• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN

C. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam Hukum Islam

Perjanjian atau akad dalam hukum Islam dibagi beberapa macam, dimana tiap macamnya akad tergantung dari sudut pandang mana dilihat, apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad atau perjanjian dibagi kepada dua macam yaitu: 1. Perjanjian atau akad yang sahih.

Perjanjian yang sahih adalah perjanjian yang telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara’. oleh karena itu konsekuwensi yang ditimbulkan akan mengikat para pihak yang berjanji atau yang berakad.72

Pertama, akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi

rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya atau dengan kata lain akan yang sempurna untuk dilaksanakan.

Menurut ulama Hanafiyah akad atau perjanjian yang sahih dibagi kepada dua macam, yakni sebagai berikut:

73

Kedua, akad yang mauquf, yaitu akad dilakukan oleh seseorang yang cakap

bertindak secara hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan dan melaksanakan perjanjian/akad tersebut,74

72

Rahmat Syafi’i,. Op Cit, hlm. 66

73

Hasballah Thaib, Op cit, hlm. 16

74

Ibid, hlm. 17

hal ini dapat dicontohkan ketika si A memberikan uang kepada si B sejumlah Rp. 7.000.000 (tujuh juta rupiah) untuk membeli seekor kambing, dan ternyata uang yang tujuh juta tadi dapat membeli 6 ekor kambing sehingga si B membeli 6 ekor kambing dengan uang tersebut. Keabsahan dari akad jual beli dengan 6 ekor kambing ini sangat tergantung kepada

persetujuan si A. Sebab yang disuruh pertama kali si B hanya untuk membeli 1 ekor kambing. Dari permasalahan jual beli ini dapat dianalisa, jika si A menyetujui akad yang dilakukan oleh si B maka jual beli itu sah, tetapi jika tidak maka jual beli tersebut menjadi batal.

2. Akad yang tidak sahih

Akad yang tidak sahih atau tidak sah adalah akad/ perjanjian yang tidak memenuhi unsur rukun dan unsur syarat, artinya akad ini tidak mempunyai dampak hukum atau tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah akad yang seperti ini tergolong kepada akad yang batal dan fasid. Menurut beliau akad yang batal dan fasid bisa

dibedakan, yaitu kalau akad yang batal berarti akad ini tidak memenuhi rukun akad, atau tidak ada barang yang diakadkan seumpama akad yang dilakukan oleh seorang yang bukan ahli akad contoh akad orang yang gila, sedangkan akad yang fasid adalah

akad yang memenuhi persyaratan dan rukunnya tetapi dilarang oleh syara’ seperti halnya menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan persoalan dibelakang hari.75

a. Akad yang mengikat dan tidak bisa dibatalkan sama sekali, seperti akad perkawinan, dalam hal ini akad yang tidak boleh dibatalkan kecuali dengan

Selanjutnya akad atau perjanjian dilihat dari sisi mengikat atau tidak mengikat. Yakni jika akad itu dilihat dari segi mengikat maka sudah mempunyai konsekuwensi tidak boleh membatalkan akad hanya satu pihak, atau tanpa seizin pihak lain di dalam melangsungkan akad ini. Ulama Fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu :

75

cara-cara yang telah ditentukan oleh syara’ untuk membatalkannnya, seumpama melalui thalak dan khulu’.

b. Akad yang mengikat tetapi bisa dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa menyewa atau al-muzara’ah (kerjasama dalam

bidang pertanian), maka dalam hal ini para pihak dibenarkan untuk melakukan khiyar artinya ada hak para pihak untuk memilih apakah meneruskan akad

yang telah memenuhi rukun tersebut atau membatalkannya.

c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak seperti al rahn dan al kafalah.76

Apabila akad atau perjanjian tersebut dilihat dari segi bentuk tasharuf atau

aktivitas hukum, maka ia memilki dua keadaan umum yaitu:

1). Akad tanpa syarat yakni suatu akad yang diucapkan oleh seseorang tanpa memberi batasan dengan suatu benda atau tanpa menetapkan suatu syarat akad, yang seperti ini dihargai oleh syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh ketika seseorang berkata “saya membeli tanahmu” lalu dikabulkan oleh yang seorang lagi, maka dalam bentuk ini terwujudlah akad dan akibat hukumnya adalah pembeli memiliki tanah dan penjual memiliki uang.

2). Akad bersyarat yaitu akad yang diucapkan oleh seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, dengan kata lain apabila syarat atau yang dikaitkan itu tidak ada maka akadnya pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaannya. Contoh “saya akan menjual tanah berikut bangunan rumah tempat tinggal ini dengan harga Rp. 700.000.000,- jika disetujui

76

oleh isteri saya”. Maka ketika telah ada persetujuan isterinya maka akad tersebut dianggap sah.

Untuk persoalan akad bersyarat ini ulama fiqhiyah membaginya lagi kepada tiga macam, yaitu :

Pertama, Ta’liq syarat yaitu menautkan atau mengkaitkan hasil sesuatu urusan

dengan urusan yang lain77

Kedua, Taqyid syarat, yaitu syarat pada suatu akad atau aktifitas berakibat

hukum yang hanya berupa ucapan saja, sebab pada hakekatnya tidak ada atau tidak mesti dilakukan,

, artinya terjadinya akad tersebut tergantung kepada urusan lain, maka jika urusan yang dikaitkan pertama tidak jadi maka akadpun tidak ada, contoh; jika orang yang berutang kepadamu pergi jauh, saya menjamin utangnya.

78

Ketiga, Syarat Ifadah, yaitu menyandarkan akad tersebut kepada sesuatu masa

yang akan datang,

seperti orang yang menjual televisi dengan syarat ongkos pengangkutannya ditanggung oleh yang punya toko.

79

a) Telah berakhirnya masa akad, jika dalam perjanjian/akad tersebut memiliki tenggang waktu.

dapat dicontohkan perkataan seorang atasan “gaji mereka akan dinaikkan pada awal tahun depan”.

Pada konsep hukum Islam suatu perjanjian atau akad akan dinilai berakhir ketika perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah berakhir, dalam hal ini ulama fiqhiyah memandang bahwa perjanjian atau akad akan berakhir yaitu sebagai berikut;

80

77

Rahmat Syafi’i, Op Cit, hlm. 68

78

Ibid, hlm. 69

79

Menurut kebiasaannya dalam suatu perjanjian telah disebutkan atau ditentukan saat, kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan berjalannya waktu yang dilalui maka secara otomatis pula perjanjian atau akad yang dilakukan tersebut berakhir, kecuali dikemudian hari telah ditentukan oleh para pihak untuk melanjutkannya kembali.

b). Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad tersebut tidak mengikat. c). Dalam akad yang bersifat mengikat, yaitu suatu akad bisa dianggap berakhir jika:

(1). Akad Jual beli itu fasid, hal ini bisa disebabkan ada unsur kecurangan atau salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi.

(2). Berlakunya syarat khiyar aib, yaitu adanya hak untuk membatalkan

perjanjian karena sesudah perjanjian tersebut terdapat pada objek akad seuatu yang cacat, atau khiyar rukyah, yaitu adanya hak untuk memilih bagi

pembeli untuk berlangsunganya atau membatalkannya jual beli terhadap objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.81

80

Hasballah Thaib, Op Cit, hlm. 19

81

Ibid, hlm. 34

(3). Akad tersebut tidak dilaksanakan oleh satu satu pihak (4). Telah tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna. d). Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.