• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : HUKUM HARTA PERKAWINAN

B. Jenis-jenis Harta Perkawinan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam suatu keluarga diperlukan harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk. Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu perkawinan merupakan salah satu usaha untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera lahir dan batin. Akan sulit dimengerti bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya harta kekayaan.

Ilmu hukum perdata mengenal adanya pemilikan atas suatu benda secara individu atau pribadi dan pemilikan benda secara bersama-sama antar para individu. Pemilikan benda secara individu/pribadi disebut dengan hak milik pribadi, sedangkan pemilikan atas suatu benda secara bersama-sama disebut dengan istilah hak milik bersama.

Hak milik bersama atas suatu benda dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu:

a. Hak milik bersama terikat (geboden mede-eigendom). Di sini tiap-tiap bagian benda diliputi oleh peraturan yang berlaku bagi seluruh kumpulan benda.

b. Hak milik bersama bebas (vrije mede- eigendom). Dalam hal ini ikatan hukum hanya terdapat dalam turut serta memiliki. Di sini masing-masing mempunyai bagian yang tetap dari benda itu umpamanya ½, 1/3 dan sebagiannya.17

Meninjau dari dua golongan hak milik bersama atas suatu benda tersebut, harta bersama perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan termasuk dalam golongan atau kelompok harta bersama terikat (geboden mede-eigendom), sama halnya dengan hak milik bersama pesero dalam Perseroan Terbatas. Pengelompokan harta benda bersama sebagai hak milik bersama terikat karena semua benda yang diperoleh selama perkawinan diliputi oleh peraturan yang berlaku bagi sekumpulan benda. Peraturan yang berlaku bagi harta benda bersama selama perkawinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 UU Perkawinan, dan khusus bagi orang yang beragama Islam ketentuan peraturan yang berlaku atas harta bersama ditentukan di dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.

Demi mempertahankan hak atas harta bersama apabila perkawinan putus terdapat dua pendapat dalam UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 35 disebutkan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 UU Perkawinan secara eksplisit menyebutkan bahwa “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Pada penjelasan Pasal 37

17

Ahmad Ichsan, Hukum Perdata, I A, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa 1969), hal. 156-157.

dijelaskan yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Penjelasan Pasal 35 dengan Pasal 37 UU Perkawinan ini apabila dipersandingkan satu sama lain membedakan antara putusnya perkawinan dalam penjelasan Pasal 35 dengan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 35 putusnya perkawinan diartikan dalam arti yang umum, sedangkan putusnya perkawinan dalam Pasal 37 UU Perkawinan adalah putusnya perkawinan secara khusus yaitu karena perceraian. Jadi apabila kedua hal tersebut dipersatukan terlihat suatu kontradiktif di dalamnya. Namun kalau dilihat dari isi norma hukum yang terkandung di dalam Pasal 35 dan Pasal 37 UU Perkawinan, dapat dipahami apa yang dimaksud oleh pembuat undang-undang mengatur demikian, kaidah hukum yang terkandung di dalam Pasal 35 UU Perkawinan bersifat umum. Dan secara praktis dapat saja perkawinan itu putus karena kematian dan atau karena perceraian atau putusnya perkawinan karena ketidakhadiran salah satu pihak dan keberadaannya tidak diketahui biasanya, hal demikian ini putusnya pekawinan karena keputusan pengadilan. Sedangkan ditentukannya secara khusus tentang harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing karena dalam praktek orang yang melaksanakan perkawinan dapat saja berdasarkan hukum adat, hukum perdata BW atau HOCI, atau hukum Islam di mana masing-masing ketentuan hukumnya berbeda satu dengan yang lain, dan mungkin juga tidak mengatur tentang harta bersama karena adanya perceraian.

Sudarsono berpendapat dan memberikan usulannya atas polemik tersebut :

“Saya berkeyakinan bahwa Pasal 37 itu merupakan suatu kontradiksi dalam struktur Hukum Perkawinan Nasional ini. Sambil lalu saya tambahkan bahwa penjelasan Pasal 35 sekali-kali tidak berguna dengan adanya pasal 37 serta penjelasannya. Sebaliknya menurut hemat saya ialah mengatur hal tersebut di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sendiri. Untuk itu hendaklah Pasal 37 UU No, 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diubah menjadi : Jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama dibagi dua antara bekas suami isteri.”18

“Hal ini sudah dikenal dan dijumpai dalam sejarah masyarakat Yunani dan Romawi, tetapi juga mewarnai pandangan Yahudi, yang melembagakan kebiasaan Levirate. Anak laki-laki bukan sekedar mewarisi harta kekayaan orang tua. Bahkan meliputi hak untuk mewarisi janda saudara laki-laki, karena janda sebagai wanita tergolong sebagai warisan dari saudara laki-laki, oleh karena itu, secara paksa dapat dikawini saudara laki-laki mendiang suami, sekiranya dia tidak ingin mengawini, berhak mengawinkannya kepada laki-laki di luar keluarga, dan untuk itu ia mendapat imbalan mahar dari laki-laki dimaksud.”

Ditentukannya harta bersama selama perkawinan di dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan adalah sebagai bentuk persamaan hak laki-laki dengan hak perempuan. Dalam sejarah diketahui bahwa hak atas benda atau kekayaan didominasi oleh laki-laki. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Yahya Harahap :

19

18

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 128.

19

M.Yahya Harahap I, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, (Bandung : PT. Citra Adytia Bakti, 1997), hal. 116-117

Ada perbedaan kriteria harta bersama dalam KUHPerdata dengan yang ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, perbedaan kriteria ini dipengaruhi oleh pandangan hidup antara Barat (individualistis/liberal) dan Timur (kekeluargaan) menemukan refleksinya di berbagai bidang kehidupan hukum perdata.

Hukum harta kawin menurut BW yang berasaskan “algele

gemeenschap” (persatuan atau percampuran harta secara bulat) yang

nampaknya sepintas lalu sangat ideal bagai sepasang manusia yang telah berikrar sehidup semati, sama-sama kaya dan sama-sama melarat, harus kita lihat sebagai suatu repleksi dari pandangan hidup individualistis/liberal, di mana anak yang sudah dewasa atau kawin sudah harus lepas sama sekali dari keluarga atau famili, sedangkan hukum harta kawin menurut hukum adat yang berasaskan perbedaan antara barang asal dan gono gini, merupakan refleksi pula dari alam pikiran kekeluargaan di mana anak, meskipun sudah kawin, tidak atau belum lepas dari pengawasan atau campur tangan orang tua/keluarganya.20

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum Islam tidak mengenal adanya persatuan harta kekayaan kawin. Harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perjanjian dimulai (berjalan) tetap menjadi milik masing-masing suami maupun isteri. Demikian juga dengan segala barang-barang mereka masing-masing yang didapat atau diperoleh selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan terpisah satu sama lain. Artinya atas harta milik suami, si isteri tidak mempunyak hak, dan terhadap barang-barang milik isteri, suami juga tidak mempunyai hak. Akan tetapi, bukan berarti suami tidak diperbolehkan memakai barang-barang yang Kompilasi Hukum Islam juga dibahas mengenai jenis-jenis harta kekayaan perkawinan dalam Islam. Seperti yang tercantum dalam Pasal 86 yang menyebutkan bahwa :

“(1). Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan;

(2). Harta Istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.”

20

merupakan hak milik isteri ataupun sebaliknya. Pemakaian atas barang-barang ini berdasarkan atas perjanjian pinjam-meminjam yang dibuat secara diam-diam antara suami dan isteri.

Menurut Abdul Manan, di dalam kitab-kitab fikih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri selama mereka diikat oleh tali perkawinan. Atau dengan kata lain harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami isteri sehingga terjadi pencampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dari segi istilah yang dimaksud dengan syirkah adalah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Ini sesuai dengan yang tertera di dalam Al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 32 di mana dikemukakan bahwa bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan semua wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.21

Terjadi perdebatan di antara para pakar hukum Islam mengenai hal tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa agama Islam tidak mengatur tentang harta bersama dalam Al-Qur’an, oleh karena itu masalah harta bersama ini sepenuhnya berada di tangan suami isteri untuk mengaturnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Harjono, dan Andoerraoef serta diikuti oleh murid-muridnya. Pengaturan harta bersama di dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut menurut Hazairin tergolong hak otonomi setiap masyarakat Islam untuk mengaturnya secara syura bainahum

21

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006), hal. 109.

(Surah 42 : 38). Argumentasi Hazairin tentang hal ini dapat dikutip sebagai berikut:

“Qur’an tidak mengandung ketentuan tentang harta bersama dalam perkawinan. Q.4 : 32 hanya menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama berhak untuk berusaha dan untuk memperoleh rezeki dari usahanya masing-masing, sedangkan laki-laki dan perempuan dalam ayat tersebut tidak dapat semata-mata diartikan sebagai suami isteri. Ringkasnya laki dan setiap perempuan dalam ayat itu dipakai dalam arti setiap laki-laki dan setiap perempuan atau dalam arti setiap orang. Kesimpulan ialah bahwa Qur’an tidak mengatur lembaga harta bersama dalam perkawinan, yaitu bahwa setiap sesuatu yang diperoleh oleh suami atau isteri secara usaha masing-masing atau secara usaha bersama menjadi harta bersama dalam perkawinan. Segala sesuatu yang tidak diatur di dalam Al-Qur’an dan juga tidak diatur oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pelaksana lebih lanjut mengenai sesuatu Al-Qur’an yang belum cukup jelas bagi umat, menjadi hak otonomi setiap masyarakat Islam untuk mengaturnya secara syura bainahum (Q. 42: 38). Maka Pasal 35 dan Pasal 36 telah dapat saya pandang sebagai permulaan pelaksanaan hak otonomi tersebut.”22

Berdasarkan uraian di atas tentang pengertian hukum harta benda perkawinan, pengaturan hukum harta benda perkawinan yang ditentukan di dalam UU Perkawinan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok perjanjian kawin dan kelompok harta bersama, harta pribadi, dan kedudukan atau status harta perkawinan akibat putusnya perkawinan dan perjanjian perkawinan. Pengaturan tentang perjanjian kawin adalah pengaturan tentang harta benda yang akan terjadi setelah perkawinan. Atau

Pakar hukum Islam lainnya mengatakan bahwa hal ini sudah pasti diatur di dalam agama Islam, jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maka ketentuan ini diatur di dalam Al-Hadist yang juga merupakan sumber hukum Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh T. Jafizham.

22

Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta : Tintramas, 1986), hal. 28

dengan kalimat lain, pengaturan tentang perjanjian kawin adalah pengaturan tentang kehendak suami atau isteri berkaitan dengan harta benda perkawinan yang akan ada kemudian sebelum perkawinan dilaksanakan.

Pada penjelasan di atas telah dipaparkan mengenai bunyi dari Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan yaitu bahwa harta benda dalam perkawinan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama, harta bawaan masing-masing suami istri, dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang menjadi hak masing-masing suami dan istri dan berada di bawah penguasaan masing-masing pihak, kecuali tidak ada ketentuan lain. Ketentuan lain yang dimaksud adalah perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa UU Perkawinan membagi harta perkawinan menjadi tiga bagian, yakni harta bersama, harta bawaan, dan harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan.

Pakar hukum memiliki pendapat mereka masing-masing, ada yang membagi harta perkawinan hanya menjadi dua bagian dan ada yang membagi menjadi empat bagian. Pakar hukum yang membagi menjadi dua bagian, di antaranya M. Yahya Harahap, yang mengklasifikasikan harta perkawinan menjadi23

1. Harta bersama. :

2. Harta masing-masing suami istri.

23

M. Yahya Harahap II, Hukum Perkawinan Nasional (Medan : CV. ZAHIR Trading Co, 1975), hal. 117.

Lebih lanjut M. Yahya menjelaskan bahwa yang disebut harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami istri. Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang lazim disebut harta syarikat. Maka dalam arti yang umum, harta bersama itu ialah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan di mana suami istri berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sedangkan harta bawaan atau harta masing-masing suami istri yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta pribadi ini, suami istri masing-masing dapat melakukan perbuatan hukum tanpa persetujuan bersama terlebih dahulu.

Abdulkadir Muhammad membagi harta-harta perkawinan menjadi 3 (tiga), yaitu24

1. Harta bersama, yaitu harta benda yang dikuasai bersama oleh suami dan istri dan diperoleh selama perkawinan. Suami maupun istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.

:

Apabila perceraian terjadi, maka harta bersama ini akan dibagi berdasarkan hukum yang telah berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum Agama, hukum Adat, hukum Perdata, dan lain-lain. Ketentuan semacam ini kemungkinan akan mengaburkan arti dari penguasaan harta

24

Abdulkadir Muhammad I, Hukum Perdata Indonesia (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal.102.

bersama, karena ada kecenderungan pembagiannya tidak sama, yang akan mengecilkan hak istri atas harta tersebut.

2. Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan. Harta ini dikuasai oleh masing-masing pemiliknya, yaitu suami atau istri, dengan tidak boleh diganggu gugat oleh pihak lain kecuali suami dan istri menentukan lain dengan membuat perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Demikian pula halnya apabila terjadi perceraian. Maka harta ini dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali ada perjanjian kawin yang menentukan lain.

3. Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau warisan. Harta perolehan ini pada dasarnya sama seperti harta bawaan. Masing-masing suami istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta perolehannya. Apabila pihak suami dan istri menentukan lain, misalnya dengan membuat perjanjian kawin, maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian pula halnya apabila terjadi perceraian, harta perolehan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pihak kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Abdul Manan berpendapat bahwa apa yang disebut dalam Pasal 35-37 UU Perkawinan sejalan dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia, di mana prinsip bahwa masing-masing suami istri berhak menguasai harta bendanya sendiri. Akan tetapi dalam hukum adat perlu

adanya komunikasi yang terbuka dalam pengelolaan dan penguasaan harta pribadi tersebut sehingga keabsahan menguasai harta pribadi masing-masing pihak itu jangan sampai merusak tatanan kedudukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

Mengacu kepada dua ketentuan tersebut, maka beliau membagi empat macam harta perkawinan, yaitu25

1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum perkawinan maupun setelah melangsungkan perkawinan.

:

2. Harta yang diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka menjadi suami istri.

3. Harta dihasilkan bersama oleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan.

4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan dilaksanakan, harta ini menjadi milik suami istri selama perkawinan.

Ketiga pendapat sarjana di atas memiliki pendapat yang berbeda mengenai pembagian harta benda dalam perkawinan. Namun demikian, tidak ada yang salah dari pendapat-pendapat tersebut apabila merujuk pada Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan karena pada dasarnya doktrin-doktrin para sarjana mengenai pembagian harta benda perkawinan ini berpedoman kepada UU Perkawinan.

Dokumen terkait