• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis 2 Jenis 3 Jenis 4 1 Pemilik Kapal dan Nakhoda 25 % 50% 2/3 atau 66,7% 75%

2 ABK 75% 50% 1/3 atau 33,3% 25%

Sistem bagi hasil jenis 1 dan 2 diterapkan pada kapal payang yang pada umumnya memiliki 4-5 orang ABK. Sedangkan sistem bagi hasil jenis 3 dan 4 pada umumnya diterapkan pada kapal pancing/ gillnet yang pada umumnya memiliki 1-2 orang ABK. Adapun modal usaha pada umumnya ditanggung bersama.

Sistem bagi hasil ini tidak bisa dibandingkan untuk mendapatkan yang terbaik karena beberapa hal. Pertama, sistem bagi hasil bersifat fleksibel sehingga selain dari bagi hasil pada Tabel 13 terkadang ada persentase lain yang didasarkan pada keihklasan, dan kekerabatan. Hal ini karena pada umumnya yang menjadi rekan kerja adalah keluarga atau tetangga. Kedua, perikanan tradisional terdiri dari beberapa jenis sistem perikanan tangkap seperti payang, pancing dan gillnet

yang memiliki variabel yang berbeda

Sistem Bagi Hasil Terbaik di PPP Tamperan

Sistem bagi hasil terbaik bisa ditentukan dengan melakukan perbandingan sistem bagi hasil yang ada di PPP Tamperan setalah asumsi-asumsi dan dasar dijadikan dasar sama. Dasar yang digunakan untuk membandingkan sistem bagi hasil di PPP Tamperan yaitu :

1. Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang sistem bagi hasil perikanan 2. Sistem bagi hasil mudharabah.

Kedua dasar tersebut membentuk beberapa kriteria bagi hasil berdasarkan masing-masing. Hal ini untuk memudahkan dalam membandingkan kesesuaian sistem bagi hasil di PPP Tamperan dengan dasar yang digunakan. Sehingga ini bisa menjadi salah satu dasar pemilihan sistem bagi hasil terbaik di PPP Tamperan.

Adapun beberapa kriteria bagi hasil perikanan tangkap dalam UU no. 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan, yaitu sebagai berikut:

1. Sistem bagi hasil disepakati oleh pemilik dan penggarap;

2. Minimal bagian penggarap 40% dari bagi hasil apabila kapal Motor; 3. Pembagian Tanggungan:

a. Bersama-sama : administrasi pelabuhan, keperluan nelayan penggarap saat melaut, dana kesejahteraan, pembangunan kapal, dan tunjangan kematian;

b. Pemilik : ongkos pemeliharaan kapal, alat penangkapan ikan, penyusutan dan biaya untuk ekploitasi seperti bensin, es, dll;

4. Perjanjian berlaku minimal 2 musim penangkapan atau 1 tahun; 5. Pemasaran dilakukan dengan Kesepakatan Bersama;

6. Tidak adanya sistem ijon seperti pemberian modal dengan syarat saat hasil tangkapan didapat ikan harus dijual kepada pemberi modal dengan Harga yang ditetapkan pemilik.

Dasar lain yang digunakan untuk mengevaluasi sistem bagi hasil perikanan tangkap adalah sistem bagi hasil syariah (mudharabah). Kriteria bagi hasil dalam

Mudharabah adalah sebagai beikut:

1. Disepakati oleh kedua belah pihak (pemilik modal dan penggarap); 2. Hal yang dibagi adalah keuntungan sesuai dengan kesepakatan yang ada; 3. Bila rugi yang menanggung adalah pemilik, kecuali ada faktor kelalaian

pengelola dan/ atau ditanggung bersama bila telah disepakati tentang penanggung kerugian seperti profit loss sharring (Yahya 2011);

4. Hak dari pengelola adalah mendapatkan biaya hidup dan bagian dari keuntungan sesuai kesepakatan bagi hasil (Nawawi 2012).

Berikut ini hasil evaluasi sistem bagi hasil di PPP Tamperan menggunakan kriteria UU no. 16 Tahun 1964 dan Sistem Mudharabah pada Tabel 9.

Tabel 9 Evaluasi Sistem Bagi Hasil di PPP Tamperan Kriteria Bagi

Hasil

Sistem Bagi Hasil Usaha Perikanan Tangkap

Purse Seine Handline Tradisional

UU RI No 16 Tahun 1964

Kriteria 1 Tidak terlaksana Terlaksana Terlaksana Kriteria 2 Terlaksana Terlaksana Terlaksana Kriteria 3 Tidak terlaksana Tidak terlaksana Tidak terlaksana Kriteria 4 Tidak terlaksana Tidak terlaksana Tidak terlaksana Kriteria 5 Tidak terlaksana Terlaksana Terlaksana Kriteria 6 Tidak terlaksana Terlaksana Terlaksana Total Terlaksana 1 4 4 Total Tidak Terlaksana 5 2 2 Bagi Hasil Mudharabah

Kriteria 1 Tidak terlaksana Terlaksana Terlaksana Kriteria 2 Terlaksana Terlaksana Terlaksana Kriteria 3 Tidak terlaksana Terlaksana Terlaksana Kriteria 4 Terlaksana Terlaksana Tidak terlaksana Total Terlaksana 2 4 3 Total Tidak Terlaksana 2 0 1

Tabel 10 menunjukan perbandingan kondisi bagi hasil rata-rata dalam usaha perikanan tangkap terhadap Undang-undang nomor 16 tahun 1964 dan Sistem

bagi hasil mudharabah. Hasilnya menunjukan bagi hasil yang paling memenuhi kriteria adalah sistem bagi hasil usaha perikanan tangkap handline.

Hubungan Jumlah Jam Kerja terhadap Pendapatan Nelayan

Setiap nelayan dalam satu usaha perikanan tangkap mempunyai rata-rata jumlah jam kerja yang sama. Tabel 10 menunjukan hubungan perbedaan jumlah jam kerja terhadap pendapatan nelayan.

Tabel 10 Hasil Analisis Regresi Hubungan Jumlah Jam Kerja dan Pendapatan Rata-rata Masing-masing Sistem Perikanan Tangkap

No Status Nelayan Hasil Analisis Regresi

R-Squared F-Hitung F-Table

1 Nakhoda 0 % 0 161

2 ABK (Anak Buah Kapal) 74,5 % 2,99 161

Nilai F-hitung dan R-square nakhoda menunjukan nilai nol. Nilai F-hitung dibawah nilai F-table menunjukan tidak ada pengaruh perbedaan jumlah jam kerja terhadap pendapatan nakhoda di masing-masing usaha perikanan tangkap pada selang kepercayaan 95%. Adapun nilai R-square nol menunjukan tidak ada keeratan atau hubungan antara jumlah jam kerja dan pendapatan seorang nakhoda di masing-masing usaha perikanan tangkap. Dua hal diatas menunjukan bahwa besar pendapatan nakhoda tidak dipengaruhi jumlah jam kerja nakhoda. Hal ini diperikaran karena sistem bagi hasil yang ada di masing-masing usaha perikanan tangkap sudah menjadi hal paten yang tidak bisa berubah karena jumlah jam kerja nakhoda. Selain itu kemampuan dan tanggung jawab adalah hal yang paling mempengaruhi pendapatan terbesar.

Berbeda dengan nilai R-square dan F–hitung nakhoda, nilai yang didapat nelayan ABK menunjukan hal yang berbeda. Nilai F-hitung nelayan ABK memang dibawah nilai F-table menunjukan perbedaan jam kerja tidak berpengaruh pada pendapatan nelayan ABK pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan nilai R-square diatas 70% menunjukan hubungan yang erat antara jumlah jam kerja dan pendapatan nelayan ABK. Hal ini menunjukan bahwa pendapatan nelayan ABK memang dipengaruhi sistem bagi hasil yang digunakan tetapi jumlah jam kerja masih berpengaruh walau secara tidak langsung. Kemampuan ABK adalah kemampuan paling umum yang dimiliki nelayan, sehingga nilai jualnya lebih kecil.

PEMBAHASAN

PPP Tamperan merupakan tempat banyak nelayan menggantungkan mata pencahariannya, baik berasal dari dalam atau luar Kabupaten Pacitan. Masing-masing nelayan mempunyai kekhasan termasuk dalam sistem pengupahan. Sistem pengupahan di PPP Tamperan semuanya menggunakan sistem bagi hasil mulai dari usaha perikanan tangkap purse seine, handline, dan tradisional.

Sistem bagi hasil perikanan tangkap sangat dipengaruhi kondisi nelayan dan tipologi usaha yang ada. Kondisi nelayan buruh handline dan tradisional jauh lebih baik bila dilihat dari rata-rata pendidikan dan tingkat pendidikan dari nelayan purse seine. Kondisi pendidikan nelayan handline rata-rata SMP dan SMA karena kesadaran masyarakat terhadap pendidikan yang baik di Sinjay. Nelayan handline menyampaikan di Sinjay sekolah SD sampai SMA gratis, sehingga rata-rata pendidikan mereka tinggi. Nelayan tradisional yang merupakan nelayan sekitar dengan pendidikan yang rata-rata SMP. Salah satu penyebabnya adalah rata-rata nelayan tradisional merupakan nelayan sambilan seperti berkebun atau berjualan, sehingga pemasukan mereka bukan hanya dari melaut dan tidak perlu melibatkan anaknya melaut, bahkan keluar sekolah. Selain itu, nelayan pacitan mempunyai kebiasaan menijinkan seorang anak untuk bekerja termasuk menjadi nelayan minimal lulus SMP.

Menurut Ningsih (2010) tingkat pendidikan berpengaruh secara tidak langsung terhadap pendatan nelayan. Pengaruh tidak langsung itu berpengaruh terhadap ketergantungan finansial, dan membentuk patron klien yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Menurut satria (2002) ciri umum struktur sosial dalam masyarakat nelayan adalah kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian.

Pendidikan adalah hal yang harus menjadi prioritas dalam memperbaiki kondisi nelayan. Menurut pratama et al. (2012) tingkat pendidikan yang tinggi pada nelayan akan meningkatkan informasi mengenai penangkapan ikan dan keberanian dalam pengambilan keputusan. Selain itu, pendidikan sangat berpengaruh pada penyesuaian terhadap teknologi baru dalam kegiatan penangkapan. Tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan akan membentuk nelayan-nelayan modern yang tidak bisa ditipu oleh seorang tengkulak. Kedepannya diharapkan nelayan bisa memperoleh keadaan ekonomi lebih baik. Hal ini sesuai data pada Tabel 2, rata-rata pendapatan nelayan handline serta tradisional lebih tinggi dibanding nelayan purse seine dan ini sesuai dengan rata-rata tingkat pendidikan yang dimiliki.

Selain pendidikan, menurut Primyastanto et al. (2013) hal yang mempengaruhi pendapatan nelayan yaitu pengalaman melaut. Hal ini tidak terjadi dalam penelitian ini seperti pada Tabel 2. Penelitian ini menunjukan lamanya pengalaman melaut dan umur nelayan tidak berhubungan positif dengan pendapatan nelayan. Hal ini diduga karena perbandingan dilakukan antara usaha perikanan tangkap yang berbeda jenis, sehingga susah untuk menjaga tidak ada hal lain yang berpengaruh.

Jumlah jam kerja bisa dihitung sebagai usaha yang dikeluarkan oleh nelayan buruh yang melakukan penangkapan. Hasil penelitian menyebutkan jumlah jam

kerja berpengaruh pada nelayan buruh ABK/ bagian lain kecuali nahoda. Diduga pengaruh ini disebabkan besar bagian ABK/ bagian lain kecil bila dibandingkan dengan bagian nakhoda. Adapun besarnya bagian nakhoda dikarenakan kemampuan yang dimiliki dan tanggung jawab yang didapat saat melakukan operasi penangkapan ikan.

Rata-rata pendapatan nelayan purse seine memperlihatkan hal yang memprihatinkan. Rata-rata pendapatan nelayan pemilik mencapai 41 juta/ bulan, sedangkan nelayan buruh hanya mendapatkan 1- 2 juta/ bulan. Hal ini memperlihatkan pengaruh pemilik masih yang besar dan ketergantungan nelayan buruhi. Selain itu, nilai jual nelayan buruh sangat kecil dipandangan seorang nelayan pemilik, dan tidak berjalannya proses pelelangan ikan. Hal ini harus diperbaiki dengan peningkatan kemampuan nelayan buruh baik dengan belajar formal maupun nonformal, sehingga nilai jualnya lebih tinggi dan kekuasaan pemilik usaha bisa dikurangi.

Aktivitas pelalangan tidak berjalan di TPI PPP Tamperan. TPI hanya digunakan untuk pendataan hasil tangkapan, pengecekan ikan dan penempatan sementara sebelum ikan diangkut ke gudang. TPI merupakan salah satu fungsi utama dalam kegiatan perikanan serta merupakan salah satu faktor yang menggerakkan, meningkatkan usaha, dan kesejahteraan nelayan. Pramitasari et al.

(2006) menyebutkan bahwa TPI didirikan dan diselenggarakan oleh koperasi perikanan yang bertujuan untuk (1) melindungi nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon, (2) membantu nelayan mendapatkan harga yang layak, dan (3) membantu nelayan dalam mengembangkan usahanya. Pengaktifan pelelangan di TPI merupakan hal yang seharusnya diambil untuk memperbaiki kondisi nelayan buruh khususnya nelayan purse seine. Proses pembangunan kembali pelelangan ini harus diawali dengan perbaikan kondisi sarana dan prasarana yang ada, sehingga banyak lagi pembeli besar yang mau datang, mengikuti pelelangan, dan pendapatan nelayan buruh bisa meningkat.

Pengupahan adalah hal yang sangat berpengaruh pada kesejahteraan nelayan buruh. Upah adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemilik usaha atau pemberi kerja. Upah ini ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya, atas suatu pekerjaan atau jasa yang dilakukan. Sistem pengupahan adalah mekanisme pemberian upah dari pemilik usaha atau pemberi kerja kepada pegawai atau rekan kerja.

Sistem pengupahan ini ada beberapa jenis yaitu sistem gaji dan sistem bagi hasil. Masing-masing sistem mempunyai dasar yang digunakan baik secara legalitas formal maupun secara budaya atau kebiasaan. Menurut Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-07/Men/1990, gaji pokok adalah imbalan dasar (basic salary) yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

Tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja, atau pencapaian prestasi kerja tertentu (penjelasan pasal 94 UU No. 13/2003). Tunjangan tetap tersebut dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, seperti tunjangan istri dan/atau tunjangan anak, tunjangan perumahan, dan tunjangan daerah tertentu. Tunjangan Tidak Tetap adalah pembayaran kepada pekerja yang

diberikan secara tidak tetap (penjelasan pasal 94 UU No. 13/2003). Tunjangan ini dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti tunjangan transpor atau tunjangan makan yang didasarkan pada kehadiran.

Dasar penetapan upah dalam suatu usaha adalah Upah Minimum Regional (UMR) daerah tersebut. Upah Minimum Regional adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pegawai, karyawan atau buruh. Pemerintah mengatur pengupahan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum.

Upah Minimum Regional (UMR) ditetapkan setiap tahun oleh pemerintahan daerah (Provinsi). Dewan Pengupahan Daerah (DPD) yang terdiri dari birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan rapat, membentuk tim survei, dan turun ke lapangan mencari tahu harga kebutuhan yang dibutuhkan oleh pegawai, karyawan, serta buruh. Survei dilakukan di beberapa kota atau kabupaten yang mewakili propinsi tersebut untuk mendapatkan angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) kemudian disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan upah minimum regional (UMR) kepada Gubernur untuk disahkan.

Sistem pengupahan gaji dalam dunia perikanan tangkap mulai diterapkan dalam usaha perikanan tangkap skala besar seperti longline. Adapun di PPP Tamperan tidak ada usaha penangkapan ikan yang menggunakan sistem pengupahan gaji. Hal ini dikarenakan pengelolaan usaha perikanan tangkap di PPP Tamperan masih belum melembaga dengan administrasi sangat baik, dan skala usaha hanya tingkat menengah (Kapal maksimal 60 GT).

Adapun beberapa definisi mengenai bagi hasil menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1964 dan Rofiq (2004). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1964 perjanjian bagi hasil adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan pemilik dan nelayan penggarap/ buruh atau pemilik tambak dan penggarap tambak, menurut perjanjian mana mereka masing-masing menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya. Adapun menurut Rofiq (2004) bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana, dan pengelola dana.

Semua usaha perikanan tanggkap di PPP Tamperan menggunakan sistem bagi hasil sebagai sistem pengupahan dengan berbagai dasar, baik kebiasaan atau keuntungan yang didapat. Sistem bagi hasil dalam perikanan tangkap mempunyai beberapa dasar, seperti Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1964 dan sistem mudharabah.

1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1964

Usaha perikanan tangkap atas dasar perjanjian bagi-hasil harus diselenggarakan berdasarkan kepentingan bersama dari nelayan pemilik dan nelayan penggarap. Mereka menerima bagiannya dari hasil usaha sesuai dengan jasa yang diberikannya, sehingga harus ada kesepakatan diawal terkait bagi hasil ini antara nelayan buruh dan nelayan pemilik. Kesepakatan diawal ini sudah dilaksanakan di seluruh usaha perikanan tangkap di PPP Tamperan kecuali purse seine. Hal ini diperkirakan karena nelayan penggarap khususnya ABK di purse

seine berganti nelayan pemilik setiap bulan, sehingga pemilik biasanya sudah menetapkan sistem bagi hasil diawal.

Selain itu, dalam undang-undang ini kesepakatan bagi hasil harus dilaksanakan minimal selama 2 musim atau 1 tahun. Hal ini belum bisa diaplikasikan di PPP Tamperan karena nelayan buruh selain nakhoda biasanya tidak bertahan dengan satu pemilik selama 2 musim atau 1 tahun, sehingga aturan ini tidak bisa digunakan dalam usaha perikanan tangkap di PPP Tamperan.

Undang-undang ini mengatur dalam bagi hasil pihak nelayan buruh paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut:

a. jika dipergunakan perahu layar minimum 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih;

b. jika dipergunakan kapal motor minimum 40% (empat puluh perseratus) dari hasil bersih

Bagi hasil di PPP Tamperan telah memenuhi kriteria besaran nelayan buruh ini karena dalam bagi hasil penggarap mendapatkan bagian minimal 50%. Nilai 50% ini telah digunakan dalam seluruh usaha perikanan tangkap di PPP Tamperan, walaupun dengan perhitungan yang berbeda. Adapun pembagian beban antara penggarap dan pemilik adalah sebagai berikut :

a. beban-beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan buruh adalah ongkos lelang, uang rokok/jajan dan biaya perbekalan selama di laut, biaya untuk sedekah laut (selamatan bersama), serta iuran-iuran yang disyahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II seperti untuk koperasi, dan pembangunan perahu/kapal, dana kesejahteraan, dana kematian dan lain-lainnya;

b. beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik: ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta alat-alat lain yang dipergunakan, penyusutan, dan biaya eksploitasi usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es dan lain sebagainya.

Pembagian beban ini dirasa tidak relevan digunakan dalam bagi hasil perikanan tangkap. Banyak beban yang tidak memungkinkan ditanggung oleh pemilik karena nilainya yang besar seperti solar. Hal ini akan merugikan pemilik bila pembagian beban ini tidak berubah.

Undang-Undang ini mengatur pemasaran harus disepakati bersama antara nelayan pemilik dan buruh. Hal ini yang sudah terlaksana di PPP Tamperan kecuali pada usaha perikanan tangkap purse seine. Nelayan pemilik dalam usaha perikanan tangkap purse seine sudah menetapkan pembeli ikan, yaitu dirinya sendiri, sehingga sangat mirip dengan sistem ijon.

2. Bagi Hasil Mudharabah

Norma resiprositas dalam Islam dikenal dengan istilah Qiradh atau

mudharabah (profit and loss sharing), yaitu bagi untung yang sama-sama memikul resiko, dalam suatu bentuk kerjasama (partnership) antara pemilik dan pengguna (Kusmastanto 2005). Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak: pemilik modal (shahibul mal) yang menyediakan modal dan pengelola usaha (mudharib) yang mengelola modal yang ada (Nawawi 2012).

Ada beberapa kesamaan bagi hasil mudharabah dengan Undang Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1964 yaitu :

a. Harus disepakati kedua belah pihak yaitu nelayan pemilik dan penggarap diawal,

b. Hal yang dibagi adalah keuntungan

Prinsip lainnya adalah bila ada kerugian yang bukan disebabkan kelalaian nelayan buruh maka yang menanggung adalah pemilik, kecuali ada faktor kelalaian pengelola dan/ atau ditanggung bersama, atau bila telah disepakati tentang penanggung kerugian seperti profit loss sharring (Yahya 2011). Hal ini sudah terlaksana di PPP Tamperan kecuali pada usaha perikanan tangkap purse seine, karena bila ada kerugian maka akan masuk dalam pengeluaran nelayan buruh yang akan diakumulasikan diakhir bulan.

Adapun hak nelayan pengelola dalam mudharabah adalah mendapatkan biaya hidup dan bagian dari keuntungan sesuai kesepakatan bagi hasil (Nawawi 2012). Hal ini tidak terlaksana pada usaha perikanan tangkap tradisional karena nelayan hanya melakukan penangkapan satu hari (one day fishing), dan kembali ke rumah masing-masing setelahnya, sehingga yang didapat hanya bagian dari bagi hasil.

Usaha perikanan tangkap di PPP Tamperan mempunyai kekhasan masing-masing termasuk dalam sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil dalam usaha perikanan tangkap purse seine mempunyai 4 jenis dan jenis ke-4 menjadi terbaik. Sedangkan dalam sistem usaha perikanan tangkap handline tidak bisa dipilih bagi hasil terbaik, karena sebenarnya hanya ada satu jenis sistem bagi hasil dengan pola sama, hanya jumlah ABK atau besar bagian nakhoda yang membuanya berbeda. Adapun dalam usaha perikanan tangkap tradisional tidak bisa dipilih sistem bagi hasil terbaik juga, karena terlalu banyak variabel yang berbeda.

Adapun dalam memilih sistem bagi hasil terbaik di PPP Tamperan dilakukan perbandingan antara sistem bagi hasil di masing-masing usaha perikanan tangkap. Mempertimbangkan pelaksanaan dua dasar pembanding yaitu Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1964 dan Sistem Bagi Hasil

Mudharabah. Maka pada Tabel 14 dapat diketahui sistem bagi hasil ideal adalah sistem bagi hasil pada usaha penangkapan ikan Handline. Hal ini karena usaha perikanan tangkap handline memenuhi 4 kriteria dari 6 kriteria bagi hasil Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 1964 dan semua kriteria bagi hasil

mudharabah.

Selain itu, hal lain yang mendukung usaha perikanan tangkap handline

sebagai sistem bagi hasil terbaik adalah kondisi nelayannya. Tabel 2 menunjukan rata-rata kondisi nelayan handline lebih baik dari rata-rata kondisi nelayan purse seine dan tradisional. Hal ini bisa terlihat dari rata-rata pendapatan yang tertinggi dan tingkat pendidikan tertinggi, walau memungkinkan ada variabel lain yang berpengaruh.

Dokumen terkait