TESIS
PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI
ANNULMENT OF THE VOTING AND VOTED RIGHTS FOR THE PUBLIC POSITION ELECTION OF THE CORRUPTION PRISONERS
OLEH :
MURPRATIWI SYARIFUDDIN
P0902213445
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii HALAMAN JUDUL
PENCABUTAN HAK MEMILIH DAN DIPILIH DALAM JABATAN PUBLIK TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI
ANNULMENT OF THE VOTING AND VOTED RIGHTS FOR THE PUBLIC POSITION ELECTION OF THE CORRUPTION PRISONERS
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kepidanaan
Disusun dan diajukan oleh
MURPRATIWI SYARIFUDDIN P0902213445
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
ii KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur patut penulis haturkan kehadirat ALLAH SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul
“Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan publik Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa tiada manusia yang sempurna di dunia ini. Penulis tidak lepas dari kekurangan-kekurangan sehingga apa yang tertulis dan tersusun dalam tesis ini adalah merupakan kebahagiaan bagi penulis apabila ada kritik maupun saran. Saran yang baik merupakan bekal untuk melangkah kearah jalan yang lebih sempurna.
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan rasa hormat kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan para pembantu Rektor beserta seluruh jajarannya.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan, Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I, Bapak Dr.
Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H.,selaku Wakil Dekan II, serta
iii Bapak Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H.,M.H. selaku pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H.,M.H.,DFM, selaku Pembimbing II atas bimbingan, arahan dan waktu yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya untuk bapak.
4. Bapak Prof.Dr. M. Syukri Akub,S.H.,M.H., Bapak Prof. H.M. Said Karim,S.H.,M.H.,M.si., Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar S.H.,M.H., selaku tim penguji, atas masukan dan saran-saran yang diberikan kepada Penulis.
5. Para Dosen serta segenap civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan masukan, didikan dan bantuannya. dan Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu dalam penyusunan administrasi akademik ini.
6. Kedua orangtua ku yang telah banyak memberi dukungan do’a dan kasih sayangnya selama ini, Bapak Drs. H. Syarifuddin Dini dan Ibu Mutiara , terkhusus untuk bapak, walau kita sudah berbeda alam, namun saya yakin bapak bangga dan bahagia melihat ku sampai kepada jenjang ini, yang merupakan amanah terakhir darimu untuk saya tetap melanjutkan sekolah dan nantinya menjadi tenaga
iv pendidik agar ilmuku dapat terus bermanfaat, terimakasih bapak, ibu yang telah membesarkan saya hingga saat ini, dan saya akan terus berjuang.
7. Kakak-kakakku tercinta, Musrini Sy. A.md, Murdiansyah Sy, Musfayanti Sy. S.E., Mursandy Sy A.md, Munafri Sy S.E., dan Munandar Sy. A.md., terimakasih buat segala bantuannya, dukungannya dan do’anya. Serta kakak ipar, Jamal, S.H.,M.si., Rusman Umar, Handayani Pratiwi, S.E., Hasriana, Herwinda Rahmawahyuni, S.P., Alifah Nur Rizky, A.md., yang juga telah banyak membantu dan memberikan do’anya.
8. Muhammad Fajrul Hidayat, S.E., yang selama ini membantu penulis dengan sabar dalam menyelesaikan tesis ini, memberikan dukungan, do’a, dan supportnya selama ini, sampai sekarang dan semoga selamanya.
9. Keluarga Bapak Drs.H. Ardias Barah,S.pd.,M.pd., Ibu Harlina, beserta adik-adikku, Fauziah Mutmainnah, Fadhilah Afifah, Muhammad Faqih Ashiddiq, dan Fitriyah Salsabilah yang telah memberikan do’a dan dukungannya selama ini kepada penulis.
10. Sahabat-sahabatku Husnul Khatimah, S.ST, Ayu Kartika, S.IP Melinda Setiawati, S.H., Galih Ayuningrum, A.md,Kep., Fajriani
v Azis, S.pd., S.E., dr. Ana Zaharina, S.ked., dan Fitriani Kadir, S.pd. terimakasih buat segala dukungannya dan do’anya.
11. Sahabat-sahabat seperjuanganku Nurul latifah, S.,H.,M.H., Arbiansyah Haseng Malapua, S.H., Muhammad Halwan S.H., dan Muhammad dhahriono, S.H., terima kasih atas dukungan, do’a dan bantuannya selama ini.
12. Dian Anugerah Abunaim S.H., yang telah setia menemani penulis selama penelitian, terimakasih atas bantuannya selama ini.
13. Terkhusus untuk teman seperjuanganku yang lebih dulu meninggalkankan kita menghadap Sang Ilahi, Rathni Rizky Putri Novian, S.H., semoga kau tenang disyurga Allah
Demikanlah dari penulis, semoga tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi diri penulis sendiri, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin serta para pembaca pada umumnya, selanjutnya penulis akhiri kata pengantar ini dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT Amin amin Ya Robbal alamin.
Makassar, 17 Agustus 2015
MURPRATIWI SYARIFUDDIN
vi ABSTRAK
MURPRATIWI SYARIFUDDIN (P090 221 3445), Penelitian mengenai Pencabutan Hak Memilih Dan Dipilih Dalam Jabatan Publik Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi. Di bawah bimbingan Andi Sofyan selaku pembimbing I dan Slamet Sampurno selaku pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis relevansi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik terhadap narapidana tindak pidana korupsi dalam perspektif tujuan pemi danaan, dan untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang mempengaruhi pelaksanaaan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik terhadap narapidana tindak pidana korupsi.
Penelitian ini dialaksanakan di kota Jakarta, dengan memilih instansi yang relevan dengan masalah dalam tesis ini yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Jakarta, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan sifat penelitian deskriptif yang menggunakan sumber data primer dan sekunder dengan teknik studi dokumen dan wawancara serta sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang ada. Adapun keseluruhan data yang telah didapat, dianalisis secara kualitatif atau lebih dikenal dengan istilah analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik ini dianggap relevan dengan tujuan pemidanaan karena akan memberikan pembalasan dan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dan penegak hukum terus berharap kedepannya agar penjatuhan pidana tambahan ini dapat tetap berjalan sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut.
Bahwa mengenai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik ini dipengaruhi oleh materi hukum yang ternyata sudah jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dan mengnenai materi hukumnya sebaiknya untuk lebih diperjelas lagi terhadap syarat-syarat dan mekanisme pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Kata Kunci: pidana tambahan, pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, korupsi
vii ABSTRACT
MURPRATIWI SYARIFUDDIN (P090 221 3445), Research on The Disenfranchisement and be Elected in Public Office towards Prisoners of Corruption. Under the guidance of Andi Sofyan as a supervisor I and Slamet Sampurno as a supervisor II.
This study aims to identify and analyze the relevance of disenfranchisement and to be elected in public bearing towards convict corruption in the purpose of punishment perspective and analyze the factors which affect the execution of the disfranchisement and to be elected in a public office for the convict of corruption.
The research was conducted in Jakarta, by selecting the relevant institutions : Corruption Eradication Commission (KPK), the District Court Corruption (Corruption) Jakarta, the Constitutional Court and the Supreme Court. The method which was used in this research was an empirical study of normative law with the nature of descriptive research by using primary and secondary data in order to study the document and interview techniques as well as reading materials relating to existing problems. As for the overall data that had obtained, was analyzed qualitatively or known as qualitative descriptive analysis.
The results showed that the imposition of the revocation of the right to vote and to be elected in public office as additional penalty are considered to be relevant with the purpose of punishment as it will give retaliation and deterrent effect against perpetrators of corruption. The law enforcement continue to hope that this additional punishment can keep running with the provisions of law in the future. The factors which affect the implementation of the revocation of the right to vote and be elected into public office are influenced by the laws of material which had been clearly regulated in Law Number 31 of 1999 on Corruption Eradication Jo.
Law No. 20 of 2001 on the Amendment of Law No. 31 of 1999 on the Eradication of Corruption and the Code of Criminal Law. Regarding legal materials should be clarified to the terms and mechanism of disenfranchisement and to be elected in public office.
Keywords: additional penalty, revocation of the right to vote and be elected to public office, corruption.
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14
A. Landasan Teori ... 14
1. Teori Efektifitas Hukum ... 14
2. Teori Pemidanaan ... 21
a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) ... 21
b. Teori relatif atau tujuan (Doel Theorien) ... 22
c. Teori gabungan (vernegings theorien) ... 24
3. Teori Penegakan Hukum ... 25
a. Teori penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto ... 26
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia ... 26
B. Tindak Pidana ... 30
1. Pengertian Tindak Pidana ... 30
2. Unsur-unsur tindak pidana ... 32
C. Pemidanaan ... 33
1. Pengertian Pemidanaan ... 33
2. Jenis-jenis Pemidanaan ... 35
3. Tujuan Pemidanaan ... 48
4. Pengertian Narapidana ... 50
D. Tindak Pidana Korupsi ... 51
ix
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 51
2. Jenis dan Tipologi Korupsi ... 54
3. Perumusan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 56
E. Hak Politik sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia ... 60
F. Kerangka Fikir ... 66
G. Bagan Kerangka Fikir ... 69
H. Definisi Operasional ... 70
BAB III METODE PENELITIAN ... 71
A. Tipe Penelitian ... 71
B. Lokasi Penelitian ... 71
C. Jenis dan sumber data ... 72
D. Teknik pengumpuan data ... 73
E. Analisis data ... 73
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 75
A. Relevansi pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap narapidana tindak pidana korupsi dalam persfektif tujuan pemidanaan ... 75
1. Pencabutan hak memilih ... 75
2. Pencabutan hak dipilih ... 77
3. Relevansi pencabutan hak memilih dan dipilih terhadap narapidana tindak pidana korupsi dalam persfektif tujuan pemidanaan... 81
B. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pencabutan Hak memilih dan dipilih bagi narapidana tindak pidana korupsi...96
1. Materi hukum ... 96
2. Instansi dan penegak hukum ... 106
BAB V PENUTUP ... 110
A. Kesimpulan ... 110
B. Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 113
1 BAB I
Pendahuluan I. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan perjuangan yang mengorbankan segala-galanya demi kemerdekaan tersebut. Setelah merdeka maka dibuatkannya sebuah konstitusi sebagai dasar negara, yang dijadikan pedoman bagi setiap elemen (negara) untuk mewujudkannya.
Perjuangan bangsa selama 70 tahun ini setelah merdeka, ternyata belum bisa memuaskan publik. Berdasarkan fakta tahun 1999-2002 adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), perubahan ini untuk mengubah konstitusi negara Indonesia, dikarenakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan Negara serta banyak kesewenang – wenangan yang terjadi pada masa sebelumnya, sehingga di zaman reformasi menginginkan adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Perubahan yang paling menonjol adalah mengenai Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa :
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum(rechtsstaat)”.
2 Lahirnya negara hukum yang diamanatkan konstitusi ini, Indonesia sebagai negara yang tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaannya, dan melahirkan perkembangan baru bagi penguasa yang berkewajiban dalam mewujudkan tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea IV.
Dasar lainnya yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dalam arti materil terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut:
1. Pada Bab XIV tentang Perekonomian Negara dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34 UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa negara turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.
2. Pada bagian Penjelasan Umum tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan juga dinyatakan perlunya turut serta dalam kesejahteraan rakyat.
Saat ini Indonesia sebagai negara berkembang, yang tentu saja masih mengalami banyak permasalahan, mulai dari pertumbuhan penduduk yang tidak bisa lagi dikendalikan, faktor ekonomi yang dikarenakan banyanknya pengangguran sehingga kemiskinan terus meningkat, pendidikan yan g masih kurang merata, kesehatan, infrastruktur, penegakan hukum, tingkat produksi, kualitas penduduk, ketidakmerataan pembangunan dan ketergantungan kepada luar
3 negeri. Berbeda dengan negara maju, masalah yang dihadapi cenderung lebih sedikit dibanding dengan negara berkembang, misalnya, kekurangan tenaga kerja dan sebagainya. Negara maju memiliki jumlah penduduk yang sedikit sehingga banyak industri di Negara maju yang kekurangan tenaga kerja, bahkan harus mengandalkan tenaga kerja dari luar negeri.
Persamaan permasalahan di Negara maju dan berkembang ialah korupsi, maka dari itu dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sangat gencar dilakukan oleh pemerintahnya. Salah satu negara maju di Asia, dalam memberantas tindak pidana korupsi diterapkan penjatuhan pidana mati yang akan dikenakan kepada warga negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, walaupun kebanyakan Negara juga menerapkan pidana mati ini.
Menariknya, saat Perdana Menteri China berpidato menyampaikan bahwa dia akan menyiapkan 100 peti mati, 99 untuk para koruptor dan satu peti mati lainnya khusus untuk dirinya sendiri jika melakukan tindak pidana korupsi, Ia tak ingin sekadar dipuji oleh sejarah, dan ia pun tak ingin sekedar meraih citra, ia hanya ingin membuktikan bahwa tugas dan tanggungjawabnya sebagai Perdana Menteri mewajibkan dirinya untuk tidak main-main mengemban tugas dan berani mengambil resiko terberat (dibunuh) jika ia pun kelak tergoda
4 melakukan korupsi. Beda halnya di Indonesia ada terobosan baru dibidang hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik bagi para koruptor yang pertama kali dilakukan oleh jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK). Sejauh ini sudah dua kasus yang dikabulkan tuntutan pencabutan hak politiknya. Inilah salah satu masalah dari sekian banyak masalah yang dihadapi oleh negara maju dan negara berkembang yang sulit dipecahkan, ialah masalah korupsi, di negara berkembang korupsi ini sangat berdampak ke rakyat miskin. Hal ini disebabkan tindak pidana korupsi semakin sulit untuk diatasi.
Maraknya korupsi di Indonesia diyakini terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan di negeri ini. Seperti kita ketahui bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia adalah mensejahterakan kehidupan bangsa, tentunya akan sulit tercapai bila masih terjadi korupsi.
Untuk mendukung tercapainya tujuan itu diperlukan instrumen- instrumen hukum yang tepat, antara lain dengan kebijakan perundang- undangan. J.E.Sahetapy1 menegaskan bahwa setiap produk hukum perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumber mana hukum dijiwai, dipersepsikan, dan dalam penjabarannya atau
1 J. E. Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009, hlm 20.
5 diwujudkan dalam bentuk manifestasinya haruslah bernapaskan Pancasila.
Meski upaya pemberantasan korupsi gencar dilakukan, sampai saat ini belum ada indikasi penurunan tingkat korupsi. Korupsi merupakan masalah multidimensional yang memiliki unsur politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sering melibatkan para elite penguasa, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah, karena korupsi tidak saja terjadi dilembaga eksekutif tetapi telah merambah lembaga legislatif dan yudikatif. Salah satu faktor penyebab sulitnya korupsi diberantas di Indonesia adalah karena berbagai putusan hakim yang mengadili kasus korupsi sudah terasing dari rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.2
Sekarang ini ada sebuah terobosan hukum baru yang dilakukan KPK ialah pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik bagi koruptor. Mencabut hak memilih dan dipilih ini ini bukan tanpa dasar. Pencabutan hak politik selain diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut KUHP) sebagai pidana tambahan juga tercantum dalam Pasal 18 Undang- undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2Achmad Ali, keterpurukan Hukum di Indonesia (penyebab dan solusinya) , Ghalia Indonesia, Bogor,2005,hlm.8.
6 Jadi sudah jelas, bahwa terdakwa korupsi pun dapat dicabut hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Ada beberapa orang berpendapat, tindakan majelis hakim yang menjatuhkan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik bagi koruptor terlalu berlebihan, pencabutan itu pengebirian hak mendasar seseorang, secara pribadi, penulis, menolak ujaran beberapa orang tersebut.
Kalau bicara soal kerusakan hak, lalu dimana harus ditempatkan kerusakan yang dilakukan oleh koruptor terhadap hak rakyat untuk sejahtera, hidup tentram, dan aman berkelanjutan yang semua itu hancur tak berbekas karena korupsi para pencuri uang rakyat. Hal inilah yang menyebabkan korupsi digolongkan kedalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pencabutan hak politik koruptor harus segera dibiasakan dan masuk dalam putusan majelis hakim berikutnya. Kita wajib memahami bahwa koruptor adalah penjahat yang pintar. Ia melakukan kejahatan terhadap harta publik karena didorong keserakahan. Ketika kepintaran dan keserakahan bersatu, dijamin akan sangat susah memberantasnya.
Dalam konsep ilmu hukum, dalam melaksanakan hak manusia dibatasai dengan kepentingan, sementara kepentingan itu selalu saja berbenturan dengan kepentingan orang lain, contohnya saja dalam perancangan Undang-Undang (yang selanjutnya disebut UU) oleh anggota dewan yang terhormat, tentunya dalam produk UU yang
7 dihasilkan didalamnya banyak kepentingan, terkhusus kepada kepentingan partai politiknya sendiri, hukum harus berada ditengah, bersikap adil dan penegak hukum harus serius dalam menangani setiap kasus, karena saat ini kebebasan sangat diagung-agungkan yang kita kenal dengan sebutan demokrasi, tapi ingatkah kita jika kebebasan terlalu diagungkan maka yakin saja ketertiban akan hancur, dan sebaliknya jika ketertiban yang diagungkan maka kebebasan akan terkekang. Maka dari itu penulis berpendapat bahwa hukum harus diterapkan tanpa memihak sesuai dengan simbolnya yang berbentuk timbangan, keadilan ada bila timbangan itu seimbang.
Sekarang dapat dibayangkan, kalau koruptor yang pintar dan serakah itu masih diberikan kesempatan untuk menduduki kursi jabatan, terutama jabatan publik, atau terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (yang selanjutnya disebut DPRD) atau Dewan Perwakilan Rakyat (yang selanjutnya disebut DPR) maka peluang untuk korupsi dan menyelewengkan lagi kekuasaannya, pasti akan terbuka lebar.
KPK merupakan badan khusus yang dibentuk oleh presiden dan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ini ternyata tidak main-main, guna memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Ada beberapa terobosan hukum yang dilakukan.
8 Contoh kasus pertama yang hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik itu dicabut yaitu pada kasus korupsi simulator sim yang dilakukan oleh Djoko Susilo. Pada saat itu jaksa penuntut umum khusus yang diwakili oleh KPK menuntut Djoko Susilo dalam salah satu tuntutannya ialah pencabutan hak-hak politik. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (yang selanjutnya disebut PT DKI Jakarta) memperberat vonis hukuman mantan Kakorlantas Polri Djoko Susilo. Bila sebelumnya, Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Djoko dengan pidana penjara selama 10 tahun, PT DKI Jakarta menambah hukuman Djoko menjadi 18 tahun penjara. Selain itu, Djoko dihukum membayar denda Rp1 miliar subsidair satu tahun kurungan.PT DKI juga mengabulkan tuntutan penuntut umum KPK tentang pencabutan hak- hak tertentu Djoko untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik.
Sebelumnya, tuntutan ini dimentahkan di pengadilan tingkat pertama karena menurut majelis hakim, hukuman pencabutan hak-hak politik terlalu berlebihan. Sementara pada tingkat kasasi permohonan terdakwa ditolak oleh majelis hakim, dan pada akhirnya majelis hakim memperkuat putusan PT DKI Jakarta yaitu 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik.
Selama lembaga KPK terbentuk, untuk pertama kalinya seorang terdakwa kasus korupsi dituntut pidana tersebut. Meskipun pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan
9 publik sebenarnya bukan pidana baru dalam sistem pemidanaan Indonesia.3
Hal serupa juga terjadi pada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (yang selanjutnya disebut PKS) Luthfi Hasan Ishaaq Dalam putusannya, hukuman Luthfi Hasan Ishaaq diperberat dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Disamping itu, Luthfi hasan ishaaq juga diberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik.4
Pasal 10 KUHP mengatur tentang jenis pidana, pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Sekarang diterapkan pencabutan hak yaitu hak politik (political rihgts).
Adapun yang dimaksud hak politik, menurut UUD NRI Tahun 1945, Tap MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ialah hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak dipilih dan memilih dalam pemilu, dan hak mendirikan partai politik. Karena itu, pencabutan hak politik
3http://www.negarahukum.com/hukum/belajar-dari-kasus-jenderal-simulator.html, 2014, 3 September, 20.52 Wita.
4http://www.herdi.web.id/pencabutan-hak-politik-koruptor/ , 2014, 30 September 15.08 Wita
10 koruptor berarti menghilangkan hak-hak tersebut sebagai konsekuensi logis atas tindak pidana korupsi.
Bila kita tarik kedalam konteks tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK, maka pencabutan hak politik dalam jabatan publik bagi terdakwa Djoko Susilo dan Luthfi Hasan Ishaaq masuk kedalam kategori pidana tambahan. Penjelasan lebih jauh dapat kita lihat dalam Buku I KUHP Pasal 35 ayat 1 KUHP menegaskan bahwa hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut adalah hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri, hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri, dan hak menjalankan mata pencarian tertentu.5
Pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik sebagai pidana tambahan memungkinkan diterapkan bagi terdakwa kasus korupsi. Penerapan ini pula sangat sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi dan langkah pencegahan (preventif) dimana
5Kumpulan Kitab Undang-Undang hukum KUH Perdata, KUH P, KUHAP, WIPRESS, Op.cit, hlm. 444
11 kesempatan untuk melakukan korupsi secara berulang itu dihentikan.
Rasionalisasinya khusus mantan terpidana korupsi sudah pasti tidak akan terlibat lagi untuk meraup uang negara karena tidak memiliki kesempatan atau hak untuk menduduki jabatan publik lagi.
Pidana tambahan yang diterapkan sekarang ini mengenai pencabutan hak memilih dan dipilih juga memberikan angin segar bagi proses demokrasi karena kedepan kita tidak akan mendapatkan lagi mantan terpidana korupsi terpilih kembali menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Ini merupakan suatu peristiwa yang memalukan, cacat moral dan mencederai nilai-nilai demokrasi.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis berkeinginan mengkaji lebih jauh mengenai masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah (tesis) yang berjudul “Pencabutan Hak Memilih dan Dipilih dalam Jabatan publik Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi ”
12 II. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah relevansi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik terhadap narapidana tindak pidana korupsi dalam perspektif tujuan pemidanaan?
2. Apakah faktor yang mempengaruhi pelaksanaaan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik terhadap narapidana tindak pidana korupsi?
III. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis relevansi pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik terhadap narapidana tindak pidana korupsi dalam perspektif tujuan pemidanaan;
2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor yang mempengaruhi pelaksanaaan pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik terhadap narapidana tindak pidana korupsi.
13 IV. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Secara teoritis dapat memberikan kontribusi pemikiran sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Secara peraktis dapat memberikan kontribusi dalam upaya pembentukan kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia
14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. LANDASAN TEORI
1. Teori Efektifitas Hukum
Penelitian kepustakaan yang ada mengenai teori efektivitas memperlihatkan keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Hal ini terkadang mempersulit penelahan terhadap suatu penelitian yang melibatkan teori efektivitas. Secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi.
Sama halnya dengan teori efektivitas secara umum, para ahli pun memiliki beragam pandangan terkait dengan konsep efektivitas organisasi.
Mengutip Ensiklopedia administrasi,6 menyampaikan pemahaman tentang efektivitas sebagai berikut :
“Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki.”
6 http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/10/teori-efektivitas.html, diakses pada tanggal 9 maret 2015, 09.30 WITA.
15 Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya, pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instansi maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut.
Adapun apabila kita melihat efektivitas dalam bidang hukum, bahwa ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”7. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.
7 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan Vol.1 (Jakarta: Kencana, 2010), 375.
16 Menurut Soerjono Soekanto8 ukuran efektivitas pada elemen pertama adalah :
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis.
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada.
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik.
Menurut Soerjono Soekanto9 bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut :
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
8Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), 80.
9Ibid, hal : 82.
17 4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas- batas yang tegas pada wewenangnya.
Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya.
Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum.
Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto10 memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah :
1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
2. Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka waktu pengadaannya.
3. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
4. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.
6. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi fungsinya.
Kemudian ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu :
1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang baik.
10Ibid, hal : 82
18 2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun
peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul. Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal.
Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif, sedangkan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya. Dorongan yang sifatnya eksternal muncul karena adanya semacam tekanan dari
19 luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk kepada hukum. Pada takaran umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih taat hukum daripada melakukan pelanggaran yang pada gilirannya dapat menyusahkan mereka. Motivasi ini biasanya bersifat sementara atau hanya temporer.
Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita11 yaitu bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.
Menurut Soerjono Soekanto12 efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.
11 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum (Bandung:
Mandar Maju, 2001), 55.
12Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi (Bandung: CV. Ramadja Karya, 1988),80.
20 Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal, tetapi juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. Jika suatu aturan hukum tidak efektif, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah apa yang terjadi dengan ancaman paksaannya? Mungkin tidak efektifnya hukum karena ancaman paksaannya kurang berat; mungkin juga karena ancaman paksaan itu tidak terkomunikasi secara memadai pada warga masyarakat13.
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jika faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik- baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang- undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau
13 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum (Jakarta: Yarsif Watampone, 1998), 186.
21 dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai.
2. Teori Pemidanaan
Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan.
Menurut Adami Chazawi teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu :14
1. Teori absolut atau teori pembalasan 2. Teori relatif atau teori tujuan
3. Teori Gabungan.
a. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).
Aliran ini yang menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung).
Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut- pengikut seperti Stahl, Hegel, Herbart.
14Adami Chazawi.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Hlm. 153
22 Menurut Stahl15 bahwa :
“Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidan terhadap pelanggarnya.”
Menurut Hegel 16berpendapat bahwa:
”Hukum atau keadilan adalah merupakan suatu kenyataan(sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh karna itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidak adilan bagi pelakunya(synthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these).”
Pendapat lain dikemukakan oleh Herbart17 bahwa :
“Apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai atau dipulihkan , maka dari sudut aethesthica harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya.”
b. Theori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)
Teori ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving der maatshappeljikeorde).
15 Ibid. Hlm. 155
16 Ibid. Hlm. 156
17 Ibid.
23 Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori tujuan yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada diri terpidana itu sendiri dengan harapan agar terpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.
Teori-teori yang dimaksudkan dalam teori prevensi umum adalah sebagai berikut : 18
a. Teori-teori yang mampu membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat orang jera semua warga masyarakat agar mereka tidak melakukan kejahatan ataupun pelanggaran- pelanggaran terhadap kaedah-kaedah hukum pidana.
b. Ajaran mengenai pemaksaan secara psikologis yang telah diperkenalkan oleh Anslm Fuerbach. Menurutnya ancaman hukuman itu harus harus dapat mencegah niat orang untuk melakukan tindak pidana , dalam arti apabila bahwa orang melakukan kejahatan mereka pasti dikenakan sanksi pidana, maka mereka pasti akan mengurungkan niat mereka untuk melakukan kejahatan.
18 Ahmad Nindra Ferry, 2002, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika di Kota Makassar. Perpustakaan Unhas, Makassar, hlm. 25.
24 Adapun menurut Adami Chazawi bahwa:19
“ teori pencegahan umum ini ialah pidana yang ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat jahat.”
Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus ini, adalah :20
a. Pidana yang bersifat pencegahan khusus, yaitu untuk menakut- nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menakut-nakutinya melalui pencegahan pidana itu agar ia tidak melakukan niatnya.
b. Akan tetapi bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, maka penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya (reclasering).
c. Apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuat mereka tidak berdaya.
d. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum didalam masyarakat.
c. Teori Gabungan (Vernegings Theorien)
Dengan adanya keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, maka muncullah aliran ketiga yang mendasarkan pada jalan pikirannya bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
19 Adami Chazawi, Op.Cit. Hlm. 158
20 Ibid. Hlm. 162
25 Menurut Adami Chazawi, teori gabungan dapat dapat digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu :21
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dipertahankannya tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
3. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum, baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib untuk mendapatkan kepastian hukum dalam masyarakat, dalam rangka menciptakan kondisi agar pembangunan disegala sektor itu dapat dilaksanakan oleh pemerintah.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu mempunyai arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum.
Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
21 ibid
26 memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, menegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
a. Teori Penegakan Hukum menurut Soerjono Soekanto
Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum (law enforcement) menghendaki empat syarat, yaitu :22
- Adanya aturan
- Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu
- Adanya fasilitas untuk mendukung pelaksanaan peraturan itu - Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena
peraturan itu.”
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai
22 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum (Bandung: Bina Cipta, 1983), halaman 80
27 arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:23
a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1. Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat
23 Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1979 Halaman 45
28 beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain :24
1) Undang-undang tidak berlaku surut.
2) Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, 3) Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
4) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
5) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.
6) Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
7) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan
24 ibid
29 dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
1. Nilai ketertiban dan niali ketentraman
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan 3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai
30 B. TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh pakar hukum dalam mengartikan tindak pidana, Roeslan Saleh25, menggunakan istilah perbuatan pidana atau delik sebagai berikut :
“perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana juga disebut dengan delik. Menurut wujud aslinya atau sifatnya, perbuatan pidana adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, dan juga merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap adil dan baik”.
Tongat 26 menjelaskan bahwa :
1. Istilah tindak pidana, delict dan perbuatan pidana banyak digunakan dalam berbagai peraturan perundang- undangan di Indonesia. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain :
a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya Pasal 14;
b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Pengadilan Sipil;
c. Perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdeliijke Byzondere straftbepalingen;
25Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Centara. Jakarta : 1983 hlm:
26Tongat, dasar-dasar hukum pidana Indonesia dalam persfektif pembaharuan,UMM Pers. Malang : 2009, hlm 101
31 d. Hal yang diancam hukum istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
e. Sedangkan istilah tindak pidana digunakan dalam berbagai perundang-undangan seperti Undang- undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Darurat Nomor 4 Tahun 196 tentang Pemasyarakatan Terpidana.
Strafbaarfeit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai istilah, oleh K. Wantjik Saleh27, yaitu :
1. Perbuatan yang boleh dihukum;
2. Perbuatan pidana;
3. Pelanggaran pidana;
4. Tindak pidana;
5. Delik.
Rusli Effendy28, menggunakan istilah peristiwa pidana dengan rumusan bahwa :
“perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam degan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut untuk itu ia disebut dengan peristiwa pidana atau delik.”.
Andi Zainal Abidin Farid29 merumuskan tindak pidana (delik) sebagai :
“Perbuatan aktif atau pasif, yang melawan hukum formil dan materil yang dalam hal tertentu disertai akibat dan/atau keadaan yang menyertai perbuatan, dan tidak adanya dasar pembenar”.
Menurut batasan pengertian di atas, dapat dirumuskan bahwa tindak pidana adalah peristiwa pidana yang berkaitan dengan rangkaian perbuatan manusia yang pembuatnya diancam pidana.
27 P.A.F.Lamintang, Dasar - dasar hukum pidana Indonesia , Citra Aditya bakti, Bandung, 1997, hal.
54
28 Junaidi Said, 2010, Skripsi Tinjauan Yuridis Upaya Pembuktian DEELNEMING terhadap Tindak Pidana Pembunuhan, Makassar, hal 31
29 Abidin A.Zainal Farid, 1995, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta
32 2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljatno30, unsur-unsur tindak pidana terdiri atas : 1. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3. Keadaan tambahan yang memberatkan;
4. Unsur-unsur melawan hukum yang objektif;
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Ditambahkan oleh Tongat31 bahwa terjadinya tindak pidana harus memenuhi unsur :
1. Unsur perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal inimemenuhui syarat formal, terkait dengan berlakunya Pasal 1 ayat 1 KUHP);
3. Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat meteril, terkait dengan ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsinya yang negatif).
Dijelaskan lebih lanjut oleh Moeljatno32 bahwa :
“unsur-unsur terjadinya delik yaitu jika adanya perbuatan yang menimbulkan suatu akibat dan perbuatan tersebut memenuhi unsur melawan hukum yang subjektif dan objektif. Adapun unsur melawan hukum sujektif yang dimaksud adalah adanya kesengajaan dari pembuat delik untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum, sedangkan unsur melawan hukum yang objektif penilaiannya bukan dari pembuat, tetapi dari masyarakat”.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :33
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa);
2. Maksud atau voomemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
30 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1985, Hal. 63
31 Tongat, op.cit Hal. 107
32 Moeljatno, Hukum pidana: delik-delik percobaan, delik-delik penyertaan, Bina Aksara. Hal. 65
33 ibid
33 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachteraad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan- kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah :34 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas did lam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
C. PEMIDANAAN
1. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.
J.M. Van Bemmelen35 menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut :
34 ibid
35 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Hal 2
34
”Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesemptan itu.”
Tirtamidjaja36 menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana formil sebagai berikut :
a. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang
menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana.
b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang
mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim.
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil dalah aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah
36 Ibid
35 berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :
1. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;
2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;
3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
2. Jenis-jenis pemidanaan
Hukum pidana Indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :
1. Pidana Pokok a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda 2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu.
36 Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok , dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Menurut Tolib Setiady37 perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a. Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah.
(Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b. Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c. Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Sebagai mana yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHP yaitu:38
37 Tolib Setiady, 2010, Pokok - pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung. Hal.77
37
“pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
Di dalam negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6, 9, 10, 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di atas (Pasal 6, 9, 10, dan 14).
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan Fiat Eksekusi dari Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi.
Kemudian untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan undang-undang yang
38 Kumpulan Kitab Undang-Undang hukum KUH Perdata, KUH P, KUHAP, WIPRESS, Op.cit, hlm 436