• Tidak ada hasil yang ditemukan

JENIS DAN KARAKTERISTIK SENSOR UNTUK AUSKULTASI

Minat komersial terhadap analisis suara paru yang sangat minim menyebabkan lambatnya perkembangan penelitian pada bidang tersebut. Pada gilirannya perkembangan teknologi pada bidang identifikasi dan validasi teknik auskultasi khususnya pengembangan sensor, juga lambat (Kraman et.al., 2006). Para peneliti pada umumnya mendesain sendiri peralatannya atau mengadaptasi sensor-sensor yang ada yang sebenarnya didesain untuk keperluan lain. Hal ini menyulitkan perbandingan data antar laboratorium karena tidak adanya standarisasi. Meskipun karakteristik sensor tidak banyak berpengaruh pada identifikasi proses atau siklus pernafasan tetapi akan sangat menentukan pada waktu penganalisisan gambar spektrum atau bentuk gelombang. Spektrum suara dan bentuk gelombang yang dihasilkan suara tersebut dipengaruhi oleh tipe dan cara pelekatan sensor pada tubuh.

Cara yang paling mudah untuk menstandarisasi sensor suara tubuh adalah dengan menggunakan sumber suara standar. Sejauh ini sumber suara pernafasan standar didefinisikan sebagai suara dari tubuh manusia yang bernafas pada kondisi yang dikontrol secara ketat (Kraman et.al., 1995). Standar jenis ini sangat sulit dilakukan dan masih diragukan kredibilitasnya karena secara normal terdapat variabilitas dalam kualitas suara pernafasan. Variabilitas tersebut dapat diakibatkan oleh perbedaan kondisi antar manusia dan perbedaan area pendeteksian suara pada permukaan tubuh. Untuk mengatasi permasalahan tersebut telah dikembangkan peralatan mekanis sebagai pengganti sumber suara standar tersebut. Peralatan ini disebut Bioacoustic Transducer

Tester (BATT). Secara sederhana BATT dapat digambarkan terdiri atas speaker yang

diletakkan dalam wadah kaku tertutup, bagian atas wadah tersebut adalah permukaan polimer poliuretan viskoelastik sebagai simulator kulit dada dan jaringan dibawahnya. Simulator kulit tersebut telah didesain dan divalidasi sehingga memiliki karakteristik akustik yang mirip dengan kondisi aslinya (Kraman et.al., 2006).

BATT telah dilakukan untuk menguji 5 jenis stetoskop elektronik yang umum digunakan pada penelitian auskultasi (Gambar 10). Sensor yang digunakan oleh masing-masing stetoskop ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa Siemens, Air Coupler (Littman diaphragm) dan Littman Bell memiliki performansi yang mirip pada rentang frekuensi 200 – 1200 Hz (Kraman et.al., 2006). PPG memiliki rentang frekuensi response yang paling lebar dengan sensitifitas tinggi hingga frekuensi 4000 Hz. Andries merupakan stetoskop yang paling buruk performansinya untuk kondisi frekuensi di atas 1000 Hz. Keunggulan stetoskop ditentukan oleh kemampuannya menghasilkan gelombang respon pada frekuensi tinggi. Dengan demikian sensor yang paling baik digunakan untuk keperluan auskultasi adalah jenis akselerometer.

Gambar 10: Lima jenis stetoskop elektronik yang umum digunakan dalam penelitian auskultasi (Kraman et.al., 2006)

Tabel 2: Sensor yang digunakan pada stetoskop elektronik umum

III. PEMBAHASAN

Sebagai metode yang didasari oleh pembentukan gelombang suara di dalam tubuh akibat dinamika sistem organ, teknik auskultasi memiliki spektrum pembahasan yang cukup luas dan kompleks. Dengan mengacu bahwa teknik auskultasi masih merupakan teknik diagnosa yang terpercaya khususnya pada diagnosa awal penyakit jantung, pengembangan metode pendeteksian, visualisasi dan analisis interferensi suara jantung dan paru-paru (interferensi kardiorespirasi) layak dilakukan. Selain sebagai satu inovasi dalam teknik auskultasi jantung, auskultasi berbasis interferensi tersebut dapat dijadikan alternatif cara penyempurnaan teknik auskultasi paru yang belum terstandarisasi. Berbeda dengan teknik auskultasi jantung yang dianggap lebih mampu menyajikan akurasi dan kepresisian data, teknik auskultasi paru masih menyisakan banyak ketidakpastian dalam identifikasi maupun analisis datanya. Hal ini ditimbulkan oleh tingkat variabilitas suara pernafasan yang tinggi yang terkait dengan perbedaan kondisi obyek, kompleksitas sistem organ dan perbedaan lokasi pengukurannya. Dengan demikian auskultasi interferensi kardiorespirasi (AIK) tersebut nantinya akan lebih banyak terfokus pada permasalahan suara pernafasan dan pengaruhnya terhadap suara jantung.

Jika ditinjau dari proses pembentukan suara, suara jantung timbul dari aktifitas pembukaan dan penutupan katup-katup jantung serta turbulensi aliran darah yang diakibatkannya. Variabilitas performansi jantung normal tidak terlalu besar sehingga proses analisis suara jantung umumnya tidak terlalu sulit. Suara-suara yang timbul dari kondisi patologis juga lebih mudah dideteksi. Sebaliknya, sumber suara paru masih menjadi perdebatan meskipun umumnya ditetapkan bahwa suara paru dibedakan menjadi 2 area yaitu area trakeal dan area bronkial. Dalam hal ini belum diketahui apakah kedua jenis suara tersebut saling mempengaruhi. Terdapat dugaan bahwa di area sekitar alveoli juga dapat muncul suara pernafasan. Meskipun dugaan ini dilemahkan oleh fakta bahwa aliran udara di sekitar alveoli telah laminar namun dikuatkan oleh adanya kemungkinan terjadi arus udara balik pada area tersebut akibat tekanan denyut jantung. AIK dalam hal ini nantinya perlu menetapkan sumber suara pernafasan yang digunakan sebagai acuan dan menyusun dasar teoritis proses pembentukan suaranya.

Analisis rambatan gelombang suara di dalam tubuh baik yang bersumber dari jantung maupun dari paru juga memerlukan pertimbangan yang tepat. Kompleksitas jaringan yang dilalui gelombang suara sangat mempengaruhi proses rambatannya. Hilangnya energi selama transmisi berlangsung menyebabkan terjadinya deviasi terhadap karakteristik suara akibat perubahan karakteristik gelombang yang merambat. Deviasi tersebut merupakan sumber perbedaan antara karakteristik suara yang ditangkap oleh sensor pada permukaan tubuh dengan suara asli. Perbedaan sifat-sifat material penyusun jaringan yang dilalui gelombang suara juga meningkatkan kesulitan penganalisisan

rambatan gelombang. Aktifitas biologis pada jaringan perantara tersebut diduga juga dapat mempengaruhi proses rambatan gelombang. Analisis AIK dalam hal rambatan gelombang suara perlu menetapkan jalur rambatan terlebih dahulu sehingga dapat diketahui dan ditentukan karakteristik material yang dilalui. Hal ini akan memudahkan penghitungan kehilangan energi selama proses rambatan sehingga karakteristik gelombang suara yang ditangkap di permukaan tubuh dapat diprediksi.

Titik-titik pengukuran suara jantung telah ditetapkan atas dasar kejelasan penangkapan sinyalnya. Pengukuran suara pernafasan dalam hal ini tidak memiliki titik pengukuran tertentu. Suara pernafasan umumnya diukur dari banyak titik di area dada dan/atau punggung. Hasil-hasil pengukuran suara pernafasan tampaknya menunjukkan bahwa secara normal intensitas suara tertinggi terjadi di area tengah masing-masing paru. Untuk keperluan analisis AIK, titik pengukuran suara paru dapat ditindihkan pada titik pengukuran suara jantung sehingga memudahkan proses validasi. Penetapan ini masih memerlukan verifikasi yang dapat dilakukan melalui cara analitis atau analisis hasil pengukuran peralatan-peralatan standar.

Penangkapan, pengolahan dan analisis sinyal gelombang suara di permukaan tubuh juga masih memerlukan pemikiran detail. Jenis dan karakteristik sensor diketahui menentukan kualitas dan karakteristik data yang mewakili sinyal gelombang suara tubuh. Deviasi yang timbul dari jenis dan karakteristik sensor tersebut dapat mengakibatkan kesalahan dalam menampilkan data sehingga analisis yang dihasilkan dapat menyimpang. Karena kualitas sensor sangat tergantung pada besaran frekuensi sinyalnya maka penetapan jenis sensor perlu memperhitungkan rentang frekuensi kerjanya. Akselerometer yang diidentifikasi sebagai sensor yang berperformansi baik pada rentang frekuensi kerja yang lebar tidak otomatis menjanjikan performansi yang baik untuk keperluan AIK. Lebarnya rentang frekuensi kerja dapat berimbas pada terbukanya kemungkinan penangkapan suara-suara noise dari berbagai sumber. Pemanfaatan akselerometer tampaknya harus dilengkapi sejumlah filter untuk meminimasi tertangkapnya noise. Sekali lagi di sini tampak bahwa penetapan frekuensi kerja dari suara pernafasan dan suara jantung pada permukaan tubuh juga berperan dalam penetapan karakteristik filter yang akan dipilih.

Salah satu contoh variabel yang harus dipertimbangkan dalam penetapan jenis sensor dapat dilihat pada pengujian sensitivitas stetoskop terhadap suara pernafasan (Kraman et.al., 2006). Diketahui bahwa frekuensi suara pernafasan normal adalah 200 – 1000 Hz. Namun demikian beberapa kelainan suara pernafasan, seperti crackles ringan, memiliki komponen frekuensi di atas 1000 Hz. Dalam hal inilah stetoskop-stetoskop tersebut menunjukkan perbedaan performansi (Gambar 11).

Gambar 11: Akurasi respon beberapa jenis sensor pada stetoskop. Input pulse adalah gelombang sumber, chamber adalah gelombang input yang beresonansi di dalam ruang uji (IDW/initial deflection width, amplitudo awal gelombang ruang uji), gelombang yang tertangkap setiap sensor disebut gelombang permukaan ruang uji. Akurasi /sensitifitas sensor diukur dari perbandingan gelombang chamber terhadap gelombang permukaan, yaitu cross correlation coefficient. Urutan pada gambar menunjukkan tingkat akurasi responnya (Kraman et.al., 2006)

Interferensi suara pernafasan dan jantung dimungkinkan terjadi setidaknya pada 2 tempat. Lokasi pertama adalah bahwa suara jantung dan suara paru telah berinterferensi di dalam tubuh baru kemudian merambat hingga ke permukaan tubuh. Lokasi kedua terletak di permukaan tubuh dimana interferensi terjadi pada saat kedua jenis gelombang tersebut mencapai titik yang sama. Lokasi-lokasi lain dalam rongga torak juga memungkinkan terjadinya interferensi karena gelombang suara mampu bergerak dalam arah 3 dimensi. Dalam hal ini AIK semestinya menetapkan terlebih dahulu proses, lokasi dan pola interferensinya jika diinginkan data yang valid. Penetapan tersebut tampaknya hanya dapat dilakukan secara analitis karena metode pengukuran langsung memerlukan proses invasi alat ukur ke titik terdekat dari sumber suara. Penetapan lokasi tersebut akan berpengaruh terhadap besaran frekuensi gelombang interferensi. Pada gilirannya hal tersebut ikut berperan dalam penetapan jenis sensor dan filternya.

Osilasi pada permukaan tubuh yang ditimbulkan oleh gelombang suara jantung dan paru berbeda orientasinya. Osilasi yang diakibatkan suara jantung lebih dominan berorientasi radial (dari dalam keluar tubuh) sedangkan osilasi akibat suara paru berorientasi vertikal – horisontal (atas-bawah, kiri-kanan di permukaan tubuh). Perbedaan orientasi ini berpengaruh pada pemilihan jenis dan kemampuan sensor. Sekali lagi AIK perlu mengakomodasi permasalahan tersebut untuk menghasilkan data yang akurat.

IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Gelombang suara pernafasan dan jantung memiliki karakteristik yang mirip sehingga memungkinkan penganalisisan interferensi antara keduanya.

2. Karakteristik auskultasi jantung menghasilkan tingkat validitas yang lebih tinggi dari auskultasi paru. Analisis interferensi suara kardiorespirasi lebih ditujukan pada penyempurnaan auskultasi paru.

3. Diperlukan kajian analitis yang detail tentang sumber, proses pembentukan, pola dan lokasi rambatan, karakter osilasi di permukaan tubuh dan penetapan titik pengukuran gelombang suara agar diperoleh hasil kajian yang akurat dan valid.

4.2. Saran

Teknologi alternatif auskultasi berbasis interferensi suara jantung dan paru memerlukan banyak kajian detail baik dari aspek analitis, eksperimentasi maupun teknologinya. Untuk dapat diwujudkan menjadi alternatif metode diagnosa yang terpercaya di kemudian hari diperlukan kajian yang fokus dan terarah. Untuk itu perlu

Dokumen terkait