• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Asas Kebebasan Berkontrak Dan Perjanjian Baku Dalam Jual Beli Apartemen Salemba Residence"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:

Alif, M. Rizal, 2009, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun

Di Dalam Kerangka Hukum Benda, Nuansa Aulia, Bandung.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1980, Pelangi Perdata II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

__________, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.

__________, 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Cet II, Alumni, Bandung.

Fuady, Munir, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Dalam Bisnis) Buku Kedua,Cet I, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Halim, Ridwan.A, 1990, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hamzah,Andi, Suandra, I Wayan, Manalu, B.A, 1990, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta.

Harahap M. Yahya , 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet II, Alumni, Bandung.

Miru, Ahmadi, 2008, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

(2)

__________, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1972, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur , Bandung.

__________, 1984, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur, Bandung.

__________, 1976, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Cet VIII, Sumur, Bandung.

Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sjahdeni, Remy Sutan, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia,

Institut Bankir Indonesia, Jakarta.

Subekti, R & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

___________, 1995, Aneka Perjanjian, Cet X, Bandung.

Syahmin A.K., 2006, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Widjaya Gunawan dan Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli (Seri Hukum Perikatan), Raja Grafindo Persada, Jakarta.

UNDANG-UNDANG:

Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun

(3)

79

Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor. 11/KPTS/1994

Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun

INTERNET:

http://taqlawyer.com/2006/07/klausula-baku.html. Diakses Tanggal 3 Mei 2010.

http://rastamanpoertorico.blogspot.com/2009/04/praktek-klausula-baku-dalam-jual-beli.html. Diakses Tanggal 3 Mei 2010.

http://irawanharahaplegalservices.blogspot.com/2009/12/asas-kebebasan-berkontrak-dan-kontrak.html. Diakses Tanggal 2 Mei 2010.

(4)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN BAKU

A . Latar belakang dan Perkembangan Perjanjian Baku di Indonesia

Beberapa tahun belakangan ini, dunia perdagangan mengalami

perkembangan yang sangat pesat baik dalam skala nasional maupun internasional.

Hal ini ditandai dengan banyaknya produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan

pihak pelaku usaha kepada masyarakat selaku pihak pembeli. Masyarakat tidak

perlu bersusah panyah dalam memenuhi kebutuhan mereka baik bersifat primer,

sekunder, tersier, dan komplementer. Semua telah disediakan oleh para pelaku

usaha.

Pitlo mengatakan latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah karena

keadaan sosial ekonomi. Perusahaan yang besar, dan perusahaan pemerintah

mengadakan kerja sama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka,

ditentukan syarat-syarat secara sepihak. Pihak lawannya pada umumnya

mempunyai kedudukan lemah, baik karena prinsipnya maupun karena

ketidaktahuannya hanya menerima apa yang di sodorkan.41

Pihak pelaku usaha dalam memenuhi kebutuhan pihak pembeli yang

semakin meningkat tersebut, tidak mungkin bergerak dengan lambat yang tidak

sesuai dengan permintaan. Menyingkapi hal ini pihak pelaku usaha berfikir

bagaimana caranya memberikan pelayanan yang efektif dan efisien kepada pihak

pembeli. Untuk itu, pihak pelaku usaha memikirkan suatu cara yaitu dengan

41

(5)

membuat atau menyusun isi dan syarat terlebih dahulu yang dituangkan kedalam

bentuk perjanjian baku.

Perjanjian baku merupakan suatu aspek perjanjian yang terdapat dalam

kehidupan sehari-hari. Perjanjian ini tumbuh dan berkembang untuk memenuhi

perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Akan tetapi,

dengan banyaknya pihak pembeli yang harus dipenuhi kebutuhannya, pihak

pelaku usaha tidak mungkin membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku

untuk orang-perorangan. Maka untuk memenuhi hasrat pihak pembeli tersebut,

pihak pelaku usaha merancang perjanjian yang berisi syarat-syarat tertentu yang

dapat diberlakukan secara kolektif dan massal. Jadi latar belakang dari perjanjian

baku adalah keadaan ekonomi. Di Indonesia tidak secara jelas diketahui sejak

kapan mulai timbul perjanjian baku dalam kehidupan sehari-hari, yang pasti sejak

dahulu perjanjian ini telah terjadi, misalnya dalam perjanjian jual beli dan cuci

cetak film.

Biasanya perjanjian baku ini dibuat dalam bentuk formulir dalam jumlah

yang tertentu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku pihak pembeli,

dimana formulir tersebut diberikan kepada masyarakat yang menginginkannya,

karena isi dari perjanjian baku itu terlebih dahulu dibuat oleh pihak pelaku usaha,

maka tidak jarang isi dari perjanjian baku itu bersifat menguntungkan satu pihak

saja yaitu pihak pelaku usaha. Mayoritas dari keseluruhan isi perjanjian baku itu

adalah mengatur tentang kewajiban pembeli yang harus dipenuhinya.

Di dalam transaksi perdagangan terutama dalam perjanjian jual beli,

perjanjian baku banyak digunakan. Hal ini dikarenakan dengan penggunaan

(6)

yang cepat (efisien) dan sekaligus memberikan kepastian hukum (efektif), yaitu

kepastian hukum yang menyatakan klausula baku tersebut berlaku sah dan

mempunyai kekuatan hukum. Dengan bentuk dan isi yang ditentukan hanya oleh

pihak pelaku usaha saja, maka pihak pembeli tidak dapat melakukan proses tawar

menawar, sehingga pihak pembeli hanya dapat melakukan tindakan “mengambil”

atau “menolak” isi perjanjian tersebut terkait dengan kebutuhannya. Istilah ini

dikenal dengan istilah “take it or leave it contract”.

B . Pengertian Perjanjian Baku

Yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian tertulis

yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, bahkan

seringkali perjanjian tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk

formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika perjanjian

tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data

informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam

klausula-klausulanya, di mana pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai

kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegoisasi atau mengubah

klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga

biasanya perjanjian baku sangat berat sebelah.42 Pihak yang kepadanya

disodorkan perjanjian baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk

bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it contract ”.

42

(7)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian baku adalah perjanjian

yang isinya di bakukan dan di tuangkan dalam bentuk formulir.43

Menurut Hondius bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat

berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas

perdagangan.44

Sutan Remy Sjahdeini mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian

yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan

pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingan atau

meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya

yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal

lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang

dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya.45

Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa ternyata

para ahli hukum dalam memberikan pengertian mengenai perjanjian baku ini

berbeda-beda. Tetapi pada prinsipnya sama, yaitu perjanjian tersebut ditentukan

secara sepihak, dengan kewajiban lebih banyak dibebankan kepada pihak pembeli,

karena pihak pembeli terdesak oleh kebutuhannya sehingga pihak pembeli

terpaksa menerima perjanjian itu, bentuknya tertulis berupa formulir-formulir dan

disiapkan dalam jumlah yang banyak.

43

Syahmin A.K., Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 142.

44

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo 45

(8)

Perjanjian baku ini biasanya dibuat pihak pelaku usaha dengan tujuan

pembuatan perjanjian lebih praktis dan efisien, tetapi perjanjian baku ini pada

umumnya hanya menguntungkan pihak pelaku usaha sedangkan pihak pembeli.

Perjanjian baku dapat dibedakan dalam tiga jenis:

1. Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak

yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat dalam hal

ini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi kuat dibandingkan

pihak debitur. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada

perjanjian buruh kolektif.

2. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang

mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria misalnya, dapat

dilihat formulir-formulir perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK

Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 No. 104/Dja/1977, yang

berupa antara lain akta jual beli, model 1156727 akta hipotik model 1045055

dan sebagainya.

3. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, terdapat

perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris

atau advokat yang bersangkutan, yang dalam kepustakaan Belanda biasa

disebut dengan “contract model”.46

46

(9)

C . Ciri-Ciri Perjanjian Baku

Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian baku, apabila dalam

perjanjian tersebut terdapat ciri-ciri sebagai berikut :

1. Perjanjian baku tertuang dalam bentuk formulir

Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakkan bahwa tiap-tiap

perikatan itu dilahirkan dari undang-undang dan karena persetujuan,

Undang-undang sifatnya tertulis, sedangkan persetujuan ada yang tertulis dan lisan.

Dari bunyi pasal ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian itu sifatnya bebas

tergantung para pihak yang membuatnya. Perjanjian dapat dibuat secara

tertulis maupun dalam bentuk lisan, hal ini dimata hukum adalah sah. Namun,

ketentuan mengenai perjanjian baku biasanya ditetapkan dalam bentuk tertulis,

oleh karena itu disebut dengan perjanjian baku.

2. Isinya ditetapkan secara sepihak

Isi perjanjian ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak yang mempunyai posisi

ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak yang lain. Dalam hal

ini yang memiliki posisi ekonomi kuat adalah pihak pelaku usaha, sedangkan

yang berada dalam posisi ekonomi lemah adalah pihak pembeli. Pihak

pembeli dalam hal ini tidak dapat melakukan penawaran dan hanya dapat

menerima maupun menolak isi perjanjian tanpa dapat melakukan

perubahan-perubahan terhadap isi perjanjian tersebut.

3. Perjanjian baku berlaku secara kolektif dan massal

Perjanjian baku yang dibuat secara tertulis dalam bentuk formulir-formulir

tersebut diperbanyak atau digandakan dalam jumlah yang tidak terbatas. Isi

(10)

pembeli, namun berlaku massal tanpa melihat kondisi dan keadaan pihak

pembeli baik dari segi ekonomi ataupun yang lainnya. Bersifat kolektif berarti

isinya tetap dan tertentu, tidak disesuaikan dengan orang perorangan. Dimana

isi perjanjian tidak dapat diubah oleh pihak yang lemah posisinya, dalam hal

ini pihak pembeli.

4. Kebutuhan pihak pelaku usaha sebagai pengikat

Dalam hal ini kedudukan pihak pelaku usaha sangat kuat, kebutuhan hidup

pihak pembeli yang kian hari kian meningkat itu hanya dapat dipenuhi atau

disediakan oleh pihak pelaku usaha sehingga pihak pembeli demi

mempertahankan hidupnya terpaksa menerima isi perjanjian karena kebutuhan

yang memaksa. Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah ketika pihak pembeli

menerima perjanjian tersebut seakan tiada paksaan dan merupakan kehendak

bebas dari pihak pembeli itu sendiri.

D. Kekuatan Mengikat Perjanjian Baku

Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320

KUHPerdata, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belak pihak atau karena alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.47

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang. Jika ada yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi

47

(11)

hukum. Jadi, barang siapa melanggar perjanjian, ia akan mendapat hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar

perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-undang atas permintaan pihak lainnya. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar perjanjian itu harus membayar ganti kerugiaan (Pasal 1243 KUHPerdata), menanggung beban

resiko (Pasal 1237 ayat 2 (dua) KUHPerdata).48

Kemudian beliau menambahkan, perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau membatalkan itu

harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Namun demikian, apabila ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, perjanjian dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.49

Keadilan dalam hukum itu menghendaki kepastian, yaitu apa yang

diperjanjikan harus dipenuhi, janji itu mengikat seperti undang-undang (Pasal

1338 ayat 1 (satu)), sedangkan yang harus dipenuhi itu sesuai dengan kepatutan

dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat 3 (tiga), asas keadilan). Hakim berwenang

mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak sesuai dengan

kepatutan dan kesusilaan atau dengan itikad jahat.

Dengan melihat hal yang telah diuraikan di atas, bagaimana kekuatan mengikatnya perjanjian baku ini, menurut Mariam Darus Badrulzaman meninjau masalah ada dan kekuatan mengikat perjanjian baku, maka secara teoritis yuridis,

48

Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hal. 97. 49

(12)

perjanjian ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki oleh Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata.50

Kemudian beliau menambahkan, kita melihat bahwa perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan perundingan dengan pengusaha (kreditur). Debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku ini. Sehingga perjanjian baku ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata dan akibatnya tidak ada.51

50

Mariam Darus II, Op Cit, Hal. 52. 51

(13)

BAB IV

ANALISIS HUKUM ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU JUAL BELI

A. Keabsahan Jual Beli Apartemen Salemba Residence Sebagai Perjanjian Baku

Jual beli diatur dalam pasal 1457 KUHPerdata yaitu jual beli adalah suatu

persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan.52 Bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang

melahirkan kewajiban untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud

dalam bentuk penyerahan uang oleh pihak pembeli kepada pihak pelaku usaha.53

Ketentuan Pasal 18 ayat 1 (satu) Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985,

tentang rumah susun menentukan bahwa satuan rumah susun yang telah dibangun

baru dapat dijual untuk dihuni setelah mendapat izin lanyak huni dari pemerintah

daerah yang bersangkutan. Untuk mendapatkan izin lanyak huni perusahaan

pengembang harus telah menyelesaikan bangunan dan sudah harus bersertifikat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk dapat menjual satuan-satuan

apartemen, perusahaan pengembang pembangunan apartemen harus mendapat

izin layak huni dari pemerintah daerah, sedangkan untuk melaksanakan jual

belinya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, terlebih dahulu harus memenuhi

persyaratan adanya akta pemisahan atas satuan-satuan apartemen untuk

pembuatan sertifikat hak milik atas apartemen oleh Kantor Pertanahan setempat.

52

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Op Cit, hal. 366. 53

(14)

Dalam prakteknya banyak apartemen-apartemen yang belum selesai

dibangun oleh perusahaan pengembang pembangunan telah dipasarkan untuk

dijual kepada pihak pembeli. Ini dilakukan oleh perusahaan pengembang

apartemen untuk memperoleh dana murah dan menjajaki kepastian pasar. Bagi

pihak pembeli dengan membeli apartemen pada saat apartemen tersebut belum

dibangun adalah untuk mendapatkan harga yang relatif murah, karena pada

kenyataannya harga apartemen setelah bangunannya selesai harganya naik.

Bentuk hubungan hukum antara perusahaan pemgembang dengan pihak

pembeli tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian baku. Lazimnya perjanjian

tersebut telah disiapkan oleh perusahaan pengembang apartemen sepihak dalam

suatu bentuk dan klausul-klausul tertentu yang kemudian diajukan kepada pihak

pembeli. Perjanjian jual beli tersebut baik dibuat dalam bentuk akta di bawah

tangan maupun dalam bentuk akta notaris.

Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul

sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak

mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Penggunaan

perjanjian baku ini merupakan rasionalisasi hubungan hukum perjanjian sebagai

cara meningkatkan efisiensi dalam pemakaian tenaga, biaya, dan waktu dengan

tujuan untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada pihak pembeli.

Di dalam hubungan pra kontraktual, pihak pelaku usaha lebih dominan

sebab dalam tahap awal ini posisi itu memang berada pada pihak pelaku usaha

namun setelah perjanjian jual beli dilaksanakan, maka posisi pihak pelaku usaha

sangatlah lemah sehingga sudah semestinya dalam tahap negosiasi ini pihak

(15)

masalah-masalah sehubungan dengan perjanjian jual beli pada masa yang akan

datang. Dalam hal ini pihak pembeli berada pada posisi yang sekadar mencermati

isi perjanjian jual beli namun tidak berarti tidak mempunyai kemampuan dalam

menentukan syarat-syarat dan klausul perjanjian.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu perjanjian, hukum Indonesia

tidak hanya memberikan perlindungan kepada pihak pelaku usaha, tetapi juga

memberikan perlindungan kepada pihak pembeli terhadap pihak pelaku usaha

yang tidak jarang menyalahgunakan kedudukannya yang kuat dalam menghadapi

mereka yang ingin membeli, yaitu dengan memaksakan syarat-syarat yang

melampaui batas kewajaran dan pertimbangan keadilan. Kenyataan tersebut

mengimplementasikan bahwa perjanjian jual beli dalam bentuk baku itu di

dalamnya banyak terdapat klausul-klasul yang cukup memberatkan.

Namun bagaimana juga kiranya ketentuan-ketentuan yang ada dalam

perjanjian jual beli dimana pihak pelaku usaha hendaknya menjalankan kegiatan

usahanya semestinya memperhatikan juga pengakomodiran hak-hak dan

kepentingan pihak pembeli, termasuk di dalamnya pencantuman klausul-klausul

tertentu yang tidak boleh memberatkan salah satu pihak.

Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat

Nomor 11/KPTS/1994 tanggal 17 November 1994 Tentang Pedoman Pengikatan

Jual Beli Satuan Rumah Susun, dimaksud untuk mengamankan kepentingan

perusahaan pengembang apartemen serta para calon pihak pembeli dari

kemungkinan terjadinya ingkar janji dari para pihak tersebut. Dengan adanya

pembatasan oleh pemerintah tersebut antara hak dan kewajiban para pihak dalam

(16)

B. Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Jual Beli Apartemen Salemba Residence

KUHPerdata maupun perundang-undangan lainnya tidak memuat

ketentuan yang mengharuskan maupun melarang seseorang untuk mengikatkan

diri dalam suatu perjanjian ataupun mengharuskan maupun melarang untuk tidak

mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia

memantapkan adanya kebebasan ini. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang

membuat perjanjian, maka tentunya perjanjian yang dibuat tidaklah sah, orang

tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Adanya paksaan menunjukkan

tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk

memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju atau tidak setuju mengikatkan

diri pada perjanjian yang dimaksud, dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak

dapat dilangsungkan.

KUHPerdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya tidak

melarang bagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan siapapun juga yang

menghendakinya. Undang-undang hanya menentukan bahwa orang tertentu tidak

cakap membuat perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330

KUHPerdata. Dari segi ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap orang

memilih pihak dengan siapa ia menginginkan untuk membuat perjanjian asalkan

pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Bahkan

menurut Pasal 1331 KUHPerdata, bila seseorang membuat perjanjian dengan

(17)

perjanjian, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh

pihak yang tidak cakap.

KUHPerdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya juga tidak

memberikan larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk

tertentu yang dikehendakinya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian

tertentu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan, misalnya dibuat dalam akta

otentik. Dengan demikian sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak

menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka

para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendakinya, yaitu

apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat

dengan akta di bawah tangan atau akta otentik.

Berdasarkan data pihak penjual PT. ADHI KARYA (Persero) Tbk

membuat perjanjian jual beli apartemen dalam bentuk baku atau standar kontrak

yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh pihak pelaku usaha.

Perjanjian tersebut dibuat sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi dalam

pemakian tenaga, biaya, dan waktu dengan tujuan untuk memberikan pelayanan

sebaik-baiknya kepada pihak pembeli. Dalam pembuatan perjanjian, pihak pelaku

usaha lebih dominan sebab dalam tahap awal ini posisi itu memang berada pada

pihak pelaku usaha namun setelah perjanjian jual beli dilaksanakan, maka posisi

pihak pelaku usaha sangatlah lemah sehingga sudah semestinya dalam tahap

negosiasi ini pihak pihak pelaku usaha senantiasa mengatur berbagai hal guna

menghindari terjadinya masalah-masalah sehubungan dengan perjanjian jual beli

(18)

kesempatan untuk merubah atau menegosiasikan klausul-klausul dan substansi

perjanjian tersebut.

Dalam membuat perjanjian jual beli yang disebut perjanjian pengikatan

jual beli telah mengakomodasikan hak-hak pembeli sebagai pihak kedua dalam

perjanjian secara wajar. Ini dapat dilihat dalam perjanjian pengikatan jual beli

tersebut seperti klausul :

a. Pihak pertama dengan ini setuju dan mengikatkan dirinya untuk menjual

kepada pihak kedua dan pihak kedua dengan ini setuju dan mengikatkan diri

untuk membeli dari pihak pertama hak milik atas unit apartemen;

b. Hak milik atas unit apartemen meliputi juga hak atas bagian bersama, benda

bersama, dan tanah bersama sesuai dengan nilai perbandingan proporsionalnya

(NPP);

c. Setiap pembayaran harga jual beserta jumlah uang lain yang harus dibayar

oleh pihak kedua kepada pihak pertama menurut perjanjian ini harus

dilakukan melalui rekening pihak pertama pada: Bank Mandiri cabang wisma

baja, acc Nomor: 070.0004192857, atas nama KSO Adhi Realty-Eden Capital.

Setiap pembayaran harga jual beserta jumlah uang lain yang harus dibayar

oleh pihak kedua kepada pihak pertama menurut perjanjian ini harus

dilakukan secara penuh, tanpa potongan. Pembanyaran melalui cek/bilyet giro

atau transfer ke rekening pihak pertama dianggap diterima setelah dana yang

bersangkutan efektif diterima atau dibukukan dalam rekening pihak pertama

dan kemudian dikeluarkan kwitansi resmi oleh pihak pertama;

d. Segera setelah pihak kedua menerima pemberitahuan mengenai penyerahan

(19)

menandatangani Berita Acara Serah Terima, dengan ketentuan bahwa pihak

kedua tidak lalai dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan

perjanjian ini;

e. Para pihak dengan ini setuju dan mengikatkan diri untuk menandatangani akta

jual beli segera setelah:

-sertifikat hak milik atas satuan rumah susun telah diterbitkan dan

didaftarkan atas nama pihak pertama oleh pihak yang berwenang;

-harga jual atas unit apartemen telah dilunasi;

-berita acara serah terima telah ditandatangani oleh para pihak;

-iuran penggunaan dan iuran pemeliharaan atas unit apartemen untuk

periode waktu yang bersangkutan telah dilunasi, dan:

-ongkos, biaya, serta pajak sebagaimana dinyatakan dalam pasal 8

perjanjian telah dilunasi.

Klausul-klausul perjanjian jual beli apartemen yang membebaskan pihak

pelaku usaha dari tanggung jawabnya seperti “segala biaya, risiko dan akibat

hukum yang timbul sehubungan dengan perubahan dan/atau penambahan atas unit

apartemen tersebut, menjadi beban dan tanggung jawab Pihak pembeli

sepenuhnya, dan sehubungan dengan hal tersebut Pihak pembeli dengan ini akan

membebaskan Pihak pelaku usaha dari tuntutan dan/atau gugatan pihak manapun

juga mengenai hal tersebut”.

Dalam ketentuan tersebut pihak pelaku usaha melepaskan tanggung

jawabnya atas akibat perubahan jika terjadi tuntutan dari pihak ketiga lainnya,

pada hal dalam setiap perubahan atas setiap satuan rumah susun tersebut adalah

(20)

Dengan demikian berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat

dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian jual beli apartemen

dalam bentuk baku sudah terakomodasi dengan baik atau dengan kata lain asas

kebebasan berkontrak telah dilaksanakan oleh pihak penjual walaupun dengan

pembatasan-pembatasan dalam klausul-klausul tertentu.

C. Klausula-Klausula Baku Terhadap Jual Beli Apartemen Salemba Residence Belum Memenuhi Asas Kebebasan Berkontrak

Walaupun belum dilakukan penelitian secara pasti, dewasa ini sebagian

besar perjanjian dalam dunia bisnis berbentuk perjanjian baku/perjanjian

standar/standard contract.Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah

suatu perjanjian yang isinya telah diformulasikan oleh suatu pihak dalam

bentuk-bentuk formulir.

Lahirnya perjanjian baku dilatarbelakangi antara lain oleh perkembangan

masyarakat modern, dan perkembangan keadaan sosial ekonomi. Tujuan semula

diadakannya perjanjian baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis sebagai

contoh dapat ditemukan perjanjian baku seperti dalam perjanjian kredit

perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian penitipan barang, perjanjian antara

konsumen dengan PT. Telkom, perjanjian antara konsumen dengan PDAM,

perjanjian antara pemilik hotel dengan konsumen, dsb.

Ketentuan yang sangat penting dalam hubungan dengan perjanjian

menurut KUHPerdata, antara lain adalah Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu)

KUHPerdata. Pentingnya Pasal 1320 KUHPerdata disebabkan dalam pasal

(21)

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.

Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata

berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:

1. bebas membuat jenis perjanjian apa pun;

2. bebas mengatur isinya;

3. bebas mengatur bentuknya.

Kesemuanya dengan persyaratan tidak boleh bertentangan dengan

Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Bahwa perjanjian baku

memenuhi asas kebebasan berkontrak seperti yang tertuang dalam Pasal 1320 dan

1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata. Mengenai hal ini terdapat pendapat:

1. Perjanjian baku tidak memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang diatur

pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata;

2. Perjanjian baku memenuhi unsur-unsur perjanjian seperti yang dimaksud pada

Pasal 1320 dan Pasal 1338 ayat 1 (satu) KUHPerdata.

Seperti telah diuraikan, isi perjanjian baku telah dibuat oleh satu pihak,

sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas.

Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana

menurut asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku

berlaku, “take it or leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil,

(22)

Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi perjanjian baku yang

memberatkan atau merugikan pihak pembeli sebagaimana diketahui lazimnya

syarat-syarat dalam perjanjian baku adalah mengenai:

1. cara mengakhiri perjanjian;

2. cara memperpanjang berlakunya perjanjian;

3. cara penyelesaian sengketa;

4. klausula eksonerasi.

klausula eksonerasi adalah klausula yang digunakan dengan tujuan pada

dasarnya untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak

terhadap gugatan pihak lainnya, dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak

dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian

tersebut.54

Klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian baku pada umumnya

terlihat pada ciri-ciri yang ada, yaitu adanya pembatasan tanggung jawab atau

kewajiban salah satu pihak yaitu pihak pelaku usaha untuk membayar ganti rugi

kepada pihak pembeli. Klausula eksonerasi dapat berasal dari pihak pelaku usaha

yang membuat rumusan pasal undang-undang.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri-ciri klausula eksonerasi adalah

sebagai berikut:

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif kuat dari

debitur;

2. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu ;

54

(23)

4. Bentuknya tertulis;

5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.55

Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian

antara pihak pelaku usaha dan pihak pembeli. Eksonerasi hanya dapat digunakan

jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

Tujuan utama klausula eksonerasi adalah menghindari pihak pembeli merugikan

kepentingan pihak pelaku usaha.

Dalam perjanjian, pihak pembeli adalah pihak yang dilayani oleh pihak

pelaku usaha sebagai pelayan. Dalam hubungan ekonomi dikatakan pihak pembeli

adalah raja. Sebagai raja pihak pembeli dapat berbuat semaunya, sehingga dapat

merugikan pihak pelaku usaha. Untuk menghindari kemungkinan timbul kerugian

itu, pihak pelaku usaha mencari akal, yaitu menciptakan syarat baku yang disebut

eksonerasi. Dengan kepintaran pihak pelaku usaha, eksonerasi dibuat sedemikian

rapi, sehingga pihak pembeli dalam waktu relatif singkat kurang memahami

isinya. Baru dapat disadari setelah mendapat peristiwa yang menimbulkan

kerugian, dan berdasarkan klausula eksonerasi kerugian tersebut menjadi beban

tanggung jawab pihak pembeli.

Dalam suatu perjanjian dapat dirumuskan klausula eksonerasi karena

keadaan memaksa yaitu kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan

tanggung jawab para pihak. Tetapi dalam syarat perjanjian dapat dibebankan

kepada pihak pembeli, pihak pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab,

misalnya dalam menyewa barang, barang tersebut musnah karena terbakar. Sebab

55

(24)

kebakaran bukan salah para pihak. Dalam hal ini pihak pembeli diwajibkan

melunasi harga yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.

Apabila melihat keadaan di Indonesia, klausula eksonerasi ini sudah

muncul sejak lama dimana masyarakat pihak pembeli kurang menyadari dan

memperhatikannya. Apabila ada ketentuan yang merugikan biasanya tidak

dipermasalahkan. Dengan demikian, walaupun pihak pelaku usaha mempunyai

kebebasan merumuskan dan memberlakukan syarat atau klausula eksonerasi,

pembatasan oleh undang-undang dan kesusilaan tidak dapat diabaikan.

Keberlakuan eksonerasi dapat dikontrol melalui nilai-nilai pancasila dan rasa

keadilan masyarakat Indonesia.

D. Manfaat Yuridis Dari Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Baku Bagi Pelaku Usaha

Hukum dan sistem sosial masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan, dimana hukum ada karena kehendak dari mayarakat dan tujuan dari

dibentuknya hukum adalah untuk masyarakat. Hukum hanya dapat dimengerti

dengan jalan memahami sistem sosial terlebih dahulu, karena hukum merupakan

suatu proses dan sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem

sosial sebagai bagian dari sistem sosial itu sendiri. Hukum secara sosiologis

adalah penting, dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (social institution)

yang merupakan himpunan nilai- nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilaku yang

berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.56

Faktor-faktor yang menyebabkan pelaku usaha mencantumkan klausula

baku tersebut yaitu:

56

(25)

1. Motif Ekonomi dan Pengetahuan Pelaku Usaha

Hubungan jual beli apartemen yang terjadi antara pihak pelaku usaha

dengan pihak pembeli dilaksanakan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan/atau

kepentingan masing-masing pihak, yaitu bagi konsumen memenuhi salah satu

kebutuhan sehari-hari di dalam bertempat tinggal, sedangkan kebutuhan pelaku

usaha dalam kegiatan usahanya yaitu nilai ekonomi atau keuntungan yang dapat

diperolehnya (tujuan usaha).

Klausula baku dalam dokumen jual beli barang apartemen merupakan

salah satu “sarana” bagi pihak pelaku usaha untuk mencapai tujuan usahanya

yaitu keuntungan sebesar-besarnya dengan risiko yang sekecil-kecilnya (surplus).

Keuntungan yang lebih yang di dapatkan pelaku usaha, yaitu seperti:

a. beralihnya tanggung jawab dan/atau resiko pihak pelaku usaha atas

apartemen kepada pihak pembeli,

b. kewajiban pihak pelaku usaha yang diberikan kepada pihak pembeli dan

pihak pembeli menerima atas kondisi apartemen yang diinginkan dari

pihak pelaku usaha .

2. Sosial Masyarakat

Masyarakat pada dasarnya merupakan konsumen. Menurut Aristoteles

“manusia adalah makhluk sosial”, artinya bahwa manusia akan selalu

membutuhkan manusia yang lainnya untuk memenuhi apa yang menjadi

kebutuhan dan kepentingannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan

pada hakekatnya manusia sebagai konsumen dimulai sejak lahir sampai dengan

(26)

kandungan pun sudah menjadi konsumen yaitu konsumen yang berkaitan dengan

kesehatan, pertumbuhan dan kecerdasan anak.57

Berdasarkan fakta yang ada, diketahui bahwa masyarakat juga menjadi

penyebab klausula baku tersebut tetap ada yaitu dikarenakan :

a. Lemahnya pengetahuan atau pemahaman akan klausula baku yang

mengandung unsur klausula eksonerasi, sehingga dari hal ini juga

menyebabkan lemahnya kontrol masyarakat terhadap praktek jual beli

tersebut;

b. Lemahnya kesadaran masyarakat yang berkenaan dengan kerugian yang

mungkin di alaminya;

c. Sikap kurang hati-hati, yaitu dengan tidak membaca atau mengamati dengan

teliti isi dokumen, termasuk ketentuan klausula baku yang ada;

d. Lemahnya rasa kepedulian bersama yaitu dimana pihak pembeli hanya

memperjuangkan kepentingan pribadinya semata tanpa memperdulikan pihak

pembeli lainnya pada satu masalah yang sama (klausula baku), seperti dengan

memberikan informasi, dan sebagainya;

3. Peran Pemerintah

Lemahnya peranan pemerintah dalam membentuk kesadaran hak dan

kewajiban secara hukum, baik pihak pelaku usaha ataupun pihak pembeli dalam

praktek jual beli. Peranan pemerintah merujuk pada tingkatan paksaan eksternal

yang dirasakan individu atau manusia, baik berupa membuat aturan hukum dan

melaksanakan bekerjanya hukum, antara lain seperti sosialisasi, pembinaan,

pengawasan, dan penegakan hukum.

57

(27)

Pemerintah merupakan suatu lembaga yang memiliki dominasi dan

otoritas yang sah, yaitu hak perintah berdasarkan legalitas aturan tertulis. Dari

sudut pandang teknis murni, birokrasi mampu mencapai tingkat efisiensi tertinggi,

dan dalam hal ini secara formal dikenal sebagai sarana paling rasional untuk

menjalankan otoritas terhadap manusia. Birokrasi lebih tinggi dari bentuk lain

dalam soal stabilitas, dan ketaatan disiplin, dan keterpercayaannya. Birokrasi

membuka kemungkinan bagi tingginya tingkat kalkulabilitas hasil bagi kepala

organisasi dan bagi mereka yang bertindak dalam kaitan dengan ini. Akhirnya

birokrasi lebih tinggi dalam hal efisiensi intensif dan cakupan operasinya dan

secara formal dapat diterapkan pada segala macam tugas administratif.58

4. Waktu

Sejarah merupakan salah satu dasar acuan untuk mengubah, mengadaptasi,

menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari masyarakat. Semakin

sedikit orang mengenal waktu yang lalu, semakin besar pula seseorang dikuasai

oleh waktu, terutama mengenal faktor-faktor sosial yang merupakan nilai sosial

yang akan selalu melingkupi perubahan dalam masyarakat. Secara teoritis

dijelaskan bahwa sosiologis berusaha merumuskan konsep tipe dan keseragaman

umum proses-proses empiris, sedangkan sejarah berorientasi pada kausal dan

penjelasan atas tindakan struktur, dan kepribadian individu yang memiliki

signifikasi kultural.59

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perjanjian baku yang dirancang

secara sepihak oleh pihak pelaku usaha akan menguntungkan pihak pelaku usaha

berupa:

58

(28)

a. efisiensi biaya, waktu, dan tenaga;

b. praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa formulir atau blanko

yang siap diisi dan ditandatangani;

c. penyelesaian cepat karena pihak pembeli hanya menyetujui dan

menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya;

(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Keabsahan jual beli apartemen Salemba Residence ini mengacu kepada

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun dan

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang rumah susun dijadikan

apartemen. Mengenai perjanjian tersebut berdasarkan pula pada Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal kepemilikan bersama ini

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terlalu bulat dan utuh. Hal

tersebut karena telah ada Undang-Undang lain yang mengatur secara

khusus mengenai kepemilikan bersama ini. Akan tetapi hal-hal umum

yang terdapat dalam perjanjian tersebut adalah tetap mengatur kepada

peraturan yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seperti

halnya mengenai perjanjian jual beli. Hal-hal pokok yang ada dalam

perjanjian jual beli pasal 1320 KUHPerdata yaitu: “kesepakatan,

kecakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal”. Maka dalam

perjanjian ini pun harus berdasarkan kepada empat hal tersebut di atas.

Apabila tidak terpenuhi salah satu unsur yang tersebut di atas maka

perjanjian tersebut adalah batal demi hukum.

2. Di dalam perjanjian jual beli apartemen Salemba Residence hendaknya

tidak memenuhi klausula baku yang bersifat klausula eksonerasi karena

klausula eksonerasi digunakan dengan tujuan pada dasarnya untuk

(30)

pihak pelaku usaha terhadap gugatan pihak lainnya sebagai pihak pembeli

yang belum memenuhi asas kebebasan berkontrak. Setelah mendapatkan

peristiwa yang menimbulkan kerugian maka berdasarkan klausula

eksonerasi kerugian tersebut menjadi beban pihak pembeli.

3. Manfaat bagi pihak pelaku usaha dalam perjanjian baku yaitu untuk

mencapai tujuan usaha dengan mencari keuntungan sebesar-besarnya dan

memperkecil risiko. Dengan beralihnya tanggung jawab atau risiko pihak

pelaku usaha atas apartemen yang diberikan kepada pihak pembeli yang

menjadi pemilik apartemen. Perjanjian baku yang dirancang secara

sepihak oleh pihak pelaku usaha akan menguntungkan pihak pelaku usaha

yaitu efisien biaya, waktu, tenaga, praktis karena perjanjian dibuat dalam

jumlah yang banyak dan penyelesaian cepat karena pihak pembeli hanya

menyetujui atau tidak menyetujui..

B. Saran

1. agar dalam penyusunan hukum perjanjian hendaknya diperhatikan

kebiasaan serta kecendrungan yang hidup dalam masyarakat, khususnya

masyarakat dunia usaha, sehingga hukum perjanjian dimaksud dapat

menyesuaikan diri dengan hasrat serta kebutuhan yang tumbuh dalam

masyarakat.

2. Seyogianya perjanjian jual beli berbentuk baku yang tidak memberi

kebebasan pihak-pihak dalam menentukan isi dan bentuk perjanjian dan

tidak mencerminkan keseimbangan dan kewajiban yang pada akhirnya

(31)

3. agar hendaknya peraturan-peraturan tentang kepemilikan bersama dalam

apartemen Salemba Residence selain memperhatikan segi-segi ekonomis

dan yuridis juga mempertimbangkan asas-asas keadilan dengan

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian yang di dalam hukum perikatan merupakan salah satu sumber

dari perikatan itu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1233 KUHPerdata,

yaitu “ Setiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena

undang-undang “.

Dalam hal ini A. Ridwan Halim mengemukakan pendapatnya sebagai

berikut :

Sumber-sumber perikatan itu adalah :

a. Perjanjian atau persetujuan

b. Undang-undang

c. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang dibedakan lagi atas :

1. Perbuatan manusia menurut hukum/halal

2. Perbuatan manusia yang melanggar hukum

d. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang lain, yakni suatu sikap manusia

dimana ia mengikatkan dirinya sendiri kepada sesuatu hal yang sebenarnya

bukan menjadi kewajibannya, misalnya :seseorang yang telah bersedia

mengikatkan diri untuk menjaga rumah tetangganya selama tetangganya itu

pergi sehingga bila terjadi kehilangan di rumah tetangganya itu dialah yang

bertanggung jawab.13

13

(33)

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa perjanjian itu sering terjadi dan

dilakukan oleh masyarakat, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak

tertulis (lisan dan secara diam-diam). Masalah perjanjian ini mempunyai ruang

lingkup yang cukup luas. Sehingga sangat menarik untuk dibahas dan diteliti,

apalagi kalau perjanjian itu dikaitkan dengan masalah asas-asas kebebasan

berkontrak dan perjanjian baku dalam jual beli yang dilakukan oleh pihak-pihak

pengusaha, sebagaimana topik yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 1313 yaitu:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.14

Dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata di atas terlihat bahwa perjanjian

diistilahkan dengan persetujuan. Padahal pengertian persetujuan lebih luas dari

pengertian perjanjian. Jika pada persetujuan yang mengikatkan diri hanya sepihak

saja, maka pada perjanjian yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak.

Sehingga pengertian persetujuan atau perjanjian yang dikemukakan dalam

Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang

dikemukakan dalam pernyataan berikut :

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang datang dari satu pihak

saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling

mengikatkan diri”, jadi ada konsensus diantara pihak-pihak.

14

(34)

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian perbuatan

termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming),

tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang tidak mengandung suatu

konsensus, seharusnya dipakai kata persetujuan.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut

di atas terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji

kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud

adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan

saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUHPerdata sebenarnya

hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat

personal.

d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan

mengadakan perjanjian. Sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas

untuk apa.15

Untuk lebih menyempurnakan pengertian perjanjian yang ditentukan

dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang dianggap oleh sebagian sarjana mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pernyataan di atas, maka pengertian perjanjian itu sebaiknya sebagai berikut, yaitu : “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Mengingat adanya kata sepakat diantara kedua pihak yang mengikatkan

diri tersebut merupakan unsur dan syarat utama dalam suatu perjanjian, maka

tidak salah kalau perjanjian itu merupakan perbuatan dari dua orang atau lebih

yang saling mengikatkan diri dan bukan hanya satu orang atau satu pihak saja

15

(35)

yang harus mengikatkan diri. Oleh karena itu tentang pengertian-pengertian

perjanjian itu Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya dengan

mengartikan perjanjian itu sebagai berikut : “suatu kata sepakat antara dua pihak

atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikatkan

kedua belah pihak”.16

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian adalah suatu hubungan hukum

kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak

pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak

lain untuk menunaikan prestasi. Dari pengertian ini dapat dijumpai beberapa unsur

antara lain hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi.17

Kalau dikaitkan pengertian perjanjian di atas dengan ketentuan yang diatur

dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu ”Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan

empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal.18

maka terlihat dengan jelas bahwa perjanjian itu harus didasarkan atas kesepakatan

para pihak, yang dalam hal ini harus dilakukan sedikitnya dua orang itu harus

benar-benar sepakat untuk mengikatkan dirinya masing-masing.

16

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1972, hal. 11.

17

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet II, Alumni, Bandung, 1986, hal.6. 18

(36)

Selanjutnya kesepakatan kedua pihak itu untuk mengikatkan dirinya

masing-masing, sudah barang tentu mempunyai maksud dan tujuan, yaitu tentang

sesuatu yang menyangkut dengan harta benda kekayaan masing-masing. Sesuatu

itulah yang menjadi tujuan para pihak mengikatkan diri.

Dengan demikian agar tidak terjadi perbedaan pendapat dan pandangan

dalam mengartikan perjanjian pada pembahasan skripsi ini, maka perjanjian itu

adalah suatu persetujuan diantara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan

dirinya untuk melakukan sesuatu apa yang telah mereka setujui.

B. Unsur-Unsur Perjanjian

Berbicara tentang unsur-unsur perjanjian, secara umum Abdulkadir

Muhammad, mengatakan sebagai berikut :

a. ada pihak-pihak sedikitnya dua orang;

b. ada persetujuan diantara pihak-pihak itu;

c. ada tujuan yang akan dicapai;

d. ada prestasi yang akan dilaksanakan;

e. ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;

f. ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian.19

Ad.a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang

Dalam suatu perjanjian pihak-pihak merupakan unsur yang utama, karena

disamping pihak-pihak itu dijadikan sebagai subjek perjanjian, juga perjanjian itu

tidak akan pernah ada apabila tidak adanya pihak yang menginginkan, membuat

perjanjian itu.

19

(37)

Pihak-pihak dalam perjanjian itu yang menurut hukum perjanjian

merupakan subjek perjanjian selain berupa manusia juga dapat berupa badan

hukum. Karena menurut hukum, manusia dan badan hukum merupakan subjek

hukum yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum di dalam masyarakat.

Dimata hukum manusia dapat menjadi subjek hukum dengan sendirinya,

sedangkan badan hukum harus melalui suatu proses yang dilandasi teori-teori

yang dikenal dalam ilmu hukum itu sendiri.

Adapun teori-teori yang menyatakan badan hukum itu merupakan subjek

hukum adalah :

1.) Teori Fictie (perumpamaan)

Menurut teori ini, badan hukum itu diumpamakan sebagai manusia, terpisah

dari manusia yang menjadi pengurusnya. Karena itu perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pengurusnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan badan

hukum, melainkan perbuatan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan

pada hukum itu. Dengan demikian badan hukum itu tidak berbuat secara

langsung. Sehingga pengurus tersebut adalah orang yang bertindak atas kuasa

dari badan hukum itu. Jadi badan hukumlah yang bertanggung jawab atas

segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurusnya.

Menurut teori ini, maka badan hukum yang melakukan perbuatan melawan

hukum tidak dapat digugat dengan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu:

”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang

(38)

mengganti kerugian tersebut”20tetapi dapat digugat dengan Pasal 1367

KUHPerdata.

Alasannya, karena badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum

(termasuk perjanjian) telah menguasakannya kepada orang yang telah menjadi

pengurusnya. Sehingga walaupun perbuatan melawan hukum itu dilakukan

oleh pengurusnya sendiri, maka badan hukumlah yang bertanggung jawab.

Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1367 KUHPerdata, yaitu :

“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

“Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anaknya yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali”.

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang itu dipakainya”.

“Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab terhadap kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasan mereka”.

Tanggung jawab yang disebut di atas berakhir, jika orang tua, wali, guru-guru sekolah, dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.21

2.) Teori Organ (perlengkapan)

Dalam teori ini badan hukum dipersamakan dengan manusia pribadi.

Bertindaknya badan hukum itu melalui perlengkapan (organ). Dengan

demikian badan hukum melalui perlengkapannya secara langsung bertanggung

jawab terhadap semua perbuatan hukum yang dilakukannya. Tentang sejauh

20

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Loc Cit. 21

(39)

mana orang dapat dianggap sebagai perlengkapan badan hukum dan sejauh

mana kewenangan dari perlengakapan tersebut, dapat dilihat dari anggaran

dasar pendirian badan hukum itu. Karenanya menurut pendapat Wirjono

Prodjodikoro, yaitu badan hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum

dapat digugat melalui Pasal 1365 KUHPerdata. Sedangkan terhadap bawahan

alat perlengkapan badan hukum tetap dipertanggung jawabkan berdasarkan

Pasal 1367 KUHPerdata.22

Jadi dalam hal ini harus dapat dibedakan mana yang merupakan perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh badan hukum itu sendiri dan mana

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perlengkapannya.

3.) Teori Yuridische Realiteit (kenyataan hukum)

Dalam teori ini, bahan hukum adalah realitas hukum yang dibentuk dan diakui

sama seperti manusia pribadi. Maksudnya, badan hukum itu dibuat, dibentuk

didasarkan kepada kenyataan hukum yang ada, yang tujuannya agar badan

hukum itu diakui sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan

hukum.

Menurut teori ini, apabila badan hukum melakukan perbuatan melawan

hukum, maka badan hukum itu dapat digugat berdasarkan Pasal 1365

KUHPerdata.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa badan hukum dianggap sebagai

subjek hukum adalah karena badan hukum itu diumpamakan sebagai manusia,

karena badan hukum dianggap sama dengan manusia pribadi, serta karena

22

(40)

kenyataan hukum yang menganggap bahwa badan hukum itu sama dengan

manusia pribadi.

Ad.b. Ada persetujuan diantara pihak-pihak itu

Persetujuan disini adalah merupakan keputusan, setelah dilakukannya

perundingan. Karena perundingan itu sendiri adalah tindakan pendahulu untuk

menuju tercapainya persetujuan. Selanjutnya persetujuan itu ditunjukkan dengan

penerimaan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat dan objek

perjanjian tersebut, maka timbullah persetujuan sebagai salah satu syarat dari

perjanjian.

Sehingga menurut Abdulkadir Muhammad, yang dirundingkan tersebut

adalah tentang “syarat-syarat dan objek perjanjian, sehingga dengan disetujuinya

oleh masing-masing pihak tentang syarat-syarat dan objek perjanjian itu timbullah

persetujuan”.23

Ad.c. Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan mengadakan perjanjian adalah mencapai sesuatu yang dibutuhkan

oleh pihak-pihak. Kebutuhan tersebut hanya dapat terpenuhi dengan cara

mengadakan perjanjian dengan orang lain. Namun belum berarti para pihak boleh

mengadakan perjanjian dengan mencapai kebutuhan tersebut secara bebas yang

mutlak. Karena undang-undang telah membatasinya, dimana tujuan yang akan

dicapai itu tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, disesuaikan dan

bertentangan dengan undang-undang.

Ad.d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan

23

(41)

Sebagai akibat adanya persetujuan timbullah kewajiban untuk melakukan

suatu prestasi yang merupakan kewajiban para pihak sesuai dengan syarat-syarat

perjanjian.

Ad.e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan

Bentuk perjanjian ini berguna untuk dijadikan dasar kekuatan mengikat

dan kekuatan pembuktiannya. Bentuk perjanjian ini biasanya dibuat dalam bentuk

akte atau tulisan. Selain itu perjanjian diperbolehkan juga untuk dibuat secara

lisan, dalam hal ini sebagai catatan haruslah diperbuat dengan kata-kata yang jelas

maksud dan tujuannya.

Ad.f. Ada syarat-syarat tertentu, sebagai isi perjanjian

Syarat-syarat ini pada hakikatnya adalah merupakan isi perjanjian. Karena

dari syarat-syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak.

Kemudian syarat-syarat tersebut pada umumnya terdiri dari syarat-syarat pokok,

seperti tentang barang, dan harganya. Serta syarat-syarat perlengkapan, seperti

cara pembayaran, cara penyerahan barang dan sebagainya.

1. Sepakat mereka yang telah mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal24

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan, bahwa antara

unsur-unsur perjanjian dengan syarat-syarat perjanjian atau perikatan yang diatur dalam

24

(42)

Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kaitan yang sangat erat. Dengan kata lain,

syarat-syarat perjanjian itu merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi.

Selanjutnya dalam suatu perjanjian syarat-syarat yang diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata harus ada dan harus terpenuhi. Oleh karenanya dalam suatu

perjanjian para pihak diberi kebebasan untuk menentukan dan membuat isi

perjanjian yang dikehendakinya, sesuai dengan asas konsesualitas yang dikenal

dalam hukum perdata dan hukum perjanjian.

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal adanya beberapa jenis

perjanjian, antara lain :

1. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Dikatakan dengan perjanjian cuma-cuma adalah “suatu persetujuan dengan

mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa

menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”.25

Dalam hal ini Abdulkadir Muhammad mendefenisikan perjanjian ini

dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian yang hanya memberikan keuntungan

pada satu pihak saja.”26

Kata “memberi keuntungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan

kata “prestasi”, karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan

atau tidak, tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang

satu, tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian

cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada kedua

25

J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti Bandung, 1995. hal. 38.

26

(43)

belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau sebanding,

sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra prestasi terhadap

yang lain.

Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi

pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa

disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering

disebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma dengan

perjanjian atas beban.27

Menurut Pasal 1314 ayat 2 (dua) KUHPerdata, yang dimaksud dengan

perjanjian atas beban adalah “suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing

pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.28

Adapun perbedaan antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas

beban, yaitu bahwa pada perjanjian cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan

perjanjian yang merugikan kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu

bahwa perbuatan merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah

perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas beban,

debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak ketiga yang

mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut pembatalannya

merugikan kreditur.

2. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak

berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa dan

tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan

27

J. Satrio, Op Cit, hal. 149. 28

(44)

pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk

menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah29.

Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh

hak dan akan melaksanakan kewajibannya.

Jadi kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak.

Sedangkan dalam perjanjian sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk

berprestasi adalah hanya satu pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk

menerima prestasi dari pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A

berkewajiban memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban

tersebut merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank

hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A.

3. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara

kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Dengan

perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya kesepakatan diantara

para pihak.

Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai

dasar timbulnya suatu perjanjian, tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan

barang yang menjadi objek perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian

itu ada.

4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian.

Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya terbatas,

29

(45)

maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian bernama, yaitu

perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan ke dalam

perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang

tidak mempunyai nama tertentu dan dilihat dari jumlahnya tidak terbatas.30

5. Perjanjian kebendaan

Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk

memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut dengan

kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan realisasi dari

perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam

perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut

hukum atau tidak.

6. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum

mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk

beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu

penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena

membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan.31

7. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga

Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab

Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya

30

Ibid. 31

(46)

perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk

perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau akan

menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat hukum

dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat hukum dalam

keluarga saja.

Perkawinan timbul karena adanya kesepakatan diantara pihak pria dan

wanita dan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal

tersebut sama halnya dengan syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam

perkawinan para pihak yang akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut

telah ditentukan, seperti antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan

sebagainya.

Namun mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang

menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri,

kemudian hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari

undang-undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis dapat

dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam

Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku bagi hak dan

kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu perkawinan.

Kemudian banyak lagi perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam

masyarakat yang sesuai inteprestasi realitanya dianggap sebagai perjanjian, namun

secara juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang

(47)

D. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa prinsip atau asas sebagai suatu

landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang

terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut

merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan

sikap untuk membuat peraturan hukum.

Beberapa ketentuan yang menjadi dasar dari perjanjian yang disebut

sebagai asas hukum perjanjian antara lain :

1. Asas kebebasan berkontrak (partij otonomie)

Asas ini terdapat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat 1 (satu) berbunyi :

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya”.32

Maksud yang terkandung dalam asas ini adalah bahwa hukum perjanjian itu

bersifat terbuka, dimana dalam hal ini terhadap para pihak dalam perjanjian

diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang

berisi mengenai apa saja, dengan pembatasan bahwa isi dari perjanjian itu

tidak melanggar ketertiban umum, dan kesusilaan yang berlaku dalam

kehidupan masyarakat, dan juga undang-undang. Sepakat mereka yang

mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian.33

2. Asas konsensual (persesuaian kehendak)

32

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Loc Cit. 33

(48)

Menurut R. Subekti, dalam bukunya Aneka Perjanjian, mengatakan sebagai

berikut “Konsensual berasal dari perkataan “konsensus” yang berarti

kesepakatan.”34

Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang

bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya : apa yang

dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh orang lain.

Kedua kehendak ini bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat

ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan

perkataan-perkataan, misalnya : “setuju”, “oke” dan lain-lain sebagainya ataupun dengan

bersama-sama menaruh tanda-tanda dibawah pernyataan-pernyataan tertulis

sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa

yang tertera di atas tulisan itu.

Dalam pasal tersebut tidak mengisyaratkan suatu formalitas tertentu di

samping sepakat yang telah terjadi, seolah-olah disimpulkan bahwa setiap

perjanjian telah sah (mengikat) apabila telah tercipta kesepakatan dari

perjanjian tersebut. Padahal terhadap asas konsensualisme juga terdapat

pengecualian, yaitu terhadap perjanjian yang oleh Undang-undang ditetapkan

suatu formalitas-formalitas tertentu, misalnya perjanjian penghibahan, jika

mengenai benda tidak bergerak harus dengan akte notaris, perjanjian

perdamaian yang harus diadakan secara tertulis.

3. Asas kepercayaan

Dalam mengadakan suatu perjanjian antara satu pihak dengan pihak yang lain

harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak artinya bahwa

34

Referensi

Dokumen terkait

Mengimbau lembaga negara, kementerian/lembaga, Tentara Nasional Indonesia, Bank Indonesia, Kejaksaan, Kepolisian, kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, pemerintah

Wilayah Kulonprogo terbagi dalam tiga sekuens yaitu Fluvial berupa Area Tangkapan (diwakili daerah Samigaluh); Freatik berupa Area Konservasi (diwakili Kenteng,

Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Haber dan Runyon (1984, dalam Suryani, 2007) bahwa jika seseorang mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi

Berdasarkan pemeriksaan histologi gonad terbukti bahwa ukuran rerata oosit pada perlakuan suntikan larutan 17β- estradiol (P3) lebih tinggi dibanding per- lakuan P1, P2

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 16 subyek penelitian latihan yang diberikan yaitu pengaruh penambahan wobble board exercise pada core

Penulis ingin mengetahui terhadap apa saja permasalahan yang dihadapi dan bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh para pedagang kali lima pasca relokasi di

Nurrizka Ardiyansyah, skripsi mahasiswi UIN Raden Intan Lampung, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Prodi Bimbingan Konseling yang berjudul “Peran Komunikasi Orangtua

Penelitian ini menyimpulkan bahwa metode pembelajaran tematik yang diterapkan di Sekolah Luar Biasa (SLB)-ABCD Muhammadiyah Palu diterapkan dengan langkah-langkah