• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN PERJANJIAN MUDHARABAH DALAM HUKUM

C. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam Hukum Islam

Perjanjian atau akad dalam hukum Islam dibagi beberapa macam, yang setiap macamnya tergantung dari sudut pandang mana ia dilihat, apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’ akad atau perjanjian dibagi kepada dua macam yaitu:

53

Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 59. 54

1. Perjanjian atau akad yang sahih.

Perjanjian yang sahih adalah perjanjian yang telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara’. oleh karena itu konsekuwensi yang ditimbulkan akan mengikat para pihak yang berjanji atau yang berakad.55

Menurut ulama Hanafiyah akad atau perjanjian yang sahih dibagi kepada dua macam, yakni sebagi berikut:

Pertama, akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya atau dengan kata lain akan yang sempurna untuk dilaksanakan.56

Kedua, akad yang muaquf, yaitu akad dilakukan oleh seseorang yang cakap bertindak secara hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan dan melaksanakan perjanjian/akad tersebut,57 hal ini dapat dicontohkan ketika si A memberikan uang kepada si B sejumlah Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) untuk membeli seekor kelinci, dan ternyata setelah di kebun penjual kelinci, uang yang 2 juta tadi dapat membeli 4 ekor kelinci sehingga si B membeli 4 ekor dengan uang tersebut. Keabsahan dari akad jual beli dengan 4 ekor kelinci ini sangat tergantung kepada persetujuan si A. Sebab yang disuruh pertama kali si B hanya untuk membeli 1 ekor kelinci. Dari permasalahan jual beli ini dapat dianalisa, jika si A menyetujui akad yang dilakukan oleh si B maka jual beli itu sah, tetapi jika tidak maka jual beli tersebut menjadi batal.

55

Rahmat Syafi’i,. Op Cit,. hal 66 56

Hasballah Thaib, Op cit, hal 16 57

2. Akad yang tidak sahih

Akad yang tidak sahih atau tidak sah adalah akad/ perjanjian yang tidak memenuhi unsur rukun dan unsur syarat, artinya akad ini tidak mempunyai dampak hukum atau tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah akad yang seperti ini tergolong kepada akad yang batal dan fasid. Menurut beliau akad yang batal dan fasid bisa dibedakan, yaitu kalau akad yang batal berarti akad ini tidak memenuhi rukun akad, atau tidak ada barang yang diakadkan seumpama akad yang dilakukan oleh seorang yang bukan ahli akad contoh akad orang yang gila, sedangkan akad yang fasid adalah akad yang memenuhi persyaratan dan rukunya tetapi dilarang oleh syara’ seperti halnya menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan persoalan dibelakang hari.58

Selanjutnya akad atau perjanjian dilihat dari sisi mengikat atau tidak mengikat. Yakni jika akad itu dilihat dari segi mengikat maka sudah mempunyai konsekuwensi tidak boleh membatalkan akad hanya satu pihak, atau tanpa seizin pihak lain di dalam melangsungkan akad ini. Ulama Fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu :

a. Akad yang mengikat dan tidak bisa dibatalkan sama sekali, seperti akad

perkawinan, dalam hal ini akad yang tidak boleh dibatalkan kecauali dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh syara’ untuk membatalkannnya, seumpama melalui thalak dan khulu’.

58

b. Akad yang mengikat tetapi bisa dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa mnyewa atau al-muzara’ah (kerjasama dalam bidang pertanian), maka dalam hal ini para pihak dibenarkan untuk melakukan

khiyar artinya ada hak para pihak untuk memilih apakah meneruskan akad

yang telah memenuhi rukun tersebut atau membatalkannya.

c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak seperti al rahn dan al kafalah.59 Apabila akad atau perjanjian tersebut dilihat dari segi bentuk tasharuf atau aktivitas hukum, maka ia memilki dua keadaan umum yaitu:

1). Akad tanpa syarat yakni suatu akad yang diucapkan oleh seseorang tanpa memberi batasan dengan suatu benda atau tanpa menetapkan suatu syarat akad, yang seperti ini dihargai oleh syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh ketika seseorang berkata “saya membeli rumahmu” lalu dikabulkan oleh yang seorang lagi, maka dalam bentuk ini terwujudlah akad dan akibat hukumnya adalah pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang.

2). Akad bersyarat yaitu akad yang diucapkan oleh seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, dengan kata lain apabila syarat atau yang dikaitkan itu tidak ada maka akadnya pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaannya. Contoh “saya jual mobil ini dengan harga Rp. 40.000.000,- jika disetujui oleh atasan saya”. Maka ketika atasannya telah setuju dalam hal ini akad tersebut dianggap sah.

59

Untuk persoalan akad bersyarat ini ulama fiqhiyah membaginya lagi kepada tiga macam, yaitu :

Pertama, Ta’liq syarat yaitu menautkan atau mengkaitkan hasil sesuatu urusan dengan urusan yang lain60, artinya terjadinya akad tersebut tergantung kepada urusan lain, maka jika urusan yang dikaitkan pertama tidak jadi maka akadpun tidak ada, contoh; jika orang yang berutang kepadamu pergi jauh, saya menjamin utangnya.

Kedua, Taqyid syarat,yaitu syarat pada suatu akad atau aktifitas berakibat hukum yang hanya berupa ucapan saja, sebab pada hakekatnya tidak ada atau tidak

mesti dilakukan, 61 seperti orang yang menjual lemari dengan syarat ongkos

pengangkutannya ditanggung oleh yang punya toko.

Ketiga, Syarat Ifadah, yaitu menyandarkan akad tersebut kepada sesuatu masa yang akan datang,62 dapat dicontohkan perkataan seorang atasan “gaji mereka akan ditambahkan pada awal tahun depan”.

Pada konsep hukum Islam suatu perjanjian atau akad akan dinilai berakhir ketika perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah berakhir, dalam hal ini ulama fiqhiyah memandang bahwa perjanjian atau akad akan berakhir ketika, sebagai berikut;

a) Telah berakhirnya masa akad, jika dalam perjanjian/akad tersebut memiliki tenggang waktu.63

60

Rahmat Syafi’i, Op Cit,. hal 68 61

Ibid, hal.69. 62

Ibid, hal.70 63

Menurut kebiasaannya dalam sautu perjanjian telah disebutkan atau ditentukan saat, kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan berjalannya waktu yang dilalui maka secara otomatis pula perjanjian atau akad yang dilakukan tersebut berakhir, kecuali dikemudian hari telah ditentukan oleh para pihak untuk melanjutkannya kembali.

b). Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad tersebut tidak mengikat. c). Dalam akad yang bersifat mengikat, yaitu suatu akad bisa dianggap berakhir jika:

(1). Akad Jual beli itu fasid, hal ini bisa disebabkan ada unsur kecurangan atau salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi.

(2). Berlakunya syarat khiyar aib, yaitu adanya hak untuk membatalkan perjanjian karena sesudah perjanjian tersebut terdapat pada objek akad seuatu yang cacat, atau khiyar rukyah, yaitu adanya hak untuk memilih bagi pembeli untuk berlangsunganya atau membatalkannya jual beli terhadap objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.64

(3). Akad tersebut tidak dilaksanakan oleh satu satu pihak (4). Telah tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna. d). Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

Dokumen terkait