian besar yaitu kepala, ekor dan badan. Sepuluh titik tersebut yaitu: mulut, punuk, awal sirip dorsal, akhir sirip dorsal, awal sirip caudal, akhir sirip caudal, awal sirip anal, awal ventral, awal pektoral, bawah mulut. Selanjutnya masing-masing jarak titik di seluruh badan ikan tadi dihubungkan dan diukur dengan penggaris sehingga dari 10 titik diperoleh 21 karakter yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Titik-titik morfometrik pada ikan sepat

Keterangan gambar:

A1 : Jarak antara titik awal mulut dengan punuk A2 : Jarak antara titik awal mulut dengan bawah mulut A3 : Jarak antara punuk dengan bawah mulut

A4 : Jarak antara punuk dengan sirip ventral A5 : Jarak antara punuk dengan sirip pektoral A6 : Jarak antara punuk dengan awal sirip anal B1 : Jarak antara punuk dengan awal sirip dorsal

B2 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan akhir sirip dorsal

A1

A2 A3

A4 A5

A6

B1 B2

B3

B4 B5

B6 B7

C1 C2

C3 D3

D4 D1

(9)

B4 : Jarak antara sirip dorsal dengan awal sirip ventral B5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip ventral B6 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip pektoral B7 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan awal sirip anal C1 : Jarak antara awal sirip anal dengan sirip pektoral C2 : Jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral C3 : Jarak antara sirip ventral dengan bawah mulut

D1 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan akhir sirip caudal D2 : Jarak antara awal sirip caudal dengan akhir sirip caudal D3 : Jarak antara akhir sirip caudal dengan awal sirip anal D4 : Jarak antara awal sirip anal dengan awal sirip caudal D5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan awal sirip caudal

2.6 Analisis Data

(10)

3.1 H

Be genetik da membahas memberik

3.1.1 Pr

Ha pada 3 pop

Sumatera J

Gam Fra pada kisar pada popu bp. Sedan Kalimanta

Tabel 2. Ju

Popu

Sumatera Jawa Kalimantan

1 2  3  1 Hasil

erdasarkan an fenotip m

s mengena kan gambara

rofil RAPD

asil amplifik pulasi disaji

Jawa Kalim

mbar 2. Amp

agmen dan ran 125-200 ulasi ikan se ngkan jumla an yaitu

20-umlah dan u

ulasi Ikan Se

n

1  2 3  1 2

III. HAS pengamatan morfometrik ai keragama an mengena D

kasi DNA m ikan pada G

mantan Suma

plifikasi DN

n ukuran D 00 bp (Tabe epat dari Jaw ah dan ukur

27 pada 175

ukuran frag

epat

  3 M 1

IL DAN PE

n dan anal k, hasil yan an dan jar ai kemiripan

menggunaka Gambar 2 da

atera Jawa K

NA dengan p

NA yang t el 2). Jumlah

wa berkisar ran fragmen 5-2000bp.

gmen DNA 3

Jumla

2 2 2 2 3 1 2 3

EMBAHAS

lisa DNA y ng diperoleh

rak genetik n fenotipik a

an primer O an Lampiran

Kalimantan

primer OPC

teramplifika h fragmen y r 27-29 pada n terendah

3 populasi i

ah Fragmen

23-30 27-29 20-27 3 1 2 3 M

SAN

yang menja h meliputi p k, serta mo antar popula OPC-02, OP n 1.   Sumatera C-02, OPC-0 asi bervaria yang paling

a ukuran fra adalah pop ikan sepat Ki 1 1 1 M 4 5 6 4 

adi dasar k profil DNA orfometrik asi.

C-05, OPA

Jawa Kalim

05, OPA-02

asi antara 2 g banyak ter

agmen 175-pulasi ikan

isaran Ukur

25 - 2000 b 75 - 2000 b 75 - 2000 b 5 6 4  5 6

kajian yang yang -02 mantan  2 20-30 rdapat -2000 sepat ran p p p 6  M

300

100

500 00 bp 

00 bp 

(11)

3.1.2 Keragaman Genetik Intrapopulasi

Derajat polimorfisme merupakan ukuran keragaman genetika intrapopulasi yang didasarkan pada besarnya proporsi lokus polimorf terhadap total lokus yang diidentifikasi. Sedangkan heterosigositas adalah jumlah individu heterozigot pada lokus tertentu di dalam populasi. Persentase polimorfisme dan heterosigositas 3 populasi ikan sepat disajikan pada Tabel 3. Persentase polimorfisme pada populasi sepat Kalimantan dan Sumatra 26.67%, lebih tinggi dibandingkan polimorfisme pada populasi sepat Jawa 13,33%. Demikian juga heterosigositas populasi ikan sepat Kalimantan (0,12) dan Sumatera (0,11), lebih tinggi dibandingkan heterosigositas populasi ikan sepat Jawa (0,06).

Tabel 3. Persentase polimorfisme dan heterozigositas 3 populasi ikan sepat

Populasi Ikan Sepat Polimorfisme (%) Heterozigositas

Sumatera 26.67 0.11

Jawa 13.33 0.06

Kalimantan 26.67 0.12

3.1.3 Uji Perbandingan Fst

Uji perbandingan Fst menggambarkan tingkat akurasi perbedaan genetik intrapopulasi (Tabel 4).

Tabel 4. Uji perbandingan berpasangan Fst pada 3 lokus

Populasi Ikan Sepat Sumatera Jawa Kalimantan

Sumatera *****

Jawa 0.998 *****

Kalimantan 0.964 0.464 *****

Keterangan : ≤ 0,05 = berbeda nyata > 0,05 = tidak berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa distribusi genotip ketiga populasi ikan sepat dari Sumatra, Jawa dan Kalimantan tidak berbeda nyata (P>0.05).

3.1.4 Jarak Genetik

(12)

Tabel 5. Jarak genetik 3 populasi ikan sepat

Populasi Ikan Sepat Sumatera Jawa Kalimantan

Sumatera *****

Jawa 0.257 *****

Kalimantan 0.277 0.343 *****

Hubungan kekerabatan interpopulasi 3 populasi ikan sepat yang digambarkan dalam bentuk dendrogram UPGMA menunjukkan populasi ikan sepat dari populasi Sumatra dan Jawa membentuk satu kelompok terpisah dari sepat Kalimantan (Gambar 3).

3.1.5 Karakteristik Morfometrik

Pengukuran 21 karakter morfometrik pada ketiga populasi ikan sepat (Lampiran 2), disajikan dalam bentuk rata-rata (Tabel 6) dan koefisien keragaman (Lampiran 3). Koefisien keragaman tertinggi adalah karakter C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral) dan yang terendah adalah karakter A4 (jarak antara punuk dengan sirip ventral).

Gambar 3. Dendrogram 3 populasi ikan sepat (Jawa, Sumatra, Kalimantan)

Jawa

Sumatra

(13)

Tabel 6. Rata-rata 21 karakter morfometrik (cm) ikan sepat

Keterangan

A1 : Jarak antara titik awal mulut dengan punuk A2 : Jarak antara titik awal mulut dengan bawah mulut A3 : Jarak antara punuk dengan bawah mulut

A4 : Jarak antara punuk dengan sirip ventral A5 : Jarak antara punuk dengan sirip pektoral A6 : Jarak antara punuk dengan awal sirip anal B1 : Jarak antara punuk dengan awal sirip dorsal

B2 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan akhir sirip dorsal B3 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan sirip pektoral B4 : Jarak antara sirip dorsal dengan awal sirip ventral B5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip ventral B6 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip pektoral B7 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan awal sirip anal C1 : Jarak antara awal sirip anal dengan sirip pektoral C2 : Jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral C3 : Jarak antara sirip ventral dengan bawah mulut

D1 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan akhir sirip caudal D2 : Jarak antara awal sirip caudal dengan akhir sirip caudal D3 : Jarak antara akhir sirip caudal dengan awal sirip anal D4 : Jarak antara awal sirip anal dengan awal sirip caudal D5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan awal sirip caudal

Karakter yang diukur Sumatra Jawa Kalimantan

A1 2,441±0,211 1,673±0,221 1,765±0,150

A2 2,222±0,404 1,544±0,263 1,456±0,195

A3 3,165±0,697 1,817±0,207 2,000±0,286

A4 3,734±0,194 2,325±0,257 2,556±0,279

A5 7,157±0,337 4,379±0,585 4,588±0,661

A6 4,641±0,337 2,978±0,283 3,167±0,347

B1 4,672±0,231 2,917±0,453 3,077 ±0449

B2 3,463±0,481 1,856±0,291 2,133±0,194

B3 5,783±0,415 3,435±0,525 3,777±0,505

B4 5,583±0,379 3,303±0,557 3,611±0,390

B5 7,481±1,181 4,533±0,592 5,113±0,688

B6 7,584±0,595 4,212±0,534 4,844±0,782

B7 5,636±1,200 3,105±0,485 3,511±0,406

C1 0,90±1,490 0,536±0,082 0,533±0,323

C2 0,634±0,172 0,511±0,128 0,555±0,070

C3 1,635±0,176 1,094±0,087 1,299±0,324

D1 2,762±0,231 1,813±0,280 1,944±0,211

D2 1,879±0,336 1,177±0,211 1,300±0,226

D3 7,847±1,699 4,933±0,899 5,655±0,818

D4 8,988±0,681 5,177±0,776 5,888±0,723

(14)

Uji perbandingan karakter morfometrik (Tabel 7) menunjukkan 3 karakter berbeda.

Tabel 7. Uji signifikansi pada 21 karakter morfometrik ikan sepat

* Karakter yang berbeda (P≤0,05)

Karakter yang berbeda nyata adalah B2 (jarak antara awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung), B6 (jarak antara akhir sirip punggung dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral).

Hasil ilustrasi fungsi kanonikal memperlihatkan bahwa karakter morfometrik ketiga populasi ikan sepat terdistribusi pada kuadran yang berbeda (Gambar 4). Populasi sepat Sumatra (kuadran II dan III) terpisah dari populasi Kalimantan (kuadran I) dan Jawa (Kuadran IV). Kemiripan komponen morfometrik antar populasi ikan sepat dapat digambarkan menggunakan sharing component (index kesamaan) pada Tabel 8.

 Jarak  genetik 

Wilks'

Lambda F df1 df2 Sig. A1 .833 2.703 2 27 .085 A2 .863 2.149 2 27 .136

A3 .954 .654 2 27 .528

A4 .993 .099 2 27 .906

A5 .935 .941 2 27 .403

A6 .973 .379 2 27 .688

B1 .974 .362 2 27 .700

B2 .774 3.931 2 27 .032*

B3 .965 .482 2 27 .622

B4 .948 .735 2 27 .489

B5 .986 .190 2 27 .828

B6 .698 5.837 2 27 .008*

B7 .866 2.093 2 27 .143

C1 .978 .302 2 27 .742

C2 .788 3.627 2 27 .040*

C3 .832 2.718 2 27 .084

D1 .951 .694 2 27 .508

D2 .988 .168 2 27 .846

D3 .963 .524 2 27 .598

(15)

Gambar 4. Penyebaran karakter morfometrik 3 populasi ikan sepat

Berdasarkan Indeks kesamaan morfometrik (Tabel 8) menunjukkan bahwa terdapat sharing component ikan sepat Kalimantan dengan sepat Jawa sebesar 20%. Kemiripan antar ketiga populasi yang diamati digambarkan pada dendrogram (Gambar 5).

Tabel 8. Indeks kemiripan (%) morfometrik pada 3 populasi ikan sepat

Populasi ikan sepat Sumatera Jawa Kalimantan Total

Sumatera 100,0 0,0 0,0 100,0 Jawa 100,0 0,0 0,0 100,0 Kalimanta 0,0 20,0 80,0 100,0

25 20 15 10 5 0

+---+---+---+---+---

Gambar 5 Dendrogram kemiripan morfometrik pada 3 populasi ikan sepat

Sumatra Kalimantan Jawa

I II

(16)

Pada dendrogram kemiripan morfometrik interpopulasi (Gambar 5) menunjukkan adanya hubungan yang lebih dekat antara sepat Jawa dan Kalimantan dibanding dengan sepat Sumatra.

3.2 Pembahasan

Aspek-aspek genetik dari suatu sistem budidaya merupakan faktor penting untuk menentukan kemampuan potensialnya terkait dengan keragaan produksi. Selain itu faktor lingkungan (habitat) juga berpengaruh terhadap stabilitas struktur genetik yang berkaitan dengan pertukaran dan aliran gen antar populasi pada proses seleksi dan persilangan. Perbedaan variasi genetik ikan di alam maupun di lingkungan budidaya dapat dilihat dari proporsi lokus polimorfik, jumlah alel per lokus (keragaman alelik), heterozigositas dan diperkuat dengan uji perbandingan Fst. (Wigati et al., 2003)

Pada penelitian ini jumlah fragmen DNA teramplifikasi pada populasi ikan sepat Jawa (27-30) lebih tinggi daripada kedua populasi lainnya. Ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi pada ketiga populasi memiliki kisaran 125-2.000 bp. Perbedaan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan setiap primer RAPD menggambarkan keunikan genom yang diamati. Pada ikan dengan tingkat variasi genetik tinggi dibutuhkan 6-7 primer untuk menguji variasi genetiknya, serta 10-15 primer untuk spesies dengan tingkat variasi genetik yang rendah (Liu et al.,

1994 dalam Feni, 2008). Pemilihan primer pada RAPD berpengaruh terhadap polimorfisme fragmen yang dihasilkan karena setiap primer memiliki situs penempelan sendiri sehingga fragmen dari DNA yang diamplifikasi oleh primer berbeda menghasilkan polimorfik dengan jumlah fragmen dan berat molekul berbeda (Roslim, 2001).

(17)

keragaman genetiknya lebih tinggi dibanding Jawa. Tingkat polimorfisme dipengaruhi oleh faktor seleksi alam dan persilangan serta didukung juga oleh adanya migrasi dan tingkat mutasi gen pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.

Tingginya polimorfisme pada populasi Kalimantan dipengaruhi dari kondisi habitat populasi ikan tersebut. Sampel populasi Kalimantan diperoleh dari alam dengan kondisi perairan yang didominasi oleh rawa dan cenderung fluktuatif. Keragaman genetik yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan beradaptasi lebih baik dengan perubahan lingkungan yang fluktuatif sehingga bisa bertahan hidup. Spesies yang berada di alam memiliki variasi genetik yang lebih besar dan terbentuk selama proses adaptasi terhadap kondisi alam yang berfluktuasi (Tave, 1999). Sedangkan populasi sepat Jawa dan Sumatra berasal dari hasil budidaya yang dipelihara dalam lingkungan yang stabil dan terkontrol sehingga variasi alel yang dimiliki lebih kecil (sedikit) karena seleksi oleh lingkungan relatif rendah.

Selain itu pada ikan-ikan hasil budidaya potensi terjadinya inbreeding

lebih besar karena ikan hanya akan melakukan perkawinan dengan ikan sejenisnya yang terbatas dalam wadah budidaya tersebut sehingga dalam waktu tertentu populasi akan semakin seragam. Selain itu pada ikan budidaya pengelolaan sistem rekrutmen calon induk yang tidak terarah serta tidak mengetahui sejarah calon induk tersebut dapat menyebabkan terjadinya seleksi tanpa sengaja sehingga berpengaruh pada penurunan keragaman genetik ikan tersebut (Mulyasari, 2007).

(18)

anaknya (parental care), sehingga cenderung membatasi penyebaran populasi. Kepadatan populasi pada suatu daerah juga mempengaruhi nilai keragaman genetik. Jumlah populasi ikan sepat di Kalimantan lebih besar dibandingkan dengan di Jawa karena hasil tangkapan ikan sepat didominasi dari Kalimantan sehingga nilai heterosigositas juga lebih tinggi

Selain itu menurut Sugama et al. (1996) pada lingkungan yang stabil akan lebih sedikit ditemukan variasi alel dari pada lingkungan dinamis, laju seleksi dan mutasi juga rendah. Rendahnya peluang terjadinya perkawinan acak diduga juga karena terbatasnya jumlah individu sehingga terjadi pembatasan pertukaran gen dan terkait dengan perkawinan sekerabat yang semakin meningkat dan menyebabkan genetic drift (penghanyutan gen) dan memicu kemunculan homozigot semakin tinggi. Jika suatu populasi nilai homosigotnya tinggi maka kemungkinan akan rentan terhadap perubahan lingkungan dan serangan penyakit, daya tahan hidup rendah, pertumbuhan lambat, abnormalitas dan lebih fatal lagi kematian massal. Sebaliknya suatu populasi dengan nilai heterosigositas tinggi, maka variasi genetiknya juga tinggi. Populasi dengan variasi genetik tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. (Haryanti et al., 2005).

(19)

dekat dibandingkan dengan Jawa dan Kalimantan sehingga kemungkinan ikan sepat bermigrasi dari Jawa ke Sumatra atau sebaliknya.

Berdasarkan dendrogram UPGMA menunjukkan bahwa antara populasi sepat Sumatra dan Jawa memiliki kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan populasi yang berasal dari Kalimantan (Gambar 3). Introduksi populasi bisa berlangsung melalui perdagangan sehingga mendukung aliran materi genetik

(genetic introgression) (Haryanti et al., 2005), yang mengarah pada perkembangbiakan populasi secara lokal serta meningkatkan kemiripan populasi pada kedua lokasi Sumatra dan Jawa. Pada populasi Kalimantan memiliki kondisi perairan yang berbeda serta terpisahkan secara geografis, atau pola migrasinya terbatas sehingga menyebabkan pertukaran gen juga semakin sempit, namun memiliki indeks kemiripan dengan populasi Jawa sebesar 20% (Gambar 4). Dalam hal ini peningkatan laju aliran gen antara populasi pada lokasi yang terpisah dapat meningkatkan kemiripan kedua populasi.

Berbagai aktivitas manusia yang sering mencemari lingkungan, merusak habitat organisme perairan dengan melakukan penangkapan berlebih serta dengan cara yang tidak ramah lingkungan, misalnya penggunaan bom dan bahan kimia dapat mengancam kepunahan suatu spesies. Penurunan jumlah stok populasi ikan sepat di alam dan rendahnya produktivitas diduga terkait dengan keseragaman, peningkatan inbreeding individu dan sebagai dampak dari keterbatasan jumlah individu di alam (Mamangkey et al.,, 2007).

(20)

dipengaruhi oleh perbedaan faktor lingkungan kondisi perairan yang secara geografis berbeda antara Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Ikan yang berasal dari alam cenderung memiliki lingkungan yang berfluktuatif dan tidak terkontrol. Menurut Ariyanto (2003) ekspresi fenotipik ikan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu genetik dan lingkungan serta interaksi keduanya. Variasi umur dan ukuran sampel ikan diduga berpengaruh terhadap hasil analisis karakteristik morfometrik pada fungsi 1 (Gambar 4) dan (Lampiran 2). Pada gambar 4 tersebut terlihat bahwa populasi Kalimantan dan Jawa saling mendekati, sedangkan populasi Sumatra terpisah dari kedua populasi lainya. Ikan sepat yang berasal dari Sumatra diduga berukuran induk dan siap konsumsi, sedangkan sampel ikan yang berasal dari Jawa dan Kalimantan berukuran benih.

Indeks kemiripan populasi ikan sepat Sumatra dan Jawa adalah 100%, sedangkan populasi Kalimantan dan Jawa adalah 20%. Perbedaan ukuran tubuh berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan (lokal) tempat hidupnya. Hal ini diduga karena variasi fenotip yang diamati secara kuantitatif adalah gabungan dari variasi genetik, variasi lingkungan, dan variasi interaksi genetik dengan lingkungan (Tave, 1999). Perbedaan karakter morfometrik menunjukkan adanya faktor lingkungan yang membentuk morfologi yang berbeda walaupun secara genetik tidak berbeda nyata antar populasi.

Potensi genetik tidak dapat terealisasi dengan baik tanpa dukungan lingkungan (Dunham, 2004). Semua fenotip dikontrol oleh lingkungan (nutrisi, kualitas fisik/biologi/kimia, dan penyakit) tetapi lingkungan memiliki peranan penting dalam memunculkan fenotipe kuantitatif (Tave, 1999). Pengaruh lingkungan terhadap setiap individu berbeda. Potensi genetik yang baik tidak akan bisa mendapatkan hasil yang optimal jika tidak didukung oleh lingkungan yang sesuai. Pada kondisi yang optimal kemampuan metabolisme tubuh akan berjalan secara optimum sehingga pertumbuhan dan respon stres akan berjalan baik. Namun, jika kondisi yang tidak optimal akan terjadi sebaliknya (Mahardika, 2010).

(21)

predasi, dan faktor stress lainya yang dapat mempengaruhi morfologi sebagai bentuk adaptasi ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusrini et al. (2010) dimana setiap daerah menunjukkan perbedaan laju variabel tumbuh yang di pengaruhi oleh lingkungan hidupnya.

(22)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Keragaman genetik berdasarkan analisa RAPD pada populasi ikan sepat Jawa, Sumatra dan Kalimantan tidak berbeda nyata. Pada populasi Jawa menunjukkan polimorfisme dan heterosigositas terendah dibandingkan sepat Sumatra dan sepat Kalimantan. Terdapat 3 karakter morfometrik yang berbeda nyata antara ketiga populasi yaitu B2 (jarak antara awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung), B6 (jarak antara akhir sirip punggung dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral).

4.2 Saran

(23)

KARAKTERISASI RAGAM GENETIK IKAN SEPAT

(Trichogaster pectoralis) BERDASARKAN ANALISIS RAPD

(RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA) DAN

MORFOMETRIK

NOVA F. SIMATUPANG

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(24)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :

KARAKTERISASI RAGAM GENETIK IKAN SEPAT

(Trichogaster pectoralis) BERDASARKAN ANALISIS RAPD

(RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA) DAN

MORFOMETRIK”

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

(25)

ABSTRAK

NOVA F. SIMATUPANG.

“Karakterisasi Ragam Genetik Ikan Sepat (Trichogaster pectoralis) Berdasarkan Analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Dan Morfometrik”. Dibimbing oleh DINAR TRI SOELISTYOWATI dan RUDHY GUSTIANO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genetik ikan sepat yang berasal dari tiga lokasi berbeda yaitu Jawa (Tasikmalaya), Sumatra (Jambi) dan Kalimantan (Kalimantan Selatan) menggunakan metode RAPD dan karakter morfometrik. Hasil menunjukkan bahwa polimorfisme dan heterosigositas tertinggi yaitu populasi ikan sepat Kalimantan (26,67%) dan (0,12). Ukuran fragmen pada setiap populasi berkisar antara 125-2000 bp. Jarak genetik yang paling jauh adalah populasi Jawa dengan Kalimantan (0,343) sedangkan jarak genetik yang paling dekat adalah populasi Sumatra dengan Jawa (0,257). Berdasarkan uji karakter morfometrik diketahui terdapat 3 karakter yang berbeda nyata yaitu B2 (jarak antara awal sirip dorsal dengan akhir sirip dorsal), B6 (jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral). Hasil analisis fungsi kanonikal menunjukkan karakter morfologi ikan sepat Kalimantan memiliki nilai indeks kesamaan dengan Sepat Jawa sebesar 20%.

Kata kunci: ikan sepat, genotip, morfometrik, RAPD

ABSTRACT

NOVA F. SIMATUPANG.

“Characteristic of Sepat Fish (Trichogster pectoralis) based on RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Analysis and Morphometric Measurment”, Supervised by DINAR TRI SOELISTYOWATI dan RUDHY GUSTIANO.

This research aims to identify genetic relationship of sepat from Java (Tasikmalaya), Sumatera (Jambi), and Kalimantan (South Kalimantan) using RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) and morfometric character. The results shows that Sepat population from Kalimantan has the highest polymorphism and heterozigosity. Fragment size of RAPD loci in each population is about 125-2000 bp. The largest genetic distance is about 0.343 between population Java and Kalimantan and the smallest is about 0.257 between population Sumatra and Jawa. Based on morfometric character, there are 3 different characters recognized them are : B2, B6, and C2. The highest diversity coefficient is in C2 and the lowest is in A4.

(26)

KARAKTERISASI RAGAM GENETIK IKAN SEPAT

(Trichogaster pectoralis) BERDASARKAN ANALISIS RAPD

(RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA) DAN

MORFOMETRIK

NOVA F. SIMATUPANG

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(27)

PENGESAHAN

Judul Skripsi : Karakterisasi Ragam Genetik Ikan Sepat (Trichogaster pectoralis) Berdasarkan Analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan Morfometrik

Nama Mahasiswa : Nova F. Simatupang NIM : C14070075

Departemen : Budidaya Perairan

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir.Dinar Tri Soelistyowati, DEA Dr. Ir.Rudhy Gustiano , M.Sc NIP. 19611016 1984032001 NI196108031989031006

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Odang Carman M.Sc NIP 19591222 198601 1 001

(28)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih serta berkat-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga setiap proses dalam penyelesaian dan penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011 di laboratorium molekuler dan genetika Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor, Jawa Barat dengan judul “Karakterisasi Ragam Genetik

Ikan Sepat (Trichogaster pectoralis) Berdasarkan Analisis RAPD (Random

Amplified Polymorphic DNA) dan Morfometrik”.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr.Ir. Dinar Tri Soelistyowati DEA, selaku pembimbing I dan kepada Dr. Ir. Rudhi Gustiano MSc., selaku pembimbing II, bimbingan, arahan serta motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi serta kesempatan yang diberikan untuk mengikuti kegiatan balai. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Nur Bambang PU MSi, sebagai dosen PA (pembimbing akademik dan penguji tamu) yang telah banyak memberi masukan selama penulis mengikuti perkuliahan di IPB. Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Iskandariah, S.Pi dan Glen S.Pi yang selalu memberikan ilmu serta arahan selama penelitian berlangsung, dan juga kepada semua pegawai Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang sudah banyak memberikan motivasi serta sambutan yang hangat.

Ungkapan terimakasih juga ditujukan kepada kedua orang tua penulis yakni Bapak Togar Simatupang dan Ibu Risma Sihotang, keluarga penulis lainnya Rizal, Derman, Magdalena, Regina Morina Simangunsong, Try Eliza yang selalu memberikan doa, kasih sayang, serta semangat, terkhusus kepada Regina Simangunsong terimakasih telah menjadi sahabat sekaligus bagian keluargaku yang telah banyak memberikan bantuan, tumpangan kosan, canda tawa dan suka duka lainya. Selain itu penulis mengucapkan terimkasih kepada teman satu penelitian Pembaruan Siregar, Intan Putriana dan juga kepada Richardo Kaka David Lubis sebagai teman terdekat saat ini.

(29)

RIWAYAT HIDUP

 

Penulis dilahirkan di Balige, Toba Samosir 10 April 1989 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Togar Simatupang dan Ibu Risma Sihotang. Pendidikan formal yang telah dilalui penulis adalah SD Katolik San Franceso Balige lulus pada tahun 2003, SLTP Katolik Budhi Dharma Balige lulus pada tahun 2005, SMAN 2 Yayasan Soposurung Balige lulus pada tahun 2007. Pada Tahun 2007 pula penulis mulai melanjutkan perkuliahan di IPB melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti praktek lapang di PT. TWM Anyer, Banten pada tahun 2010. Selain itu penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum pada mata kuliah Fisika Kimia Perairan (2009) dan juga Dasar- Dasar Mikrobiologi (2009). Penulis juga adalah penerima pembiayaan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) sebanyak 3 kali di bidang yang berbeda. Penulis adalah penerima beasiswa Perkumpulan Orangtua Mahasiswa (POM) tahun 2007-2009, beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) 2009/2010 dan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) 2010/2011.

Selain itu penulis juga aktif berorganisasi kemahasiswaan seperti, Himpunan Mahasiswa Akuakultur (HIMAKUA) periode 2008/2009 bidang kewirausahaan, 2009/2010 di bidang marketing, Anggota Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI), Komisi Kesenian IPB (KOMKES), dan juga aktif di organisasi di luar kampus yaitu Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) sebagai Badan Pengurus Cabang (BPC) pada periode 2010/2011 di depertemen Keuangan, 2011/2012 sebagai Kepala Bidang Kerohanian, Kader dan Kewirausahaan, serta menjadi Majelis Ketua pada Konfrensi Cabang GMKI yang ke-32 di Bogor dan mengikuti beberapa kepanitian di berbagai even di kampus.

Tugas akhir dalam perguruan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Karakterisasi Ragam Genetik Ikan Sepat (Trichogaster pectoralis) Berdasarkan Analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic

(30)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR . ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I.PENDAHULUAN. ...

1

1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian. ... 4

II.BAHAN DAN METODE

. ... 5 2.1 Materi Ikan Uji. ... 5 2.2 Ekstraksi DNA. ... 5 2.3 Amplifikasi DNA dengan Teknik PCR... 5 2.4 Elektroforesis. ... 5 2.5 Karakterisasi Morfometrik. ... 7 2.6 Analisis Data. ... 8

III.HASIL DAN PEMBAHASAN. ...

9 3.1 Hasil. ... 9 3.1.1 Profil RAPD. ... 9 3.1.2 Keragaman Genetik Intrapopulasi. ... 10 3.1.3 Uji Perbandingan Fst ... 10
(31)

DAFTAR TABEL

(32)

DAFTAR GAMBAR

1. Titik-titik morfometrik pada ikan sepat. ... 7 2. Amplifikasi DNA dengan primer OPC-02, OPC-05, OPA-02 ... 9 3. Dendrogram 3 populasi ikan sepat ( Jawa, Sumatra dan Kalimantan) ... 11 4. Penyebaran karakter morfometrik 3 populasi ikan sepat ... 14 5. Dendrogram kemiripan morfometrik pada 3 populasi ikan sepat ... 14

(33)

DAFTAR LAMPIRAN

1. a. Data fragmen DNA ikan sepat Sumatra. ... 22 b. Data fragmen DNA ikan sepat Jawa. ... 23 c. Data fragmen DNA ikan sepat Kalimantan. ... 24 2. Data pengukuran karakter morfometrik. ... 25 3. Koefisien keragaman (CV) morfometrik ikan sepat. ... 26 4. Canonical discriminant function coefficients. ... 27

                                     

(34)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi. Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia adalah potensi perairan darat (air tawar). Keberadaan habitat sungai, rawa, danau secara alami atau buatan merupakan pendukung kehidupan keanekaragaman perikanan. Pengelolaan terhadap sumber daya tersebut terus dikembangkan sebagai andalan bagi kehidupan di masa mendatang baik ditinjau dari segi ekonomi, ketahanan pangan global, maupun pemenuhan konsumsi protein bagi masyarakat.

Keanekaragaman ikan air tawar yang dimiliki Indonesia sebagian telah dikenal dengan baik dan dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat, misalnya ikan mas, lele, nila, patin, gurame dan bawal yang telah dikuasai sistem budidayanya. Namun beberapa komoditas lain belum dikuasai sepenuhnya sistem budidayanya termasuk ikan sepat, sehingga sampai sekarang masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam, terutama pada musim penghujan dimana populasi ikan ini melimpah. Kegiatan penangkapan ikan sepat yang dilakukan secara berlebihan dapat mengancam kepunahan ikan, seperti halnya di Kalimantan Selatan populasi ikan ini sudah menurun (Anonim, 2010a). Berbagai aktivitas manusia yang merusak alam serta metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan telah berdampak pada penurunan stok populasi di alam yang dapat mengancam kelestariannya (Mamangkey et al., 2007). Sama halnya pada ikan sepat akan mengalami kepunahan jika dilakukan dengan metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan serta berlebihan.

(35)

Indonesia dengan dukungan penguasaan teknologi serta sistem budidaya yang memadai, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat serta memenuhi kebutuhan gizi khususnya dikalangan masyarakat pedesaan. (Anonim, 2010b). Ikan sepat memiliki keunggulan yaitu mampu beradaptasi dengan lingkungan buruk. Hal ini dimungkinkan karena ikan sepat sendiri memiliki alat pernafasan tambahan berupa labirin (bunga karang). Selain itu ikan ini juga memiliki bulu cambuk yang merupakan modifikasi dari sirip anal dan berfungsi sebagai alat perlindungan diri dan membantu dalam hal pencarian makanan. Berdasarkan keunggulan tersebut, ikan sepat berpotensi sebagai komoditas ikan budidaya di masa yang akan datang, khususnya pemberdayaan pada lahan-lahan kristis.

Pada periode 5 tahun terakhir produksi ikan sepat cenderung meningkat dari 6.46 ton (2004) menjadi 8,46 ton (2008). Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan produksi sebesar 7% setiap tahun. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi (Susenas), konsumsi dan serapan ikan sepat pada tahun 2008 termasuk salah satu ikan asin yang diawetkan dan banyak dikonsumsi masyarakat selain ikan tongkol, cakalang dan kembung. Harga ikan sepat yang diasinkan berkisar Rp. 20.000/kg. Angka konsumsi tertinggi adalah propinsi Kalimantan Tengah dengan tingkat konsumsi 2,07 kg/th per kapita, Kalimantan Selatan 1,82 kg/ th per kapita dan Sumatra Selatan 1,15 kg/th per kapita. Hal ini menunjukkan peluang pasar yang masih tinggi. (Anonim, 2010b)

Untuk memenuhi permintaan pasar tersebut maka dilakukan suatu kegiatan budidaya yang berkelanjutan, sehingga stok di alam tetap terjaga. Salah satu pendekatan dari sisi genetik adalah melakukan pemuliaan calon induk yang unggul secara genetik melalui seleksi dan pengelolaan reproduksinya. Seleksi dan pengelolaan genetik ini berhubungan erat dengan informasi populasi calon induk, khususnya potensi keragaman genetis. Selain dari sisi genotip variasi genetik juga dapat dilihat berdasarkan karakter morfologisnya, misalnya morfometrik dan meristik.

(36)

merupakan kunci penting bagi suatu spesies untuk dapat bertahan hidup dan menjamin kestabilan populasi dalam waktu yang lama, yaitu menentukan kemampuan respon suatu populasi terhadap seleksi, baik seleksi alam ataupun buatan. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih tinggi, karena banyak alternatif gen atau kombinasi gen yang tersedia untuk merespon perubahan kondisi lingkungan yang dihadapi. Penurunan keragaman genetik bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti isolasi populasi,

inbreeding, dan geneticdrift (Soewardi, 2007).

Salah satu metode karakterisasi genotip adalah analisa molekuler dengan metode Random Amplified Polymhorpic DNA (RAPD) menggunakan teknik PCR

(Polymerase Chain Reaction). Penanda molekuler RAPD yang digunakan merupakan sekuen DNA polimorfik yang dipisahkan oleh gel elektroforesis PCR menggunakan satu primer oligonukleotida pendek secara acak. Metode RAPD memiliki beberapa keunggulan diantaranya mampu mendeteksi sekuen nukleotida hanya dengan satu primer, polimorfisme tinggi, dan dapat digunakan tanpa mengetahui latar belakang genom sebelumnya (Dunham, 2004).

Selain itu, keragaman genetik dapat pula diidentifikasi berdasarkan variasi fenotip morfologi diantaranya dengan metode morfometrik. Metode pengukuran morfometrik dilakukan dengan menghubungkan titik-titik pada kerangka tubuh ikan (Blezinsky and Doyle, 1987). Pengukuran karakteristik morfologi dengan morfometrik lebih mudah dilakukan, dan biayanya jauh lebih murah. Karakterisasi morfologi ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama habitat perairannya.

(37)

1.2 Tujuan Penelitian

(38)

II. BAHAN DAN METODE

2.1 Materi Ikan Uji

Ikan yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas 3 populasi yang dikoleksi dari Sumatra (Jambi), Jawa Barat (Tasikmalaya) yang berasal dari lingkungan budidaya, dan Kalimantan Selatan yang berasal dari alam, masing- masing sebanyak 10 ekor.

2.2 Ekstraksi DNA

Setiap sampel ikan diambil sirip ekor dan ditimbang sebanyak 5-10 mg dibilas 2 kali dengan menggunakan akuades, lalu dikeringkan dengan tissue dan dimasukan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml, kemudian dilisis dengan menambahkan urea sebanyak 500 µl dan protein kinase (K) 10 µl. Setelah itu dikocok menggunakan alat vortex dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam atau sampai sirip hancur. Selanjutnya ditambahkan larutan phenol:chloroform:

isoamilalkohol (PCL) dengan perbandingan 25:24:1 sebanyak 1000 µl dan disentrifuse dengan menggunakan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan lalu dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan etanol 90% sebanyak 1000 µl dan Na asetat sebanyak 10 µl lalu di sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pellet dikering anginkan sampai etanol menguap. DNA dilarutkan dengan menambahkan

rehydration solution sebanyak 100 µl. DNA yang belum akan digunakan dalam jangka waktu lama disimpan pada suhu 2-8°C.

2. 3 Amplifikasi DNA dengan teknik PCR

Tiga jenis primer yang digunakan adalah OPA2, OPC2, OPC5 (Tabel 1) Tabel 1. Deskripsi sekuen primer RAPD pada amplifikasi DNA ikan sepat

Primer Sekuen Nukleotida (5’Æ3’)

OPA 2 TGCCGAGCTG

OPC 2 GTGAGGCGTC

(39)

Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan metode PCR. Komposisi bahan yang digunakan adalah 1 unit dry taq produk Promega, 2 µl DNA genom hasil ekstraksi, 2 µl primer, 21 µl air akuades sehingga total sebanyak 2 µl. Selanjutnya disenrtifugasi terlebih dahulu sampai tidak terdapat gelembung. Setelah itu dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan 35 siklus. Secara umum proses PCR terdiri dari 3 tahap yaitu denaturasi (penguraian utas ganda DNA), penempelan primer (annealing) dan pemanjangan utas DNA (elongasi). Predenaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 2 menit untuk memastikan kesempurnaan denaturasi, sedangkan denaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 1 menit, annealing pada suhu 36°C selama 1 menit dan elongasi pada suhu 72°C selama 2 menit. Elongasi akhir dilakukan pada suhu 72°C selama 7 menit untuk meyakinkan proses elongasi berjalan sempurna, dan proses penstabilan pada suhu 4ºC selama 3 menit. Proses PCR ini berlangsung selama 30 siklus.

2.4 Elektroforesis

Agar yang digunakan adalah gel agarose 2% ditimbang sebanyak 0.8 mg dan ditambahkan TBE buffer sebanyak 40 ml, kemudian dipanaskan dan sekaligus diaduk di atas hot plate pada suhu 150°C sampai larutan tersebut bewarna bening, kemudian ditambahkan ethidium bromide 10 µl. Setelah mendidih, kemudian dituang ke dalam cetakan agar dan dibentuk sumur gel dengan menggunakan sisir gel. Gel dibiarkan membeku dan sisir diambil dengan hati-hati. Gel kemudian ditempatkan pada alat/ tangki elektroforesis dengan posisi lubang berada pada kutub negatif.

(40)

2.5 Karakterisasi Morfometrik

[image:40.595.101.506.73.801.2]

Ikan sepat diambil secara acak sebanyak 10 ekor per masing- masing populasi dan dipilih berdasarkan kelengkapan anggota tubuhnya. Metode pengukuran morfometrik dengan menghubungkan jarak titik-titik tanda yang dibuat pada kerangka tubuh (Gambar 1). Pemilihan titik tersebut berdasarkan modifikasi teori Blezinsky and Doyle (1987). Pembuatan titik dilakukan dengan cara ikan diletakkan di atas kertas folio yang berlapis plastik kemudian mulai ditusuk tepat disisi titik-titik yang telah ditentukan. Karakterisasi morfometrik dilakukan dengan membagi tubuh ikan menjadi 3 bagian besar yaitu kepala, ekor dan badan. Sepuluh titik tersebut yaitu: mulut, punuk, awal sirip dorsal, akhir sirip dorsal, awal sirip caudal, akhir sirip caudal, awal sirip anal, awal ventral, awal pektoral, bawah mulut. Selanjutnya masing-masing jarak titik di seluruh badan ikan tadi dihubungkan dan diukur dengan penggaris sehingga dari 10 titik diperoleh 21 karakter yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Titik-titik morfometrik pada ikan sepat

Keterangan gambar:

A1 : Jarak antara titik awal mulut dengan punuk A2 : Jarak antara titik awal mulut dengan bawah mulut A3 : Jarak antara punuk dengan bawah mulut

A4 : Jarak antara punuk dengan sirip ventral A5 : Jarak antara punuk dengan sirip pektoral A6 : Jarak antara punuk dengan awal sirip anal B1 : Jarak antara punuk dengan awal sirip dorsal

B2 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan akhir sirip dorsal

A1

A2 A3

A4 A5

A6

B1 B2

B3

B4 B5

B6 B7

C1 C2

C3 D3

D4 D1

(41)

B4 : Jarak antara sirip dorsal dengan awal sirip ventral B5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip ventral B6 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip pektoral B7 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan awal sirip anal C1 : Jarak antara awal sirip anal dengan sirip pektoral C2 : Jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral C3 : Jarak antara sirip ventral dengan bawah mulut

D1 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan akhir sirip caudal D2 : Jarak antara awal sirip caudal dengan akhir sirip caudal D3 : Jarak antara akhir sirip caudal dengan awal sirip anal D4 : Jarak antara awal sirip anal dengan awal sirip caudal D5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan awal sirip caudal

2.6 Analisis Data

(42)

3.1 H

Be genetik da membahas memberik

3.1.1 Pr

Ha pada 3 pop

Sumatera J

Gam Fra pada kisar pada popu bp. Sedan Kalimanta

Tabel 2. Ju

Popu

Sumatera Jawa Kalimantan

1 2  3  1 Hasil

erdasarkan an fenotip m

s mengena kan gambara

rofil RAPD

asil amplifik pulasi disaji

Jawa Kalim

mbar 2. Amp

agmen dan ran 125-200 ulasi ikan se ngkan jumla an yaitu

20-umlah dan u

ulasi Ikan Se

n

1  2 3  1 2

III. HAS pengamatan morfometrik ai keragama an mengena D

kasi DNA m ikan pada G

mantan Suma

plifikasi DN

n ukuran D 00 bp (Tabe epat dari Jaw ah dan ukur

27 pada 175

ukuran frag

epat

  3 M 1

IL DAN PE

n dan anal k, hasil yan an dan jar ai kemiripan

[image:42.595.113.573.324.460.2]

menggunaka Gambar 2 da

atera Jawa K

NA dengan p

NA yang t el 2). Jumlah

wa berkisar ran fragmen 5-2000bp.

gmen DNA 3

Jumla

2 2 2 2 3 1 2 3

EMBAHAS

lisa DNA y ng diperoleh

rak genetik n fenotipik a

an primer O an Lampiran

Kalimantan

primer OPC

teramplifika h fragmen y r 27-29 pada n terendah

3 populasi i

ah Fragmen

23-30 27-29 20-27 3 1 2 3 M

SAN

yang menja h meliputi p k, serta mo antar popula OPC-02, OP n 1.   Sumatera C-02, OPC-0 asi bervaria yang paling

a ukuran fra adalah pop ikan sepat Ki 1 1 1 M 4 5 6 4 

adi dasar k profil DNA orfometrik asi.

C-05, OPA

Jawa Kalim

05, OPA-02

asi antara 2 g banyak ter

agmen 175-pulasi ikan

isaran Ukur

25 - 2000 b 75 - 2000 b 75 - 2000 b 5 6 4  5 6

kajian yang yang -02 mantan  2 20-30 rdapat -2000 sepat ran p p p 6  M

300

100

500 00 bp 

00 bp 

(43)

3.1.2 Keragaman Genetik Intrapopulasi

Derajat polimorfisme merupakan ukuran keragaman genetika intrapopulasi yang didasarkan pada besarnya proporsi lokus polimorf terhadap total lokus yang diidentifikasi. Sedangkan heterosigositas adalah jumlah individu heterozigot pada lokus tertentu di dalam populasi. Persentase polimorfisme dan heterosigositas 3 populasi ikan sepat disajikan pada Tabel 3. Persentase polimorfisme pada populasi sepat Kalimantan dan Sumatra 26.67%, lebih tinggi dibandingkan polimorfisme pada populasi sepat Jawa 13,33%. Demikian juga heterosigositas populasi ikan sepat Kalimantan (0,12) dan Sumatera (0,11), lebih tinggi dibandingkan heterosigositas populasi ikan sepat Jawa (0,06).

Tabel 3. Persentase polimorfisme dan heterozigositas 3 populasi ikan sepat

Populasi Ikan Sepat Polimorfisme (%) Heterozigositas

Sumatera 26.67 0.11

Jawa 13.33 0.06

Kalimantan 26.67 0.12

3.1.3 Uji Perbandingan Fst

Uji perbandingan Fst menggambarkan tingkat akurasi perbedaan genetik intrapopulasi (Tabel 4).

Tabel 4. Uji perbandingan berpasangan Fst pada 3 lokus

Populasi Ikan Sepat Sumatera Jawa Kalimantan

Sumatera *****

Jawa 0.998 *****

Kalimantan 0.964 0.464 *****

Keterangan : ≤ 0,05 = berbeda nyata > 0,05 = tidak berbeda nyata

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa distribusi genotip ketiga populasi ikan sepat dari Sumatra, Jawa dan Kalimantan tidak berbeda nyata (P>0.05).

3.1.4 Jarak Genetik

(44)

Tabel 5. Jarak genetik 3 populasi ikan sepat

Populasi Ikan Sepat Sumatera Jawa Kalimantan

Sumatera *****

Jawa 0.257 *****

Kalimantan 0.277 0.343 *****

Hubungan kekerabatan interpopulasi 3 populasi ikan sepat yang digambarkan dalam bentuk dendrogram UPGMA menunjukkan populasi ikan sepat dari populasi Sumatra dan Jawa membentuk satu kelompok terpisah dari sepat Kalimantan (Gambar 3).

3.1.5 Karakteristik Morfometrik

Pengukuran 21 karakter morfometrik pada ketiga populasi ikan sepat (Lampiran 2), disajikan dalam bentuk rata-rata (Tabel 6) dan koefisien keragaman (Lampiran 3). Koefisien keragaman tertinggi adalah karakter C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral) dan yang terendah adalah karakter A4 (jarak antara punuk dengan sirip ventral).

Gambar 3. Dendrogram 3 populasi ikan sepat (Jawa, Sumatra, Kalimantan)

Jawa

Sumatra

(45)
[image:45.595.103.442.96.788.2]

Tabel 6. Rata-rata 21 karakter morfometrik (cm) ikan sepat

Keterangan

A1 : Jarak antara titik awal mulut dengan punuk A2 : Jarak antara titik awal mulut dengan bawah mulut A3 : Jarak antara punuk dengan bawah mulut

A4 : Jarak antara punuk dengan sirip ventral A5 : Jarak antara punuk dengan sirip pektoral A6 : Jarak antara punuk dengan awal sirip anal B1 : Jarak antara punuk dengan awal sirip dorsal

B2 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan akhir sirip dorsal B3 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan sirip pektoral B4 : Jarak antara sirip dorsal dengan awal sirip ventral B5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip ventral B6 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan sirip pektoral B7 : Jarak antara awal sirip dorsal dengan awal sirip anal C1 : Jarak antara awal sirip anal dengan sirip pektoral C2 : Jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral C3 : Jarak antara sirip ventral dengan bawah mulut

D1 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan akhir sirip caudal D2 : Jarak antara awal sirip caudal dengan akhir sirip caudal D3 : Jarak antara akhir sirip caudal dengan awal sirip anal D4 : Jarak antara awal sirip anal dengan awal sirip caudal D5 : Jarak antara akhir sirip dorsal dengan awal sirip caudal

Karakter yang diukur Sumatra Jawa Kalimantan

A1 2,441±0,211 1,673±0,221 1,765±0,150

A2 2,222±0,404 1,544±0,263 1,456±0,195

A3 3,165±0,697 1,817±0,207 2,000±0,286

A4 3,734±0,194 2,325±0,257 2,556±0,279

A5 7,157±0,337 4,379±0,585 4,588±0,661

A6 4,641±0,337 2,978±0,283 3,167±0,347

B1 4,672±0,231 2,917±0,453 3,077 ±0449

B2 3,463±0,481 1,856±0,291 2,133±0,194

B3 5,783±0,415 3,435±0,525 3,777±0,505

B4 5,583±0,379 3,303±0,557 3,611±0,390

B5 7,481±1,181 4,533±0,592 5,113±0,688

B6 7,584±0,595 4,212±0,534 4,844±0,782

B7 5,636±1,200 3,105±0,485 3,511±0,406

C1 0,90±1,490 0,536±0,082 0,533±0,323

C2 0,634±0,172 0,511±0,128 0,555±0,070

C3 1,635±0,176 1,094±0,087 1,299±0,324

D1 2,762±0,231 1,813±0,280 1,944±0,211

D2 1,879±0,336 1,177±0,211 1,300±0,226

D3 7,847±1,699 4,933±0,899 5,655±0,818

D4 8,988±0,681 5,177±0,776 5,888±0,723

(46)
[image:46.595.139.450.154.453.2]

Uji perbandingan karakter morfometrik (Tabel 7) menunjukkan 3 karakter berbeda.

Tabel 7. Uji signifikansi pada 21 karakter morfometrik ikan sepat

* Karakter yang berbeda (P≤0,05)

Karakter yang berbeda nyata adalah B2 (jarak antara awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung), B6 (jarak antara akhir sirip punggung dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral).

Hasil ilustrasi fungsi kanonikal memperlihatkan bahwa karakter morfometrik ketiga populasi ikan sepat terdistribusi pada kuadran yang berbeda (Gambar 4). Populasi sepat Sumatra (kuadran II dan III) terpisah dari populasi Kalimantan (kuadran I) dan Jawa (Kuadran IV). Kemiripan komponen morfometrik antar populasi ikan sepat dapat digambarkan menggunakan sharing component (index kesamaan) pada Tabel 8.

 Jarak  genetik 

Wilks'

Lambda F df1 df2 Sig. A1 .833 2.703 2 27 .085 A2 .863 2.149 2 27 .136

A3 .954 .654 2 27 .528

A4 .993 .099 2 27 .906

A5 .935 .941 2 27 .403

A6 .973 .379 2 27 .688

B1 .974 .362 2 27 .700

B2 .774 3.931 2 27 .032*

B3 .965 .482 2 27 .622

B4 .948 .735 2 27 .489

B5 .986 .190 2 27 .828

B6 .698 5.837 2 27 .008*

B7 .866 2.093 2 27 .143

C1 .978 .302 2 27 .742

C2 .788 3.627 2 27 .040*

C3 .832 2.718 2 27 .084

D1 .951 .694 2 27 .508

D2 .988 .168 2 27 .846

D3 .963 .524 2 27 .598

(47)
[image:47.595.166.424.92.320.2]

Gambar 4. Penyebaran karakter morfometrik 3 populasi ikan sepat

Berdasarkan Indeks kesamaan morfometrik (Tabel 8) menunjukkan bahwa terdapat sharing component ikan sepat Kalimantan dengan sepat Jawa sebesar 20%. Kemiripan antar ketiga populasi yang diamati digambarkan pada dendrogram (Gambar 5).

Tabel 8. Indeks kemiripan (%) morfometrik pada 3 populasi ikan sepat

Populasi ikan sepat Sumatera Jawa Kalimantan Total

Sumatera 100,0 0,0 0,0 100,0 Jawa 100,0 0,0 0,0 100,0 Kalimanta 0,0 20,0 80,0 100,0

25 20 15 10 5 0

+---+---+---+---+---

Gambar 5 Dendrogram kemiripan morfometrik pada 3 populasi ikan sepat

Sumatra Kalimantan Jawa

I II

(48)

Pada dendrogram kemiripan morfometrik interpopulasi (Gambar 5) menunjukkan adanya hubungan yang lebih dekat antara sepat Jawa dan Kalimantan dibanding dengan sepat Sumatra.

3.2 Pembahasan

Aspek-aspek genetik dari suatu sistem budidaya merupakan faktor penting untuk menentukan kemampuan potensialnya terkait dengan keragaan produksi. Selain itu faktor lingkungan (habitat) juga berpengaruh terhadap stabilitas struktur genetik yang berkaitan dengan pertukaran dan aliran gen antar populasi pada proses seleksi dan persilangan. Perbedaan variasi genetik ikan di alam maupun di lingkungan budidaya dapat dilihat dari proporsi lokus polimorfik, jumlah alel per lokus (keragaman alelik), heterozigositas dan diperkuat dengan uji perbandingan Fst. (Wigati et al., 2003)

Pada penelitian ini jumlah fragmen DNA teramplifikasi pada populasi ikan sepat Jawa (27-30) lebih tinggi daripada kedua populasi lainnya. Ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi pada ketiga populasi memiliki kisaran 125-2.000 bp. Perbedaan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan setiap primer RAPD menggambarkan keunikan genom yang diamati. Pada ikan dengan tingkat variasi genetik tinggi dibutuhkan 6-7 primer untuk menguji variasi genetiknya, serta 10-15 primer untuk spesies dengan tingkat variasi genetik yang rendah (Liu et al.,

1994 dalam Feni, 2008). Pemilihan primer pada RAPD berpengaruh terhadap polimorfisme fragmen yang dihasilkan karena setiap primer memiliki situs penempelan sendiri sehingga fragmen dari DNA yang diamplifikasi oleh primer berbeda menghasilkan polimorfik dengan jumlah fragmen dan berat molekul berbeda (Roslim, 2001).

(49)

keragaman genetiknya lebih tinggi dibanding Jawa. Tingkat polimorfisme dipengaruhi oleh faktor seleksi alam dan persilangan serta didukung juga oleh adanya migrasi dan tingkat mutasi gen pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.

Tingginya polimorfisme pada populasi Kalimantan dipengaruhi dari kondisi habitat populasi ikan tersebut. Sampel populasi Kalimantan diperoleh dari alam dengan kondisi perairan yang didominasi oleh rawa dan cenderung fluktuatif. Keragaman genetik yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan beradaptasi lebih baik dengan perubahan lingkungan yang fluktuatif sehingga bisa bertahan hidup. Spesies yang berada di alam memiliki variasi genetik yang lebih besar dan terbentuk selama proses adaptasi terhadap kondisi alam yang berfluktuasi (Tave, 1999). Sedangkan populasi sepat Jawa dan Sumatra berasal dari hasil budidaya yang dipelihara dalam lingkungan yang stabil dan terkontrol sehingga variasi alel yang dimiliki lebih kecil (sedikit) karena seleksi oleh lingkungan relatif rendah.

Selain itu pada ikan-ikan hasil budidaya potensi terjadinya inbreeding

lebih besar karena ikan hanya akan melakukan perkawinan dengan ikan sejenisnya yang terbatas dalam wadah budidaya tersebut sehingga dalam waktu tertentu populasi akan semakin seragam. Selain itu pada ikan budidaya pengelolaan sistem rekrutmen calon induk yang tidak terarah serta tidak mengetahui sejarah calon induk tersebut dapat menyebabkan terjadinya seleksi tanpa sengaja sehingga berpengaruh pada penurunan keragaman genetik ikan tersebut (Mulyasari, 2007).

(50)

anaknya (parental care), sehingga cenderung membatasi penyebaran populasi. Kepadatan populasi pada suatu daerah juga mempengaruhi nilai keragaman genetik. Jumlah populasi ikan sepat di Kalimantan lebih besar dibandingkan dengan di Jawa karena hasil tangkapan ikan sepat didominasi dari Kalimantan sehingga nilai heterosigositas juga lebih tinggi

Selain itu menurut Sugama et al. (1996) pada lingkungan yang stabil akan lebih sedikit ditemukan variasi alel dari pada lingkungan dinamis, laju seleksi dan mutasi juga rendah. Rendahnya peluang terjadinya perkawinan acak diduga juga karena terbatasnya jumlah individu sehingga terjadi pembatasan pertukaran gen dan terkait dengan perkawinan sekerabat yang semakin meningkat dan menyebabkan genetic drift (penghanyutan gen) dan memicu kemunculan homozigot semakin tinggi. Jika suatu populasi nilai homosigotnya tinggi maka kemungkinan akan rentan terhadap perubahan lingkungan dan serangan penyakit, daya tahan hidup rendah, pertumbuhan lambat, abnormalitas dan lebih fatal lagi kematian massal. Sebaliknya suatu populasi dengan nilai heterosigositas tinggi, maka variasi genetiknya juga tinggi. Populasi dengan variasi genetik tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. (Haryanti et al., 2005).

(51)

dekat dibandingkan dengan Jawa dan Kalimantan sehingga kemungkinan ikan sepat bermigrasi dari Jawa ke Sumatra atau sebaliknya.

Berdasarkan dendrogram UPGMA menunjukkan bahwa antara populasi sepat Sumatra dan Jawa memiliki kekerabatan yang lebih dekat dibandingkan dengan populasi yang berasal dari Kalimantan (Gambar 3). Introduksi populasi bisa berlangsung melalui perdagangan sehingga mendukung aliran materi genetik

(genetic introgression) (Haryanti et al., 2005), yang mengarah pada perkembangbiakan populasi secara lokal serta meningkatkan kemiripan populasi pada kedua lokasi Sumatra dan Jawa. Pada populasi Kalimantan memiliki kondisi perairan yang berbeda serta terpisahkan secara geografis, atau pola migrasinya terbatas sehingga menyebabkan pertukaran gen juga semakin sempit, namun memiliki indeks kemiripan dengan populasi Jawa sebesar 20% (Gambar 4). Dalam hal ini peningkatan laju aliran gen antara populasi pada lokasi yang terpisah dapat meningkatkan kemiripan kedua populasi.

Berbagai aktivitas manusia yang sering mencemari lingkungan, merusak habitat organisme perairan dengan melakukan penangkapan berlebih serta dengan cara yang tidak ramah lingkungan, misalnya penggunaan bom dan bahan kimia dapat mengancam kepunahan suatu spesies. Penurunan jumlah stok populasi ikan sepat di alam dan rendahnya produktivitas diduga terkait dengan keseragaman, peningkatan inbreeding individu dan sebagai dampak dari keterbatasan jumlah individu di alam (Mamangkey et al.,, 2007).

(52)

dipengaruhi oleh perbedaan faktor lingkungan kondisi perairan yang secara geografis berbeda antara Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Ikan yang berasal dari alam cenderung memiliki lingkungan yang berfluktuatif dan tidak terkontrol. Menurut Ariyanto (2003) ekspresi fenotipik ikan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu genetik dan lingkungan serta interaksi keduanya. Variasi umur dan ukuran sampel ikan diduga berpengaruh terhadap hasil analisis karakteristik morfometrik pada fungsi 1 (Gambar 4) dan (Lampiran 2). Pada gambar 4 tersebut terlihat bahwa populasi Kalimantan dan Jawa saling mendekati, sedangkan populasi Sumatra terpisah dari kedua populasi lainya. Ikan sepat yang berasal dari Sumatra diduga berukuran induk dan siap konsumsi, sedangkan sampel ikan yang berasal dari Jawa dan Kalimantan berukuran benih.

Indeks kemiripan populasi ikan sepat Sumatra dan Jawa adalah 100%, sedangkan populasi Kalimantan dan Jawa adalah 20%. Perbedaan ukuran tubuh berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan (lokal) tempat hidupnya. Hal ini diduga karena variasi fenotip yang diamati secara kuantitatif adalah gabungan dari variasi genetik, variasi lingkungan, dan variasi interaksi genetik dengan lingkungan (Tave, 1999). Perbedaan karakter morfometrik menunjukkan adanya faktor lingkungan yang membentuk morfologi yang berbeda walaupun secara genetik tidak berbeda nyata antar populasi.

Potensi genetik tidak dapat terealisasi dengan baik tanpa dukungan lingkungan (Dunham, 2004). Semua fenotip dikontrol oleh lingkungan (nutrisi, kualitas fisik/biologi/kimia, dan penyakit) tetapi lingkungan memiliki peranan penting dalam memunculkan fenotipe kuantitatif (Tave, 1999). Pengaruh lingkungan terhadap setiap individu berbeda. Potensi genetik yang baik tidak akan bisa mendapatkan hasil yang optimal jika tidak didukung oleh lingkungan yang sesuai. Pada kondisi yang optimal kemampuan metabolisme tubuh akan berjalan secara optimum sehingga pertumbuhan dan respon stres akan berjalan baik. Namun, jika kondisi yang tidak optimal akan terjadi sebaliknya (Mahardika, 2010).

(53)

predasi, dan faktor stress lainya yang dapat mempengaruhi morfologi sebagai bentuk adaptasi ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusrini et al. (2010) dimana setiap daerah menunjukkan perbedaan laju variabel tumbuh yang di pengaruhi oleh lingkungan hidupnya.

(54)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Keragaman genetik berdasarkan analisa RAPD pada populasi ikan sepat Jawa, Sumatra dan Kalimantan tidak berbeda nyata. Pada populasi Jawa menunjukkan polimorfisme dan heterosigositas terendah dibandingkan sepat Sumatra dan sepat Kalimantan. Terdapat 3 karakter morfometrik yang berbeda nyata antara ketiga populasi yaitu B2 (jarak antara awal sirip punggung dengan akhir sirip punggung), B6 (jarak antara akhir sirip punggung dengan sirip pektoral) dan C2 (jarak antara sirip pektoral dengan sirip ventral).

4.2 Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010a. Ikan Sepat. http://micahelridianto.blogspot.com)/. [ 23 Agustus 2011]

Anonim. 2010b.Warta Pasar Ikan Edisi Oktober 2010. Jakarta. Direktorat Pemasaran Dalam Negeri dan Pengolahan Hasil Perikanan, Kementrian Perikanan dan Kelautan.

Arifin OZ, Nugroho E, Gustiano R. 2007. Keragaman Genetik Populasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Dalam Program Seleksi Berdasarkan RAPD. Berita Biologi. 8(6): 465-471.

Ariyanto D. 2003. Analisi

Gambar

Gambar 1. Titik-titik morfometrik pada ikan sepat
Gambar 2 daan Lampirann 1.
Tabel 6. Rata-rata 21 karakter morfometrik (cm) ikan sepat
Tabel 7. Uji signifikansi pada 21 karakter morfometrik ikan sepat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 12 menunjukkan bahwa koefisien beta yang telah distandarisasi dari variabel insentif finansial sebesar 0,459 adalah yang lebih besar dibandingkan variabel

Untuk melakukan uji Alpha, digunakan instrumen penelitian untuk mengetahui kualitas instrumen penelitian yang disusun berdasarkan penilaian dari validator (para ahli)

Berdasarkan penelitian, penulis menyarankan Keberadaan kendaraan pribadi sebagai angkutan umum di Kota Samarinda banyak didapati dikarenakan kurangnya keinginan para

Menyusun rencana program dan rencana kegiatan sesuai standar operasional, rencana tata waktu dan mekanisme pelaksanaan penatausahaan surat-menyurat,

Caprio ve Wagner(2015), Suriyeli Sığınmacıların emek piyasasında istihdamın yapısını değiştirdiğini, kayıt dışı, kadın, yarı zamanlı, vasıfsız Türk

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu

Hasil penelitian dengan memberikan ekstrak terong belanda terhadap tikus putih obesitas yang diinduksi diet tinggi lemak menyebabkan penurunan kadar kolesterol

Berdasarakan hasil penelitian mengenai perbandingan antara pengetahuan ibu mengenai pencegahan diare dengan insidensi diare pada balita, didapatkan hasil bahwa :