• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 3 : Mafhum Sebagai Dalil Syar’i

B. Mafhum Mukhalafah

3. Jenis-jenis Mafhum Mukhalafah

Mafhum mukholafah kemudian dibedakan menjadi beberapa jenis, di antaranya: (1) mafhum shifat, (2) mafhum haal, (3) mafhum zaman, (4) mafhum syarth, (5) mafhum ghoyah, (6) mafhum

‘adad, (7) mafhum hashr, dan (8) mafhum laqab.

a. Mafhum Shifat

Mafhum shifat (ةفصلا موهفم) adalah pemahaman terbalik berdasarkan sifat maknawi.

Contoh: QS. Al-Hujurat (49): 6, sebagai dalil bahwa informasi dari orang yang dikenal adil dan jujur dapat langsung diterima tanpa harus diperiksa.

اوُنَّ يا با تا ف ٍإابا نِب ٌقِسااف ْمُكاءااج ْنِإ اوُنامآ انيِذَّلا ااهُّ ياأ ايَ

“Wahai orang-orang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…” (QS. Al-Hujurat:

6)

Secara eksplisit ayat ini menegaskan bahwa informasi dari orang fasik mesti dicek kebenarannya, maka mafhum mukholafah-nya adalah jika yang membawa berita bukanlah orang fasik (adil) tidak diwajibkan untuk diteliti kebenarannya.1

1 Para ulama sepakat bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dapat diterima dan diamalkan dalam perkara hukum. Namun mereka berbeda pendapat, apakah khabar ahad dapat diterima sebagai landasan dalam perkara-perkara akidah. (lihat: asy-Syinqithi,

Contoh lainnya: QS. Al-Maidah (05): 95, sebagai dalil bahwa seseorang yang membunuh hewan buruan di tanah haram secara tidak sengaja, tidak diwajibkan menggantinya dengan yang semisal.

اَزَجَف اًدِ مَعَتُم ْ ُكُْنِم ُ َلََتَق ْنَمَو ِمَعانلا َنِم َلَتَق اَم ُلْثِم ء

“Barangsiapa di antara kamu membunuhnya (binatang buruan dalam kondisi ihram haji) dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya…” (QS. Al-Maidah (05): 95)

Secara eksplisit, ayat ini menetapkan bahwa bagi yang membunuh binatang buruan dengan sengaja di tanah haram diwajibkan untuk membayar denda yang seimbang dangan hewan yang dibunuh, maka mafhum mukholafah-nya adalah jika membunuhnya karena sebab ketidak sengajaan, maka tidak diwajibkan menggantinya.1

Contoh lain misalnya pada sabda Rasulullah SAW:

Mudzakkirah Ushul al-Fiqh, hlm. 103, Muhammad az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Damaskus: Dar al-Khair, 1427 H/2006 M), cet. 2, hlm. 209).

1 Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mengganti bagi yang melakukannya tanpa sengaja, dalam hal ini ulama Hanafiyyah yang menolak legelitas mafhum berpendapat sengaja atau pun tidak sengaja tetap diwajibkan mengganti. Pendapat berbeda diwakili oleh mayoritas ulama. (al-Marginani, al-Hidayah, hlm. 1/169, an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, 2/139, asy-Syairazi, Muhazzab, 1/211, Mawwaq al-Maliki, at-Taj wa al-Iklil, hlm. 3/171, an-Nafrawi, al-Fawakih ad-Dawani, hlm. 1/435.

َس ِفِ

َم ِة ِئا َِن َغلا ََكَز ة

Pada binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat.

Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan. Mafhum al-Washfi terbagi kepada tiga, yaitu musytaq dalam ayat, hal (keadaan) dan’adad (bilangan)

b. Mafhum Haal

Mafhum haal (لاحلا موهفم) adalah petunjuk lafal yang berkaitan dengan kondisi tertentu dalam rangka menetapkan hukum yang berbeda dengan lafal tersebut.

Contoh: QS. Al-Baqarah (02): 187, sebagai dalil bolehnya menggauli istri di malam hari bulan Ramadhan dalam kondisi sedang tidak melakukan i’tikaf di masjid.

ِد ِجا َسَمْلا ِفِ َنوُفِكاَع ْ ُتُْنَأَو انُهوُ ِشِاَبُت َلَو

“…Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf1 dalam mesjid…” (QS. Al-Baqarah (02): 187)

Secara eksplisit ayat ini merupakan larangan untuk mencampuri istri ketika beri’tikaf, maka mafhum mukholafah-nya adalah dibolehkan

1 I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. (lihat pengertian dan hukum-hukum seputar i’tikaf: Haysiah al-Bujairami ‘ala al-Manhaj, hlm.

2/591, Ibnu al Hammam, Fath al-Qadir, hlm. 305, al-Fatawa al-Hindiyyah, hlm. 1/211, Ibnu Qudamah, al-Mughni, hlm.

2/183, ad-Dirdir, asy-Syarh ash-Shaghir, hlm. 1/725).

mencampurinya ketika kondisi tersebut (i’tikaf) tidak ada lagi.

c. Mafhum Zaman

Mafhum zaman (نامزلا موهفم) adalah petunjuk lafal yang berkaitan dengan waktu tertentu dalam rangka menetapkan hukum yang berbeda dengan lafal tersebut.

Contoh: QS. Al-Baqarah (02): 197, sebagai dasar ketentuan masa ibadah haji yang terbatas hanya pada bulan Syawal, Zulqa’dah dan Zulhijjah.

تاَموُلْعَم رُه ْشَأ ُّجَحْلا

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS. Al-Baqarah (02): 197)

Secara eksplisit, ayat ini menjelaskan bahwa pelaksaan haji hanya pada bulan-bulan tertentu (Syawal, Zulqa’dah dan Zulhijjah), dengan demikian mafhum mukholafahnya adalah bahwa ibadah haji tidak sah dilakukan di bulan-bulan selain yang telah ditentukan.

d. Mafhum Syarth

Mafhum syarth (طرشلا موهفم) adalah petunjuk lafal yang berkaitan dengan syarat tertentu menggunkan kata (نإ) atau semisal dalam rangka menetapkan hukum yang berbeda dengan lafal tersebut.

Contoh: QS. Ath-Thalaq: 06, sebagai dalil tidak wajibnya seorang laki-laki menafkahi istrinya yang telah ditalak dan tidak dalam kondisi hamil.

انُهَلْ َحْ َنْع َضَي اتَّح انِ ْيَْلَع اوُقِفْنَأَف لْ َحْ ِتلوُأ انُك ْن

ِ اَو

“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin...” (QS. Ath-Thalaq: 06)

Secara eksplisit, ayat ini menetapkan kewajiban atas suami untuk menafkahi istrinya yang ditalak/cerai dan dalam kondisi hamil. Dengan demikian, mafhum mukholafah-nya adalah istri yang ditalak dan tidak dalam kondisi hamil, tidak berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya.

e. Mafhum Ghoyah

Mafhum ghoyah (ةياغلا موهفم) adalah petunjuk lafal untuk menetapkan hukum berdasarkan batas tertentu dengan menggunakan kata ilaa (ىلإ), hatta (ىتح) dan semisalnya.

Contoh: QS. Al-Baqarah (02): 230, sebagai dalil akan bolehnya laki-laki untuk menikahi mantan istrinya yang telah dithalaq tiga kali, setelah sang istri menikah dengan orang lain secara sah pula.

ُدْعَب ْنِم ُ َل ُّلِ َتَ لََّف اهَقال َط ْن اَف ِ اتَّح

ُهَ ْيَغ ًاج ْوَز َحِكْنَت

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain…” (QS. Al-Baqarah (02): 230)

f. Mafhum Hashr

Mafhum hashr (رصحلا موهفم) adalah petunjuk lafal untuk menetapkan hukum yang berbeda berdasarkan pembatasan pada lafal manthuq-nya.

Contoh: QS. Al-Fatihah (01): 5.

ُيِعاتْسان اكَّيَِإاو ُدُبْعا ن اكَّيَِإ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”

(QS. Al-Fatihah (01): 5)

Secara eksplisit, ayat ini menegaskan bahwa hanya Allah-lah yang berhak untuk disembah.

Dengan demikian, mafhum mukholafah-nya adalah, selain Allah swt. tidak berhak disembah dan dimintai pertolongan.

g. Mafhum Laqab

Mahfum laqab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil.

ْتَمِ رُح ُْكُْيَلَع

ُْكُُتاَهامُأ

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.

(QS. An-Nisa’ : 24)

Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.

Seluruh mafhum mukhalafah bisa dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.

h. Mafhum ‘Illat

Mafhum illat adalah menghubungkan hukum sesuatu karena illatnya. Seperti mengharamkan minuman keras karena memabukkan.

Dokumen terkait