• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis-Jenis Korosi Pada Stainless Steel

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Stainless Steel

2.3 Pengaruh Unsur Paduan Pada Stainless Steel

2.4.2 Jenis-Jenis Korosi Pada Stainless Steel

Meskipun alasan utama penggunaan stainless steel adalah

ketahanan korosinya, tetapi pemilihan stainless steel yang tepat harus disesuaikan dengan aplikasi yang tepat pula. Pada umumnya, korosi menyebabkan beberapa masalah seperti :

1. Terbentuknya lubang-lubang kecil/halus pada tangki dan pipa-pipa sehingga menyebabkan kebocoran cairan ataupun gas.

2. Menurunnya kekuatan material disebabkan penyusutan atau pengurangan ketebalan atau volume material sehingga kekuatan juga menurun, akibatnya dapat terjadi retak, bengkok, patah dan sebagainya.

9

3. Penampilan permukaan material menjadi tidak menarik disebabkan kerak karat ataupun lubang-lubang

4. Terbentuknya karat-karat yang mungkin mengkontaminasi zat atau material lainnya, hal ini sangat dihindari khususnya pada proses produksi makanan.

Secara umum korosi pada stainless steel dapat dikategorikan sebagai berikut. :

1. Uniform Corrosion

2. Pitting Corrosion

3. Crevice Corrosion

4. Stress Corrosion Cracking 5. Intergranular Corrosion

6. Galvanic Corrosion

2.4.2.1 Uniform Corrosion

Uniform corrosion terjadi disebabkan rusaknya sebagian atau seluruh

protective layer pada SS sehingga SS secara merata akan berkurang/aus terlihat pada (Gambar 2.2). Korosi ini terjadi umumnya disebabkan oleh cairan atau larutan asam kuat maupun alkali panas. Asam hidroklorit dan asam hidrofluor adalah lingkungan yang perlu dihindari SS apalagi dikombinasikan dengan temperatur serta konsentrasi yang cukup tinggi.

10

Gambar 2.2 Korosi uniform yang menyebabkan berkurangnya dimensi permukaan benda secara merata. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.2 Pitting Corrosion

Korosi berupa lubang-lubang kecil sebesar jarum, dimana dimulai

dari korosi lokal (bukan seperti uniform corrosion). Pitting corrosion ini awalnya terlihat kecil dipermukaan SS tetapi semakin membesar pada bagian dalam SS yang tersaji pada (Gambar 2.3). Korosi ini terjadi pada beberapa kondisi pada lingkungan dengan PH rendah, temperatur moderat, serta konsentrasi klorida yang cukup tinggi (misal NaCl atau garam di air laut). Pada konsentrasi klorida yang cukup tinggi, awalnya ion-ion klorida merusak protective layer pada permukaan SS terutama permukaan yang cacat. Timbulnya cacat ini dapat disebabkan oleh kotoran sulfida, retak-retak kecil akibat penggerindaan, pengelasan, penumpukan kerak, penumpukan larutan padat. Proses kimia yang terjadi saat pitting korosi ini dapat dilihat dalam (Gambar 2.4). Umumnya SS berkadar krom (Cr), molybdenum (Mo) dan nitrogen (N) yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap pitting corrosion. Pada industri petrokimia korosi ini sangat berbahaya karena menyerang permukaan dan penampakan visualnya sangat kecil, sehingga sulit untuk

11

diatasi dan dicegah terutama pada pipa-pipa bertekanan tinggi. Ketahanan material terhadap pitting korosi jenis ini di formulasikan sbb :

PREN = %Cr + (3,3 x %Mo) + (16 x %N)

Satu hal yang menyebabkan pitting corrosion sangat serius bahwa

ketika lubang kecil terbentuk, maka lubang ini akan terus cenderung berkembang (lebih besar dan dalam) meskipun kondisi SS tersebut sangat tertutup atau tidak dapat tersentuh sama sekali. Oleh karena itu dalam mendesain material untuk lingkungan kerja yang besar kemungkinan terjadinya pitting korosi digunakan nilai PREN, sebagai acuan. Contohnya bila dibandingkan antara SS austenitik seperti 304, 316L, dan SS super-austenitik seperti UR 6B. SS 304 memiliki komposisi (dalam %): < 0,015 C, 18.5 Cr, 12 Ni sedangkan untuk SS 316L memiliki komposisi : < 0,030 C, 17.5 Cr, 13,5 Ni, 2,6 Mo. SS super-austenitik UR 6B memiliki komposisi : < 0,020 C, 20 Cr, 25 Ni, 4,3 Mo, dan 0,13 N. Dengan komposisi yang berbeda maka nilai PREN untuk masing-masing SS adalah: 304 = 18, 316L = 26, dan UR B6 = 37. Dengan demikian UR B6 memiliki ketahanan akan pitting korosi paling kuat sedangkan 304 memiliki ketahanan pitting korosi yang terlemah.

12

Gambar 2.3 IIustrasi pitting corrosion pada material SS. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

Gambar 2.4 Skema proses kimia yang terjadi saat pitting corrosion menyerang dan terus merusak logam SS. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.3 Crevice Corrosion

Korosi jenis ini sering terjadi di daerah yang kondisi oksidasi

terhadap krom (Cr) SS sangat rendah bahkan tidak ada sama sekali (miskin oksigen). Sering pula terjadi akibat desain konstruksi peralatan yang tidak memungkinkan terjadinya oksidasi tersebut misal celah antara gasket/packing, celah yang terbentuk akibat pengelasan yang tidak sempurna, sudut-sudut yang sempit, celah/sudut antara 2 atau lebih lapisan metal, celah

13

antara mur/baut dsb. Peristiwa korosi ini terjadi di daerah yang sangat sempit (celah, sudut, takik dsb) seperti disajikan pada (Gambar 2.5). Crevice Corrosion dapat dipandang sebagai pitting corrosion yang lebih berat/hebat dan terjadi pada temperatur di bawah temperature moderat yang biasa menyebabkan pitting corrosion. Cara untuk menghindari masalah ini, salah satunya dengan membuat desain peralatan lebih 'terbuka' walaupun kenyataannya sangat sulit untuk semua aplikasi.

Gambar 2.5 Ilustrasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 material bertemu dan membentuk celah sempit, sehingga terjadi perbedaan kandungan oksigen yang menyebabkan korosi. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.4 Stress Corrosion Cracking

Dalam kondisi kombinasi antara tegangan (baik tensile, torsion, compressive maupun thermal) dan lingkungan yang korosif maka SS cenderung lebih cepat mengalami korosi. Karat yang mengakibatkan berkurangnya penampang luas efektif permukaan SS menyebabkan tegangan kerja (working Strees) pada SS akan bertambah besar. Korosi ini dapat terjadi pula misalnya pada pin, baut-mur dengan lubangnya/ dudukannya, SS yang

14

memiliki tegangan sisa akibat rolling, bending, welding dan sebagainya. Ilustrasi dari korosi ini dapat dilihat pada (Gambar 2.6). Korosi ini meningkat jika part yang mengalami stress berada di lingkungan dengan kadar klorida tinggi seperti air laut yang temperaturnya cukup tinggi. Sebagai akibatnya aplikasi SS dibatasi untuk menangani cairan panas bertemperatur di atas 50 0C bahkan dengan kadar klorida yang sangat sedikit sekalipun (beberapa ppm). SS yang cocok korosi ini adalah austenitic SS disebabkan kadar Nikel-nya (Ni) relatife tinggi. Grade 316 secara siknifikan tidak lebih tahan dibanding 304. Duplex SS (misal 2205/UR 45N) lebih tahan dibanding 304 atau 316, bahkan sampai temperature aplikasi 150ºC dan super duplex akan lebih tahan lagi terhadap stress corrosion cracking. Pada beberapa kasus, korosi ini dapat dikurangi dengan cara penembakan permukaan logam dengan butir pasir logam, atau juga meng-annealing setelah SS selesai proses permesinan, sehingga dapat mengurangi tegangan pada permukaan logam.

15

Gambar 2.6 Ilustrasi stress-cracking-corrosion akibat adanya tegangan sisa dan lingkungan korosif. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.5 Intergranular Corrosion

Korosi ini disebabkan ketidaksempurnaan mikrostruktur SS. Ketika

austenic SS berada pada temperatur 425-850º C (temperatur sensitasi) atau

ketika dipanaskan dan dibiarkan mendingin secara perlahan (seperti halnya

sesudah welding atau pendinginan setelah annealing) maka karbon akan

menarik krom untuk membentuk partikel kromium karbida (chromium

carbide) di daerah batas butir (grain boundary) struktur SS. Formasi

kromium karbida yang terkonsentrasi pada batas butir akan

16

butir. Sehingga daerah ini akan dengan mudahterserang oleh korosi (Gambar

2.7). Umumnya SS dengan kadar karbon kurang dari 2 % relative tahan

terhadap korosi ini. Ketidaksempurnaan mikrostruktur ini diperbaiki dengan

menambahkan unsur yang memiliki daya tarik terhadap karbon lebih besar

untuk membentuk karbida, seperti Titanium (missal pada SS 321) dan

Niobium (misal pada SS 347). Cara lain adalah dengan menggunakan SS

berkadar karbon rendah yang ditandai indeks 'L' -low carbon steel- (misal

316L atau 304L). SS dengan kadar karbon tinggi akan tahan terhadap korosi

jenis ini asalkan digunakan pada temperatur tinggi pula (misal 304H, 316H,

321H,347H).

Gambar 2.7 Ilustrasi korosi pada butir akibat terjadinya sensitasi krom (Cr). (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.6 Galvanic Corrosion

Galvanic corrosion terjadi disebabkan sambungan dissimilar material (2

material yang berbeda terhubung secara elektris/ tersambung misal baut dengan mur, paku keling/rivet dengan bodi tangki, hasil welding dengan benda kerja) dan atau terendam dalam larutan elektrolit, sehingga dissimilar

17

material tersebut menjadi semacam sambungan listrik. Mekanisme ini disebakan satu material berfungsi sebagai anoda dan yang lainnya sebagai katoda sehingga terbentuk jembatan elektrokimia tersaji pada (Gambar 2.8). Dengan terjadinya hubungan elektrik tersebut maka logam yang bersifat anoda akan lebih mudah terkorosi. Urutan tersebut ditunjukkan pada seri elektrokimia logam berikut . Logam deret sebelah kiri cenderung menjadi anoda (mudah berkarat) sementara logam sebelah kanan cenderung menjadi katoda. Galvanic corrosion ini tergantung pada :

1. Perbedaan ke-mulia-an dissimilar material

2. Rasio luas permukaan dissimilar material, dan konduktifitas

Gambar 2.8 Ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam yang berbeda jenis keaktifannya (logam A dan B). (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

Dokumen terkait