• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI HADIAH UNDIAN

D. Sifat Pemberian Melalui Undian

Mengacu pada pengertian undian seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 Tentang Undian bahwa undian adalah tiap-tiap kesempatan yang diadakan oleh sesuatu badan untuk mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat tertentu dapat ikut serta memperoleh hadiah berupa uang atau benda, yang akan diberikan kepada peserta-peserta yang ditunjuk sebagai pemenang dengan jalan undi atau dengan lain cara menentukan untung yang tidak terbanyak dapat dipengaruhi oleh peserta sendiri, maka dapat diketahui bahwa pemberian hadiah kepada pemenang tidak mempersyaratkan kepada si pemenang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu sebagai kewajiban timbal balik yang bermanfaat bagi pihak penyelenggara undian.

Pasal 1314 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian dibuat dengan cuma atau atas beban. Yang dimaksud perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pemberian hadiah oleh penyelenggara undian kepada pemenang undian adalah merupakan pemberian

cuma-cuma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1314 KUHPerdata tersebut karena sifatnya yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja, yaitu pihak pemenang undian.

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI HADIAH UNDIAN DALAM HARTA PERKAWINAN

A. Status Kepemilikan Benda Undian Yang Diperoleh Dalam Ikatan Perkawinan

Berdasarkan penjelasan di dalam Bab II, Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami atau istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan ini selaras dengan ketentuan Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Lebih lanjut UU Perkawinan Pasal 36 ayat (2) telah menentukan bahwa mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan ini ekuivalen dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 87 ayat (2) yang menyebutkan bahwa suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh, atau lainnya.

Terkait kedudukan hukum hadiah yang diperoleh di dalam ikatan perkawinan ini, Abdul Manan mengemukakan bahwa menurut Pasal 36 Ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 87 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam bahwa suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan terhadap harta tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan, atau mengagunkan. Juga tidak diperlukan bantuan hukum dari suami untuk melakukan tindakan hukum atas harta pribadinya. Tidak ada perbedaan kemampuan hukum antara suami istri dalam menguasai dan melakukan tindakan terhadap harta benda pribadi mereka. Undang-undang tidak membedakan kemampuan melakukan tindakan hukum terhadap harta pribadi suami istri masing-masing. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam, di mana ditegaskan bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi suami istri karena perkawinan dan harta istri tetap mutlak jadi hak istri dan dikuasai sepenuhnya olehnya, begitu juga harta pribadi suami menjadi hak mutlak dan dikuasai penuh olehnya.43

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa status kepemilikan harta yang didapatkan dari undian berhadiah yang diperoleh

43

selama dalam ikatan perkawinan adalah merupakan hak milik pribadi dari suami atau isteri yang menjadi pemenang undian tersebut. Dengan kata lain, hadiah undian itu adalah harta pribadi dari suami atau isteri yang menjadi pemenang dari undian berhadiah yang diikutinya.

B. Kriteria Hadiah Undian Sebagai Harta Bersama Dalam Perkawinan Baik di dalam Pasal 35 UU Perkawinan maupun di dalam ketentuan penjelasannya tidak terdapat rumusan tentang kriteria hadiah. Demikian pula di dalam doktrin tidak ada penjelasan mengenai apa-apa saja yang menjadi kriteria hadiah. Namun terdapat sarjana hukum yang menyamakan hadiah dengan hibah, yaitu Abdul Manan yang mengutip Sayyid Sabiq, menyatakan bahwa hibah mempunyai pengertian meliputi juga hadiah yakni pemberian yang menurut orang yang diberi itu untuk memberi imbalan.

Padahal apabila menilik dari sifat pemberian undian berhadiah itu, maka barang yang didapatkan dari undian berhadiah tidak dapat disamakan dengan hibah. Karena apabila dilihat dari pengertian hibah di dalam Pasal 1666 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Dalam masyarakat Adat, hibah ini biasanya diberikan kepada anak-anak si penghibah saat ia masih hidup agar tidak terjadi percekcokan di antara anak-anaknya setelah ia meninggal. Jadi, penghibah memang sudah menetapkan siapa yang

berhak atas harta kekayaannya. Sedangkan pemberian melalui hadiah undian bersifat untung-untungan dan belum pasti siapa penerimanya.

Merujuk pada UU Perkawinan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 Ayat (2) jo. Kompilasi Hukum Islam Pasal 87 ayat (1) dan (2), sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa undian berhadiah yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan adalah merupakan hak milik pribadi dari suami atau isteri yang menjadi pemenang undian tersebut, dan karenanya tidak merupakan harta bersama, maka cenderung terdapat ketidakadilan bila hadiah dengan bagaimanapun bentuk perolehannya seluruhnya tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama. Sebagai contoh kasus, dapat dikemukakan peristiwa yang mungkin terjadi di dalam kehidupan perkawinan sebagai berikut :

Seorang suami yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, memberikan sebagian dari penghasilannya kepada isteri untuk keperluan rumah tangga. Dari sisa uang yang diberikan suami, isteri membuka rekening di sebuah bank tanpa sepengetahuan suami dan menabung sisa uang belanjanya di rekening tersebut. Bank tempat isteri menabung secara berkala menyelenggarakan undian berhadiah dengan hadiah mobil mewah. Di luar bayangan isteri, ternyata ia menjadi pemenang dari undian berhadiah yang diselenggarakan pihak bank tempat ia menabung dan dengan demikian berhak atas mobil mewah tersebut. Apabila mengacu pada ketentuan perundang-undangan, maka mobil tersebut mutlak merupakan hak milik dan berada di bawah kekuasaan isteri. Karena rekening yang memenangkan undian

berhadiah itu atas nama si isteri, walaupun uang yang ditabungnya berasal dari sisa uang belanja yang diberikan suami.

Dalam peristiwa ini, andil suami berupa uang yang menjadi asal adanya tabungan dan kemudian berhasil mendapatkan hadiah sama sekali tidak menjadikannya turut berhak atas hadiah undian tersebut. Padahal tanpa uang yang bersumber dari penghasilan pribadinya tersebut, dapat dipastikan si isteri tidak akan mempunyai rekening tabungan di bank yang pada gilirannya tidak mendapat hadiah undian tersebut.

Contoh lain lagi, seorang olahragawan yang karena prestasinya maju sebagai pemenang dari suatu turnamen olahraga dan memperoleh hadiah berupa medali emas. Demikian pula, seorang pemain sepak bola yang memperoleh hadiah sepatu emas.

Contoh lain dapat dimisalkan seorang yang berhutang budi memberikan hadiah perhiasan emas berlian bernilai jutaan rupiah kepada seseorang sebagai balas jasa yang pernah dilakukan orang tersebut di masa lalu.

Hadiah-hadiah yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa seperti yang dicontohkan di atas, tentulah mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, yang pada gilirannya akan menjadi persoalan ketika terjadi perceraian di mana isteri atau suami dari yang memperoleh hadiah akan menuntut hadiah tersebut sebagai harta bersama yang harus dibagi. Sedangkan suami atau isteri selaku penerima hadiah akan sangat keberatan apabila hadiah tersebut dianggap sebagai suatu harta bersama.

Peristiwa tersebut tentulah berpotensi menimbulkan persoalan di tengah masyarakat apabila tidak ada kriteria yang menjadi rujukan atas suatu hadiah yang dimaksudkan dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, pengertian hadiah di dalam UU Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam haruslah memiliki kriteria yang jelas agar tidak menimbulkan kerancuan bahkan ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat.

Beranjak dari contoh kasus di atas, maka hadiah dalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam harus memiliki kriteria yaitu hadiah tersebut harus memiliki nilai apresiatif atas suatu prestasi. Sehingga dengan kriteria nilai apresiasi atas prestasi yang menjadi rujukan untuk menentukan apakah hadiah itu dapat dikategorikan ke dalam harta bersama atau tidak, maka terdapat suatu kepastian hukum atas harta benda yang diperoleh sebagai apresiasi terhadap suatu prestasi.

Menggunakan kriteria berupa nilai apresiasi atas suatu prestasi tersebut, maka hadiah yang diperoleh dari undian berhadiah yang diselenggarakan oleh bank atau suatu badan lainnya seperti undian yang diselenggarakan oleh koran harian Analisa, koran harian Waspada, dan lain-lain, dapat dikategorikan sebagai harta bersama dalam suatu perkawinan. Sedangkan hadiah yang mempunyai nilai apresiasi atas suatu prestasi, tidak dapat dikategorikan sebagai harta bersama.

Berdasarkan hal tersebut, kriteria hadiah undian sebagai harta bersama dalam perkawinan adalah tidak adanya nilai apresiasi atas suatu

prestasi dari hadiah undian yang diberikan kepada pemenang undian tersebut. Atau dengan kata lain, dikarenakan tidak adanya nilai apresiasi atas hadiah yang didapat dari undian berhadiah, dikarenakan sifatnya yang cuma-cuma, maka harta perkawinan yang diperoleh dari undian berhadiah tersebut termasuk ke dalam harta bersama.

C. Penyelesaian Sengketa Akibat Perceraian Atas Harta Perkawinan Yang Diperoleh Melalui Hadiah Undian

Penyelesaian sengketa apapun itu bentuknya, termasuk penyelesaian sengketa akibat perceraian atas harta perkawinan yang diperoleh melalui hadiah undian, tentulah dilakukan melalui forum pengadilan.

Bagi yang beragama Islam, penyelesaian sengketa atas harta perkawinan yang diperoleh melalui hadiah undian, dilakukan melalui forum Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa :

“Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama."

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyebutkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

Bagi yang beragama lain (non-Islam), penyelesaiannya dilakukan melalui forum Peradilan Umum dengan merujuk pada hukum acara yang diatur dalam HIR/RBg.

Ketentuan hukum materiil yang diberlakukan bagi yang beragama Islam dalam menyelesaikan sengketa atas harta bersama yang diperoleh melalui hadiah undian adalah berpedoman sepenuhnya pada Bab XIII Kompilasi Hukum Islam yang membahas mengenai harta kekayaan dalam Islam.

Bagi agama lain (non-Islam) mengikuti ketentuan dalam UU Perkawinan pasal 37 yang menyebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ini adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya.

Berdasarkan apa yang telah disebutkan di atas bahwa baik UU Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam maupun dalam penjelasan atas pasal-pasalnya tidak terdapat rumusan kriteria hadiah. Demikian pula doktrin tidak ada mengajarkan tentang kriteria hadiah. Kriteria yang ideal dari hadiah adalah seperti apa yang telah disebutkan di muka, yaitu adanya nilai apresiatif atas barang yang dijadikan sebagai hadiah.

Merujuk pada kriteria ‘mempunyai nilai apresiasi atas suatu prestasi’, maka untuk penyelesaian sengketa atas harta perkawinan yang diperoleh dari hadiah undian dapat memberlakukan kriteria tersebut.

Belum terdapat putusan hakim, juga doktrin tidak ada mengilustrasikan solusi penyelesaiannya. Doktrin hanya pernah mengilustrasikan sebagai berikut :

“Masalah-masalah hukum tentang harta bersama yang aktual dan sering timbul di Pengadilan Agama saat ini meliputi banyak hal, antara lain masalah uang pertanggungan asuransi, seperti Taspen, Asuransi Jiwa, Asuransi Tenaga Kerja dan Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas, Asuransi Kecelakaan Penumpang, Hasil Harta Bawaan, Kredit yang belum lunas, dan sistem pembagian harta bersama.”44

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi persengketaan atas harta perkawinan yang diperoleh melalui undian berhadiah, maka pembagiannya disesuaikan dengan pembagian harta bersama di dalam perkawinan.

44

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari materi-materi pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan atas permasalahan sebagai berikut :

1. Mengacu pada isi dari Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, maka status kepemilikan atas harta benda yang berasal dari undian berhadiah yang didapatkan di dalam sebuah perkawinan adalah merupakan harta pribadi dari suami maupun isteri yang menjadi pemenang dari undian berhadiah tersebut.

Oleh karenanya, suami atau isteri yang menjadi pemenang adalah merupakan pemilik mutlak dari hadiah undian yang ia peroleh dan berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atasnya tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari pihak lain.

2. Yang menjadi kriteria hadiah undian yang diperoleh dalam perkawinan sebagai harta bersama yakni dengan melihat nilai apresiatif atau penghargaan atas prestasi dari pemenang undian berhadiah tersebut.

Dalam hal ini, peserta undian tidak perlu melakukan suatu hal yang dianggap berarti agar dapat memenangkan hadiah undian tersebut.

Selain itu, juga melihat kepada rasa keadilan sehubungan dengan yang telah dipaparkan di dalam contoh kasus, yaitu misalnya isteri menabungkan sisa hasil uang belanja yang diberikan oleh suami di bank tanpa sepengetahuan suami. Tanpa pernah ia bayangkan, ia memenangkan undian berhadiah yang diselenggarakan oleh bank tersebut. Melihat dari sifat pemberiannya yang cuma-cuma, maka hadiah undian tersebut adalah harta bawaan si isteri dan suami tidak berhak atasnya. Namun, suami sebagai pencari nafkah kemungkinan mempermasalahkan hal ini dan menuntut bagian atas hadiah undian tersebut.

Dengan demikian, kedua kriteria tersebutlah yang menjadi acuan sehingga hadiah undian yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama, dan bukan merupakan harta bawaan.

Suami atau isteri yang menjadi pemenang dari undian berhadiah berhak sepenuhnya atas hadiah tersebut. Hal ini sesuai dengan isi Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2). Namun, apabila dicontohkan bahwa suami yang merupakan penopang pendapatan keluarga memberikan uang belanja kepada isterinya yang kemudian menyisihkan sisa uang tersebut dan membuka rekening di sebuah bank lalu isteri menjadi pemenang hadiah undian yang diselenggarakan bank tersebut dan berhak atas hadiah yang dijanjikan oleh pihak bank.

3. Penyelesaian hukum apabila terjadi sengketa akibat perceraian atas harta perkawinan yang berasal dari hadiah undian dilakukan melalui forum pengadilan.

Bagi yang beragama Islam, penyelesaian sengketa akibat perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, penyelesaian sengketanya dilakukan di Pengadilan Umum.

Ketentuan penyelesaian sengketa bagi yang beragama Islam, sepenuhnya mengacu kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam, sedangkan bagi yang beragama selain Islam, ketentuan yang dijadikan pedoman adalah UU Perkawinan.

B. Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan terkait penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Penyelenggaraan undian berhadiah semakin marak belakangan ini sehubungan dengan usaha peningkatan promosi dari suatu badan atau perusahaan sebagai strategi bisnis sekaligus demi mempertahankan nasabah/konsumen lama serta menjaring nasabah/konsumen baru. Namun, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang undian ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang sehingga pengawasan terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan lemahnya peraturan perundang-undangan juga ikut lemah. Oleh karenanya, perlulah dibuat suatu Undang-undang yang baru terkait dengan penyelenggaraan undian berhadiah ini.

2. Demi mengantisipasi terjadinya persengketaan atas harta yang diperoleh dari undian berhadiah, maka antara suami dan isteri haruslah ada kesepakatan mengenai harta perkawinan mereka. Penambahan nilai harta kekayaan kawin melalui undian berhadiah ini kemungkinannya cukup besar. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masalah harta kekayaan kawin ini dipandang serius oleh suami-isteri karena dalam prakteknya, permasalahan harta kekayaan kawin ini hanya dianggap sebagai pelengkap saja di dalam perkawinan dan baru dianggap serius apabila perkawinan tersebut berada diambang kehancuran yang akhirnya berujung pada perceraian.

3. Sehubungan dengan permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini, yaitu tentang hadiah undian di dalam harta perkawinan, dan tidak adanya sumber baik itu undang-undang, doktrin, maupun yurisprudensi yang membahas mengenai masalah ini, maka diperlukan adanya suatu peraturan terkait masalah harta perkawinan dari undian berhadiah ini. Karena sekarang penyelenggaraan undian berhadiah sepertinya sudah menjadi tren dikalangan perusahaan atau badan sebagai sarana untuk mempromosikan produk mereka. Sehingga apabila suatu saat terjadi persengketaan seperti yang diuraikan di dalam skripsi ini, sudah ada ketentuan yang mengatur mengenai pemecahan masalah yang dapat dijadikan sumber dalam menyelesaikan sengketa yang timbul akibat perceraian yang melibatkan harta perkawinan yang diperoleh dari undian berhadiah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raya Grasindo Persada, Jakarta.

B. Horton, Paul and Chester L. Hunt, 1984, Sociology, terjemahan, Erlangga, Jakarta.

Djumhana , Muhammad, 1994, Hukum Ekonomi Sosial Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung.

Harahap, M.Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan

Hukum, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung.

, 1975, Hukum Perkawinan Nasional, CV. ZAHIR Trading Co, Medan.

Hazairin, 1986, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Tintramas, Jakarta.

Ichsan, Ahmad, 1969, Hukum Perdata I A, PT Pembimbing Masa, Jakarta.

Jafizham, T., 1977, Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum

Perkawinan Islam, CV. Percetakan Mestika, Medan.

Manan, Abdul, 2006, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir,1994, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muis, Abdul, 1990, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian

Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Prodjodikoro, Wirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang

Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta.

Salim, Peter dan Yenny Salim, 1995, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, MODERN ENGLISH PRESS, Jakarta.

Satrio, J., 1991, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sofwan, Sri Soedewi Masjhoen, 1982, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta.

Subekti, R., 1985, Perbandingan Hukum Perdata, Prandya Paramita, Jakarta.

Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Suryodiningrat, R.M., 1982, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung.

B. Harian dan Situs Internet

“Polling Pemilihan Gubernur Aceh”, Harian Waspada, 16 Mei 2011.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 Tentang Undian

Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1973 Tentang Penertiban Penyelenggaraan Undian

Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 73/HUK/2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin Dan Penyelenggaraan Undian Gratis

Dokumen terkait