BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pencabutan
1. Materi hukum
Pencabutan hak memilih dan dipilih ini sebenarnya bukan hal yang baru dalam kampium demokrasi. Jadi dalam konteks UU Korupsi, itu memberikan ruang adanya pidana tambahan antara lain berupa pembayaran uang pengganti, dan seperti yang dilakukan jaksa KPK berupa pencabutan hak tertentu, ketika berbicara dengan pencabutan
97 hak tertentu, sebagaimana dasar khususnya diatur dalam pasal 17 dan 18 ayat 1 Undang-Undang PTPK. Berikut uraian pasal 17 dan 18 ayat 177:
Pasal 17 :
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18 :
(1)Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang HukumPidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidanakorupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2)Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
77 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
98 telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3)Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Kita bisa lihat pada Pasal 17 yang mendukung diberla kukannya 18 poin D, berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, hal ini lah yang menjadi dasar bahwa pencabutan hak-hak memilih dan dipilih ini diatur dalam Undang-Undang, yang kemudian Pasal 18 ini digunakan dan merujuk pada pasal 10 KUHP78 yaitu :
Pasal 10 KUHP :
1. Pidana Pokok a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda 2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim
Di dalam Pasal 10 poin 2 huruf a KUHP diatur mengenai pidana tambahan maka itu menjadi dasar general atau umum dalam
78 Kumpulan Kitab Undang-Undang hukum KUH Perdata, KUH P, KUHAP, WIPRESS, Op.cit, 443
99 pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik karena pasal 10 diatur dalam KUHP yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 35 dan 38 ayat 1 KUHP. Berikut uraian Pasal-Pasal yang menjelaskan lebih terperinci mengenai dasar-dasar hukum sebelumnya diatas :
Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:79
1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2) Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4) Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;
5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6) Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :80
1) Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2) Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit
79 Ibid, hlm 443
80 Ibid, hlm 444
100 dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3) Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.
Maka dari itu kerangka hukumnya Pasal 17 merujuk ke Pasal 18 ayat 1 berupa pencabutan hak tertentu, kemudian merujuk lagi pada pasal 10 b, yang kemudian lebih dijelaskan pada Pasal 35 dan 38 ayat 1 KUHP. Berdasarkan dasar-dasar hukum diataslah pidana berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan pubilk, berani membuat KPK melakukan terobosan baru di dalam dunia pemidanaan selain pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak, uang pengganti, begitulah kerangka hukumnya.
Dalam Hukum pidana, undang-undang bukan hanya menentukan jenis dan jumlah pidana (strafsoort en strafmaat), tetapi juga sangat penting ditentukan cara melaksanakan pidana (strafmodus) yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Oleh karena itu, terhadap pidana perampasan kemerdekaan dan perampasan hak-hak tertentu, hak-hakim menentukan tenggang waktu hal itu dilakukan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 ayat (1) KUHP. Dalam hal pidana perampasan hak tertentu, antara lain ditentukan bahwa
”dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
101 lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokoknya”. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pencabutan hak tidak dapat dilakukan untuk selama-lamanya atau pencabutan hak tidak dapat dilakukan secara permanen (kecuali mereka yang dijatuhi pidana mati).
Adapun yang menjadi pertimbangan lain mencabut hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia, sehingga dikategorikan derogable right seperti dimaksud dalam Pasal 28 J Ayat (1) dan (2) UUD 1945 81yang berbunyi :
- Pasal 28 J ayat 1 menyatakan :
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Pasal 28J ayat 2 menyatakan :
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik dapat dibatasi melalui undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan
81 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahnun 1945 Pasal 28 J ayat 1 dan 2
102 dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain yang dirampas hak sosial-ekonominya oleh koruptor. Di dalamnya tersirat upaya untuk memenuhi tuntutan yang adil berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Kedua Pasal inilah yang menjawab dan mendukung mengenai HAM bahwasanya Pidanan Tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, khususnya pada pencabutan hak dipilih itu menurut pendapat penulis tidak melanggar HAM melainkan membatasi HAM.
Pada perkembangan hukum pidana setidaknya aparat penegak hukum ada yang berani membangunkan aturan yang selama ini tertidur dan tidak ada yang berani mengganggunya, karena sebenarnya pencabutan hak memilih dan dipilih aturan dasarnya ini sudah ada sejak lama di dalam KUHP pasal 10 dan 35 yang kemudian di dalam UU Tipikor juga tetap ada, tetapi penggunaannya dalam hal ini dimulai dari UU Tipikor yang kemudian merujuk kepada KUHP agar sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex generalis (aturan yang khusus mengenyampingkan aturan yang umum).
103 Adanya pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih ini menimbulkan rasa takut untuk melakukan korupsi, karena adanya penjatuhan hukuman pidana pokok yang cukup berat ditambah dengan uang pengganti dan yang terakhir adanya pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih.
Pasal 10 huruf a angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa pidana tambahan dapat berupa
“pencabutan hak-hak tertentu”. Hak tertentu yang dimaksud dapat berupa hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, atau hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP.
Menurut penulis bahwa dengan adanya penjelasan pada pasal 35 KUHP berarti memberikan kewenangan kepada hakim dalam memutus pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih ini, karena sebenarnya ini merupakan kewenangan hakim dalam memutus. Adapun mengenai peraturan lainnya terdapat pada Undang-undang republik indonesia Nomor 8 tahun 2015 Tentang Perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang
104 penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, yaitu82 :
Ketentuan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7:
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;
d. Dihapus.
e. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;
j. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;
82Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 Tentang Perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota
105 k. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
l. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;
Oleh karena itu dapat dilihat undang-undang tersebut pada poin H, menurut hemat penulis itu sudah cukup jelas bahwa pemerintah juga mengatur mengenai sanksi pencabutan hak pilih sebagai salah satu syarat pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa,
Pasal 6 ayat 2 :
“tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktiannya yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”
Bahwa menurut pendapat penulis, bahwa pada dasarnya pidana merupakan bentuk pengurangan terhadap hak-hak dasar manusia, yang hanya dapat ditentukan dalam undang-undang dan diterapkan pada individu melalui putusan hakim. Hak untuk hidup (dalam hal pidana mati), hak atas kemerdekaan (dalam hal pidana penjara,pidana tutupan, dan kurungan), hak terhadap harta benda (dalam hal pidana denda dan perampasan barang) dan hak akan
106 kehormatan (dalam hal pidana pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim), hanya dapat dikurangi atas kekuasaan yang dalam undang-undang dan sistem peradilan pidana Indonesia hal itu menjadi “monopoli hakim” untuk dapat menerapkannya pada seorang individu atau suatu korporasi. Dalam hal inilah dapat kita melihat indenpendensi hakim dalam memutus pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik terhadap tindak pidana korupsi, dan indenpendensi hakim itu tidak boleh dibatasi.