• Tidak ada hasil yang ditemukan

menjadi

Siapa yang menyangka anak seorang penganyam tikar sangat sederhana dari Jogjakarta kini telah 37 tahun menjalani hari-harinya sebagai koster sebuah Gereja di Ibukota. Menyiapkan dan merapikan alat-alat misa, membantu keperluan umat pada kegiatannya di dalam gereja, mengingatkan dan memastikan semua petugas siap sebelum misa dimulai, dan

hal-hal penting lainnya mungkin jarang disadari. Sulit rasanya membayangkan misa yang kita ikuti di gereja tanpa peran itu. Masa abdi bapak dua orang anak yang akrab disapa Pak Tukiran itu hampir seumur dengan lahirnya Gereja St. Stefanus yang telah menempuh usia lustrum kedelapan. Tukiran telah ikut perjalanan suka dan duka Gereja St. Stefanus dari semenjak masih berkomuni di rumah Bapak

35 MPNovember 2017

ANAK

PENGANYAM TIKAR

PELAYAN

YANG BERAKAR

Petrus Tukiran

Malam itu Gereja St. Stefanus tak begitu ramai, hanya

ada beberapa orang rupanya hendak beraktivitas kelompok

di dekat mimbar. Terlihat satu sosok cekatan

mondar-mandir Panti Imam, Sakristi, ruang saklar, lalu ke Sakristi

kembali, mempersiapkan kebutuhan kelompok tersebut malam

itu. Geraknya tenang terlihat sudah bersahabat dengan

pekerjaannya, langkahnya mantap dan sigap tampak tahu

betul apa yang selanjutnya harus ia selesaikan, dan matanya

pun jeli dengan bantuan kacamata itu.

menjadi

Siapa yang menyangka anak seorang penganyam tikar sangat sederhana dari Jogjakarta kini telah 37 tahun menjalani hari-harinya sebagai koster sebuah Gereja di Ibukota. Menyiapkan dan merapikan alat-alat misa, membantu keperluan umat pada kegiatannya di dalam gereja, mengingatkan dan memastikan semua petugas siap sebelum misa dimulai, dan

hal-hal penting lainnya mungkin jarang disadari. Sulit rasanya membayangkan misa yang kita ikuti di gereja tanpa peran itu. Masa abdi bapak dua orang anak yang akrab disapa Pak Tukiran itu hampir seumur dengan lahirnya Gereja St. Stefanus yang telah menempuh usia lustrum kedelapan. Tukiran telah ikut perjalanan suka dan duka Gereja St. Stefanus dari semenjak masih berkomuni di rumah Bapak

36 MPNovember 2017

Suradal hingga kini memiliki gedung sendiri.

Perjalanan hidup yang ditolak sana-sini mengantar ia pada kehidupannya kini. Pria setengah baya yang lahir pada 12 Juni 1958 di Jogjakarta itu merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga yang sangat sederhana dengan latar belakang pengetahuan iman seadanya membuat Tukiran meraba hidup, membiarkan kakinya menapaki jalan yang ada di depannya, dan membentuk diri lewat pengalamannya. Masa sulit setelah ditinggal ayahanda dan perlahan beranjak remaja, ia sempat memberanikan diri mengirim surat kepada Pastor Tac, SJ, yang membaptisnya tahun 1969, atas keinginannya menjadi pastor. Tanggapan Pastor Tac saat itu cukup membuat terjamin hidupnya karena ia diperbolehkan untuk tinggal di pastoran yang mana jauh berbeda dengan kehidupan susahnya di desa. Ia berkesempatan bersekolah sekaligus bekerja di sana. Masa-masa ini agaknya membentuk pribadinya yang tertib dan disiplin sepertinya yang kita kenal sekarang.

Walau kita tahu bahwa ia tertib dan disiplin namun jauh sekali dari kesan kaku. Candaan selalu diselipkannya di sela-sela obrolan ringan maupun serius. Menurutnya berkawan dengan dengan sikap sopan dan mau mendengarkan lebih bermanfaat ketimbang mencari lawan dengan kata-kata tidak mengenakan. Pribadi Tukiran yang

Mampang. Namun dipertengahan tahun 1980 bengkel mulai sepi. Ia merasa tidak enak dengan pemilik bengkelnya karena pemasukan seret namun makan harus tetap jalan. Maka ia mencoba mencari tambahan di tempat lain dan Tuhan mengantarnya pada kesempatan bekerja di paroki anyar St. Stefanus. Saat itu Pastor Marc Fortner, SCJ, yang merupakan pastor paroki pertama St. Stefanus itu, mewawancarainya secara langsung.

Pertemuannya dengan Pastor Fortner dengan sorot matanya yang tajam menyadarkan Tukiran untuk yakin tidak akan bekerja dengan rasa minder apalagi takut sebab ia sudah mempunyai pengalaman ikut dengan pastor Belanda yang dikenal sangat disiplin.

Berhasil diterima kerja bukan berarti perjuangannya sampai di sana. Langkah demi langkah ia belajar menjadi pelayan yang bersungguh-sungguh. Tidak jarang pada awal masa kerjanya di gereja ia mendapat kritikan dari rekan kerja,

umat maupun dari pastor. Dari masalah cara ia menerima telepon sampai caranya menyiapkan perayaan misa. Namun kesalahan-kesalahan yang dibuatnya itu dan kembali berbenah. Menurutnya keterbukaan diri penting untuk mau menerima kesalahan diri sendiri dan orang lain supaya dapat belajar dan tidak jatuh pada lubang yang sama.

IMAN YANG BERTUMBUH

Melihat Gereja yang telah bertumbuh bersamanya hampir 40 tahun itu, ia merasa pengalaman perjumpaan dengan umat yang dilayani maupun orang-orang yang baru dikenal memperkaya diri dan imannya. Dengan berbagi cerita Tukiran pun merasakan pengalaman menguatkan maupun dikuatkan pula. Suatu kali seorang bapak yang bersama dalam tugas mengungkapkan kekagumannya dengan tugas Tukiran sebagai koster katanya, “Pak Tukiran luwes ketika berbicara dengan

orang-orang ternyata sudah menonjol saat remaja. Di sekolah ia suka sekali dengan humor hingga banyak yang simpati. Tidak heran ia disenangi sebagai teman juga pemimpin.

Namun prestasi cemerlang dan hubungan sosial yang cakap saat itu tidak berlangsung terus di sana. Suatu kejadian yang mengharuskan ia ijin pulang ke desa dengan cara menitipkan surat tidak diterima oleh pastor. Pastor ingin ia ijin secara langsung, tidak melalui surat. Namun Tukiran tidak mengetahui pastor ada di tempat saat itu. Kaget dan syok hal itu terjadi pada dirinya karena belum pernah ia mengalami itu sebelumnya. Ia harus benar-benar pulang ke desanya tanpa kembali lagi ke tempat ia merasa terjamin. Berbekal pengalaman pahitnya itu ia merasa tidak mau gagal lagi. Tikar harus terus dianyam, Tukiran pun melanjutkan hidupnya.

REFLEKSI DIRI

Ia sempat menjadi kuli bangunan sebelum hijrah ke Jakarta. Ketika di Ibukota pun semua kesempatan dilakoninya walau jalannya tidak selalu mulus. Kegagalannya beberapa kali ditolak sebagai pegawai, calon polri, dan sopir pun sempat membuatnya putus asa. Namun ada saja yang membawanya ke tempat yang baru. Dengan berbakal ijazah montir sepeda motor dan usahanya melamar ke beberapa tempat, ia akhirnya diterima bekerja di bengkel daerah

IZIN PASTOR

37 MPNovember 2017

Suradal hingga kini memiliki gedung sendiri.

Perjalanan hidup yang ditolak sana-sini mengantar ia pada kehidupannya kini. Pria setengah baya yang lahir pada 12 Juni 1958 di Jogjakarta itu merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Lahir dari keluarga yang sangat sederhana dengan latar belakang pengetahuan iman seadanya membuat Tukiran meraba hidup, membiarkan kakinya menapaki jalan yang ada di depannya, dan membentuk diri lewat pengalamannya. Masa sulit setelah ditinggal ayahanda dan perlahan beranjak remaja, ia sempat memberanikan diri mengirim surat kepada Pastor Tac, SJ, yang membaptisnya tahun 1969, atas keinginannya menjadi pastor. Tanggapan Pastor Tac saat itu cukup membuat terjamin hidupnya karena ia diperbolehkan untuk tinggal di pastoran yang mana jauh berbeda dengan kehidupan susahnya di desa. Ia berkesempatan bersekolah sekaligus bekerja di sana. Masa-masa ini agaknya membentuk pribadinya yang tertib dan disiplin sepertinya yang kita kenal sekarang.

Walau kita tahu bahwa ia tertib dan disiplin namun jauh sekali dari kesan kaku. Candaan selalu diselipkannya di sela-sela obrolan ringan maupun serius. Menurutnya berkawan dengan dengan sikap sopan dan mau mendengarkan lebih bermanfaat ketimbang mencari lawan dengan kata-kata tidak mengenakan. Pribadi Tukiran yang

Mampang. Namun dipertengahan tahun 1980 bengkel mulai sepi. Ia merasa tidak enak dengan pemilik bengkelnya karena pemasukan seret namun makan harus tetap jalan. Maka ia mencoba mencari tambahan di tempat lain dan Tuhan mengantarnya pada kesempatan bekerja di paroki anyar St. Stefanus. Saat itu Pastor Marc Fortner, SCJ, yang merupakan pastor paroki pertama St. Stefanus itu, mewawancarainya secara langsung.

Pertemuannya dengan Pastor Fortner dengan sorot matanya yang tajam menyadarkan Tukiran untuk yakin tidak akan bekerja dengan rasa minder apalagi takut sebab ia sudah mempunyai pengalaman ikut dengan pastor Belanda yang dikenal sangat disiplin.

Berhasil diterima kerja bukan berarti perjuangannya sampai di sana. Langkah demi langkah ia belajar menjadi pelayan yang bersungguh-sungguh. Tidak jarang pada awal masa kerjanya di gereja ia mendapat kritikan dari rekan kerja,

umat maupun dari pastor. Dari masalah cara ia menerima telepon sampai caranya menyiapkan perayaan misa. Namun kesalahan-kesalahan yang dibuatnya itu dan kembali berbenah. Menurutnya keterbukaan diri penting untuk mau menerima kesalahan diri sendiri dan orang lain supaya dapat belajar dan tidak jatuh pada lubang yang sama.

IMAN YANG BERTUMBUH

Melihat Gereja yang telah bertumbuh bersamanya hampir 40 tahun itu, ia merasa pengalaman perjumpaan dengan umat yang dilayani maupun orang-orang yang baru dikenal memperkaya diri dan imannya. Dengan berbagi cerita Tukiran pun merasakan pengalaman menguatkan maupun dikuatkan pula. Suatu kali seorang bapak yang bersama dalam tugas mengungkapkan kekagumannya dengan tugas Tukiran sebagai koster katanya, “Pak Tukiran luwes ketika berbicara dengan

orang-orang ternyata sudah menonjol saat remaja. Di sekolah ia suka sekali dengan humor hingga banyak yang simpati. Tidak heran ia disenangi sebagai teman juga pemimpin.

Namun prestasi cemerlang dan hubungan sosial yang cakap saat itu tidak berlangsung terus di sana. Suatu kejadian yang mengharuskan ia ijin pulang ke desa dengan cara menitipkan surat tidak diterima oleh pastor. Pastor ingin ia ijin secara langsung, tidak melalui surat. Namun Tukiran tidak mengetahui pastor ada di tempat saat itu. Kaget dan syok hal itu terjadi pada dirinya karena belum pernah ia mengalami itu sebelumnya. Ia harus benar-benar pulang ke desanya tanpa kembali lagi ke tempat ia merasa terjamin. Berbekal pengalaman pahitnya itu ia merasa tidak mau gagal lagi. Tikar harus terus dianyam, Tukiran pun melanjutkan hidupnya.

REFLEKSI DIRI

Ia sempat menjadi kuli bangunan sebelum hijrah ke Jakarta. Ketika di Ibukota pun semua kesempatan dilakoninya walau jalannya tidak selalu mulus. Kegagalannya beberapa kali ditolak sebagai pegawai, calon polri, dan sopir pun sempat membuatnya putus asa. Namun ada saja yang membawanya ke tempat yang baru. Dengan berbakal ijazah montir sepeda motor dan usahanya melamar ke beberapa tempat, ia akhirnya diterima bekerja di bengkel daerah

IZIN PASTOR

37 MPNovember 2017

38 MPNovember 2017

beruntung. Tidak semua orang bisa setiap hari dekat dengan Tuhan Yesus.” Yang dimaksudkan ialah dekat dengan sakramen Maha Kudus yang bertahta di dalam tabernakel di mana itu tempat tugasnya sehari-hari. Dengan pernyataan tersebut Tukiran merasa tergugah akan hal yang selama itu tidak ia sadari dan itu pun menjadi suatu pengalaman yang menguatkan pun menghibur dirinya di hari-hari yang terlihat tak begitu

Pengalaman berkontak langsung antar pribadi tidak tergantikan dengan teknologi yang sekarang serba instan. “Itu tantangan,” katanya. Sambil mengingat dahulu betapa indahnya saling menanti kabar melalui surat hingga merasa pertemuan suatu yang berharga, Tukiran merindukan umat St. Stefanus yang makin kompak dan erat karena proses bersama lewat perjumpaan antar pribadi secara langsung.

TEMAN CURHAT

Sebagai koster yang telah

mengikuti sebagian besar perjalanan Gereja kita ini, Tukiran mempunyai kesan tersendiri terhadap pastor Fortner yang mana memberinya berbagai pengalaman senang maupun menyakitkan yang tidak terlupakan baginya. Menurut Tukiran pastor Fortner merupakan sosok yang disiplin, sangat

tegas, dan begitu kebapakan. Namun di sisi lain Tukiran juga merasakan kedekatan bersama beliau sebagai teman curhat dan sahabat. Sambil mengenang betapa menyenangkannya ia diajak ke salah satu tempat di pulau seribu bersama beliau dan 3 orang rekannya, ia mengenang sosok Pastor Fortner. Perjalanan kala itu tidak ada agenda khusus, sekadar untuk bersantai dan menikmati alam. Hal itu menunjukan kedekatan Pastor Foertner sebagai teman sekaligus bapak yang mengayomi.

MEMETIK HASIL

Selama menjadi bagian dari

gereja tempat ia bekerja, Tukiran pun dikenal dekat dengan umat. Bagaimana tidak, semua keperluan umat yang menjadi petugas altar tentu bagian dari tugasnya untuk menyiapkan. Seorang umat mengungkapkan di sebuah testimoni di buku syukur atas 25 tahun Tukiran mengabdi bahwa ia merupakan sebuah baterai jam dinding yang sosoknya tidak terlihat namun menggerakkan kegiatan gereja dengan menyiapkan, mengingatkan, dan memastikan semua pelayan altar bertugas dengan baik. Ini pula yang membuat kedekatannya akrab dengan pelayan altar lainnya yakni misdinar,

prodiakon, lektor, mazmur, koor, juga tata laksana.

Bermodal dengan tempaan pengalaman hidup, Tukiran terus membentuk diri terutama menyelami pelayanan yang kini menjadi profesinya. Perjalanan hidup Tukiran sempat diabadikan lewat buku Ungkapan Syukur 25 Tahun Mengabdi pada tahun 2005 yang ia tulis sendiri dan menurutnya itu salah satu cara pewartaannya. “Pewartaan buat saya bukan masalah hafal kutipan-kutipan Injil namun dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan dan berharga untuk orang lain. Salah satunya dengan menulis. Bagaimana menyajikan suatu yang menginspirasi orang lain.” Nampaknya tanpa sadar ia telah mewarisi kemampuan menganyam ibunya dengan berhasil menganyam kehidupannya sendiri sehingga menjadi inspirasi bagi

orang lain.CHR

istimewa. Bukan hanya lewat orang-orang yang telah sering dikenalnya ia mendapatkan pengalaman itu namun juga dari orang-orang yang baru dikenalnya bahkan yang tidak seiman sekalipun. Suatu kali di hari biasa ada seorang yang terlihat ceingak-celinguk melihat ke dalam gereja. Dengan terbuka Tukiran menghampiri dan berkata, “Mau berdoa? Tidak apa-apa, masuk saja.” Kata orang asing itu “Saya Kristen, Pak…” “Kan sama-sama berdoa, ya tidak masalah,” kata Tukiran. Obrolan singkat itu pun berlanjut. Pertemuan tak terduga seperti itu pun sering dialami Tukiran dan tak jarang berujung pula pada cerita pengalaman hidup yang akhirnya saling menginspirasi. “Saya juga tidak menyangka

bahwa perjumpaan saya dengan orang-orang tersebut memberikan sesuatu pada saya.” Lewat hal-hal kecil seperti itu pun ia merasakan kehadiran Tuhan dan tak jarang itu menguatan imannya.

Pertumbuhan imannya tidak dirasakan sendiri namun ia mengajak pula istrinya untuk bersama mengalami pertumbuhan iman tersebut. Setelah mengikuti suatu retret dan meminta ujud khusus atas keluarganya untuk selalu dalam lindungan-Nya, Tukiran dan keluarga pun makin dekat dengan Tuhan dan makin menyadari bahwa hidupnya selalu bergantung pada-Nya. Kini Tukiran dan istrinya setiap pagi selalu menyempatkan diri untuk berdoa bersama sebelum mengawali kegiatan sepanjang hari.

39 MPNovember 2017 39MPJuli 2017

beruntung. Tidak semua orang bisa setiap hari dekat dengan Tuhan Yesus.” Yang dimaksudkan ialah dekat dengan sakramen Maha Kudus yang bertahta di dalam tabernakel di mana itu tempat tugasnya sehari-hari. Dengan pernyataan tersebut Tukiran merasa tergugah akan hal yang selama itu tidak ia sadari dan itu pun menjadi suatu pengalaman yang menguatkan pun menghibur dirinya di hari-hari yang terlihat tak begitu

Pengalaman berkontak langsung antar pribadi tidak tergantikan dengan teknologi yang sekarang serba instan. “Itu tantangan,” katanya. Sambil mengingat dahulu betapa indahnya saling menanti kabar melalui surat hingga merasa pertemuan suatu yang berharga, Tukiran merindukan umat St. Stefanus yang makin kompak dan erat karena proses bersama lewat perjumpaan antar pribadi secara langsung.

TEMAN CURHAT

Sebagai koster yang telah

mengikuti sebagian besar perjalanan Gereja kita ini, Tukiran mempunyai kesan tersendiri terhadap pastor Fortner yang mana memberinya berbagai pengalaman senang maupun menyakitkan yang tidak terlupakan baginya. Menurut Tukiran pastor Fortner merupakan sosok yang disiplin, sangat

tegas, dan begitu kebapakan. Namun di sisi lain Tukiran juga merasakan kedekatan bersama beliau sebagai teman curhat dan sahabat. Sambil mengenang betapa menyenangkannya ia diajak ke salah satu tempat di pulau seribu bersama beliau dan 3 orang rekannya, ia mengenang sosok Pastor Fortner. Perjalanan kala itu tidak ada agenda khusus, sekadar untuk bersantai dan menikmati alam. Hal itu menunjukan kedekatan Pastor Foertner sebagai teman sekaligus bapak yang mengayomi.

MEMETIK HASIL

Selama menjadi bagian dari

gereja tempat ia bekerja, Tukiran pun dikenal dekat dengan umat. Bagaimana tidak, semua keperluan umat yang menjadi petugas altar tentu bagian dari tugasnya untuk menyiapkan. Seorang umat mengungkapkan di sebuah testimoni di buku syukur atas 25 tahun Tukiran mengabdi bahwa ia merupakan sebuah baterai jam dinding yang sosoknya tidak terlihat namun menggerakkan kegiatan gereja dengan menyiapkan, mengingatkan, dan memastikan semua pelayan altar bertugas dengan baik. Ini pula yang membuat kedekatannya akrab dengan pelayan altar lainnya yakni misdinar,

prodiakon, lektor, mazmur, koor, juga tata laksana.

Bermodal dengan tempaan pengalaman hidup, Tukiran terus membentuk diri terutama menyelami pelayanan yang kini menjadi profesinya. Perjalanan hidup Tukiran sempat diabadikan lewat buku Ungkapan Syukur 25 Tahun Mengabdi pada tahun 2005 yang ia tulis sendiri dan menurutnya itu salah satu cara pewartaannya. “Pewartaan buat saya bukan masalah hafal kutipan-kutipan Injil namun dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan dan berharga untuk orang lain. Salah satunya dengan menulis. Bagaimana menyajikan suatu yang menginspirasi orang lain.” Nampaknya tanpa sadar ia telah mewarisi kemampuan menganyam ibunya dengan berhasil menganyam kehidupannya sendiri sehingga menjadi inspirasi bagi

orang lain.CHR

istimewa. Bukan hanya lewat orang-orang yang telah sering dikenalnya ia mendapatkan pengalaman itu namun juga dari orang-orang yang baru dikenalnya bahkan yang tidak seiman sekalipun. Suatu kali di hari biasa ada seorang yang terlihat ceingak-celinguk melihat ke dalam gereja. Dengan terbuka Tukiran menghampiri dan berkata, “Mau berdoa? Tidak apa-apa, masuk saja.” Kata orang asing itu “Saya Kristen, Pak…” “Kan sama-sama berdoa, ya tidak masalah,” kata Tukiran. Obrolan singkat itu pun berlanjut. Pertemuan tak terduga seperti itu pun sering dialami Tukiran dan tak jarang berujung pula pada cerita pengalaman hidup yang akhirnya saling menginspirasi. “Saya juga tidak menyangka

bahwa perjumpaan saya dengan orang-orang tersebut memberikan sesuatu pada saya.” Lewat hal-hal kecil seperti itu pun ia merasakan kehadiran Tuhan dan tak jarang itu menguatan imannya.

Pertumbuhan imannya tidak dirasakan sendiri namun ia mengajak pula istrinya untuk bersama mengalami pertumbuhan iman tersebut. Setelah mengikuti suatu retret dan meminta ujud khusus atas keluarganya untuk selalu dalam lindungan-Nya, Tukiran dan keluarga pun makin dekat dengan Tuhan dan makin menyadari bahwa hidupnya selalu bergantung pada-Nya. Kini Tukiran dan istrinya setiap pagi selalu menyempatkan diri untuk berdoa bersama sebelum mengawali kegiatan sepanjang hari.

39 MPNovember 2017

40 MPNovember 2017

Pasal 31 UUD 1945 tersebut mempunyai makna yakni setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan tanpa kecuali. Tetapi kenyataannya, sampai saat ini

dengan kondisi negara Indonesia yang luas, kita dihadapkan dengan berbagai permasalahan pelayanan pendidikan bagi masyarakat. Padahal pendidikan merupakan

pasal 31:

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.

(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Masih ingatkah kita, bunyi pasal 31 dari Undang-Undang 1945 ? Mari kita buka isi pasal tersebut:

CERMIN PENDIDIKAN

Dokumen terkait