• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 METODE PENELITIAN

C. Jasa Budaya (cultural service)

Jasa budaya dari mangrove yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang ada di Kecamatan Jailolo yaitu pemanfaatan wisata mangrove yang ada di Desa Gamtala, menurut Lau (2013) salah satu jasa ekosistem mangrove adalah jasa kultural diantaranya wisata, rekreasi, dan pendidikan.

a. Pemanfaatan untuk Wisata

Sebagian besar objek pariwisata di Kabupaten Halmahera Barat adalah objek wisata alam seperti pantai, gunung, dan air terjun, selain itu, juga terdapat beberapa objek wisata budaya dan sejarah yang merupakan kekayaan budaya suku-suku asli di Kabupaten Halmahera Barat, yaitu Suku Jailolo, Sahu, Ibu dan Loloda. Jumlah wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung pada tahun 2013 masing-masing sebanyak 37.059 dan 152 orang (BPS Halmahera Barat 2014).

Objek pariwisata baru yang telah dikembangkan saat ini yaitu ekowisata mangrove di Kecamatan Jailolo yang telah dimulai pada tahun 2012, dari 10 desa pesisir yang mempunyai kawasan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo hanya Desa Gamtala yang sudah dikembangkan sebagai tempat wisata mangrove. Pada tahun 2014, jumlah pengunjung ke ekowisata mangrove di Desa Gamtala mencapai 461 orang dan kebanyakan masyarakat yang mengetahui keberadaan mangrove tersebut adalah masyarakat pesisir/pantai teluk Jailolo, pemerhati mangrove dan pelajar sekolah, saat ini kawasan pengelolaan wisata mangrove diberikan kepada Kelompok Mansyarakat Sadar Wisata (Pokdarwis), (Kanporabudpar 2014).

Metode yang digunakan untuk mengestimasi nilai ekonomi manfaat kawasan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo adalah Travel Cost Method

(TCM), jumlah pengunjung objek wisata mangrove Desa Gamtala yang berhasil di wawancara sebanyak 20 orang di bulan Mei 2015. Tujuan para wisatawan atau pengunjung adalah untuk pengamatan, pendidikan dan penelitian maupun hunting. Sedangkan rata-rata umur responden ialah 30 tahun, usia tersebut merupakan usia produktif dan matang sehingga responden sangat memahami setiap pernyataan dan memberikan jawaban secara rasional, kemudian untuk jumlah pengeluaran pengunjung pada objek wisata mangrove adalah Rp. 60.000,-/orang/hari, rincian

biayanya dipergunakan untuk biaya tiket, transportasi, makan minum, pendamping dan dokumentasi (Lampiran 2).

Perhitungan nilai ekonomi mangrove sebagai wisata diperoleh dari nilai Surplus Konsumen (SK) dikalikan dengan total kunjungan per tahun, nilai rata- rata SK dari total responden diperoleh sebesar Rp. 110.907 dan jumlah kunjungan per tahun sebanyak 461 orang, sehingga diperoleh estimasi nilai ekonomi hutan mangrove dari pemanfaatan wisata adalah Rp 51.128.331/tahun, perhitungan lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 2.

Tabel 13 Nilai Ekonomi Wisata Mangrove

Responden Jumlah kunjungan responden dalam 1 tahun (a) Rata-rata SK/kunjungan (Rp/tahun) (b) Rata-rata SK/kunjugan (c=b/a) Jumlah kunjungan /tahun (d) Nilai ekonomi wisata mangrove (e=c.d) 20 32 3.549.038 110.907,44 461* 51.128.331

*Kanporabudpar Kabupaten Halmahera Barat

Jasa Lingkungan Ekosistem Mangrove yang Potensial untuk PJL Syarat penerapan pembayaran jasa lingkungan (PJL) menurut ICWRMIP (2013) yaitu: (a) Nilai ekonomi jasa lingkungan, (b) Adanya pemanfaat jasa lingkungan (environmental services users) dan dengan adanya penyedia jasa lingkungan (environmental services provider), sedangkan menurut Lau (2013) langkah pertama dalam pengembangan pembayaran jasa lingkungan (PJL) adalah mengidentifikasi jasa ekosistem dengan jelas, mengidentifikasi penyedia dan pembeli yang potensial, pemangku kepentingan (stakeholder) maupun skema spesifik dari PJL.

Tabel 14. Nilai ekonomi dan identifikasi komponen pembiayaan jasa ekosistem mangrove

Jasa Ekosistem Mangrove

Nilai Ekonomi (Rp/Tahun) Pemanfaat (user) Potensial Pembeli (buyer) Penyedia (provider) Mekanisme Pembayaran Jasa penyedia (provisioning service) Kayu bakar 760.000 Masyarakat pesisir Kelompok Masyarakat rehabilitasi mangrove - Ikan 9.000.000 Kepiting 7.200.000 Jumlah 16.960.000 Jasa pengatur (regulating service) Pemecah gelombang 30.124.800 Masyarakat pesisir Kelompok Masyarakat rehabilitasi mangrove - Penahan

intrusi air laut 154.851.250

Masyarakat pesisir, Pelanggan PDAM Kelompok Masyarakat rehabilitasi mangrove Retribusi rekening air Jumlah 184.976.050 Jasa budaya (cultural service) Wisata mangrove 51.128.331 Wisatawan Kelompok Masyarakat rehabilitasi mangrove Retribusi tiket masuk Jumlah 51.128.331 Jumlah Total 253.064.381

Pada Tabel 14 diatas, jasa lingkungan yang telah diidentifikasi dengan jelas antara lain jasa penyedia yaitu; kayu bakar, ikan dan kepiting, jasa pengatur diantaranya; sebagai pemecah gelombang, dan penahan intrusi air laut, maupun

jasa budaya yaitu sebagai wisata, kesemua jasa yang telah diidentifikasi merupakan jasa yang telah dimanfaatkan dan masing-masing memiliki nilai ekonomi, namun tidak semua memiliki pemanfaat yang berpotensi sebagai pembeli jasa (buyer). Berdasarkan hasil identifikasi (Tabel 14) terdapat dua jasa lingkungan yang potensial untuk diinisiasi PJL yaitu jasa penahan intrusi air yang di gunakan PDAM sebagai sumber mata air dan jasa wisata alam pada objek wisata mangrove, karena kedua jasa tersebut memiliki seluruh aspek yang diisyaratkan untuk implementasi pembayaran jasa lingkungan. Daerah penyedia jasa (environmental services provider) yang ditetapkan sebagai desa yang nantinya menjadi penyedia jasa lingkungan yaitu: Desa Gamlamo sebagai desa penyedia jasa air, serta Desa Gamtala sebagai penyedia jasa wisata, dengan penyedia (providers) yang potensial adalah masyarakat yang pernah ikut terlibat dalam kegiatan penanaman mangrove (rehabilitasi mangrove).

Persepsi dan Partisipasi Provider Terhadap Rencana Penerapan PJL a. Persepsi dan partisipasi Provider dalam PJL

Masalah pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove (Bengen dan Nikijuluw 2002; Ekayani et al. 2014b; Ekayani dan Nuva 2015). Pemahaman masyarakat (providers) tentang jasa lingkungan mangrove pada masyarakat dinilai cukup mendukung untuk menentukan penetapan PJL air di Desa Gamlamo dan jasa lingkungan ekosistem hutan mangrove sebagai wisata di Desa Gamtala. Untuk penerapan PJL itu sendiri masyarakat menyatakan setuju dan akan berpartisipasi, adapun bentuk pengelolaannya yaitu kawasan perlindungan laut, tambak silvofishery dan kawasan wisata (Gambar 8). Dari persepsi tersebut, dapat dideskripsikan bahwa masyarakat dari kedua desa yang menjadi providers dalam rencana PJL sangat mendukung adanya penerapan PJL. Menurut ICWRMIP (2013) persepsi yang sama tentang jasa lingkungan yang dapat disediakan oleh masyarakat merupakan salah satu syarat implementasi PJL itu sendiri.

Gambar 8. Persepsi dan partisipasi masyarakat (provider) tentang PJL

29% 18% 53% 100% 71% 50% 0% 50% 75% 75% 0% 50% 100% 150% Wisata mangrove Tambak ramah lingkungan (silvofishery)

Kawasan perlindungan laut Setuju untuk ikut penerapan PJL Tahu tentang jasa lingkungan hutan mangrove

Desa Gamtala (Wisata Mangrove)

Desa Gamlamo (Intrusi Air Laut/PDAM)

b. Nilai WTA Masyarakat penyedia jasa lingkungan (providers)

Sebagai penyedia jasa lingkungan (providers) masyarakat memerlukan dana untuk menanam dan memelihara mangrove, sehingga perlu dikaji kesediaan menerima atau willingness to accept (WTA) dari masyarakat providers untuk upaya mereka menjaga kelestarian mangrove. Berdasarkan Gambar 8 ada 25% di Desa Gamtala yang tidak bersedia ikut PJL sehingga dari total 43 provider hanya 40 yang setuju untuk ikut PJL. Tabel 15 menjelaskan tentang hasil perhitungan rataan WTP providers untuk setiap pohon yang ditanam dan dipelihara. Hasil perhitungan total nilai WTA responden diperoleh dari perkalian rata-rata WTA responden dengan total jumlah pohon yang terdapat pada lahan yang merupakan kawasan yang telah ditanami hutan mangrove.

Tabel 15. Besaran WTA Responden (providers)

Nilai WTA (Rp/Pohon/Tahun) (a) Frekuensi Orang (b) Frekuensi Relatif (c=b/40) Mean WTA (Rp/Tahun) (d=a.b/40) 2.500 25 0,63 1.562,50 3.500 2 0,05 175,00 4.500 7 0,18 787,50 5.500 6 0,15 825,00

Total Rataan WTA 40 1,00 3.350,00

Total WTA untuk 45.000 pohon 180.900.000

Ada dua PJL yang potensial diiplementasikan sehingga perlu dilihat berbagai biaya pelestarian mangrove sesuai WTA provider di masing-masing desa untuk setiap PJL. Data dari BPDAS Ake Malamo (2015) menjelaskan bahwa untuk rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Jailolo pada tahun 2013 dengan jumlah pohon mangrove yang ditanam adalah 54.000 pohon dengan luas 15 ha yang dibagi kedalam dua wilayah yaitu Desa Gamlamo seluas 13.5 ha dengan jumlah pohon yang disediakan sebanyak 48.600 pohon dan untuk Desa Gamtala seluas 1,5 ha dengan jumlah pohon sebanyak 5.400 dengan jenis tanaman

Rhizophora. sp dan Bruguiera. Sp. Dari kedua wilayah tersebut diperoleh nilai total WTA yang harus disediakan adalah sebesar Rp 180.900.000/tahun (Tabel 16).

Tabel 16. Estimasi sesuai WTA providers Nilai Mean WTA

(Rp/Pohon/Tahun)

Jumlah Pohon Mangrove Yang Ditanam (15 ha) *

Jumlah (Rp/Tahun) Desa Gamlamo (13,5 ha)* Desa Gamtala (1,5 ha)*

3.230 (a) 48.600*(b) 5.400*(c) 54.000*(d) Total 162.810.000 (e=g/d.b) 18.090.000 (f=g/d.c) 180.900.000 (g=a.d) *BPDAS Ake Malamo (2015)

Untuk melihat apakah kebutuhan biaya sesuai Tabel `16 dapat dipenuhi maka perlu diestimasi penerimaan beneficiaries untuk tiap-tiap PJL sesuai tarif saat ini (Tabel 17). Asumsi nilai WTA bila diimplementasikan untuk pelanggan PDAM yang memanfaatkan wilayah air di wilayah mangrove dengan jumlah pelanggan sebanyak 1.697 kepala keluarga, dan dibebankan biaya pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp.1.000/KK/bulan atau Rp.12.000/KK/tahun, berdasarkan hasil Implementasi jasa lingkungan di Kabupaten Lombok Barat (Rooswiadji 2012) maka jumlah dana yang diperoleh sebesar Rp.20.364.000/tahun. Jika diterapkan untuk kawasan wisata Desa Gamtala yang pengunjungnya sebanyak 461 orang/tahun dengan biaya masuk untuk pengunjung

sebesar Rp.50.000/kunjungan maka diperoleh dana sekitar Rp.23.050.000/tahun. sehingga total dana yang diperoleh sebesar Rp. 43.414.000 (Tabel 17). Nilai ini tidak cukup untuk menutupi total nilai yang diminta oleh providers (WTA) dalam pemeliharaan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat yaitu sebesar 180.900.000.

Tabel 17. Estimasi penerimaan PJL berdasarkan tarif yang berlaku saat ini

Bentuk Jasa Populasi (beneficiaries) (a) Kali (b) Tarif Kini (Rp) (c) Estimasi Penerimaan (Rp/Tahun) (d=a.b.c) Estimasi WTA providers (Rp/Tahun) (e) Selisih (Rp/Tahun) (f=d-e) Jasa Air (PDAM) 1.697 1 12 1.0003 20.364.000 162.810.000 (142.446.000) Jasa Wisata 461 2 1 50.0004 23.050.000 18.090.000 4.960.000 Total 43.414.000 180.900.000 (137.486.000)

1PDAM 2015 2Kanporabudpar 2015 3Rooswiadji 2012 4Pokdarwis 2015

Berdasarkan Tabel 17, untuk PJL pada jasa wisata, biaya PJL dapat dipenuhi, namun biaya yang dibebankan sebesar Rp.50.000 belum termasuk biaya untuk perbaikan infrastruktur maupun untuk pengelolah. Sedangkan untuk PJL pada jasa air (PDAM) biayanya belum dapat dipenuhi sesuai dengan tarif berlaku, sehingga perlu diestimasi dengan tarif penyesuaian agar sesuai biaya WTA. Salah satu upaya yang harus dilakukan yaitu dengan menaikkan beban biaya PJL kepada pemanfaat jasa (beneficiaries). Estimasi nilai beban biaya untuk pemanfaat jasa (beneficiaries) dapat diperoleh dengan membagikan nilai PJL yang harus disediakan dengan jumlah pemanfaat jasa (beneficiaries). Berdasarkan perhitungan (Table 18) estimasi biaya PJL yang dibebankan kepada pemanfaat jasa (beneficiaries) pelanggan PDAM adalah sebesar Rp.7.995/KK/bulan.

Tabel 18. Estimasi biaya yang dibebankan untuk pelanggan PDAM jika PJL diterapkan Bentuk Jasa Beneficiaries (KK) (a) Kali (bulan) (b)

Biaya yang harus disediakan (Rp/Tahun)

(c)

Biaya yang dibebankan untuk pelangan PDAM (Beneficiaries)

(Rp/KK/Bulan) (d=c/a/b) Jasa Air

(PDAM) 1.697

1 12 162.810,000 7.995

1PDAM 2015

Implementasi Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)

Sistem pendanaan berbasis pasar tidak boleh dianggap sebagai alat yang dapat menyelesaikan semua persoalan lingkungan, tetapi sebagai suatu bagian dari serangkaian pilihan konservasi yang ada bagi para pembuat keputusan dan perencana kebijakan (Eijk dan Kumar 2009). Rencana mekanisme PES menurut Wunder (2005) menyatakan bahwa terdapat dua komponen utama dalam penerapan PJL yaitu penyedia jasa lingkungan dan pemanfaat/pembeli jasa lingkungan, sama halnya dengan pendapat Wawo (2014) bahwa kerangka untuk mengembangkan PJL dalam ekosistem salah satunya yaitu menentukan kelompok yang berpotensi sebagai penyedia sukarela dan berpotensi sebagai pembeli.

Rencana implementasi PJL dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo berdasarkan hasil identifikasi jenis jasa diperoleh jenis jasa

untuk air (intrusi air laut) dan jasa wisata mangrove dengan tujuan pembayaran jasa lingkungan adalah melakukan konservasi kawasan resapan air dan meminimalkan degradasi keragaman hayati mangrove. Penerapan rencana pembayaran jasa lingkungan di Kecamatan Jailolo merujuk pada peraturan perundangan dari Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Undang-undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Halmahera Barat No. 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil secara terintegrasi dan berkelanjutan. Pada PERDA No 4 Kabupaten Halmahera Barat Pasal 30 Ayat (1) menyatakan bahwa pelaksanaan rencana rehabilitasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir. Pemerintah daerah dikoordinasikan sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan dengan ketentuan perundang-undangan, pembiayaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada orang dan/badan hukum yang melakukan pengusahaan di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, begitu juga dengan Pasal 32 tentang pendanaan dan kerjasama, dimana pendanaan untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diperoleh melalui pungutan dari berbagai sektor kegiatan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

a. Identifikasi stakeholder dalam PJL

Hasil identifikasi stakeholder menunjukan bahwa ada 14 stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat baik untuk jasa air (PDAM) maupun untuk Jasa wisata. Berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove mulai dari pemerintah sampai masyarakat lokal. Banyaknya stakeholder yang terlibat akan membawa konsekuensi kepentingan yang semakin kompleks. Olehnya itu, diperlukan suatu kelembagaan untuk mengatur setiap stakeholder agar bersepakat untuk bersama-sama mewujudkan pengelolaan mangrove berbasis PJL. Daftar

stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan mangrove tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel. 19. Stakeholder pengelolaah mangrove menurut jasa dan level administrasi

No Stakeholder Jasa Air

(PDAM)

Jasa Wisata

Level

1 Dinas Kehutanan   Kabupaten

2 BLH   Kabupaten

3 BPDAS Ake Malamo   Pemerintah Pusat

4 DPRD   Kabupaten

5 BAPPEDA   Kabupaten

6 Kanporabudpar -  Kabupaten

7 PDAM  - Kabupaten

8 Perguruan Tinggi   Provinsi

9 Pemerintah Desa Gamlamo  - Desa

10 Pemerintah Desa Gamtala -  Desa

11 Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) -  Desa

12 Pelanggan PDAM  - Kecamatan

13 Wisatawan -  Provinsi

14 Kelompok rehabilitasi mangrove   Desa

Para stakeholder yang nantinya terlibat dalam PJL berpendapat bahwa PJL tidak hanya mengatur pemanfaatan hutan mangrove dan melestarikan ekosistem hutan mangrove tetapi juga sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun hal yang perlu dilakukan dalam rencana penerapan PJL yaitu dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat serta dibuatnya regulasi yang jelas melalui PERDA atau Peraturan Bupati tentang PJL. Sama halnya yang dikemukakan oleh Van Noordwijk dan Leimona (2010) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan sukarela pembayaran jasa lingkungan perlu didukung dengan peraturan perundangan.

Hasil wawancara dengan stakeholder terkait diantaranya pemerintah Desa, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, BAPPEDA, DPRD, Badan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Disbudparpora, PDAM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Desa Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS), Pelanggan PDAM, wisatawan dan kelompok rehabilitasi mangrove. Kesemuanya mendukung adanya penerapan pembayaran jasa lingkungan serta siap bekerjasama dengan instansi terkait baik dalam bentuk penelitian, tahap persiapan, pengembangan mekanisme, pendanaan, serta kebijakan.

b. Tugas fungsi pokok stakeholder

Penanggungjawab pelaksanaan pengelolaan hutan mangrove saat ini berada pada Dinas Kehutanan, BLH Kabupaten Halmahera Barat dan BPDAS Akemalamo. sedangkan DPRD dan BAPPEDA Kabupaten Halmahera Barat merupakan lembaga yang mengatur rencana dan melaksanakan koordinasi serta kerjasama dengan berbagai instansi dalam rencana penerapan PJL. Kanporabudpar sebagai perencana pengembangan wisata yang membentuk Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS). Dibentuknya POKDARWIS sebagai bentuk pengelolaan wisata yang langsung dikelolah oleh masyarkat dibawah pengawasan Kanporabudpar. Dan untuk PDAM memiliki tugas dan fungsinya sebagai pengelolah air baku (mata air gurango) yang sumber mata airnya berada di sekitar kawasan hutan mangrove. Perguruan Tinggi memiliki peran yang cukup penting diantaranya sebagai lembaga yang melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam hal ini membantu masyarakat dalam memberikan masukan-masukan yang diperlukan. Pemerintah Desa sendiri memiliki peran yang lebih difokuskan pada pelayanan, pembinaan dan pengawasan pada masyarakat yang ada didalam desa yang menjadi tujuan penerapan PJL. Pelanggan PDAM dan wisatawan merupakan stakeholder pemanfaat dari jasa yang dihasilkan oleh hutan mangrove sedangkan Kelompok rehabilitasi mangrove adalah penyedia jasa yang melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan mangrove (Tabel 20).

Tabel 20. Tugas Pokok Stakeholder yang nantinya terlibat dalam rencana PJL

No Stakeholder Tugas pokok

1 Dinas Kehutanan Melakukan pengelolaan hutan

2 BLH Melakukan kegiatan pada lingkup pengelolaan lingkungan hidup diantaranya rehabilitasi mangrove

3 BPDAS Melakukan pembinaan, rehabilitasi hutan dan lahan 4 DPRD Melaksanankan proses legislasi dan pengawasan

5 BAPPEDA Merencanakan, dan melaksanakan koordinasi pengendalian perencanaan pembangunan daerah, serta melakukan kerjasama dengan berbagai instansi

6 Kanporabudpar Melakukan perencanaan pengembangan pariwisata

7 PDAM Menyelengarakan pengelolaan air bersih yang mencakup aspek social, kesejahtraan dan pelayanan umum

8 Perguruan Tinggi Melaksanakan Tridarma perguruan tinggi 9 Pemerintah Desa

Gamlamo

Melakukan pelayanan, pembinaan dan pengawasan pada masyarakat yang ada di desa Gamlamo

10 Pemerintah Desa Gamtala

Melakukan pelayanan, pembinaan dan pengawasan pada masyarakat yang ada di desa Gamtala

11 Kelompok Sadar Wisata

(POKDARWIS)

Kelompok masyarakat yang secara langsung melakukan pengelolaan wisata di desa

12 Pelanggan PDAM Sebagai masyarakat pemanfaat jasa air dari jasa intrusi air laut 13 Wisatawan Sebagai masyarakat pemanfaat dari jasa wisata mangrove 14 Kelompok rehabilitasi

mangrove

Sebagai masyarakat penyedia jasa (provider) hutan mangrove Sumber: Hasil penelitian 2015

c. Kategorisasi stakeholder dalam PJL

Untuk melihat besarnya tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap rencana penerapan skema PJL, maka perlu diketahui informasi terhadap beberapa aspek berkenan dengan kegiatan pengelolaan mangrove yang selama ini dilakukan. Penerapan skema PJL (Payment for Environmental Service) mengandung dua komponen penting, yaitu proses terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak terkait mengenai kesediaan salah satu pihak untuk memberikan pembayaran atas jasa lingkungan yang disediakan oleh pihak lain (ICWRMIP CWMBC 2013). Pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove apabila dikaitkan dengan pengelolahan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, tentunya memiliki atribut tersendiri berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari mekanisme pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Atribut ini antara lain adalah kepentingan (interest), dan pengaruh (influence). Hasil identifikasi pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (interest) para stakeholder yang terlibat dalam pembayaran jasa lingkungan hutan mangrove di Kabupaten Halmahera Barat dapat dilihat pada Tabel 21 maupun Lampiran 4.

0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30 Kepent in g a n Pengaruh Dinas Kehutanan BLH BPDAS DPRD BAPPEDA PDAM Perguruan Tinggi Pemerintah Desa Gamlamo Pelanggan PDAM

Kelompok rehabilitasi mangrove

Tabel 21. Identifikasi pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (interest) para

stakeholder dalam rencana pembayaran jasa lingkungan

No Stakeholder/Instansi Nilai

Kepentingan

Nilai Pengaruh

1 Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Barat 25 23

2 Badan Lingkungan Hidup 23 23

3 BPDAS Ake Malamo 21 24

4 DPRD Kabupaten Halmahera Barat 14 21

5 BAPPEDA Kabupaten Halmahera Barat 18 21

6 Kanporabudpar Kabupaten Halmahera Barat 16 16

7 PDAM 16 13

8 Perguruan Tinggi 14 15

9 Pemerintah Desa Gamlamo 16 14

10 Pemerintah Desa Gamtala 16 14

11 Kelompok masyarakat sadar wisata (POKDARWIS) 17 13

12 Pelanggan PDAM 9 6

13 Wisatawan 9 6

14 Kelompok rehabilitasi mangrove 14 12

Dengan mengkombinasikan hasil identifikasi (Tabel 21), kemudian menterjemahkannya ke dalam bentuk gambar stakeholder grid. Ilustrasi yang ditampilkan terdiri atas empat kuadran yang menggambarkan sebaran posisi masing-masing stakeholder sehubungan dengan tingkat pengaruh dan kepentingannya dalam rencana penerapan PJL. Sebaran posisi satakeholder menurut kepentingan dan pengaruhnya diilustrasikan pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Matriks pengaruh dan tingkat kepentingan para pihak (stakeholder) dari Jasa air (PDAM)

A. Subject B. Keyplayer

0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30 Kepent in g a n Pengaruh Dinas Kehutanan BLH BPDAS DPRD BAPPEDA Kanporabudpar Perguruan Tinggi Pemerintah Desa Gamtala

Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Wisatawan

Kelompok rehabilitasi mangrove

Gambar 10. Matriks pengaruh dan tingkat kepentingan para pihak (stakeholder) dari Jasa wisata

Pemetaan stakehoder pada Gambar 9, memberikan informasi posisi masing-masing stakehoder berdasarkan analisis tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Posisi kuadran A subject ditempati oleh PDAM, Pemerintah Desa baik pemerintah Desa Gamlamo maupun pemerintah Desa Gamtala, dan Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS). Menurut Reed et al. (2009) stakehoder

yang masuk dalam kelompok subject bersifat mendukung dan mempunyai kapasitas yang kecil untuk mengubah situasi. Hasil penelitian menunjukan ketiga

stakeholder tersebut memiliki tingkat kepentingan yang cukup tinggi terhadap sumberdaya ekosistem hutan mangrove, dimana PDAM memanfaatkan sumber air dari hutan mangrove. Sementara itu Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) berkepentingan dalam pemanfaatan wisata mangrove, begitu juga dengan Pemerintah Desa yang beranggapan bahwa mangrove merupakan asset sosial dan potensi desa. Sedangkan tingkat pengaruh ketiga stakeholder yang masuk dalam dalam kuadran A (subject) merupakan kelompok stakeholder yang memiliki pengaruh yang rendah. Menurut Abbas (2005) Artinya stakeholder yang masuk dalam kelompok ini merupakan stakeholder penting namun perlu pemberdayaan dalam perencanaan PJL.

Selanjutnya posisi kuadran B Key player ditempati oleh, Badan Lingkugan Hidup (BLH), Dinas Kehutanan, BPDAS Ake Malamo, dan BAPPEDA untuk jasa air, sedangkan untuk jasa wisata dari keempat stakeholder ditambahkan dengan Kanporabudpar Kabupaten Halmahera Barat. Tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi menunjukkan bahwa stakeholder pada kuadran ini dapat menentukan jalannya kebijakan sistem PJL. Menurut Reed et al.

(2009) Key player merupakan stakeholder yang memiliki kepentingan yang besar dan paling aktif dalam pengelolaan. Dari hasi tersebut, Badan Lingkugan Hidup (BLH) dan Dinas Kehutanan merupakan instansi (stakeholder) yang secara Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Barat No 4 Tahun 2012 diberikan mandat untuk melaksanakan urusan pemerintah daerah dibidang Pengelolaan wilayah pesisir, adapun untuk Kanporabudpar bertanggung jawab terhadap perkembangan wisata khususnya rencana pengembangan wisata mangrove di Jailolo.

C. Crowd (Stander) D. Context setter (Actor) B. Keyplayer

Posisi kuadran C crowd (stander) ditempati kelompok rehabilitasi mangrove. Untuk jasa Air ditambahkan pelanggan PDAM sedangkan jasa wisata ditambahkan wisatawan sebagai stakeholder. Stakeholder pada kelompok ini tidak memiliki kepentingan maupun pengaruh terhadap kebijakan dalam rencana PJL. Hal ini disebabkan karena stakeholder ini relative hanya memiliki kepentingan terhadap kegiatan rehabilitasi, kegiatan wisata maupun sebagai konsumen air. Menurut Reed et al. (2009) crowd (stander) merupakan stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang kecil. sehingga tingkat ketergantungan dan responnya juga rendah (tidak memengaruhi). Tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah menjadikan kelompok ini tidak berperan nyata dalam kebijakan PJL. Posisi kuadran D Context setter (actor) ditempati oleh DPRD Kabupaten Halmahera Barat, dan Perguruan Tinggi. Kelompok stakeholder dalam posisi ini memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi dalam memberikan arahan perencanaan dan implementasi PJL. Menurut Reed et al. (2009) merupakan stakeholder yang memiliki pengaruh besar tetapi kepentingan kecil. DPRD Kabupaten Halmahera Barat, dan Perguruan Tinggi, merupakan

stakeholder yang bepengaruh dalam merumuskan penyusunan kebijakan maupun peraturan yang menyangkut dengan pembayaran jasa lingkungan, sedangkan untuk perguruan tinggi memiliki pengaruh yang besar melalui penyuluhan dan bimbingan untuk pengelolaan mangrove.

Dari hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa posisis setiap

stakeholder dalam rencana PJL sudah dapat terlihat, manakah stakeholder yang memiliki keterlibatan besar baik dari tingkat pengaruh maupun kepentingan dari rencana implementasi PJL. Posisi pembeli jasa dalam hal ini pelanggan PDAM

Dokumen terkait