• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Aborsi

2.4.2. Jenis Aborsi

Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan aborsi (http://www.nedstatbasic.net) :

1. Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.

2. Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan yang disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:

Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan

tersebut mengancam kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, terkadang dilakukan sesudah pemerkosaan.

Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat. Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.

Dalam bahasa sehari-hari, istilah “keguguran” biasanya digunakan untuk spontaneous

abortion, sementara “aborsi” digunakan untuk induced abortion.

Sedangkan jenis abortus menurut terjadinya dibagi menjadi dua yaitu (http://www.nedstatbasic.net) :

1. Abortus spontanea (abortus yang berlangsung tanpa tindakan), yaitu :

Abortus Imminens : Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada

kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.

Abortus insipiens : Peristiwa perdarahan uterus pads kehamilan sebelum 20

minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hash konsepsi masih dalam uterus.

Abortus inkompletus : Pengeluaran sebagian hash konsepsi pada kehamilan

sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.

Abortus kompletus : Semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.

2. Abortus provokatus (abortus yang sengaja dibuat), yaitu : menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup diluar tubuh ibu. Pada umumnya dianggap

bayi belum dapat hidup diluar kandungan apabila kehamilan belum mencapai umur 28 minggu, atau berat badan bayi belum 1000 gram, walaupun terdapat kasus bahwa bayi dibawah 1000 gram dapat terus hidup. Abortus provokatus dapat dibedakan menjadi :

Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus

Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya :

a. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.

b. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).

c. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

d. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

e. Prosedur tidak dirahasiakan f. Dokumen medik harus lengkap

Abortus Provokatus Kriminalis

Abortus yang sengaja dilakukan dengan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat

tertentu. Abortus Provokatus Kriminalis sering terjadi pada kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD). Ada beberapa alasan wanita tidak menginginkan kehamilannya :

a. Alasan kesehatan, di mana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.

b. Alasan psikososial, di mana ibu sendiri sudah enggan/tidak mau untuk punya anak lagi.

c. Kehamilan di luar nikah.

d. Masalah ekonomi, menambah anak berarti akan menambah beban ekonomi keluarga.

e. Masalah sosial, misalnya khawatir adanya penyakit turunan, janin cacat f. Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan atau akibat incest (hubungan

antar keluarga). Selain itu tidak bisa dilupakan jugs bahwa kegagalan kontrasepsi juga termasuk tindakan kehamilan yang tidak diinginkan. g. Pelaku Abortus Provokatus Kriminalis biasanya adalah : pertama, wanita

bersangkutan. Kedua, dokter atau tenaga medis lain (demi keuntungan atau demi rasa simpati). Ketiga, orang lain yang bukan tenaga medis yang karena suatu alasan tidak menghendaki suatu kehamilan.

2.4.3. Aborsi Tidak Aman (Unsafe Abortion)

Yang dimaksud dengan aborsi tidak aman (Unsafe Abortion) adalah penghentian kehamilan yang dilakukan oleh orang yang tidak terlatih/kompeten dan menggunakan sarana yang tidak memadai, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Umumnya aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya

pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis, seperti korban perkosaan, hamil diluar nikah, kegagalan alat kontrasepsi dan lain-lain. Ketakutan dari calon ibu dan pandangan negatif dari keluarga atau masyarakat akhirnya menuntut calon ibu untuk melakukan pengguguran kandungan secara diam-diam tanpa memperhatikan resikonya (http://www.nedstatbasic.net). Sedangkan menurut batasan WHO dalam kutipan http://www.nedstatbasic.net. diakses 2007 menyebutkan bahwa aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih, atau tidak mengikuti prosedur kesehatan atau kedua-duanya. Dari 46 juta aborsi/tahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan sekurangnya 13 persen kontribusi Angka Kematian Ibu Global.

Aborsi mungkin sudah menjadi kebutuhan, namun karena adanya larangan baik hukum maupun atas nama agama, menimbulkan praktek aborsi tidak aman meluas. Penelitian pada 10 kota besar dan enam kabupaten memperlihatkan 53 % Jumlah aborsi terjadi di kota, padahal penduduk kota 1,36 kali lebih kecil dari pedesaan, dan pelayan aborsi dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih terdapat di 16 % titik pelayanan aborsi di kota oleh dukun bayi dan 57 % di Kabupaten. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11 % di kota dan 70 % di Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85 % di Kabupaten dilakukan oleh swasta/ pribadi (http://www.nedstatbasic.net).

Strategi untuk menurunkan risiko kematian karena aborsi tidak aman adalah dengan menurunkan ‘demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman. Ini dapat dimungkinkan bila pemerintah mampu menyediakan fasilitas keluarga berencana

yang berkualitas dilengkapi dengan konseling. Konseling keluarga berencana dimaksudkan untuk membimbing klien melalui komunikasi dan pemberian informasi yang obyektif untuk membuat keputusan tentang penggunaan salah satu metode kontrasepsi yang memadukan aspek kesehatan dan keinginan klien, tanpa menghakimi.

Bagi remaja yang belum menikah, perlu dibekali dengan pendidikan seks sedini mungkin sejak mereka mulai bertanya mengenai seks. Namun, perlu disadari bahwa risiko terjadinya kehamilan selalu ada, sekalipun pasangan menggunakan kontrasepsi. Bila akses terhadap pelayanan aborsi yang aman tetap tidak tersedia, maka akan selalu ada ‘demand’ perempuan terhadap aborsi tidak aman (Susilo , 2002).

2.4.4. Kehamilan Yang Tidak Dikehendaki (KTD)

Zahrotinisak (2002), menyatakan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki dapat berakibat buruk terhadap janin ibu, ataupun anak setelah lahir. Banyak wanita (ibu) yang tidak menghendaki kehamilannya, berupaya menggugurkan janinnya dengan meminum obat-obatan tertentu atau melakukan aborsi. Namun ada yang menerimanya dengan pasrah dan menghendaki janinnya lahir walaupun di warnai dengan rasa kekecewaan. Moralitas dan rasa keibuan nya yang sering mengusiknya untuk kemudian menerima kehamilan itu. Kehadiran anak dari kehamilan tidak dikehendaki secara emosi (kejiwaan) mempunyai hubungan batin yang kurang dekat dengan ibu atau ayah, hal ini menimbulkan kesenjangan dalam memberi perhatian, kasih sayang, dukungan, bahkan penyediaan fasilitas-fasilitas lahir/materil seperti pendidikan, kesehatan, pakaian dan lain-lain. Dibandingkan dengan anaknya dari

kehamilan yang memang dikehendaki

Dari hasil SDKI 1997, delapan dari sepuluh kelahiran (83%) memang

diinginkan sesuai rencana, sembilan persen diharapkan tetapi pada waktu kemudian (ditunda), dan delapan persen tidak diinginkan sama sekali. Urutan kelahiran mempunyai hubungan erat dengan perencanaan kehamilan. Hampir semua kelahiran pertama diharapkan (95%), dan satu dari empat dari kelahiran ke empat dan seterusnya tidak dikehendaki (32,1%).

Zahrotinisak (2002) juga mengatakan, kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi, merupakan dua hal yang erat kaitannya (terutama untuk aborsi yang sengaja dilakukan tanpa alasan medis). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan tahun 1997 di Jawa Barat, menunjukan bahwa aborsi (dari kehamilan tidak dikehendaki) mempunyai alasan-alasan :

1. Karena malu, takut 15%

2. Sudah memiliki anak, tidak ingin, hamil lagi 40% 3. Belum ingin memiliki anak lima persen

4. Disuruh suami lima persen.

2.4.5. Kehamilan Remaja.

Bagus (1998) kurangnya pengetahuan tentang waktu yang aman untuk melakukan hubungan seksual mengakibatkan tejadi kehamilan remaja, yang sebagian besar tidak dikehendaki. Kehamilan telah menimbulkan posisi remaja dalam situasi yang serba salah dan memberikan tekanan batin (stres) yang disebabkan oleh beberapa faktor.

dengan ajaran agama dalam lingkungan dasar negara Pancasila. Sekalipun pelaksanaan gugur kandung bertentangan moral agama tetap merupakan alternatif yang paling ringan risikonya dan murah biayanya dibandingkan menerima cemoohan masyarakat, keluarga dan temannya bila kehamilan diteruskan sampai pada persalinan. Dalam pelaksanaan gugur kandung sering dilakukan secara tersembunyi oleh tenaga tidak terlatih atau dukun, sehingga dapat berakibat buruk. Gugur kandung yang ditangani orang yang kurang dapat dipertanggung jawabkan akan terjadi perdarahan, kerusakan alat reproduksi remaja, dan infeksi yang mengakibatkan kematian. Disamping itu kesembuhan yang kurang sempurna dapat mengakibatkan kerusakan alat reproduksi dan infeksi menahun dan infertilitas. Kerusakan partial saluran telur wanita dapat menimbulkan hamil ektopik makin meningkat yang memerlukan tindakan darurat.

Bila kehamilan ini diteruskan dalam usia yang relatif muda dari sudut kebidanan dapat mengakibatkan penyulit (komplikasi) kehamilan yang cukup besar diantaranya persalinan belum cukup bulan (prematuritas), pertumbuhan janin dalam rahim yang kurang sempurna, kehamilan dengan keracunan yang memerlukan penanganan khusus, persalinan sering berlangsung dengan tindakan operasi,perdarahan setelah melahirkan makin meningkat, kembalinya alat reproduksi yang terlambat setelah persalinan mudah terjadi infeksi setelah persalinan, pengeluaran ASI yang tidak cukup. Upaya demikian maka pemilihan gugur kandung merupakan pilihan yang paling ringan resikonya, sekalipun masih tetap mempunyai penyulit yang tidak sedikit.

revolusi kebebasan seksual pada remaja yang dapat mengakibatkan dua masalah penting yaitu penyakit hubungan seks yang menjurus pada penyakit radang panggul dan kehamilan yang tidak dikehendaki. Kejadian yang muncul kepermukaan sangat kecil dibandingkan yang sebenarnya dalam masyarakat laksana gunung es.

Pelaksanaan praktis upaya preventif tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan hubungan remaja dalam lingkungan keluarga, memberikan pendidikan seksual yang sehat, mengikut sertakan dalam semua aktipitas yang produktif, menganjurkan untuk menggunakan metode keluarga berencana. Untuk mengatasi kehamilan yang tidak dikehendaki perlu di ikuti dengan tepat pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 pasal 15 dalam melakukan tindakan tertentu. Upaya preventif bertujuan untuk menyelamatkan alat reproduksi remaja, sehingga tidak terjadi akibat yang buruk dan dapat meneruskan serta menurunkan generasi yang tangguh pada waktunya berkeluarga nanti.

2.4.6. Pendidikan Seks Berbasis Sekolah

Remaja adalah seorang anak manusia yang berusia 14-21 tahun. Di dalam keadaan ini mereka sangat rawan terhadap apapun, mereka selalu ingin mencoba segala sesuatu yang ada di dunia ini tanpa memikirkan akibatnya di masa yang akan datang. Untuk itu para remaja perlu mendapatat pendidikan atau bimbingan agar dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa masyarakat serta agamanya.

Hasil sebuah studi menyatakan bahwa lebih dari 500 juta usia 10-14 tahun hidup di negara berkembang, dan rata-rata pernah melakukan hubungan suami-isteri

terjadi pada remaja di negara berkembang adalah tidak dikehendaki (unwanted

pregnancy) dan 15 juta remaja pernah melahirkan. Di Indonesia kasus-kasus tersebut

diperparah dengan kurang adanya komitmen dan dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan yang mengatur tentang pendidikan seksual dan reproduksi bagi remaja terutama di tiap sekolah, lemahnya kerjasama lintas sektor (depkes-depdiknas-depsos) dan kecenderungan menganggap Lembaga Swadaya Masyarakat pesaing sekaligus musuh pemerintah menjadi hambatan penyelenggaraan program tersebut. Kita akui memang norma adat dan nilai budaya leluhur yang masih dianut sebagian besar masyarakat Indonesia juga menjadi tantangan terbesar dalam penyelenggaraan pendidikan seksual dan

reproduksi berbasis sekolah. Semisal masih banyaknya pendapat, permasalahan seks itu tabu untuk dibicarakan kepada mereka yang belum menikah, dengan pendidikan seks justru akan meningkatkan kasus-kasus seperti kehamilan di luar nikah, aborsi, dan IMS termasuk HIV/AIDS (Suarta, 2007).

Defenisi yang diberikan WHO (1974) tentang remaja lebih bersifat konseptual, defenisi tersebut dikemukakan dalam tiga kriteria, pertama, kriteria biologi dengan ciri individu berkembang mulai saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Kedua remaja sebagai individu mengalami perkembangan psikologi dan indentifikasi dari anak-anak menjadi dewasa. Ketiga sosial ekonomi terjadi peralihan dari

ketergantungan yang penuh menjadi keadaan yang relatif lebih mandiri lebih mandiri, (Sarlito, 2003)

SIECUS (Sexuality Information and Education Council United States) menulis tentang materi pokok yang harus terdapat dalam pendidikan seksual dan reproduksi (Suarta, 2007):

1. perkembangan manusia (anatomi dan fisiologi system reproduksi)

2. hubungan antar manusia (baik dengan keluarga, teman sejawat, dan pacaran dengan pernikahan)

3. kemampuan personal (nilai, pengambilan keputusan, komunikasi, dan negosiasi)

4. perilaku seksual (kontrasepsi, IMS, dan pencegahan HIV/AIDS serta aborsi maupun kejahatan atau pelecehan seksual)

5. budaya dan social (peran fender, agama, dan seksualitas).

Adapun komponen-komponen yang turut menentukan kesuksesan program pendidikan seksual dan reproduksi berbasis sekolah, (Suarta,2007) yakni 1. ketepatan identifikasi dan memahami karakter setiap kelompok

2. melibatkan remaja dalam perencanaan program

3. bekerjasama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan orang tua 4. komunikasi interpersonal

5. jejaring

6. sumber daya (baik sumber daya manusia dalam hal ini tenaga pengajar maupun sumber daya alamnya atau fasilitas yang tersedia)

2.4.7. Hambatan Orang Tua Dalam Menyempaikan Masalah Kesehatan Reproduksi

Para ahli yang berkecipung dalam anak, pada umumnya sependapat bahwa pendidik dalam bidang kesehatan reproduksi, termasuk dalam hal ini adalah pendidik dalam bidang kesehatan reproduksi, ( Singgih, 1993). Kesulitan sering timbul karena pengetahuan orang tua mengenai reproduksi mungkin ” kalah” jauh dibanding dengan pengetahuan anak. Dalam hal demikian jelas orang tua mampu mengimbangi pengetahuan anak, karena itu orang tua acap kali perlu belajar antara lain mengenai bacaan atau kursus konsultasi dengan ahli yang memang mengetahui hal tersebut. Hambatan lain juga sering timbul karena kurang terbukanya hubungan antara orang tua dengan anak.

Untuk membicarakan masalah kesehatan reproduksi karena merupakan sesuatu yang sifatnya sangat pribadi maka dibutuhkan suasana akrab, terbuka dari hati kehati antara orang tua dengan anak. Sehingga keluhan seperti tidak tahu bagaimana harus memulai, merasa kaku, kebingungan dan sebagaimana dapat dikurangi dengan suasana seperti itu, ( Jamaluddin, 2001).

Pada umumnya orang tua menunggu sampai anaknya puber, terutama untuk anak perempuan, bila membicarakan masalah tentang reproduksi. Padahal seharusnya persiapan menghadapi masa puber dapat dilakukan sedini mungkin sebelum tanda-tanda fisiknya nampak. Sedikitnya sebelum seorang anak menginjak dunia remaja, dimana proses kematangan seks mulai timbul, harus sudah diberikan. Misalnya anak perempuan sebelum mengalami haid pertama, dan anak-anak laki-laki sebelum mengalami mimpi basah, ( Kartini, 1992).

2.4.8. Persiapan Menghadapi Masa Puber

Persiapan mengalami masa puber ini sangat penting untuk memberikan, (BKKBN./ Com, 2003):

1. Dasar bagi anak untuk mengetahuan tanggung jawabnya sebagai seorang yang akan dewasa

2. dasar-dasar untuk memilih, menentukan atau mampu mengambil keputusan tentang sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, cepat atau tidak bagi dirinya, keluarga dan agamanya.

3. mempunyai kesadaran tentang terjadinya gejala fisik yang berhubungan dengan puber.

4. pemahaman tentang kehidupan seksual termasuk kewajiban agama dan beban hukum.

2.5. Aborsi dan hukum

2.5.1. Hukum Pidana (KUHP) RI.

Pada pasal 346-349 KUHP tersebut mengkategorikan aborsi sebagai tindak pidana, sebagaimana bunyi lengkap pasal-pasal tersebut dibawah ini:

Pasal 346

”Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat tahun”

Pasal 347

1.Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan penjara pidana paling lama dua belas tahun.

2.Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 348

1.Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

2.Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349

”Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan ia dapat dipecat dari jabatan yang digunakan untuk melakukan kejahatan”.

2.5.2. Aborsi dan undang-undang kesehatan.

Ditegaskan juga dalam Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 15 Ayat 1,2,3, berikut:

1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

2. Tindakan medis tertentu sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan:

a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut. b. Oleh tenaga kesehatan

2.6. Aborsi dari sudut pandang Agama.

Dokumen terkait