• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

C. Jenis-jenis perjanjian

Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain :

1. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”.25

Dalam hal ini Abdulkadir Muhammad mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.”26

Kata “memberi keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”, karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak, tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu, tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada kedua

25

J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti Bandung, 1995. hal. 38.

26

belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra prestasi terhadap yang lain.

Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban.27

Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua) KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.28

Adapun perbedaan antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut pembatalannya merugikan kreditur.

2. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan

27

J. Satrio, Op Cit, hal. 149. 28

pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah29.

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh hak dan akan melaksanakan kewajibannya.

Jadi kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Sedangkan dalam perjanjian sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.

3. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak.

Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian, tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada.

4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian. Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya terbatas,

29

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 227.

maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan ke dalam perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.30

5. Perjanjian kebendaan

Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

6. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.31 7. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga

Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya

30

Ibid. 31

perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat hukum dalam keluarga saja.

Perkawinan timbul karena adanya kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya.

Namun mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu perkawinan.

Kemudian banyak lagi perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam masyarakat yang sesuai inteprestasi realitanya dianggap sebagai perjanjian, namun secara juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.

Dokumen terkait