• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laju korosi stainless steel 304 dalam larutan HNO3 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Laju korosi stainless steel 304 dalam larutan HNO3 - USD Repository"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAJU KOROSI STAINLESS STEEL 304 DALAM LARUTAN

HNO

3

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Jurusan Teknik Mesin

disusun oleh :

HENDRIKUS DWIJAYANTO WIBOWO SUTARJO

NIM : 045214039

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

JURUSAN TEKNIK MESIN

FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

CORROSION RATE OF STAINLESS STEEL 304 IN HNO

3

SOLUTION

A FINAL PROJECT

Submit for The Partial Fulfillment of Requirements to Obtain the Sarjana Technic Degree

In Mechanical Engineering

By :

HENDRIKUS DWIJAYANTO WIBOWO SUTARJO Student number : 045214039

MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM

MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT

SCIENCE & TECHNOLOGY FACULTY

SANATA DHARMA UNIVERSITY

(3)
(4)
(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tugas Akhir ini aku persembahkan untuk:

Bapa, Bunda Maria, Yesus Kristus,

Universitas Sanata Dharma,

Keluargaku terutama BAPAK, IBU

Aku Sayang Kalian

” yang telah TUHAN

gunakan untuk memberi motivasi padaku

dalam penyelesaian TUGAS AKHIR ini.

(6)

vi

PERNYATAAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 12 Januari 2011

Penulis

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Hendrikus Dwijayanto Wibowo Sutarjo

Nomor Mahasiswa : 045214039

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

LAJU KOROSI STAINLESS STEEL 304 DALAM LARUTAN HNO3

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 12 Januari 2011 Yang menyatakan,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan-Nya hingga terselesaikannya penyusunan Tugas Akhir ini, dengan judul “Laju Korosi Stainless Steel 304 Dalam Larutan HNO3”. Adapun penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin Fakultas Sains & Teknologi Universitas Sanata Dharma. Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis meneliti Laju Korosi Stainless Steel 304 dalam larutan HNO3 pada suhu 70oC selama 6 jam dilanjutkan pada suhu 290C selam 18 jam.

Pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih atas segala bantuan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada :

1. Romo Dr. Ir. P. Wiryono P., S.J., Rektor Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yosep Agung Cahyanta, S.T., M.T., Dekan Fakultas Sains & Teknologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Budi Sugiharto, S.T., M.T., ketua Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma.

4. Bapak Wibowo Kusbandono S.T., MT., dosen Pembimbing Akademik. 5. Bapak Budi Setyahandana, S.T., M.T., dosen pembimbing utama penyusunan

Tugas Akhir.

(9)

ix

7. Bapak Martono, Laboran Laboratorium Ilmu Logam Universitas Sanata Dharma.

8. Bapak Kunto, Laboran Laboratorium Farmasi Universitas Sanata Dharma. 9. Bapak Intan, Laboran Laboratorium Proses Produksi Universitas Sanata

Dharma.

10.Kedua orang tua penulis Bapak M.Sutarjo. dan Ibu Yuliana Yati. 11.Kakakku, FX Sulistiyanto W.S., s.Si., APT dan Lice Sabata, A., Md. 12.Teman-teman.

13.Rekan-rekan seperjuangan TM 03, TM 04, dan TM 05 maupun dari berbagai angkatan yang telah berbagi suka dan duka serta pendorong semangat saya dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.

14.Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan, demi kesempuranan tugas ini penulis dengan kesungguhan hati dan lapang dada menerima kritik dan saran yang bersifat membangun guna lebih sempurnanya tugas akhir ini. Akhir kata semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya. Terima kasih.

Yogyakarta,12 Januari 2011 Penulis

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

TITLE PAGE ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..………..…….iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN HASIL KARYA……… vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... .x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

INTISARI ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 1

1.3. Batasan Masalah ... 2

1.4. Sistematika Penulisan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Klasifikasi Stainless Steel ... 4

2.2. Baja Tahan Karat ( Stainlees Steel ) ... 4

(11)

xi

2.2.2 Ferritic Stainless Steel ... 5

2.2.3 Martensit Stainless Steel ... 5

2.2.4 Duplex Stainless Steel ... 5

2.3 Pengaruh Unsur Paduan Pada Stainless Steel ... 6

1. Kromium ( Cr ) ... 6

2.5. Pengelasan Berperisai Tungsen ( TIG ) ... 17

(12)

xii

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1. Bagan Alir penelitian ... 21

3.2. Bahan dan Peralatan ... 22

3.2.1 Bahan ... 22

3.2.2 Peralatan ... 22

3.3. Proses Pembuatan HNO3 pH 0,2 Dan pH 0,5 dan Proses Perendaman ... 25

3.4. Analisis Hasil ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1. Larutan HNO3 pH 0,5 ... 27

4.2. Larutan HNO3 pH 0,2 ... 35

4.3. Pembahasan ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1. Kesimpulan ... 46

5.2. Saran ... 46

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pembentukan spontan lapisan oksida ... 8

Gambar 2.2 Korosi uniform ... 10

Gambar 2.3 Ilustrasi pitting corrosion pada SS ... 12

Gambar 2.4 Skema proseskimia pitting corrosion ... 12

Gambar 2.5 Ilustrasi crevice corrosion ... 13

Gambar 2.6 Ilustrasi stress cracking corrosion ... 15

Gambar 2.7 Ilustrasi korosi pada butir ... 16

Gambar 2.8 Ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam ... 17

Gambar 2.9 Alat pengelasan TIG ... 18

Gambar 2.10 Alat pengelasan busur listrik ... 20

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ... 21

Gambar 3.2. Baja Tahan Karat 304 yang dilas ... 22

Gambar 3.3. Larutan HNO3 pekat 65% ... 22

Gambar 3.4. Tabung reaksi ... 23

Gambar 3.5 pH meter digital... 23

Gambar 3.6 Timbangan digital ... 24

Gambar 3.7 Water bath ... 24

Gambar 4.1 Benda uji I mula-mula ... 27

Gambar 4.2 Keterangan luas benda uji ... 28

Gambar 4.3 Benda uji II mula-mula ... 30

Gambar 4.4 Gambar benda uji III selama 13 minggu ... 33

(14)

xiv

Gambar 4.6 Gambar benda uji V selama 12 minggu...38

Gambar 4.7 Gambar benda uji VI selama 12 minggu...40

Gambar 4.8 Grafik laju korosi SS 304 dalam larutan HNO3 dengan pH 0,5...43

Gambar 4.9 Grafik laju korosi SS 304 dalam larutan HNO3 dengan pH 0,2...43

Gambar 4.10 Grafik laju korosi per bulan pada pH 0,5...44

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data perubahan berat benda uji I pada larutan HNO3 pH 0,5 ... 29

Tabel 4.2 Laju korosi benda uji I pada larutan HNO3 pH 0,5 ... 30

Tabel 4.3 Data perubahan berat benda uji II pada larutan HNO3 pH 0,5 ... 31

Tabel 4.4 Laju korosi benda uji II pada larutan HNO3 pH 0,5 ... 32

Tabel 4.5 Data perubahan berat benda uji III pada larutan HNO3 pH 0,5 ... 34

Tabel4.6 Laju korosi benda uji III pada larutan HNO3 pH 0,5...35

Tabel 4.7 Data perubahan berat benda uji IV pada larutan HNO3 pH 0,2...36

Tabel 4.8 Laju korosi benda uji IV pada larutan HNO3 pH 0,2...37

Tabel 4.9 Data perubahan benda uji V pada larutan HNO3 pH 0,2...38

Tabel 4.10 Laju korosi benda uji V pada larutan HNO3 pH 0,2...39

Tabel 4.11 Data perubahan berat benda uji VI pada larutan HNO3 pH 0,2...41

(16)

xvi

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju korosi stainless steel 304 dalam larutan HNO3. Proses pencelupan dilakukan pada suhu 700C selama 6 jam dilanjutkan dengan suhu 290C selama 18 jam setiap 7 hari. Hal ini untuk mendekatkan penggunaan stainless steel secara nyata di dalam pemakaian tabung reaktor SAMOP (Sub Critical Assembly for Mo99 Prad Action).

Spesimen yang telah mengalami pengelasan TIG dan busur listrik dibersihkan dari kotoran kemudian diukur, digambar, ditimbang dan dicatat berat awalnya. Selanjutnya spesimen dicelup di dalam larutan HNO3 pH 0,2 dan 0,5 pada suhu 700C selama 6 jam dilanjutkan pada suhu 290C selama 18 jam setiap 7 hari selama 3 bulan. Pencatatan berat dilakukan setiap minggu.

Hasil penelitian menunjukkan adanya penyusutan berat pada semua specimen. Hal ini terlihat jelas pada laju korosi pH 0,5 pada las busur listrik 0,105 gram/dm2/bulan, untuk laju korosi tanpa las adalah 0,026 gram/dm2/bulan. Pada pH 0,2 pada las busur listrik adalah 0,045 gram/dm2/bulan pada pH 0,2 tanpa las 0,02 gram/dm2/bulan. Benda uji yang telah mengalami pengelasan dibanding dengan benda uji yang tidak mengalami pengelasan terjadi perbedaan laju korosi yang signifikan.

(17)

xvii

ABSTRACT

This research purpose to find out corrosion rate Stainless Steel 304 in sulfuric acid. Immerse process do in 700C temperature for 6 hours and than in 290C temperature for 18 hours every day. This condition aim to get closer to the actual use in the manufacture of tubes of reactor SAMOP (Sub Critical Assembly for Mo99 Prad Action).

Specimen atfer TIG welding and electric arc welding cleaned from crust and than measured, drawing, balanced, and record the first weight. And than specimen innerse to sulfuric acid pH 0,2 and 0,5 in 700C temperature for 6 hours and than in 290C temperature for 18 hours every day for 3 month. Weight recording has done every week.

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berkembangnya jaman dan teknologi mempengaruhi

keanekaragaman kebutuhan manusia. Penerapan teknologi di negara-

negara industri maju dengan pesat. Hampir semua peralatan dan

mesin-mesin industri serta komponen komponennya dirancang sedemikian rupa

sehingga dapat diketahui kekuatan maksimum dan umur pakainya. Hal ini

membutuhkan waktu penelitian dan ketelitian yang tinggi. Serangkaian

proses kimia diperlukan untuk mendapatkan baja dengan sifat mekanik

yang diinginkan, misalnya : keuletan, ketangguhan, kekerasan, tahan

korosi dan lain-lain.

Dalam tugas akhir ini penulis melakukan penelitian pengaruh larutan

HNO3 dengan pH 0,2 dan 0,5 terhadap laju korosi Stainless Steel 304.

Stainless steel jenis ini digunakan untuk tabung Reaktor SAMOP (Sub

Critical Assembly for ܯ݋ଽଽ Prad Action). Selanjutnya, parameter suhu,

waktu dan keasaman, semua dibuat menyerupai kondisi operasi reaktor

SAMOP yang sesungguhnya.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju korosi Stainless

Steel 304 yang telah mengalami pengelasan dalam lingkungan HNO3

(19)

2

1.3 Batasan Masalah

Judul dari Tugas Akhir yang penulis susun sebenarnya bisa

mencakup permasalahan yang luas, maka agar pembahasannya tidak

terlalu banyak dan lebih terarah, maka penulis memberikan batasan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah stainless steel tipe 304

yang telah mengalami pengelasan.

2. Proses pembuatan larutan HNO3 dengan pH 0,2 dan 0,5 dengan

kondisi awal HNO3 pekat 65 %.

3. Benda uji yang akan diteliti dimasukkan ke dalam tabung kimia berisi

larutan HNO3 dengan pH 0,2 dan 0,5. Kemudian tabung ditutup

supaya gas dari larutan tidak mengkorosi lingkungan sekitar.

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan Tugas Akhir ini akan dibagi dalam beberapa bagian, yaitu :

1. Bab I membahas mengenai latar belakang penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II membahas mengenai tinjauan pustaka yang berisi klasifikasi besi dan baja, sifat-sifat baja, pengaruh unsur spesifik pada baja,

struktur mikro besi dan baja, jenis-jenis korosi, pengelasan TIG, dan

pengelasan busur listrik yang dilakukan.

(20)

3

4. Bab IV membahas mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang berisi data dan perhitungan laju korosi benda uji.

(21)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Stainless Steel

Dengan pesatnya perkembangan teknologi, manfaat nuklir yang

dahulunya dipakai sebagai senjata perang maka sekarang nuklir banyak

dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan manusia. Pemanfaatan teknologi

nuklir memiliki banyak keunggulan oleh adanya sifat radiasi yang mudah

dideteksi sampai kadar yang sangat rendah, berdaya tembus besar dan dapat

dikendalikan baik arah, luas berkas maupun energi partikelnya. Baja tahan

karat (stainless steel) sangat cocok untuk pembuatan tabung-tabung reaksi

untuk reaksi-reaksi nuklir. Contoh penggunaan stainless steel adalah tabung

Reaktor SAMOP (Sub Critical Assembly for ܯ݋ଽଽ Prad Action).

2.2. Baja Tahan Karat ( Stainless Steel )

Baja tahan karat (stainless steel) adalah paduan antara besi (Fe) dengan

kandungan Cr minimal 12 %. Reaksi oksidasi antara oksigen (O2) dengan

chrom (Cr) membentuk protektif layer (lapisan pelindung anti korosi). Untuk

memperbaiki sifat-sifat stainless steel sesuai dengan aplikasinya maka

unsur-unsur lain juga ditambahkan. Unsur-unsur-unsur lain yang ditambahkan antara lain

Ni (nickel), Mo (molibdenum), Co(copper), Ti (titanium) yang berfungsi

untuk meningkatkan ketahanan terhadap temperatur serta korosi.

Golongan utama baja tahan karat (stainless steel) adalah austenit,

(22)

5

2.2.1 Austenit Stainless Steel

Komposisi austenit stainless steel antara 18% Cr dan 8% Ni atau

biasa disebut sebagai baja tahan karat delapan belas delapan. Baja tahan

karat austenit ketahanan karatnya lebih baik, mampu bentuk dan mampu

las. Jenis ini sering digunakan pada berbagai industri kimia, untuk bahan

konstruksi, perabot dapur, turbin, mesin jet, mobil, komponen berputar,

bangunan kapal,reactor atom, dan sebagainya.

2.2.2 Ferritic Stainless Steel

Kadar chrom sekitar 16% sampai 18% dan kadar nickel sekitar 2%.

Ketahanan korosi kurang begitu baik dan relatif sulit untuk difabrikasi atau

dimachining. Sifat yang menguntungkan dari baja tahan karat ferit adalah

tanpa kandungan Ni sulit untuk terjadi retakan korosi tegangan.

2.2.3 Martensit Stainless Steel

Komposisi baja tahan karat martensit adalah 12%-13% Cr dan

0,1%-0,3% C. Kadar Cr antara 12%-13% merupakan batas terendah untuk

ketahanan asam. Baja tahan karat martensit mempunyai ketahanan panas

yang baik, dengan pengerasan dan penemperan dapat diperoleh sifat-sifat

mekanik yang baik. Baja tahan karat jenis ini digunakan untuk alat potong

dan perkakas.

2.2.4 Duplex Stainless Steel

Baja tahan karat jenis duplex mempunyai fasa ganda yaitu fasa

austenit dan ferit. Umumnya mempunyai komposisi 12% Cr + 5% Ni +

(23)

6

ferit yang saling menutupi. Sebagai contoh, tegangan mulur yang rendah

dari sifat austenit diperbaiki dengan adanya sifat ferit. Dan keuletan rendah

dari sifat ferit diperbaiki oleh sifat austenit. Ketahanan korosi pada

umumnya melebihi baja 18-8, terutama baja yang mempunyai kadar Cr

tinggi dan mengandung Mo sangat baik dalam ketahanan korosi lubangnya

sehingga baja ini dapat dipakai untuk penukar panas yang menggunakan air

laut.

2.3 Pengaruh Unsur Paduan Pada Stainless Steel

Dalam aplikasi, stainless steel selain dibutuhkan sebagai logam yang

tahan terhadap korosi juga dibutuhkan sifat tambahan guna meningkatkan

sifat mekaniknya. Peningkatan sifat mekanik ini tergantung pada sejumlah

unsur yang terkandung dalam stainless steel. Unsur-unsur tambahan dalam

stainless steel antara lain sebagai berikut :

1. Kromium (Cr) berguna untuk membentuk lapisan pasif untuk melindungi dari korosi.

2. Nikel (Ni) sebagai penstabil austenit, meningkatkan sifat mekanik, meningkatkan ketahanan korosi pada lingkungan asam mineral.

3. Mangan (Mn) membantu fungsi Ni.

4. Molybdenum (Mo) sebagai penstabil lapisan pasif dalam lingkungan yang mengandung banyak ion klorida (Cl - ), seperti lingkungan air laut

(NaCl).

(24)

7

6. Nitrogen (N) membentuk duplex stainlees steel dengan meningkatkan terbentuknya austenit, meningkatkan sifat mekanik Stainless Steel.

2.4 Korosi Pada Logam

2.4.1 Korosi Secara Umum

Stainless steel (SS) secara mendasar bukanlah logam mulia seperti

halnya emas (Au) & platina (Pt) yang hampir tidak mengalami korosi

karena pengaruh kondisi lingkungan, sementara SS masih mengalami

korosi. Daya tahan korosi SS disebabkan karena adanya lapisan yang tidak

terlihat (invisible layer) yang terjadi akibat oksidasi SS dengan oksigen

yang akhirnya membentuk lapisan pelindung anti korosi (protective layer).

Sumber oksigen bisa berasal dari udara maupun air. Material lain yang

memiliki sifat sejenis antara lain titanium (Ti) dan juga aluminium (Al).

Secara umum protective layer terbentuk dari reaksi kromium + oksigen

secara spontan membentuk krom-oksida. Jika lapisan oksida S

tergores/terkelupas, maka protective layer akan segera terbentuk secara

spontan, tentunya jika kondisi lingkungan cukup mengandung oksigen

(Gambar 2.1). Walaupun demikian kondisi lingkungan tetap menjadi

penyebab kerusakan protective layer tersebut. Pada keadaan dimana

protective layer tidak dapat lagi terbentuk, maka korosi akan terjadi.

Banyak media yang dapat menjadi penyebab korosi, seperti halnya udara,

cairan/ larutan yang bersifat asam/basa, gas-gas proses (misalnya gas asap

hasil buangan ruang bakar atau reaksi kimia lainnya), logam yang berlainan

(25)

8

Gambar 2.1 Pembentukan spontan lapisan oksida

2.4.2 Jenis-Jenis Korosi Pada Stainless Steel

Meskipun alasan utama penggunaan stainless steel adalah

ketahanan korosinya, tetapi pemilihan stainless steel yang tepat harus

disesuaikan dengan aplikasi yang tepat pula. Pada umumnya, korosi

menyebabkan beberapa masalah seperti :

1. Terbentuknya lubang-lubang kecil/halus pada tangki dan pipa-pipa

sehingga menyebabkan kebocoran cairan ataupun gas.

2. Menurunnya kekuatan material disebabkan penyusutan atau pengurangan

ketebalan atau volume material sehingga kekuatan juga menurun,

(26)

9

3. Penampilan permukaan material menjadi tidak menarik disebabkan kerak

karat ataupun lubang-lubang

4. Terbentuknya karat-karat yang mungkin mengkontaminasi zat atau

material lainnya, hal ini sangat dihindari khususnya pada proses

produksi makanan.

Secara umum korosi pada stainless steel dapat dikategorikan sebagai

berikut. :

1. Uniform Corrosion

2. Pitting Corrosion

3. Crevice Corrosion

4. Stress Corrosion Cracking

5. Intergranular Corrosion

6. Galvanic Corrosion

2.4.2.1 Uniform Corrosion

Uniform corrosion terjadi disebabkan rusaknya sebagian atau seluruh

protective layer pada SS sehingga SS secara merata akan berkurang/aus

terlihat pada (Gambar 2.2). Korosi ini terjadi umumnya disebabkan oleh

cairan atau larutan asam kuat maupun alkali panas. Asam hidroklorit dan

asam hidrofluor adalah lingkungan yang perlu dihindari SS apalagi

(27)

10

Gambar 2.2 Korosi uniform yang menyebabkan berkurangnya dimensi permukaan

benda secara merata. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.2 Pitting Corrosion

Korosi berupa lubang-lubang kecil sebesar jarum, dimana dimulai

dari korosi lokal (bukan seperti uniform corrosion). Pitting corrosion ini

awalnya terlihat kecil dipermukaan SS tetapi semakin membesar pada bagian

dalam SS yang tersaji pada (Gambar 2.3). Korosi ini terjadi pada beberapa

kondisi pada lingkungan dengan PH rendah, temperatur moderat, serta

konsentrasi klorida yang cukup tinggi (misal NaCl atau garam di air laut).

Pada konsentrasi klorida yang cukup tinggi, awalnya ion-ion klorida merusak

protective layer pada permukaan SS terutama permukaan yang cacat.

Timbulnya cacat ini dapat disebabkan oleh kotoran sulfida, retak-retak kecil

akibat penggerindaan, pengelasan, penumpukan kerak, penumpukan larutan

padat. Proses kimia yang terjadi saat pitting korosi ini dapat dilihat dalam

(Gambar 2.4). Umumnya SS berkadar krom (Cr), molybdenum (Mo) dan

nitrogen (N) yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap pitting corrosion.

Pada industri petrokimia korosi ini sangat berbahaya karena menyerang

(28)

11

diatasi dan dicegah terutama pada pipa-pipa bertekanan tinggi. Ketahanan

material terhadap pitting korosi jenis ini di formulasikan sbb :

PREN = %Cr + (3,3 x %Mo) + (16 x %N)

Satu hal yang menyebabkan pitting corrosion sangat serius bahwa

ketika lubang kecil terbentuk, maka lubang ini akan terus cenderung

berkembang (lebih besar dan dalam) meskipun kondisi SS tersebut sangat

tertutup atau tidak dapat tersentuh sama sekali. Oleh karena itu dalam

mendesain material untuk lingkungan kerja yang besar kemungkinan

terjadinya pitting korosi digunakan nilai PREN, sebagai acuan. Contohnya

bila dibandingkan antara SS austenitik seperti 304, 316L, dan SS

super-austenitik seperti UR 6B. SS 304 memiliki komposisi (dalam %): < 0,015 C,

18.5 Cr, 12 Ni sedangkan untuk SS 316L memiliki komposisi : < 0,030 C,

17.5 Cr, 13,5 Ni, 2,6 Mo. SS super-austenitik UR 6B memiliki komposisi : <

0,020 C, 20 Cr, 25 Ni, 4,3 Mo, dan 0,13 N. Dengan komposisi yang berbeda

maka nilai PREN untuk masing-masing SS adalah: 304 = 18, 316L = 26, dan

UR B6 = 37. Dengan demikian UR B6 memiliki ketahanan akan pitting

korosi paling kuat sedangkan 304 memiliki ketahanan pitting korosi yang

(29)

12

Gambar 2.3 IIustrasi pitting corrosion pada material SS. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

Gambar 2.4 Skema proses kimia yang terjadi saat pitting corrosion menyerang dan

terus merusak logam SS. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.3 Crevice Corrosion

Korosi jenis ini sering terjadi di daerah yang kondisi oksidasi

terhadap krom (Cr) SS sangat rendah bahkan tidak ada sama sekali (miskin

oksigen). Sering pula terjadi akibat desain konstruksi peralatan yang tidak

memungkinkan terjadinya oksidasi tersebut misal celah antara

gasket/packing, celah yang terbentuk akibat pengelasan yang tidak sempurna,

(30)

13

antara mur/baut dsb. Peristiwa korosi ini terjadi di daerah yang sangat sempit

(celah, sudut, takik dsb) seperti disajikan pada (Gambar 2.5). Crevice

Corrosion dapat dipandang sebagai pitting corrosion yang lebih berat/hebat

dan terjadi pada temperatur di bawah temperature moderat yang biasa

menyebabkan pitting corrosion. Cara untuk menghindari masalah ini, salah

satunya dengan membuat desain peralatan lebih 'terbuka' walaupun

kenyataannya sangat sulit untuk semua aplikasi.

Gambar 2.5 Ilustrasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 material bertemu dan

membentuk celah sempit, sehingga terjadi perbedaan kandungan oksigen

yang menyebabkan korosi. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.4 Stress Corrosion Cracking

Dalam kondisi kombinasi antara tegangan (baik tensile, torsion,

compressive maupun thermal) dan lingkungan yang korosif maka SS

cenderung lebih cepat mengalami korosi. Karat yang mengakibatkan

berkurangnya penampang luas efektif permukaan SS menyebabkan tegangan

kerja (working Strees) pada SS akan bertambah besar. Korosi ini dapat terjadi

(31)

14

memiliki tegangan sisa akibat rolling, bending, welding dan sebagainya.

Ilustrasi dari korosi ini dapat dilihat pada (Gambar 2.6). Korosi ini meningkat

jika part yang mengalami stress berada di lingkungan dengan kadar klorida

tinggi seperti air laut yang temperaturnya cukup tinggi. Sebagai akibatnya

aplikasi SS dibatasi untuk menangani cairan panas bertemperatur di atas 50

0C bahkan dengan kadar klorida yang sangat sedikit sekalipun (beberapa

ppm). SS yang cocok korosi ini adalah austenitic SS disebabkan kadar

Nikel-nya (Ni) relatife tinggi. Grade 316 secara siknifikan tidak lebih tahan

dibanding 304. Duplex SS (misal 2205/UR 45N) lebih tahan dibanding 304

atau 316, bahkan sampai temperature aplikasi 150ºC dan super duplex akan

lebih tahan lagi terhadap stress corrosion cracking. Pada beberapa kasus,

korosi ini dapat dikurangi dengan cara penembakan permukaan logam

dengan butir pasir logam, atau juga meng-annealing setelah SS selesai proses

(32)

15

Gambar 2.6 Ilustrasi stress-cracking-corrosion akibat adanya tegangan sisa dan

lingkungan korosif. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.5 Intergranular Corrosion

Korosi ini disebabkan ketidaksempurnaan mikrostruktur SS. Ketika

austenic SS berada pada temperatur 425-850º C (temperatur sensitasi) atau

ketika dipanaskan dan dibiarkan mendingin secara perlahan (seperti halnya

sesudah welding atau pendinginan setelah annealing) maka karbon akan

menarik krom untuk membentuk partikel kromium karbida (chromium

carbide) di daerah batas butir (grain boundary) struktur SS. Formasi

kromium karbida yang terkonsentrasi pada batas butir akan

(33)

16

butir. Sehingga daerah ini akan dengan mudahterserang oleh korosi (Gambar

2.7). Umumnya SS dengan kadar karbon kurang dari 2 % relative tahan

terhadap korosi ini. Ketidaksempurnaan mikrostruktur ini diperbaiki dengan

menambahkan unsur yang memiliki daya tarik terhadap karbon lebih besar

untuk membentuk karbida, seperti Titanium (missal pada SS 321) dan

Niobium (misal pada SS 347). Cara lain adalah dengan menggunakan SS

berkadar karbon rendah yang ditandai indeks 'L' -low carbon steel- (misal

316L atau 304L). SS dengan kadar karbon tinggi akan tahan terhadap korosi

jenis ini asalkan digunakan pada temperatur tinggi pula (misal 304H, 316H,

321H,347H).

Gambar 2.7 Ilustrasi korosi pada butir akibat terjadinya sensitasi krom (Cr).

(Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.4.2.6 Galvanic Corrosion

Galvanic corrosion terjadi disebabkan sambungan dissimilar material (2

material yang berbeda terhubung secara elektris/ tersambung misal baut

dengan mur, paku keling/rivet dengan bodi tangki, hasil welding dengan

(34)

17

material tersebut menjadi semacam sambungan listrik. Mekanisme ini

disebakan satu material berfungsi sebagai anoda dan yang lainnya sebagai

katoda sehingga terbentuk jembatan elektrokimia tersaji pada (Gambar 2.8).

Dengan terjadinya hubungan elektrik tersebut maka logam yang bersifat

anoda akan lebih mudah terkorosi. Urutan tersebut ditunjukkan pada seri

elektrokimia logam berikut . Logam deret sebelah kiri cenderung menjadi

anoda (mudah berkarat) sementara logam sebelah kanan cenderung menjadi

katoda. Galvanic corrosion ini tergantung pada :

1. Perbedaan ke-mulia-an dissimilar material

2. Rasio luas permukaan dissimilar material, dan konduktifitas

Gambar 2.8 Ilustrasi terjadinya korosi antara dua logam yang berbeda jenis

keaktifannya (logam A dan B). (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)

2.5 Pengelasan Berperisai Tungsen (TIG)

Proses ini merupakan suatu metode pengelasan dengan jalan

dimana suatu busur api listrik dipertahankan diantara sebuah elektroda

tungsen yang bukan mampu habis yang pada hakekatnya berdiri sendiri,

(35)

18

berfaedah lain. Perisai gas mencegah kontaminasi logam las oleh udara.

Permukaan paduan alumunium ditutupi oleh lapisan oksida tahan api bertitik

lebur tinggi yang harus dihilangkan sebelum suatu las yangmemuaskan dapat

dibuat. Suatu kawat pengisi dapat juga ditambahkan pada tepi depan

genangan cairan untuk membentuk las. Ini merupakan salah satu sifat busur

api arus bolak-balik sehingga menghilangkan oksidayang kuat selama proses

pengelasan. Proses pengelasan TIG dipakai bila diperlukan las yang rapi,

berkualitas tinggi, dan ekonomis untuk ketebalan sampai 6 mm. Untuk

ketebalan yang lebih dari 6 mm, biasanya digunakan pengelasan MIG, atau

proses pengelasan busur api logam lainnya. Lubang-lubang akar, di dalam

sambungan pipa dengan atau tanpa sisipan yang mampu lebur dimasuki

dengan menggunakan pengelasan TIG karena penetrasi dapatdikontrol untuk

memberikan suatu akhir siraman yang halus.

Gambar 2.9 Alat pengelasan TIG

2.6 Las Busur Listrik

Las busur listrik adalah salah satu cara menyambung logam dengan

jalan menggunakan nyala busur listrik yang diarahkan ke permukaan logam

(36)

19

mencair, demikian juga elektroda yang menghasilkan busur listrik akan

mencair pada ujungnya dan merambat terus sampai habis. Logam cair dari

elektroda dan dari sebagian benda yang akan disambung tercampur dan

mengisi celah dari kedua logam yang akan disambung, kemudian membeku

dan tersambunglah kedua logam tersebut. Mesin las busur listrik dapat

mengalirkan arus listrik cukup besar tetapi dengan tegangan yang aman

(kurang dari 45 volt). Busur listrik yang terjadi akan menimbulkan energi

panas yang cukup tinggi sehingga akan mudah mencairkan logam yang

terkena. Besarnya arus listrik dapat diatur sesuai dengan keperluan dengan

memperhatikan ukuran dan type elektrodanya. Pada las busur, sambungan

terjadi oleh panas yang ditimbulkan oleh busur listrik yang terjadi antara

benda kerja dan elektroda. Elektroda atau logam pengisi dipanaskan sampai

mencair dan diendapkan pada sambungan sehingga terjadi sambungan las.

Mula-mula terjadi kontak antara elektroda dan benda kerja sehingga terjadi

aliran arus, kemudian dengan memisahkan penghantar timbullah busur.

Energi listrik diubah menjadi energi panas dalam busur dan suhu dapat

mencapai 5500 °C. Ada tiga jenis elektroda logam, yaitu elektroda polos,

elektroda fluks dan elektroda berlapis tebal. Elektroda polos terbatas

penggunaannya, antara lain untuk besi tempa dan baja lunak. Biasanya

digunakan polaritas langsung. Mutu pengelasan dapat ditingkatkan dengan

memberikan lapisan fluks yang tipis pada kawat las. Fluks membantu

(37)

20

Tetapi kawat las berlapis merupakan jenis yang paling banyak digunakan

dalam berbagai pengelasan komersil

(38)

21

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Bagan Alir penelitian

Bagan alir penelitian ditunjukkan di dalam Gambar 3.1 :

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

Benda Uji (stainless steel 304) benda uji 1 dan 4 tidak mengalami pengelasan. Benda uji 2,3,5,6

mengalami pengelasan. Larutan HNO3 65% pekat

Pengambilan Data Pembuatan Larutan HNO3

pH 0,2 dan 0,5

Pencelupan Benda Uji ke dalam Larutan HNO3 pH 0,2 dan 0,5

pada suhu 700C selama 6 jam

dilanjutkan pada suhu 290C

selama 18 jam. Dilakukan secara periodik selama 3 bulan

Pengambilan Data Berat mula-mula

(39)
(40)

23

1. Tabung Reaksi, milik Laboratorium Analisis, Jurusan Farmasi

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Gambar 3.4 Tabung Reaksi

2. pH meter Elektrik Digital, milik Laboratorium Analisis, Jurusan

Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

(41)

24

3. Timbangan Elektrik Digital, milik Laboratorium Analisis dan

Instrumen, Jurusan Farmasi Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta, dengan ketelitian sampai 1000

1

gram.

Gambar 3.6 Timbangan Digital

4. Water Bath dan Thermometer , milik Laboratorium Analisis,

Jurusan Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

(42)

25

4. Proses Pembuatan Larutan HNO3 pH 0,2 dan 0,5 Dan Proses

Perendaman

Proses pembuatan larutan HNO3 pH 0,2 dan 0,5 dari larutan HNO3

pekat 65% dilakukan pencampuran dengan aquades.

Langkah-langkah dalam proses tersebut :

1. Peralatan dan bahan yang disiapkan :

a. Tabung reaksi

b. Larutan HNO3 65%

c. Pipet

d. pH Meter Elektrik Digital

e. Aquades

2. Dalam keadaan normal kadar 1 normalitas (N) HNO3 = 63 gr/ltr HNO3

murni. Maka untuk memperoleh larutan HNO3 dengan pH 0,2 dari

larutan HNO3 65 % dengan berat jenis 1,39 diambil 34,23 ml. Ini

diperoleh dari :

pH 0,2 = 10−0,2N

Untuk memperoleh larutan HNO3 pH 0,5 dari larutan HNO3 65 %

dengan berat jenis 1,39 diambil 22,05 ml. Ini diperoleh dari :

pH 0,5 = 10−0,5N

(43)

26

kemudian HNO3 65 % dimasukan ke dalam tabung reaksi dan

ditambahkan aquades sedikit demi sedikit sampai volumenya 1 liter.

Kemudian diukur pHnya dengan menggunakan pH meter.

3. Spesimen dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi yang

telah berisi Larutan HNO3 pH 0,2 dan 0,5.

4. Tabung reaksi dimasukkan ke dalam water bath yang telah diatur

suhunya.

5. Proses pencelupan dilakukan pada suhu larutan dalam tabung 700 C

selama 6 jam dan suhu 290C selama 18 jam. Hal ini untuk

mendekatkan pada penggunaan secara nyata di dalam prakteknya.

6. Dalam waktu 1 minggu spesimen diambil, dikeringkan dan ditimbang.

Setelah itu spesimen dicelup ke dalam larutan yang sama dengan

volume sama yaitu 1 liter. Karena adanya penguapan maka setiap hari

perlu ditambahkan larutan untuk menjaga pH dan kejenuhannya.

5. Analisis Hasil

Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan laju

korosi Stainless Steel 304 yang telah mengalami pengelasan TIG & busur

listrik dalam larutan HNO3 pH 0,2 dan 0,5 pada suhu 700C selama 6 jam

(44)

27

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Larutan HNO3 pH 0,5

A. Stainless Steel Tanpa Mengalami Pengelasan TIG (Benda Uji I) Benda uji I merupakan pelat stainless steel tanpa mengalami

pengelasan,direndam pada larutan HNO3 pH 0,5.

Gambar 4.1 Benda uji I sebelum mengalami perendaman selama 3 bulan

Data Spesimen I :

1. Tebal benda uji = 3 mm

2. Berat mula-mula = 14,608 gram

3. Panjang benda uji = 34 mm

4. Lebar benda uji = 18 mm

Analisis Perhitungan Rumus laju korosi:

(45)

28

t = Waktu (Jam, Bulan, Tahun)

A = Luas permukaan (mm2, dm2)

Dalam persoalan ini digunakan ∆ y dengan satuan gram

dan waktu dihitung dalam satuan Jam. Hal ini dikarenakan untuk

mempermudah pengamatan. Dalam penelitian ini benda uji

dicelupkan kedalam larutan HNO3 pH 0,5 dengan suhu 700C selama

6 jam dilanjutkan pada suhu 290C selama 18 jam setiap harinya. Hal

ini untuk mendekatkan pada keadaan sebenarnya.

Gambar 4.2 Keterangan luas benda uji

Luas spesimen = luas I +luas II + luas III

Luas I = (34 mm x 18 mm) x 2

= 1224mm2

Luas II = (34 mm x 3 mm) x 2

= 204 mm2

Luas III = (18 mm x 3 mm) x2

= 108 mm2

Luas spesimen = (1224 mm2 + 204 mm2 + 108 mm2)

Luas I

Luas II

(46)

29

= 1536 mm2 = 0,1536 dm2

Data perubahan berat benda uji I pada larutan HNO3 pH 0,5

Tabel 4.1 Data perubahan berat benda uji I pada larutan HNO3 pH 0,5.

No Minggu ke- Berat benda uji (gram)

Dari data diperoleh maka laju korosi :

∆y = Berat mula-mula – Berat pada minggu I

Laju korosi minggu II =

2

(47)

30

Tabel 4.2 Laju korosi benda uji I pada larutan HNO3 pH 0,5

No Minggu

B. Stainless Steel Yang Mengalami Pengelasan TIG (Benda Uji II) Data percobaan laju korosi Stainless Steel 304 yang telah

mengalami pengelasan pada larutan HNO3 pH 0,5.

Gambar benda uji II :

Gambar 4.3 Benda uji II mula – mula

Data Spesimen (benda uji II)

1. Tebal benda uji = 3 mm

(48)

31

3. Panjang benda uji = 35 mm

4. Lebar benda uji = 16,5 mm

Data perubahan berat Stainless Steel 304 yang telah mengalami

pengelasan pada larutan HNO3 pH 0,5 :

Tabel 4.3 Data perubahan berat Stainless Steel 304 yang telah mengalami pengelasan

(49)

32

Dari data diperoleh laju korosi :

Laju korosi pada minggu II :

Berat mula-mula = 13,795 gram

Berat pada minggu II = 13,793 gram

Waktu = 168 jam

Maka diperoleh,

∆y = Berat mula-mula – Berat pada minggu II

= 13,795gram – 13,793 gram = 0,002 gram

Laju korosi minggu II =

2

Tabel 4.4 Laju korosi SS 304 setelah mengalami pengelasan dalam larutan HNO3 pH 0,5

(50)

33

C. Stainlees Steel Yang Mengalami Pengelasan Busur Listrik (Benda Uji III)

Benda uji III merupakan pelat stainless steel 304 yang telah

mengalami pengelasan busur listrik.

Gambar benda uji III :

Gambar 4.4 Benda uji III setelah mengalami perendaman selama 13 minggu

Data Spesimen III

1. Tebal benda uji = 3 mm

2. Berat mula-mula = 16,081 gram

3. Panjang benda uji = 36 mm

4. Lebar benda uji = 17 mm

Luas spesimen = luas I +luas II + luas III

Luas I = (36 mm x 17 mm) x 2

= 1224mm2

Luas II = (36 mm x 3 mm) x 2

= 216 mm2

Luas III = (17 mm x 3 mm) x2

(51)

34

Luas spesimen = (1224 mm2 + 216 mm2 + 102 mm2)

= 1542 mm2 = 0,1542 dm2

Data perubahan berat benda uji III pada larutan HNO3 pH 0,5 :

Tabel 4.5 Data perubahan berat benda uji III pada larutan HNO3 pH 0,5

No Minggu

Laju korosi minggu II =

(52)

35

Tabel 4.6 Laju korosi benda uji III pada larutan HNO3 pH 0,5

No Minggu

A. Stainless steel Tanpa Mengalami Pengelasan TIG (Benda Uji IV) Data percobaan laju korosi stainless steel 304 tanpa

mengalami pengelasan pada larutan HNO3 pH 0,2.

Gambar benda uji IV :

(53)

36

Data Spesimen IV :

1. Tebal benda uji = 3 mm

2. Berat mula-mula = 13,478 gram

3. Panjang benda uji =33,5 mm

4. Lebar benda uji = 17 mm

Tabel 4.7 Data perubahan berat benda uji IV pada larutan HNO3 pH 0,2

(54)

37

12 XI 13,460

13 XII 13,469

Dari data diperoleh maka laju korosi :

Laju korosi minggu II =

2

Tabel 4.8 Laju korosi benda uji IV pada larutan HNO3 pH 0,2

No Minggu

B. Stainless Steel Yang Mengalami Pengelasan TIG (Benda Uji V) Data percobaan laju korosi stainless steel 304 yang telah

(55)

38

Gambar benda uji V :

Gambar 4.6 Benda uji V setelah mengalami perendaman selama 12 minggu

Data Spesimen V :

1. Tebal benda uji = 3 mm

2. Berat mula-mula = 14,364 gram

3. Panjang benda uji = 35 mm

4. Lebar benda uji = 16,5 mm

Data perubahan berat benda uji V pada larutan HNO3 pH 0,2

Tabel 4.9 Data perubahan berat benda uji V pada larutan HNO3 pH 0,2

(56)

39

Tabel 4.10 Laju korosi benda uji V pada larutan HNO3 pH 0,2.

(57)
(58)

41

Luas spesimen = (1224 mm2 + 216 mm2 + 102 mm2)

= 1542 mm2 = 0,1542 dm2

Data perubahan berat benda uji VI pada larutan HNO3 pH 0,2 :

Tabel 4.11 Data perubahan berat benda uji VI pada larutan HNO3 pH 0,2

No Minggu ke- Berat benda uji (gram)

Laju korosi minggu II =

2

Tabel 4.12 Laju korosi benda uji VI pada larutan HNO3 pH 0,5

(59)

42

Tabel 4.13 Laju korosi rata-rata selama 3 bulan pada pH 0,5

No Benda Uji Berat Awal

Tabel 4.14 Laju korosi rata-rata selama 3 bulan pada pH 0,5

(60)

43

4.4 Grafik Laju Korosi A.Larutan HNO3 pH 0,5

Gambar 4.8 Grafik laju korosi stainless steel 304 dalam larutan HNO3 dengan pH 0,5

B.LarutanHNO3 pH 0,2

Gambar 4.9 Grafik laju korosi stainless steel 304 dalam larutan HNO3 dengan pH 0,2.

(61)

44

C.Laju korosi per bulan pada pH 0,5

Gambar 4.10 Grafik laju korosi per bulan pada pH 0,5

D.Laju korosi per bulan pada pH 0,2

Gambar 4.11 Grafik laju korosi per bulan pada pH 0,2

0

Stainlees Steel 304

(62)

45

4.4 Pembahasan

Benda uji yang telah mengalami pengelasan maupun yang tidak

mengalami pengelasan dapat terkorosi, ini dapat diketahui karena adanya

pengurangan berat dari benda uji setelah mengalami perendaman dalam

larutan HNO3 pH 0,5 dan juga pada pH 0,2. Korosi yang terjadi secara

merata pada seluruh permukaan dikarenakan adanya kerusakan lapisan

protective layer yang melindungi stainless steel dari korosi. Antara benda

uji yang mengalami pengelasan dengan benda uji yang tidak mengalami

pengelasan terjadi perbedaan laju korosi yang signifikan. Laju korosi

spesimen las busur listrik paling tinggi dikarenakan metode pengelasan

kurang baik. Pada pengelasan ini,sewaktu pendinginan banyak Cr yang

teroksidasi sehingga protektive layer menjadi kurang sempurna. Pada saat

terjadi pengurangan berat benda uji maka benda uji mengalami korosi

karena ada sebagian dari lapisan protective layer yang rusak. Pada saat

benda uji kembali tidak mengalami pengurangan berat atau beratnya stabil,

itu berarti benda uji tidak mengalami korosi. Kemungkinan lapisan

protective layer yang telah rusak kembali terbentuk setelah terjadi reaksi

oksidasi antara Cr yang ada pada stainless steel dengan oksigen yang ada

di lingkungan bebas pada saat dilakukan penjemuran dibawah sinar

matahari sebelum dilakukan pengukuran berat pada setiap satu minggu

sekali. Dari penampilan visual benda uji terjadi perubahan warna dari

(63)

46

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian selama 12 minggu dapat diambil kesimpulan, antara

benda uji yang telah mengalami pengelasan dengan benda uji yang tidak

mengalami pengelasan ada perbedaan yang signifikan laju korosinya dalam

larutan HNO3. Semuanya sama-sama mengalami korosi baik yang mengalami

pengelasan maupun yang tidak mengalami pengelasan, tetapi korosi tertinggi

terdapat pada las busur listrik. Korosi yang terjadi merata pada seluruh

permukaan benda uji karena rusaknya sebagian dari lapisan protective layer.

Untuk laju korosi tertinggi pada pH 0,5 yaitu 0,245 gram/dm2/minggu,

sedangkan untuk laju korosi tertinggi pada pH 0,2 adalah 0,223

gram/dm2/minggu.

5.2 Saran

1.Apabila ada SS yang dilas sebaiknya mengunakan las TIG karena

ketahanan korosinya cukup baik terhadap HNO3

2. Gunakanlah alat penimbang berat benda uji yang akurat dan jangan

ganti-ganti timbangan.

(64)

47

DAFTAR PUSTAKA

Chamberlain, J. & Trethewey, KR. Korosi Untuk Mahasiswa Dan Rekayasawan,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kenyon, W, Diterjemahkan Dines Ginting, 1985, Dasar-dasar Pengelasan,

Erlangga, Jakarta.

Setyahandana, B., Bahan Kuliah Bahan Teknik Manufaktur, Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta.

Surdia, T., Saito, S.,1985, Pengetahuan Bahan Teknik, Pradnya Paramita,

Jakarta. Korosi, www.tasteel/main.php, diakses 05 April 2009

TIG Welding Proces, www.alu-info.dk/Html/alulib/modul/A00537.htm, diakses

Gambar

Gambar 2.1 Pembentukan spontan lapisan oksida
Gambar 2.3 IIustrasi pitting corrosion pada material SS. (Sumber: Surdia, T., Saito, S.)
Gambar 2.5 Ilustrasi crevice corrosion yang menyerang saat 2 material bertemu dan
Gambar 2.6 Ilustrasi stress-cracking-corrosion akibat adanya tegangan sisa dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PT.PKP seluas ± 5.000 Ha Menjadi ± 6985,36 Ha di Desa Menjelutung, Kecamatan Sesayap Hilir Kabupaten Tana Tidung, Provinsi Kalimantan Utara dan dilampiri Peta

Alamat Kuasa : IMAN SJAHPUTRA &amp; PARTNERS Sudirman Plaza Office Tower, Marein Plaza Lantai 12 Jln.. Alamat Kuasa : IMAN SJAHPUTRA &amp; PARTNERS Sudirman Plaza Office Tower,

Beton adalah campuran semen portland atau hidraulik yang lain, agregat halus, agregat kasar dan air, dengan atau tampa bahan tambahan yang membentuk masa padat. Adapun

Peningkatan Dayasaing Produk Pangan: Perbaikan iklim usaha dan sistem

Admin akan menerima data calon siswa dari data tersebut pihak admin akan melakukan penyeleksian siswa sesuai dengan nilai yang ditentukan sekolah, dalam proses pengelolaan siswa

Melalui sistem ini, sukatan pelajaran dan peperiksaan yang seragam serta menggunakan bahasa pengantar yang sama merupakan langkah penting memupuk semangat perpaduan, nilai

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang berakibat adanya perluasan dalam hal pemungutan objek Pajak Penerangan Jalan,

Hasil analisis tinggi tanaman umur 2 mst, 3 mst, 4 mst sampai dengan 5 mst menunjukkan tinggi yang tidak berbeda pada semua perlakukan termasuk perlakuan media