• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Suasana Lingkungan Sosial Kelas

3. Jenis-Jenis Suasana Lingkungan Sosial Kelas

Sholah (1989: 25-26) yang mengutip pendapat Dreikurs dan Leron Grey yang menggunakan pendekatan sosio-emosional kelas, mengemukakan tiga jenis suasana yang dihadapi oleh siswa setiap hari.

a. Suasana Autokrasi. Dalam suasana outokrasi guru banyak menerapkan perintah, menggunakan kekerasan, penekanan, persaingan, hukuman dan ancaman untuk maksud pengawasan perilaku siswa, serta dominan guru yang sangat menonjol.

b. Suasana Laissez-Faire. Dalam suasana ini, guru terlalu sedikit bahkan sama sekali tidak memperlihatkan kegiatannya atau kepemimpinannya serta banyak memberikan kebebasan kepada siswanya. Guru melepaskan tanggung jawab kepada anggota kelompok.

c. Suasana Demokratis. Guru memperlakukan siswanya sebagai individu yang dapat bertanggung jawab, berharga, mampu mengambil keputusan dan dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Dampak yang ditimbulkan dari suasana demokratis adalah tumbuhnya rasa percaya diri, saling menerima dan percaya satu sama yang lain, baik antara guru dengan siswa maupun antar siswa. Guru membimbing, mengembangkan, dan membagi tanggung jawab untuk semua warga kelas termasuk guru. Dengan demikian suasana kelas yang demokratis ini akan memberikan dampak positif, karena guru dan siswa mempunyai kesempatan untuk saling memahami, membantu, mengemukakan segala sesuatu yang dirasakan secara terbuka.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Suasana Lingkungan Sosial Kelas

Supriadie dan Darmawan (2012) mengemukakan enam faktor yang mempengaruhi terciptanya suasana lingkungan sosial kelas yang kondusif untuk pembelajaran antara lain:

a. Pendekatan pembelajaran hendaknya berorientasi pada bagaimana siswa belajar (student centered).

b. Adanya penghargaan guru terhadap partisipasi aktif siswa dalam setiap konteks pembelajaran.

c. Guru hendaknya bersikap demokratis dalam memanag kelas dan kegiatan pembelajaran.

d. Setiap permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran di kelas sebaiknya dibahas secara dialogis.

e. Lingkungan kelas sebaiknya disetting sedemikian rupa sehingga memotivasi siswa dan mendorong terjadinya proses pembelajaran.

f. Menyediakan berbagai jenis sumber belajar atau informasi yang berkaitan dengan berbagai sumber belajar yang dapat diakses.

5. Dimensi dan Indikator Suasana Lingkungan Sosial Kelas

Moos (2002) mengemukakan ada tiga dimensi umum yang dapat digunakan untuk mengukur lingkungan psikis dan sosial. Ketiga dimensi tersebut adalah:

a. Dimensi Hubungan (relationship)

Dimensi hubungan mengukur sejauh mana keterlibatan peserta didik di dalam kelas, sejauh mana peserta didik saling mendukung dan membantu, dan sejauh mana mereka dapat mengekspresikan kemampuan mereka secara bebas dan terbuka. Moos mengatakan bahwa dimensi ini mencakup aspek afektif dari interaksi antarpeserta didik dan antar peserta didik dengan guru. Skala-skala iklim kelas yang termasuk dalam dimensi ini diantaranya adalah kekompakan (cohesiveness), kepuasan (satisfaction) dan keterlibatan (involment).

Keterlibatan misalnya mengukur sejauh mana para peserta didik peduli dan tertarik pada kegiatan-kegiatan dan berpartisipasi dalam diskusi-diskusi kelas.

b. Dimensi pertumbuhan dan perkembangan pribadi (personal growth/development)

Dimensi ini disebut juga dengan dimensi yang berorientasi pada tujuan, membicarakan tujuan utama kelas dalam mendukung pertumbuhan/perkembangan pribadi dan motivasi diri.

c. Dimensi perubahan dan perbaikan system (system maintance and change)

Dimensi ini membicarakan sejauh mana iklim kelas mendukung harapan, memperbaiki control dan merespon perubahan.

Darkenwald dan Valentine (Dalam Tarmidi, Wulandari 2005) mengemukakan tujuh dimensi dalam mengukur iklim kelas, yaitu:

1) Hubungan (relationship)

Mencakup kesenangan siswa dalam berinteraksi secara positif dengan siswa lainnya. Dimensi ini mencerminkan seberapa jauh derajat atau tingkat keintiman hubungan antara individu. Hubungan yang dibangun mencakup kesenangan siswa dalam berinteraksi secara positif dengan siswa lainnya.

Selain itu, dimensi ini pun menjelaskan bahwa dukungan teman sebaya dan aktivitas belajar bersama sangat ditekankan oleh para pengajar sebagai unsur penting dalam proses pembelajaran dan akan memunculkan anggapan para siswa bahwa aspek-aspek yang terdapat pada iklim kelas sebagai fitur pembelajaran mereka.

2) Dukungan Guru (teacher support)

Dimensi ini mencakup bantuan, mendorong semangat, penuh perhatian, dan sikap guru yang bersahabat terdapat pada siswa. Dimensi ini mengukur seberapa jauh guru memberikan

dukungan atau bantuan terhadap siswa, atau perhatian serta keterlibatan emosi guru dengan siswa. Dukungan guru ini merupakan dimensi yang merupakan unsur dominan dalam iklim pembelajaran di kelas.

3) Orientasi terhadap tugas (task orientation)

Dimensi ini menekankan pada seberapa pentingnya penyelesaian aktivitas-aktivitas yang telah direncanakan.

Orientasi terhadap tugas mencakup bagaimana siswa dan guru secara bersama menjaga pemusatan terhadap tugas dan nilai suatu prestasi. Dalam dimensi ini pun menjelaskan bahwa peran penting guru yang terampil dalam menjaga fokus kegiatan dan tujuan pembelajaran serta dapat memfasilitasi diskusi di dalam kelas.

4) Pencapaian tujuan pribadi (personal goal attainment)

Dimensi ini mencakup kejelasan dan pengorganisasian aktivitas kelas. Pada dimensi ini menekankan aktivitas-aktivitas kelas secara keseluruhan dan mencakup pada kejelasan dan pengorganisasian tugas-tugas. Sehingga pada prinsipnya dimensi ini mengukur bagaimana sistem administrative suatu lingkungan kelas, dan bagaimana kondisi tersebut akan mempengaruhi iklim kelas yang ada.

5) Pengorganisasian dan kejelasan (organization and clarity) Dimensi ini mencakup sejauh mana pengorganisasian dan kejelasan aturan dalam kelas. Dimensi ini menekankan pada unsur-unsur seperti persiapan tutor, penggambaran tujuan pembelajaran di kelas, organisasi kelas, arah tujuan, dan urutan kegiatan belajar. Selain itu pula akan memunculkan suatu aspek motivasi yang signifikan dalam proses pembelajaran terutama karena program yang dibuat yaitu dirancang untuk memenuhi kebutuhan peserta didik.

6) Pengaruh yang diberikan siswa (student influence)

Bagaimana guru berpusat pada siswa, dan melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan dalam kelas.

7) Keterlibatan (involvement)

Dimensi ini menggambarkan keterlibatan siswa dalam aktivitas belajar dan mecakup pada kepuasan siswa terhadap keadaan kelas sehingga dapat berpartisipasi aktif dan penuh perhatian dalam setiap aktifitas. Dalam dimensi keterlibatan ini dibuktikan dengan partisipasi siswa dalam kegiatan diskusi di kelas, tingkat kesenangan peserta didik, sejauhmana peserta didik mengajukan pertanyaan ketika didalam kelas, dan derajat kebosanan siswa di dalam kelas. Selain itu pentingnya secara aktif melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran dan

bila memungkinkan membuat iklim pembelajaran yang terbuka dan partisipasif.

6. Karakteristik Suasana Lingkungan Sosial Kelas

Ciri-ciri kelas yang memiliki suasana lingkungan sosial kelas yang baik menurut Moedjiarto (2002:36) adalah sebagai berikut:

a. Suasana pembelajaran dikelas, tenang, jauh dari kegaduhan dan kekacauan.

b. Adanya hubungan yang akrab, penuh pengertian, dan rasa kekeluargaan antara guru dan siswa di kelas.

c. Disekolah tampak adanya sikap mendahulukan kepentingan sekolah dan kepentingan banyak, sedangkan kepentingan pribadi mendapatkan tempat yang paling belakang

d. Semua kegiatan sekolah diatur dengan tertib, dilaksanakan dan dilakukan dengan penuh tanggungjawab dan merata

e. Siswa mendapat perlakuan adil, tidak dibeda-bedakan antara yang miskin dan kaya, pandai dan yang lamban berfikir, semuanya mendapat kesempatan yang sama untuk berprestasi sebaik-baiknya f. Didalam kelas dapat dilihat adanya aktvitas belajar mengajar yang

tinggi

g. Siswa aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pelajaran yang kurang dipahami, sedangkan guru dengan senang hati senantiasa bersedia menjawabnya. Untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa

dijawab, dengan bijaksana guru meminta waktu untuk mencari data dan informasi lebih lanjut.

h. Siswa saling menghargai satu sama lainnya, dan terhadap gurunya siswa memiliki rasa hormat yang tinggi.

7. Cara menciptakan suasana lingkungan sosial kelas

Waldman (2011) mengemukakan suasana lingkungan sosial kelas dapat tercapai apabila memenuhi empat elemen sebagai berikut:

a. Keamanan

Sebelum siswa dapat berhasil secara akademis, mereka harus merasa aman, baik secara fisik maupun mental. Meskipun sekolah menggunakan berbagai langkah untuk memastikan keamanan fisik siswa, upaya-upaya tertentu terkadang memiliki efek negatif pada siswa, terutama mereka yang secara tradisional kurang terlayani.

Sementara data menunjukkan bahwa tingkat remaja mengalami kejahatan kekerasan di sekolah mereka telah menurun, masalah seperti bias rasial berlaku dan berdampak pada efektivitas langkah-langkah keamanan sekolah.

Keselamatan melampaui kesejahteraan fisik siswa. Untuk memiliki lingkungan belajar yang aman, siswa harus merasa disambut, didukung, dan dihormati. Namun, kebijakan disiplin sekolah dan kode etik tidak selalu mendukung iklim sekolah yang positif. Misalnya, praktik disiplin eksklusi, seperti mengeluarkan siswa dari ruang kelas,

skorsing, dan pengusiran, berdampak negatif terhadap prestasi akademik siswa dan kemungkinan mereka lulus dari sekolah menengah. Yang lebih memprihatinkan, data menunjukkan bahwa sekolah secara tradisional mendisiplinkan siswa yang kurang terlayani dengan tingkat yang jauh lebih tinggi daripada teman-teman sebayanya walaupun penelitian tidak menunjukkan bahwa para siswa ini lebih sering berperilaku tidak pantas. Membangun iklim sekolah yang positif dan memastikan siswa siap untuk belajar membutuhkan kode etik sekolah yang mempromosikan hubungan orang dewasa dan siswa yang positif dan bekerja untuk menjaga lebih banyak siswa di kelas.

b. Keterlibatan

Data Gallup (2014) terbaru menunjukkan tren yang meresahkan — ketika siswa bergerak melalui sistem pendidikan K-12, mereka menjadi semakin tidak terlibat. Pada saat siswa mencapai nilai kesebelas dan dua belas, hanya sepertiga siswa melaporkan merasa terlibat. Dalam sebuah survei terhadap orang tua siswa dari masyarakat berpenghasilan rendah, Alliance for Excellent Education (2016) menemukan mayoritas menyatakan keprihatinan bahwa kebutuhan belajar individu siswa tidak terpenuhi dan bahwa siswa tidak belajar pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk berhasil di dunia nyata.

Pembelajaran pribadi adalah salah satu pendekatan instruksional yang dapat membalikkan tren ini. Pendekatan yang berpusat pada siswa ini untuk mempelajari instruksi yang disesuaikan dengan kekuatan dan kebutuhan unik siswa dan melibatkan mereka dalam konten akademik berbasis standar yang menantang.

Personalisasi pembelajaran membantu siswa mengembangkan keterampilan termasuk berpikir kritis, menggunakan pengetahuan dan informasi untuk menyelesaikan masalah yang kompleks, bekerja secara kolaboratif, berkomunikasi secara efektif, belajar cara belajar, dan mengembangkan pola pikir akademik. Keterampilan ini, dikenal sebagai kompetensi pembelajaran yang lebih dalam, bukan hanya keterampilan yang siswa butuhkan untuk berhasil di sekolah, tetapi keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk berhasil dalam karier dan kehidupan.

c. Keterhubungan

Siswa harus merasa terhubung dengan guru, staf, dan siswa lainnya. Sekolah dapat memelihara hubungan ini dengan berfokus pada pembelajaran sosial dan emosional siswa (SEL). SEL membantu siswa memahami dan mengelola emosi dan interaksi mereka dengan orang lain dan membangun keterampilan yang diperlukan untuk berkomunikasi dan menyelesaikan konflik. “Program SEL telah terbukti meningkatkan kompetensi sosial siswa, kesadaran diri,

koneksi ke sekolah, interaksi positif dengan orang lain, dan kinerja akademik,” menurut SDCR. Ada praktik khusus yang dapat diadopsi oleh pendidik untuk merangkul SEL di ruang kelas, yang juga menciptakan iklim sekolah yang positif dan lingkungan yang mendukung pembelajaran siswa yang lebih dalam.

Guru adalah bagian penting dari membina jenis lingkungan belajar di kelas yang mendukung keberhasilan siswa. Namun banyak siswa, terutama siswa kulit berwarna dan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah, tidak memiliki akses ke guru yang siap dan efektif. Pendidik dan administrator membutuhkan peluang pengembangan profesional dan pelatihan untuk memenuhi kebutuhan akademik, sosial, dan emosional siswa untuk menciptakan iklim sekolah yang positif.

d. Dukungan

Siswa harus merasa didukung oleh semua yang terhubung dengan pengalaman belajar mereka. Ini termasuk guru, teman sekelas, administrator, keluarga, dan anggota masyarakat. Pihak-pihak ini harus berbagi pemahaman tentang seperti apa iklim sekolah yang positif di sekolah dan ruang kelas sehingga mereka dapat bekerja bersama menuju tujuan bersama ini.

Para pemimpin sekolah dapat melibatkan anggota masyarakat, guru, siswa, dan orang tua dalam pekerjaan peningkatan iklim sekolah

melalui percakapan, pertemuan, survei, dan menciptakan kemitraan sekolah-masyarakat. Para pemimpin sekolah harus mengumpulkan dan memasukkan umpan balik dari semua kelompok ini dalam setiap pekerjaan perbaikan iklim sekolah. Panduan cepat untuk para pemimpin kabupaten dan sekolah, guru, dan anggota komunitas sekolah lainnya tentang cara memulai, menerapkan, dan mempertahankan peningkatan iklim sekolah.

B. Hakikat Pendidikan Karakter di sekolah 1. Pengertian Karakter

Berkowitz (Koesoema, 2012: 25) mendefinisikan karakter sebagai sekumpulan karakter psikologis yang memengaruhi kemampuan dan kecondongan pribadi agar dapat berfungsi secara moral. Menurut Pritchard (Koesoema, 2012: 27) karakter adalah “a compex set of relatively persistent qualities of the individual person, and the term has a definite positive connotation when it is used in discussions of moral education.” Artinya, karakter merupakan sekumpulan kualitas moral yang relative stabil dalam diri seseorang. Karakter memiliki konotasi positif ketika diterapkan dalam diskusi moral. Samani & Hariyanto (2011: 41) mengungkapkan:

Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan

berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika.

Lickona (Akhwan, 2014: 61) mengatakan bahwa karakter berkaitan dengan ketiga komponen, yaitu konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Ia juga mengatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Berkaitan dengan hal tersebut, Yaumi (2014: 7) mengatakan bahwa komponen karakter adalah moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang yang ditunjukkan kepada orang lain melalui tindakan. Ia juga mengatakan, karakter seseorang terpisah dari moralitasnya, baik buruknya karakter tergambar dalam moralitas yang dimiliki. Begitu pula dengan kebenaran yang merupakan perwujudan dari karakter. Kebenaran tidak terbangun dengan sendirinya tanpa adanya karakter. Moralitas dan kebenaran yang telah terbentuk merupakan perwujudan dari perbuatan baik. Kebaikan ini yang mendorong suatu kekuatan dalam diri seseorang untuk menegakkan keadilan. Kebenaran, kebaikan, dan kekuatan sikap adalah bagian integral yang menyatu dengan karakter.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral berarti pengetahuan seseorang

terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah tabiat, tindakan/kebiasaan seseorang yang langsung ditentukan oleh otak.

Kedua hal ini memiliki arti yang berbeda, namun moral dan karakter memiliki keterkaitan. Karakter memiliki makna lebih tinggi dari pada moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Moral merupakan salah satu komponen yang membentuk karakter individu ketika moral behavior dapat dilakukan secara berulang. Maka, dapat dikatakan karakter adalah suatu kebiasaan (habituation) untuk melakukan yang baik berdasarkan pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan.

2. Pengertian Pendidikan Karakter

Burke (Samani & Hariyanto, 2011: 43) mengatakan bahwa

“pendidikan karakter semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik.” Sementara itu, menurut Samani & Hariyanto (2011: 44)

“pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.” Mereka juga menyampaikan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan

baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Character Education Partnership (CEP) (Koesoema, 2012: 57) sebuah program nasional pendidikan karakter di Amerika Serikat, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut:

Sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung jawab dan kemauan untuk merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui keteladanan dan pengajaran tentang karakter baik, dengan cara memberikan penekanan pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua. Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari sekolah, distrik, dan Negara bagian yang sifatnya intensional dan proaktif untuk menanamkan dalam diri para peserta didik nilai-nilai moral inti, seperti perhatian dan perawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain.

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa pendidikan karakter adalah proses pemberian bekal/penanaman nilai moral mengenai karakter pribadi yang baik, sopan, bertanggungjawab, memiliki rasa hormat, jujur, adil, menghargai dan memahami satu sama lain yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui program pemerintah yang ditujukan kepada sekolah.

3. Tujuan, fungsi, dan Prinsip-prinsip Pendidikan Karakter a. Tujuan pendidikan karakter

Menurut Kemendiknas (2010) Peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan pada pasal 17 ayat (3) “Pendidikan dasar, termasuk sekolah menengah pertama (SMP) bertujuan membangun landasan bagi berkembangnnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (c) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;

(d) sehat, mandiri dan percaya diri; (e) toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.”

Melalui penjelasan pada pasal tersebut jelas bahwa tujuan dari pendidikan sangat berkaitan dengan pendidikan karakter. Dapat disimpulkan bahwa melalui pendidikan di sekolah nilai-nilai karakter dapat diterapkan agar membawa perubahan bagi peserta didik dalam hal; beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; memiliki ilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; selain itu juga mampu membantu peserta didik menjadi pribadi yang sehat, mandiri dan percaya diri; serta memiliki rasa toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.

b. Fungsi pendidikan karakter

Menurut Fathurrohman, dkk (2013: 97) fungsi pendidikan karakter adalah:

1) Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi prilaku yang baik bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan karakter dan karakter bangsa.

2) Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat.

3) Penyaring: untuk menyaring karakter-karakter bangsa sendiri dan karakter bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter dan karakter bangsa.

c. Prinsip –prinsip Dasar Pendidikan Karakter

Menurut Direktorat pembinaan SMP (Fathurrohman, 2013: 145-146) pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.

2) Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku.

3) Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter.

4) Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.

5) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik.

6) Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang, yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses.

7) Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para peserta didik.

8) Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama.

9) Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.

10) Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter.

11) Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter.

4. Nilai-Nilai Karakter yang Ditanamkan Dalam Pendidikan di Sekolah Nilai-nilai karakter yang ditanamkan dalam pendidikan adalah karakter religius, jujur, toleransi, disiplin, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, peduli lingkungan, peduli sosial,

tanggung jawab, nasionalisme, inovatif, daya juang, rendah hati, memaafkan, kepemimpinan, dan kerja keras. Beberapa karakter tersebut yang peneliti jadikan landasan untuk mengukur karakter beberapa anak SMP di Indonesia.

5. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter di SMP

Suyanto (2010: 9), menegaskan bahwa keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui terutama melalui pencapaian butir-butir Standar Kompetensi Lulusan peserta didik yang meliputi sebagai berikut:

a. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan perkembangan remaja.

b. Memahami kekurangan dan kelebihan diri.

c. Menunjukkan sikap percaya diri.

d. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.

e. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional.

f. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial.

g. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggungjawab.

h. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

i. Menghargai karya seni dalam budaya nasional.

C. Hakikat Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1. Pengertian Siswa Sekolah Menengah Pertama

Di lihat dari tahapan perkembangan, anak usia SMP adalah anak-anak yang memasuki usia remaja. Masa remaja adalah masa peralihan dimana perubahan secara fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 2003). Menurut Hurlock (2003), awal masa remaja berlangsung dari mulai umur 13-16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat singkat. Perubahan psikologis yang terjadi pada remaja meliputi intelektual, kehidupan emosi, dan kehidupan sosial.

Perubahan fisik mencakup organ seksual yaitu alat-alat reproduksi sudah mencapai kematangan dan mulai berfungsi dengan baik (Sarwono, 2006).

Menurut Golinko (Putro, 2005), kata “remaja” berasal dari bahasa Latin adolescene berarti to grow atau to grow maturity. Masa remaja adalah fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial yang berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan (Pardede, 2008). Pada masa tersebut remaja ingin mencari identitas dirinya dan lepas dari ketergantungan dengan orang tuanya,

Dokumen terkait