• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaringan sosial mungkin merupakan teknologi yang paling menjanjikan dan merengkuh yang dibicarakan pada saat ini. Teknologi ini menyediakan pengiriman pesan, pembuatan blog, media streaming, dan tagging, yang akan

adalah jejaring yang telah menjadi terkenal dalam Web 2.0. MySpace dan Facebook menyediakan media kepada pengguna untuk saling berbagi data diri (profil rinci dan kepribadian pengguna) sedangkan Del.icio.us menyediakan media untuk pengguna saling berbagi sumber Web dan Flickr menyediakan media berbagi gambar. Frappr merupakan sebuah bentuk jejaring yang tergabung menggunakan peta, chat room, dan gambar untuk menghubungkan para pengguna. Jejaring sosial lainnya juga cukup penting, seperti halnya LibraryThing yang menyediakan media untuk para pengguna meng-katalog-kan buku-buku mereka dan melihat apa yang dibagi oleh pengguna lain dengan buku tersebut.

Kenyataannya, sebagian besar peran perpustakaan sepanjang sejarah adalah sebagai tempat berkumpul sekelompok komunitas, yaitu yang berbagi identitas, komunikasi dan tindakan. Jejaring sosial dapat memberikan kesempatan kepada pustakawan dan pemustaka bukan hanya untuk berinteraksi namun juga untuk berbagi dan bertukar sumber secara dinamis dalam sebuah media elektronik. Pengguna dapat membuat account pada jejaring perpustakaan, melihat apa yang dimiliki oleh pengguna lain yang sama dengan informasi yang mereka perlukan, dan merekomendasikan sumber kepada pengguna lain. Jaringan sosial dalam beberapa pengertian adalah Library 2.0. Halaman dari kehadiran Web perpustakaan di masa depan mungkin sangat tampak seperti suatu antarmuka jaringan sosial.

5. Tagging (Menandai)

Tagging pada intinya memberikan kesempatan pada pengguna untuk membuat judul subyek untuk bahan yang dimiliki. Seperti yang digambarkan oleh Shanhi (2006) “tagging merupakan Web 2.0 karena memberikan kesempatan kepada pengguna untuk menambah dan mengubah konten (data) serta konten yang menggambarkan konten (metadata)”. Melalui Flickr, pengguna menandai gambar, sedangkanLibraryThing mereka menandai buku. Dalam Library 2.0, pengguna menandai koleksi perpustakaan sehingga dapat berpartisipasi dalam proses pengkatalogan.

Tagging cukup hanya membuat pencarian lateral menjadi lebih mudah. Contoh yang sering diberikan adalah Tajuk Subyek yang terdapat pada Konggres Perpustakaan AS yaitu “cookery’ (keahlian masak). Istilah ini tidak digunakan oleh pengguna bahasa Inggris untuk mencari “cookbooks” (buku masak). Contoh ini menggambarkan adanya masalah seputar klasifikasi standar. Tagging akan mengubah “cookery’ yang kurang berguna menjadi “cookbooks’ yang lebih berguna secara cepat sehinnga pencarian lateral dapat dibantu secara baik.

Katalog Library 2.0 akan memungkinkan pemustaka mengikuti subjek yang standard dan subjek yang ditandai pemustaka, kapanpun membuat paling bermakna untuk mereka. Pada gilirannya mereka dapat menambahkan Tagging ke dalam sumber informasi. Pemustaka merespon ke sistem, sistem merespon ke pemustaka. Tagging ini adalah suatu katalog terbuka yang

pemustaka. Hal tersebut adalah penerapan ilmu perpustakaan yang terbaik.

6. RSS Feeds

RSS feeds merupakan layanan yang disediakan bagi pengguna untuk mengumpulkan dan menerbitkan kembali konten pada Web. Pengguna menerbitkan kembali konten dari blog lain pada blognya sendiri, mengumpulkan konten pada situs lain dalam sebuah wadah tunggal dan menyaring Web untuk keperluannya sendiri. Pengumpulan konten seperti itu merupakan aplikasi lain dari Web 2.0 yang telah berdampak pada perpustakaan.

Perpustakaan sudah membuat RSS feeds bagi pengguna untuk berlangganan serta pemutakhiran item baru dalam sebuah koleksi, layanan baru, dan konten baru pada database langganan. Mereka juga menerbitkan kembali konten pada situs mereka sendiri. Varnum (2006) “menyediakan sebuah blog yang menyebutkan secara rinci bagaimana perpustakaan menggunakan RSS feeds untuk digunakan pemustakanya”.

Namun perpustakaan belum mencari cara menggunakan RSS dengan lebih mudah. Sebuah produk baru dari perusahaan bernama BlogBridge, BlogBridgeLibrary (BBL), “adalah sebuah software yang dapat diinstal pada server anda di dalam firewall. Bukanlah merupakan konten perpustakaan (buku-buku) namun sebuah software yang mengatur perpustakaan (bangunan)”. Walau potensi BBL terhadap perpustakaan belum dapat

ditemuka n karena kondisinya yang masih baru, dapat diperkirakan bahwa pengumpulan ini dapat menggantikan browsing dan pencarian konten lewat situs Web perpustakaan. BBL dan aplikasi pengumpul RSS serupa, diinstal di dalam sistem perpustakaan dan disatukan dengan jejaring sosial perpustakaan, dapat memberikan kesempatan bagi pengguna untuk memiliki sebuah halaman perpustakaan pribadi yang mengumpulkan seluruh konten perpustakaan yang sesuai dengan mereka serta penelitian mereka, menghilangkan informasi yang tidak relevan dan pengguna tentu saja dapat mengendalikan halaman dan konten tersebut.

7. Mashups

Mashups merupakan aplikasi hibrida, yang terdiri dari dua atau lebih teknologi atau layanan yang dipersatukan menjadi sebuah layanan yang sepenuhnya baru. Retivr sebagai contoh menyatukan database gambar Flickr dengan sebuah algoritma arsitektur informasi eksperimental untuk memberikan kesempatan kepada pengguna untuk mencari gambar bukan dengan metadata tetapi dengan data itu sendiri. Pengguna mencari gambar dengan membuat sketsa gambar. Dalam beberapa hal, banyak teknologi yang dibicarakan sebelumnya memiliki sifat mashup. Contoh lainnya adalah WikiBios, sebuah situs tempat pengguna saling membuat biografi online. Pada dasarnya menggabungkan blog dengan jejaring sosial.

No. Elemen Library 2.0 Layanan Library 2.0 1. Terpusat pada pengguna (It is

user-centered)

1. Synchronous Messaging 2. Blogs and Wikis 3. Tagging

4. RSS Feeds 2. Memberikan sebuah pengalaman

multimedia (It is provides a multi-media experience)

5. Media Streaming

3. Kaya secara sosial (It is socially rich) 6. Jaringan Sosial 4. Bersama-sama melakukan inovasi (It is

communally innovative)

7. Mashups

2.4 Library 3.0

Library 3.0 lebih dari sekedar bangunan, tidaklah semata-mata merupakan desain teknologi perpustakaan, akan tetapi menggabungkan aspek sosial budaya ke dalam pengembangan sistem perpustakaan. Perubahan perilaku pemustaka juga menjadi perhatian serius dalam pengembangan perpustakaan generasi ketiga ini. Sistem perpustakaan tidak hanya dibangun agar dapat diakses secara online dari luar perpustakaan (remote access) karena sumber-sumber informasinya berbentuk elektronik atau digital, akan tetapi juga menyediakan ruang bagi pemustaka untuk terlibat dalam suatu sistem. Penyediaan ruang ini jelas memberikan kesempatan yang luas bagi perpustakaan untuk mendapatkan feedback (umpan balik) dalam pengelolaan perpustakaan. Perubahan konsep perpustakaan generasi ketiga atau library 3.0 lebih banyak ditentukan oleh perkembangan di bidang teknologi,

terutama teknologi Web 3.0. Menurut Evans (2009), “Library 3.0 is the library that is still in existence after the semantic Web and the ‘internet of things’ become common parts of information seeking, resources use, and daily life”. Penjelasan lainnya mengenai library 3.0 ditulis dengan sangat menarik oleh Belling (2011) yang mengatakan sebagai berikut:

Library 3.0 refers to libraries using technologies such as the semantic Web, cloud computing, mobile devices, and re-envisioning our use of established technologies such as federated search, to facilitate usergenerated content and collaboration to promote and make library collections accessible. The end result of Library 3.0 is the expansion of the 'borderless library', where collections can be made readily available to library users regardless of their physical location. Library 3.0 is a virtual complement to physical public library spaces, and ideally will work seamlessly within established public library services and collections”.

Berdasarkan hal diatas, library 3.0 bukanlah konsep yang berdiri sendiri, atau terpisah dari konsep perpustakaan sebelumnya. Library 3.0 merupakan pengembangan dari konsep perpustakaan sebelumnya dengan penambahan fitur atau karakteristik sebagai akibat dari pengaruh teknologi, terutama teknologi Web 3.0 dalam rangka meningkatkan layanan sesuai dengan kebutuhan dan karakter pemustaka. Pada konsep library 3.0, interaksi pemustaka menjadi semakin intensif dan luas, tidak hanya terbatas pada interaksi pemustaka dengan pustakawan, akan tetapi juga dengan pemustaka lainnya sehingga membentuk suatu komunitas. Selain itu, pemustaka juga memiliki peran yang besar dalam menentukan konten dan pengelolaan informasi. Secara lebih rinci, beberapa karakteristik library 3.0 dikemukakan oleh Belling (2011) dalam paparan mengenai pengembangan library 3.0 menyebutkan beberapa karakteristik penting untuk dimasukan dalam membangun perpustakaan generasi ketiga, yaitu:

1. User-generated content 2. Federated Search and Beyond 3. Mobile library catalogues 4. Downloadables

5. Print on Demand 6. QR Codes

7. Cloud Computing

Sementara penulis lainnya, Chauhan (2009), menyebutkan beberapa fitur library 3.0 sebagai berikut:

1. Semantic Web 2. OPAC

3. Ontologies

4. Ubiquitous contents 5. GeoTagging

6. Virtual Reference Service 7. Librarians

8. In Nutshell

Bukan hanya itu saja, penulis lain seperti Hamad (2012) dalam “Library 3.0: the Art of Virtual Library Services” menyebutkan karakteristik perpustakaan generasi ketiga ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Virtual Reference Service 2. Librarian 3.0

3. User-generated content 4. Mobile libraries

5. Mobile OPACs

6. Short messaging service (SMS) 7. Quick response codes (QR) 8. Cloud computing

Perkembangan teknologi yang semakin pesat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi. Teknologi internet saat ini menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai aktifitas manusia di dunia, salah satunya aspek pendidikan. Lembaga pendidikan, khususnya perpustakaan menggunakan teknologi ini untuk memberikan kemudahan dalam pelayanan dan informasi kepada penggunanya.

Dengan diterapkannya teknologi informasi, memberikan banyak perubahan terhadap pelayanan yang terdapat di perpustakaan. Saat ini perpustakaan harus mampu mengikuti dinamika masyarakat pengguna yang semakin beragam dan terbiasa dengan sentuhan teknologi. Berdasarkan dengan dasar hukum dalam undang-undang No. 43 tahun 2007, pada Bab V pasal 14 ayat 3 yang tertulis “Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi”. Dengan demikian pemanfaatan teknologi di perpustakaan sangatlah penting untuk meningkatkan layanannya kepada semua pemustaka.

Secara umum pemanfaatan teknologi perpustakaan di Indonesia khususnya perpustakaan perguruan tinggi dibagi menjadi dua, yaitu automasi perpustakaan dan perpustakaan digital. Baik automasi maupun perpustakaan digital, keduanya menerapkan teknologi Web yang selanjutnya diterapkan di perpustakaan. Situs atau Website merupakan kumpulan halaman yang menampilkan informasi data

dari semuanya, baik yang bersifat statis maupun dinamisyang membentuk satu rangkaian bangunan yang saling terkait dimana masing-masing dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman.

Penyebaran informasi pada media penyajian situs Web akan lebih cepat, tepat dan dapat menjangkau area pelayanan yang luas kepada pengguna tanpa terhalang batasan ruang. Jika sebelumnya, informasi berbasis cetak merupakan primadona perpustakaan tradisional, sekarang tersedia format baru dalam bentuk digital melalui situs Web. Koleksi digital yang dapat diakses secara elektronik, keberadaannya semakin penting dalam pemenuhan kebutuhan informasi pengguna.

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka Website pun terus mengalami perkembangan. Saat Webpertama (Web 1.0) dikembangkan, pengunjung hanya bisa mencari dan melihat-lihat data informasi yang ada di Web. Kemudian bergeser pada era pengembangan Web yang kedua (Web 2.0) dimana pengunjung dapat melakukan interaksi.Istilah Web 2.0lahir pada tahun 2004 dari sebuah konferensi yang diprakarsai oleh Tim O’Reilly dan sebuah event organizer bernama MediaLive International. Jenis interaksi yang dapat dilakukan pada Web2.0 yaitu saling bertukar informasi dan juga pembuatan komunitas-komunitas online.

Dengan demikian, Web 2.0 adalah klasifikasi dari Web yang membuat semua orang dapat terhubung ke Websiteserta mampu menyediakan, mendistribusikan, dan memudahkan pengguna berbagi konten (teks, grafis, dan

lain-lain) di Web, seperti blog, photo sharing (flickr), video sharing (YouTube), presentation sharing (Slideshare.net), social networking (facebook, myspace, twitter, linkedIn) dan lain-lain.

Adanya Web 2.0 menginspirasi kemunculan dari Library 2.0. Istilah ini dikenalkan oleh Michael E. Casey pada tahun 2005 dalam blognya yang bernama Library Crunch. Pada dasarnya penyelenggaraan layanan perpustakaan menggunakan Web 2.0 itulah yang disebut Library 2.0. Dengan layanan tersebut interaksi pemustaka dan perpustakaan akan lebih efektif. Library 2.0 dapat memudahkan cara pustakawan berinteraksi dan melayani pemustaka.

Inti dari Library 2.0 adalah perubahan yang berpusat pada pengguna. Library 2.0 merupakan model layanan perpustakaan yang mendorong perubahan berkelanjutan yang bermanfaat, dengan mengundang partisipasi pengguna dalam mencipta atau mengevaluasi, baik layanan fisik maupun maya yang pengguna kehendaki.

Di Indonesia, banyak perpustakaan yang sudah menerapkan Library 2.0, salah satunya adalah Perpustakaan Universitas Indonesia (UI). Perpustakaan ini sudah menerapkan Library 2.0, terlihat dari terdapatnya layanan untuk melakukan komunikasi secara dua arah, seperti wiki, situs jejaring sosial maupun blog yang ada di dalam Web perpustakaan tersebut.

Perpustakaan UI memiliki gedung fisik yang biasa dikenal dengan sebutan Crystal of knowledge dan dapat diakses melalui Dalam Web perpustakaan tersebut adanya beberapa layanan Library 2.0 seperti

dan lain-lain.. Oleh sebab itu penulis memilih Perpustakaan UI sebagai lokasi penelitian. Ditambah lagi, dengan alasan Website Perpustakaan UI merupakan salah satu Web terbaik di Indonesia menurut Ranking Web Of Universities pada tahun 2010.

Dalam prakteknya, Perpustakaan UI menerapkan Library 2.0 dalam penciptaan layanan virtual. Ini terlihat dari terdapatnya layanan yang langsung dapat berhubungan dengan pustakawan secara online, tersedianya pangkalan data tutorial dengan bahan ajar online, tambahan publikasi informasi melalui blogs, dan terhubung dengan jaringan sosial, yang pada kenyataannya setiap layanan tersebut memberikan banyak kemudahan bagi pemakai dalam mencari informasi yang mereka butuhkan.

Sehubungan dengan uraian di atas penulis ingin mengetahui apa yang terjadi dengan adanya penerapan Library 2.0 pada perpustakaan UI, dan sudah sejauh manakah perpustakaan UI menerapkan Library 2.0. Sehingga, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Penerapan Library 2.0 pada Website Perpustakaan Universitas Indonesia”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah Bagaimana penerapan Library 2.0 pada Website Perpustakaan Universitas Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan Library 2.0 pada Website Perpustakaan Universitas Indonesia.

1.4 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat terutama bagi:

1. Bagi lembaga, sebagai bahan masukan untuk pengembangan dan penyempurnaan situs Web Perpustakaan Universitas Indonesia.

2. Dapat dipergunakan sebagai acuan bagi peneliti berikutnya, khususnya penelitian yang menyangkut masalah dan jenis yang sama dengan penelitian yang dilakukan ini.

3. Bagi penulis sendiri untuk lebih mendalami dan memahami ilmu perpustakaan dan informasi.

1.5 Ruang Lingkup

Pada pembahasan penelitian tugas akhir ini, topik yang diteliti difokuskan pada Web perpustakaan yang sudah menerapkan Library 2.0 yaitu Website Perpustakaan Universitas Indonesia. Penelitian ini mengkaji tentang analisis penerapan Library 2.0.

Library 2.0 merupakan model layanan perpustakaan yang mendorong perubahan konstan dan terarah, mengundang partisipasi pemustaka dalam penciptaan layanan fisik dan virtual yang diinginkan, dan didukung oleh evaluasi layanan secara konsisten. Di Indonesia, banyak perpustakaan yang sudah menerapkan Library 2.0, salah satunya adalah Perpustakaan Universitas Indonesia. Berdasarkan hal itu, maka peneliti ingin mengetahui apa yang terjadi pada website perpustakaan tersebut.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan Library 2.0 pada Website Perpustakaan Universitas Indonesia dengan berdasarkan teori-teori yang ada.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode check list, sedangkan untuk pengujian validitas dan reliabilitas menggunakan teori konsep yang dicetuskan oleh Michael Casey yaitu berdasarkan empat elemen dan tujuh layanan library 2.0.

Layanan yang dimiliki website perpustakaan ini yaitu Synchronous Messaging, Blogs and Wikis, Tagging, RSS Feeds, Media Streaming, Jejaring sosial, dan Mashups. Sedangkan, untuk layanan yang tidak dimiliki ialah Tagging.Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa hasil analisis dalam penerapan Library 2.0 pada website Perpustakaan Universitas Indonesia masuk dalam kategori baik.

ANALISISPENERAPAN LIBRARY2.0 PADA WEBSITEPERPUSTAKAAN

Dokumen terkait