• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam buku Mariam Darus Badrulzaman yang berjudul Kompilasi Hukum Perikatan membagi jenis-jenis perjanjian yaitu:

a) Perjanjian Timbal Balik.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak, seperti perjanjian jual beli.

b) Perjanjian Cuma-Cuma.

Berdasarkan Pasal 1314 KUHPerdata menyebutkan, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak

      

yang memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima manfaat bagi dirinya sendiri, misalnya seperti perjanjian hibah. c) Perjanjian Atas Beban.

Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terhadap kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.

d) Perjanjian Bernama (Banoemd)

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam bab V sampai bab XVIII KUHPerdata.

e) Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst).

Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur didalam KUHPerdata, tetapi keberadaannya berada didalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidaj terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.

f) Perjanjian Obligatoir.

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menciptakan hak dan kewajibannya, misalnya dalam perjanjian jual beli, sejak terjadi persetujuan

mengenai benda dan harga, penjual wajib menyerahkan benda dan pembeli wajib membayar harga benda, penjual berhak atas pembayaran harga sedangkan pembeli berhak atas barang yang dibeli.

g) Perjanian Kebendaan.

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorangn menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.

h) Perjanjian Konsensual.

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persetujuan kehendak untuk mengadakan perjanjian. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tujuan perjanjian tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

i) Perjanjian Real.

Perjanjian real adalah suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu peminndahan atau pengalihan hak.

j) Perjanjian Liberatoir.

Perjanjian liberatoir adalah suatu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada (Pasal 1438 KUHPerdata).

Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

l) Perjanjian Untung-untungan.

Berdasarkan Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.

m)Perjanjian Publik.

Perjanjian publik adalah suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik. Karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan baik lainnya swasta. Diantara kedua belah pihak terdapat hubungan atasan dengan bawahan.

n) Perjanjian Campuran.

Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian didalamnya35.

Kemudian mengenai berakhirnya suatu perjanjian, berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata. Dalam Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan ada sepuluh cara hapusnya perjanjian. Kesepuluh cara tersebut diuraikan satu demi satu sebagai berikut :

1. Pembayaran.

      

35 Mariam Darus Badrulzaman. dkk, Kompilasi Hukum Perikatan. PT. Citara Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 66

Adapun dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang saja, melainkan juga penyerahan benda yang diperjanjikan. Dengan kata lain, perikatan berakhir karena pembayaran dan penyerahan benda. Jadi dalam hal objek perikatan adalah sejumlah uang, maka perikatan tersebut berakhir apabila adanya pembayaran uang. Dan dalam hal objek perjanjian benda, maka perjanjian tersebut berakhir apabila telah menyerahkan benda yang diperjanjikan. Lalu dalam hal objek perjanjian adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perjanjian tersebut berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda. Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilakukan oleh pihak yang bersangkutan, dalam hal ini pihak yang melakukan perjanjian. Namun berdasarkan Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan pihak lain yang merasa berkepentingan dalam perjanjian tersebut. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang membayar akan tetapi yang paling penting adalah yang namanya hutang harus tetap dibayar36.

2. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan.

Jika debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantara notaris atau juru sita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, berdasarkan atas penolakan kreditur itu debitur menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus

      

(Pasal 1404KUHPredata)37. Supaya penawaran pembayaran itu sah, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya.

b. Dilakukan oleh drbitur yang wewenang membayar.

c. Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan. d. Waktu yang ditetapkan telah tiba.

e. Syarat dimana hutang dibuat telah terpenuhi.

f. Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui.

g. Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaris atau juru sita disertai oleh dua orang saksi.

3. Pembaruan Hutang.

Pembaruan hutang terjadi dengan cara mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru, kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal hutang lama diganti dengan hutang baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang biasa disebut “novasi objektif”, disini hutang lenyap. Dalam hal penggantian orangnya (subjektif), maka jika debiturnya diganti, maka pembaruan ini disebut dengan “novasi subjektif pasif”. Lalu jika krediturnya diganti maka pembaruaan disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini hutang lenyap. Dengan kata lain pembaruan hutang adalah suatu peristiwa hukum dalam suatu perjanjian yang diganti dengan perjanjian lain. Dalam hal ini para pihak

      

mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang baru.

4. Perjumpaan Hutang.

Dikatakan perjumpaan hutang apabila antara debitur dan kreditur memiliki hutang secara timbal balik sehingga dilakukan perhitungan. Dalam perhitungan tersebut hutang lama lenyap. Lalu supaya hutang tersebut dapat dijumpakan perlu dipenuhi beberapa syarat antara lain :

a) Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama.

b) Hutang tersebut harus dapat ditagih.

c) Hutang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya . 5. Pencampuran Hutang.

Berdasarkan Pasal 1436 KUHPerdata, pencampuran hutang itu terjadi apabila antara kedudukan debitur dan kreditur menjadi satu. Artinya, berada dalam satu tangan, pencampuran hutang terjadi demi hukum. Karena pencampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap.

6. Pembebasan Hutang.

Pembebasah hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak lagi mengkehendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dan debitur menerima pernyataan tersebut maka dengan pembebasan ini perjanjian menjadi lenyap atau terhapus.

Menurut Pasal 1438KUHPerdata, pembebasan suatu hutang dalam perjanjian tidak boleh didasarkan pada persangkaan saja melainkan harus dibuktikan .

7. Musnahnya Benda Yang Terhutang.

Menurut Pasal 1444 KUHPerdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek pejanjian itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitur, dan sebelum dia lalai menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan, maka perjanjia tersebut hapus. Akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya karena pencurian maka musnahnya atau hilangnya benda tersebut tidak membebaskan debitur, dan menggantinya. Jadi dalam hal ini apabila sidebitur telah berusaha dengan segala upayanya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada seperti semula, ini disebut dengan resiko.

8. Karena Pembatalan.

Menurut ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya salah satu pihak belum dewasa atau tidak wewenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, melainkan dibatalkan. Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjrktif dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri melalui dua macam cara, yaitu :

Yaitu dengan cara menuntut pembatalan melalui pengadilan dengan cara mengajukan guguatan.

b. Dengan cara pembelaan.

Yaitu dengan cara menunggu sampai digugat di muka pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan-alasan yang mendukung tentang kekurangan dalam perjanjian itu.

Untuk itu pembatalan seccara aktif, undang-undang memberikan pembatasan waktu, yaitu lima tahun (Pasal 1445 KUHPerdata), seangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak ada batasan waktu.

9. Berlaku Syarat Batal

Syarat batal yang dimaksud di sini adalah suatu ketentuan isi perikatan yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perjanjian itu batal sehingga perjanjian tersebut hapus. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut semenjak perjanjia tersebut dibuat. Perjanjian tersebut dipulihkan seolah-olah tidak ada pernah terjadi perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpihutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dikamsud terjadi.

10. Lampau Waktu (Daluwarsa).

Menurut ketentuan Pasal 1946 KUHPerdata, lampau waktu adalah alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan

lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Atas daasar ketentuan tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu yaitu :

a. Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu benda disebut acqulsitieve varjaring.

b. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring.

Berdasarkan Pasal 1963 KUHPerdata untuk memperoleh hak milik atas suatu benda berdasarkan daluwarsanya harus dipenuhi unsur-unsur adanya ititkad baik, ada alas hak yang sah, menguasai benda itu terus-menerus selama 20 tahun tanpa ada yang menggugat, atau jika jika tanpa alas hak menguasai benda itu terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang menggugat.

Lalu pada Pasal 1967 KUHPerdata menentukan bahwa segala tuntutan, baik yang bersifat kebendaan meupun yang bersifat perorangan hapus karena daluwarsa, dengan lewat waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunjukkan daluwarsa itu tidak sah menunjukkan alas hak dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasar pada itikad buruk.

Terhadap benda bergerak yang bukan bunga atau piutang yang bukan atas tunjuk, siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian, jika ada oarang yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu tiga tahu terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut kembali bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya

dari tangan siapapun yang memilikinya. Pemegang benda terkahir dapat menuntut kepada orang terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian (Pasal 1977 KUHPerdata).

Dengan demikian daluwarsa adalah suatu upaya untu memperoleh sesuatu atu dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata).

Jika dalam suatu perjanjian tersebut telah dipenuhi salah satu unsur dari hapusnya perjanjian sebagaimana disebutkan diatas, maka perjanjian tersebut berakhir sehingga dengan berakhirnya perjanjian tersebut para pihak terbatas dari hak dan kewajiban masing-masing pihak.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar yang berada di garis khatulistiwa yang terdiri dari 17.504 pulau yang membentang mulai dari Sabang hingga Marauke. Oleh karena itu Indonesia merupakan negara yang memiliki posisi penting di dalam dunia Internasional. Untuk itu maka dibutuhkan alat transportasi pengangkutan untuk menunjang percepatan pergerakan perekonomian di Indonesia agar tercapainya kesejahteraan yang merata di seluruh Indonesia. Sebagaimana diketahui dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke IV bahwa tujuan nasional didirikannya Indonesia antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum bagi setiap warga negaranya. Saat ini adalah dengan memajukan pusat perekonomian, majunya sistem perdagangan dunia sehingga semua kegiatan harus dilakukan secara cepat dan tepat, agar terwujudnya kesejahteraan yang merata diseluruh Indonesia.

Tuhan menganugerahkan Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terbesar di dunia, keadaan geografis indonesia yang berupa daratan yang terdiri ribuan pulau dan merupakan perairan yang sebagian besar terdiri atas lautan dan sungai serta danau. Luasnya perairan di indonesia memaksa indonesia untuk menggunakan pengangkutan perairan sebagai sarana transportasi pengangkutan yang paling tepat untuk mempercepat proses penunjang agar perekonomian rakyat

mencapai kata sejahtera adalah melalui angkutan laut. Karena total maksimum beban yang diangkut dengan kapal laut lebih besar dibandingkan dengan angkutan udara dan angkutan darat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan kapal adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang yang berada dilaut (sungai dan sebagainya)2.

Dalam melakukan pengangkutan barang melalui laut, antara pengirim dengan pengangkut terlebih dahulu harus mengadakan kesepakatan untuk mengadakan perjanjian. Perjanjian ini dimaksudkan sebagai suatu tanda pengikat terhadap para pihak dalam pengangkutan barang yang akan diangkut. Tentu didalam perjanjian pengangkutan tersebut dimuat hak dan kewajiban serta sanksi apabila tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut supaya hendaknya janganlah ada salah paham antara para pihak.3

Pengangkutan adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, dan pengirim atau penumpang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Pengangkutan merupakan suatu usaha untuk menaikan nilai dan kegunaan dari suatu barang, sehingga nilai dan kegunaannya di suatu daerah tertentu dapat menjadikan barang tersebut berguna. Pengangkutan pada umumnya merupakan suatu perjanjian yang

      

2 Suharsono dan Ana Retnoningsih, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Widya Karya, Semarang hlm 223.

3 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju , Bandung, 2011. hal 1.

bersifat lisan tetapi didukung oleh dokumen-dokumen angkutan sebagai suatu bukti bahwa telah terjadi perjanjian pengangkutan.

Dalam suatu ketentuan tertentu antara pihak pengangkut dan pengguna pengangkutan dapat membuat ketentuan sendiri agar disepakati bersama sesuai yang tercantum di dalam Pasal 1319 KUHPerdata. Hal tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”4.

Sudah menjadi hal yang biasa terjadi apabila didalam perjanjian terjadi sebuah perselisihan antara masing-masing pihak dan merasa dirugikan. Dalam perjanjian pengiriman barang dimana tanggung jawab pengangkut merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Pasal 1367 KUHPerdata yang berkaitan dengan perjanjian dan tanggung jawab dalam pengangkutan.

Dalam perjanjian pengangkutan terdapat aspek-aspek hukum perjanjian yang memuat di dalam suatu perjanjian pengangkutan. Untuk itu perlu rasanya dilakukan pembahasan mengenai aspek-aspek hukum perjanjian didalam pengangkutan barang yang telah ada sekarang ini dan memilah sejauh mana sudut padang hukum terhadap perjanjian pengangkutan melalui angkutan laut sehingga dapat dijadikan masukan bagi penulis.

Maka dengan demikian berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas dan mengangkat judul: “KAJIAN ASPEK HUKUM PERJANJIAN

      

4 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. hal 342.

PENGANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN LAUT ( STUDI PT. SAMUDERA INDONESIA CAB. MEDAN BELAWAN)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disebutkan di atas, ada beberapa rumusan masalah yang telah dirumuskan penulis skripsi ini yaitu :

1. Bagaimana tanggung jawab perusahaan pengangkut mengenai pemuatan dan pembongkaran barang yang diangkut?

2. Bagaimana ganti rugi apabila barang yang diterima dalam keadaan rusak?

3. Bagaimana tanggung jawab pengangkut terhadap keterlambatan barang?

C. Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai penulis skripsi ini antara lain sebagai berikut :

1. Agar mengetahui peran dan tanggung jawab perusahan pemuatan dan pembongkaran barang dalam proses pengangkutan barang.

2. Agar mengetahui ganti rugi yang bagaimanakah yang diterima apabila barang yang diterima dalam keadaan rusak.

3. Agars mengetahui bagaimana tanggung jawab perusahaan pengangkut terhadap keterlambatan barang yang diterima.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang hendak diberikan oleh penulis skripsi adalah : 1. Untuk PT. Samudera Indonesia dalam meningkatkan mutu dari

pelayanan pengangkutan barang.

2. Untuk melihat kondisi objektif dari pelaksanaan perjanjian pengangkutan serta tanggung jawab pihak pengangkut PT. Samudera Indonesia dalam menyelesaikan tuntutan ganti rugi terhadap barang.

3. Dapat kiranya bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa sebagai ilmu pengetahuan dan juga dapat dijadikan sebagai referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia kajian adalah hasil dari mengkaji5. Dan mengkaji adalah belajar, mempelajari, memeriksa, menyelidiki, menguji, dengan demikian mengkaji adalah mempelajari, menyelidiki sesuatu. Pengertian aspek menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah segi pandang atau sudut pandang6, maka dengan demikian aspek adalah suatu sudut pandang mengenai sesuatu hal yang dilakukan atau dikerjakan. Perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak, syarat dan ketentuan yang harus disepakati

      

5 Suharsono dan Ana Retnoningsih, op. Cit., hlm. 212

teguh7, maka dengan demikian perjanjian adalah suatu syarat yang harus dipegang dengan teguh karena kesepakatan kedua belah pihak. Pengangkutan adalah proses perbuatan, cara mengangkut, usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ketempat yang lain8. Barang adalah benda yang berwujud, benda cair maupun benda keras dan sebagainya9. Laut adalah kumpulan air asin yang banyak atau luas yang memisahkan benua dengan benua atau pulau dengan pulau dan sebagainya10.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh karya ilmiah yang baik, maka karya ilmiah tersebut harus didukung dengan bukti, fakta dan data yang akurat. Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengolah data skunder saja. Juga ditambah dengan melakukan Field Reserarch penelitian lapangan untuk mendukung informasi untuk mendukung teori yang ada.

1. Teknik Pengumpulan Data.

Penelitian Kepustakaan, yaitu dengan melakukan bacaan-bacaan teoritis ilmiah yang digunakan sebagai bahan analisis terhadap masalah yang dibahas. Data-data tersebut diperoleh dari buku-buku referensi, buku catatan perkuliahan, diskusi, internet dan dokumen-dokumen peraturan perundang-undangan.

      

7 Suharsono dan Ana Retnoningsih., Ibid., hlm. 199

8 Suharsono dan Ana Retnoningsih .,Ibid., hlm. 42

9 Suharsono dan Ana Retnoningsih., Ibid., hlm. 77

Penelitian Lapangan, yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan cara melakukan penelitian langsung kelapangan untuk memperoleh data yang konkrit dan aktual, untuk itu penulis melakukan wawancara dengan Staf di PT. Samudera Indonesia Tbk.

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum berupa Kitab Undang-undang Hukum Dagan (KUHD), Kitab Undanga-undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayran.

b. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan hukum berupa hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah, jurnal hasil-hasil seminar, dan situs internet yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan skunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Analisis Data

Data skunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini menjadi beberapa bab, dan tiap babnya terbagi menjadi beberapa sub bab, antara lain sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULULAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah,tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan, dan keaslian penulisan.

BAB II : TENTANG PERJANJIAN

Bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian dan asas-asas hukumnya, syarat-syarat sahnya perjanjian, akibat hukum perjanjian bagi para pihak, jenis-jenis perjanjian dan berakhirnya perjanjian.

Dokumen terkait