• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis-Jenis Telur Cacing yang Ditemukan

Berdasarkan identifikasi terhadap tipe telur cacing, dari 91 sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing, yaitu Trematoda (Schistosoma), Cestoda (Hymenolepis), dan Nematoda (Ascaris, Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris). Jenis telur cacing tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 4, untuk jenis telur cacing yang diidentifikasi berdasarkan metode McMaster, flotasi dan sedimentasi, dan Tabel 5 untuk jenis telur cacing yang diidentifikasi berdasarkan metode flotasi dan sedimentasi.

Tabel 4 Jenis telur cacing yang ditemukan pada Macaca fascicularis di Pulau Tinjil beserta pustaka acuannya

No Jenis Telur

Cacing Rataan

Pustaka Acuan

Rataan Sumber

1 Hymenolepis (71.6-83.25)x(55.05-59.5) (70-86)x(60-80) Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990

2 Ascaris yang dibuahi

(54.9-128.5)x(46.5-90.7) (45-90)x(35-50) Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990 3 Ascaris yang tidak dibuahi (95.15)x(48.6) (85-95)x(35-45) Anonim 2008 4 Oxyurid (71.5)x(35.05) (50-60)x(20-32) Anonim 2008 5 Strongylid (53-75.3)x(35.7-50) (60-80)x(27-55) Anonim 2008, Levine 1990, Soulby 1982 6 Trichuris (41.9-57.6)x(22.1-26.5) (46-65)x(20-29) Anonim 2008 7 Schistosoma sp. (63.3-73.8)x(51.4-67) (60-100)x(45-80) Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990,

Onggowaluyo 2002, Soulsby 1982

Dengan pemeriksaan menggunakan metode McMaster dan flotasi dapat diidentifikasi lima jenis telur cacing, yaitu Hymenolepis, Ascaris, Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris. Schistosoma dapat ditemukan melalui pemeriksaan dengan metode sedimentasi. Penemuan Schistosoma, Hymenolepis, Ascaris,

Oxyurid, Strongylid, dan Trichuris yang menginfeksi pencernaan satwa primata pernah dilaporkan oleh Appleton dan Henzi (1993), Chapman et al. (2005), Engel et al. (2004), Joslin (2003), Melfi dan Poyser (2007), Michaud et al. (2003), Muehlenbein (2005), Mul et al. (2007), Mutani et al. (2003), Phillippi dan Clarke (1992), Setchell et al. (2007), Vitazkova dan Wade (2007).

Penularan parasit cacing yang menular pada monyet ekor panjang di Pulau Tinjil masih dimungkinkan, karena monyet ekor panjang hidup 97% secara arboreal dan 3% secara terestrial (Wheatley 1980), sehingga monyet tersebut dapat terkena kecacingan.

Tabel 5 Hasil pemeriksaan metode flotasi dan sedimentasi tinja Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil

No. Jenis Cacing

Zona Vegetasi

A B C D

Pul 1 Pul 2 Pul 3 Pul 4 Pul 5 Pul 6 F S F S F S F S F S F S 1 Schistosoma - - - + - + - - 2 Hymenolepis - - - - - - - - - 3 Ascaris - - - - - - - - - 4 Oxyurid - - - - - - - - - 5 Strongylid + - + - - - - - - - - - 6 Trichuris + - - - - - - - - - Keterangan = A (hutan hujan tropis dataran rendah)

B (waru laut) C (sulatri)

D (butun dan ketapang) F (flotasi)

S (sedimentasi) + (positif) - (negatif)

a. Hymenolepis

Jenis telur Hymenolepis yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 3. Telur tersebut berbentuk bulat atau oval, pada umumnya berwarna kuning, memiliki oncosphere berkait enam yang dikelilingi oleh suatu membran yang bagian dalamnya terlihat transparan dan terpisah dari membran luar seperti yang digambaran oleh Ash dan Orihel (1990).

Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut adalah 71,6-83,25 x 55,05-59,5 µm. Berdasarkan pengamatan mikroskopik,

telur tersebut lebih mirip dengan jenis telur H. diminuta daripada jenis telur H. Nana. Hal ini dikarenakan secara mikroskopik tidak ditemukan adanya filamen pada kedua kutub membran sebelah dalam (Brown 1979).

Berdasarkan sumber sampel tinja, jenis telur cacing ini kemungkinan besar berasal dari kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 10 yang letaknya berdekatan dengan Pondok Rancak dan berada di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1).

Gambar 3 Telur Hymenolepis

b. Ascaris

Telur Ascaris yang ditemukan pada sampel tinja ada dua jenis yaitu telur Ascaris yang dibuahi (Gambar 4) dan yang tidak dibuahi (Gambar 5). Telur yang dibuahi berwarna kuning atau coklat, berbentuk bulat atau ovoid, memiliki lapisan luar tebal albuminoid dan lapisan dalam yang jernih. Telur ini berisi satu sel saat keluar bersama tinja, dapat juga terdiri dari dua maupun empat atau lebih dan dapat pula mengandung larva. Telur yang tidak dibuahi berwarna coklat dapat berbentuk lonjong, segitiga, bentuk ginjal maupun bentuk tidak spesifik lainnya. Lapisan luarnya sangat tipis (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001).

Ukuran telur yang dibuahi adalah 54,9-128,5 x 46,5-90,7 µm sedangkan telur yang tidak dibuahi berukuran 95,15 x 48,6 µm (Tabel 4). Telur ini terdeteksi pada kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 2, kandang 4, dan kandang 8 (Tabel 6 dan 8). Kandang-kandang tersebut terletak di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1).

Genus ini juga ditemukan pada

(Michaud et al. 2003, Phillippi dan Clarke

Gambar 4 Telur Ascaris

c. Oxyurid

Jenis telur Oxyurid yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 6

memanjang, tidak simetris dengan salah satu dindingnya rata. tipis dan tidak berwarna. Telur biasanya berisi larva atau embrio

Gambar 6 Telur Oxyurid

Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut adalah sebesar 71,5 x 35,05 µm.

cacing ini terdapat pada kelompok monyet yang sering berada di sekitar kandang 3

laporan Vitazkova dan Wade

Genus ini juga ditemukan pada Rhesus monkey dan Lagothric lagothrica 2003, Phillippi dan Clarke 1992).

Ascaris yang dibuahi Gambar 5 Telur Ascaris dibuahi

Jenis telur Oxyurid yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif Gambar 6. Menurut Anonim (2008), telur Oxyurid berbentuk memanjang, tidak simetris dengan salah satu dindingnya rata. Dinding telurnya tipis dan tidak berwarna. Telur biasanya berisi larva atau embrio

Gambar 6 Telur Oxyurid Gambar 7 Telur Strongy

Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut adalah sebesar 71,5 x 35,05 µm. Berdasarkan analisis Tabel 6 dan 8

cacing ini terdapat pada kelompok monyet yang sering berada di yaitu di zona formasi waru laut (Lampiran 1). Vitazkova dan Wade (2007), genus Trypanoxyuris (

Lagothric lagothrica

Ascaris yang tidak

Jenis telur Oxyurid yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif Oxyurid berbentuk Dinding telurnya tipis dan tidak berwarna. Telur biasanya berisi larva atau embrio.

Gambar 7 Telur Strongylid

Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut Tabel 6 dan 8, jenis telur cacing ini terdapat pada kelompok monyet yang sering berada di core area ona formasi waru laut (Lampiran 1). Menurut (salah satu jenis

Oxyurid) ditemukan pada Allouatta pigra. Selain Trypanoxyuris, genus lain yang pernah dilaporkan adalah Enterobius sp. Spesies ini ditemukan pada Baboon dan Orangutan (Appleton dan Henzi 1993, Chapman et al. 2005, Mul et al. 2007).

d. Strongylid

Jenis telur yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 7. Telurnya berbentuk oval atau elips, tidak berwarna tetapi didalamnya terlihat sel yang berwarna keabuan. Sel tersebut dapat berjumlah 4, 8, 16 atau lebih, terkadang ada pula embrio yang terlihat. Telur Strongylid akan berkembang baik pada kondisi tanah yang sedikit berpasir, tanah yang lembab sedangkan pada kondisi tanah liat dan berkerikil, telur tidak dapat berkembang dengan baik (Anonim 2008, Soulsby 1982).

Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur Strongylid dari sampel tersebut adalah sebesar 53-75,3 x 35,7-50 µm (Tabel 4). Berdasarkan analisis Tabel 6 dan 8, telur ini terdapat di kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 4 dan 8 yaitu di zona hutan hujan tropika dataran rendah (Lampiran 1). Berdasarkan ukuran telur cacing yang ditemukan diduga telur cacing tersebut terdiri dari beberapa genus (Ancylostoma sp., Necator sp., Oesophagostomum sp.). Appleton dan Henzi (1993) serta Chapman et al. (2005) melaporkan adanya Oesophagostomum pada Baboon, Colobines. Strongylid yang lain juga ditemukan pada Cercopithecus aethiops sabaeus, Macaca nigra, Macaca tonkeana (Engel et al. 2004, Mutani et al. 2003).

e. Trichuris

Jenis telur Trichuris yang ditemukan pada sampel tinja secara visualitatif disajikan pada Gambar 8 dan 9. Telur cacing ini berwarna kuning atau kecoklatan serta memiliki penyumbat (polar plug) transparan di ujung kedua sisinya. Dinding telurnya tebal dan memiliki bagian dalam yang jernih. (Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982).

Sebagaimana disajikan pada Tabel 4, ukuran telur dari sampel tersebut adalah 41,9-57,6 x 22,1-26,5 µm. Telur di Pulau Tinjil terdapat di zona sulatri

(kelompok monyet yang sering berada di hutan hujan tropika dataran rendah ( core area sekitar kandang 4, 6, dan 9). trichiura hanya ditemukan pada manusia dan ini juga ditemukan pada

yang ditemukan pada

spesiesnya (Melfi dan Poyser 2007, Setchell

Gambar 8 Telur Trichuris (terdapat larva)

Satu jenis telur cacing yang lain yaitu

teridentifikasi menggunakan metode sedimentasi karena telur berukuran relatif lebih besar (Tabel 5).

f. Schistosoma

Berdasarkan pengamatan mikroskopik pada preparat pemeriksaan sedimentasi, dapat terlihat adanya satu jenis telur cacing dari kelas Trematoda yaitu Schistosoma

Gambar 10. Berdasarkan analisis pada Tabel 4, maka ukuran telur cacing tersebut adalah 63,3

bulat, berwarna kuning atau kuning

memiliki kait atau duri kecil di bagian lateral. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat pada saat pemeriksaan, karena berada pada sisi yang berlaw

tertutup oleh kotoran.

kelompok monyet yang sering berada di core area sekitar kandang 1) dan zona hutan hujan tropika dataran rendah (kelompok monyet yang sering b

kandang 4, 6, dan 9). Menurut Soulsby (1982), spesies hanya ditemukan pada manusia dan simian primates.

ini juga ditemukan pada Rhesus monkey (Phillippi dan Clarke 1992), sedangkan yang ditemukan pada Mandrillus sphinx dan Colobus guereza tidak menjelaskan spesiesnya (Melfi dan Poyser 2007, Setchell et al. 2007).

Trichuris Gambar 9 Telur Trichuris

Satu jenis telur cacing yang lain yaitu Schistosoma

teridentifikasi menggunakan metode sedimentasi karena telur berukuran relatif lebih besar (Tabel 5).

Berdasarkan pengamatan mikroskopik pada preparat pemeriksaan at terlihat adanya satu jenis telur cacing dari kelas Trematoda sp. Secara visualitatif jenis telur tersebut disajikan pada Berdasarkan analisis pada Tabel 4, maka ukuran telur cacing tersebut adalah 63,3-73,8 x 51,4-67 µm. Secara umum telur tersebut berbentuk bulat, berwarna kuning atau kuning-kecoklatan, dan pada sisi dekat kutub memiliki kait atau duri kecil di bagian lateral. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat pada saat pemeriksaan, karena berada pada sisi yang berlaw

tertutup oleh kotoran.

kandang 1) dan zona kelompok monyet yang sering berada di Menurut Soulsby (1982), spesies T. Namun, spesies (Phillippi dan Clarke 1992), sedangkan tidak menjelaskan

Trichuris

Schistosoma, hanya dapat teridentifikasi menggunakan metode sedimentasi karena telur berukuran relatif

Berdasarkan pengamatan mikroskopik pada preparat pemeriksaan at terlihat adanya satu jenis telur cacing dari kelas Trematoda isualitatif jenis telur tersebut disajikan pada Berdasarkan analisis pada Tabel 4, maka ukuran telur cacing cara umum telur tersebut berbentuk kecoklatan, dan pada sisi dekat kutub memiliki kait atau duri kecil di bagian lateral. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat pada saat pemeriksaan, karena berada pada sisi yang berlawanan atau

Gambar 10 Telur Schistosoma sp.

Berdasarkan ciri-ciri morfologi yang disampaikan oleh Ash dan Orihel (1990) dan Onggowaluyo (2001), diduga jenis telur ini merupakan spesies Schistosoma japonicum. Menurut Soulsby (1982), cacing ini dapat menginfeksi manusia maupun satwa liar selain ruminansia, kuda, babi, rodensia dan karnivora. Menurut Appleton dan Henzi (2003) genus ini pernah ditemukan pada Baboon yang tinggal di Afrika Selatan. Walaupun spesies satwa primata ini berbeda dengan monyet ekor panjang, namun keduanya masih merupakan satu subfamili yaitu Cercopithecinae.

Berdasarkan sumber sampel tinja sebagaimana disajikan pada Tabel 5, jenis telur ini besar kemungkinan berasal dari monyet yang sering berada pada core area yang terletak pada daerah zona butun dan ketapang (pul 4) yaitu kandang 3 dan pada daerah zona sulatri (pul 5) yaitu pada kandang 1 dan 3.

Bila identifikasi ini benar, maka Pulau Tinjil merupakan daerah baru bagi penyebaran cacing Schistosoma sp, mengingat daerah penyebaran cacing Schistosoma sp. di Indonesia hanya ada di daerah Sulawesi Tengah (Brown 1979). Penyebaran parasit ini baru dapat terjadi jika ada inang antara berupa Onchomelania hupensis dan inang definitif seperti manusia (Soulsby, 1982). Berdasarkan komunikasi pribadi Lelana RPA (2008), keberadaan parasit ini di Pulau Tinjil diduga karena kemungkinan adanya nelayan yang berasal dari Sulawesi yang datang ke Pulau Tinjil untuk menangkap ikan pada saat musim Barat. Kemungkinan infeksi cacing Schistosoma sp. yang ada pada M. fascicularis di Pulau Tinjil berasal dari manusia maupun adanya Onchomelania hupensis, masih perlu diteliti lebih lanjut

4.2 Prevalensi

Berdasarkan temuan jenis telur cacing di Pulau Tinjil, sebagaimana disajikan pada analisis Tabel 6, maka total prevalensi kecacingan saluran pencernakan pada monyet adalah sebesar 26,8%.

Tabel 6 Prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada Macaca fascicularis berdasarkan lokasi kandang di Pulau Tinjil

No

Kandang n (ekor)

Rataan Prevalensi (%) Total

Prevalensi (%) Hymenolepis Ascaris Oxyurid Strongylid Trichuris

1 4 0 0 0 0 25 25 2 3 0 33.33 0 0 0 33.3 3 8 0 0 12.5 0 0 12.5 4 10 0 20 0 20 10 50 5 2 0 0 0 0 0 0 6 8 0 0 0 0 12.5 12.5 7 2 0 0 0 0 0 0 8 7 0 14.28 0 14.28 0 14.28 9 3 0 0 0 0 100 100 10 3 33.3 0 0 0 0 33.3 11 0 * * * * * * 12 3 0 0 0 0 0 0 13 3 0 0 0 0 0 0 Total 56 1.47 5.88 1.47 2.94 8.82 26.8

Keterangan: * (tidak dilakukan penghitungan TTGT)

a. Prevalensi berdasarkan core area

Berdasarkan analisis Tabel 6, maka angka prevalensi tertinggi sampai terendah berturut-turut terjadi pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 9 (100%), kandang 4 (50%), kandang 2 (33,33%), kandang 10 (33,33%), dan kandang 8 (14,28%). Pada kelompok monyet yang sering berada pada core area di sekitar kandang 5, 7, 12, dan 13, berdasarkan penelitian ini tidak terdeteksi adanya kecacingan. Sedangkan pada kelompok monyet yang berada pada core area sekitar kandang 11 tidak bisa dilakukan perhitungan tingkat prevalensi karena tidak dilakukan pemeriksaan TTGT.

b. Prevalensi berdasarkan jenis cacing

Berdasarkan jenis telur cacing yang ditemukan sebagaimana disajikan pada Tabel 6, maka tingkat prevalensi dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah

Trichuris (8,82%), Ascaris (5,88%), Strongylid (2,94%), Hymenolepis (1,47%), dan Oxyurid (1,47%). Laporan tentang prevalensi jenis cacing pada satwa primata lain juga pernah dilaporkan oleh Engel et al. (2004), Michaud (2003), Muehlenbein (2005) yaitu Trichuris (3,7%), Ascaris (8,3%), Strongylid (7,4%), Hymenolepis (1,7%), dan Oxyurid (0,8%).

Berdasarkan analisis Tabel 6 dapat juga dipelajari tingkat prevalensi setiap jenis cacing pada kelompok monyet setiap kandang. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 1, 6, dan 9 mengalami infeksi Trichuris sebesar 25%, 12,5%, dan 100%. Kelompok monyet yang sering berada di kandang 2, 3, dan 10 terinfeksi Ascaris (33,3%), Oxyurid (12,5%), Hymenolepis (33,3%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 4 terinfeksi Ascaris (20%), Strongylid (20%), dan Trichuris (10%). Kelompok monyet yang sering berada di kandang 8 terinfeksi oleh Ascaris (14,28%) dan Strongylid (14,28%).

c. Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan Prevalensi infeksi kecacingan tunggal dan campuran dapat dilihat pada Tabel 7. Prevalensi infeksi kecacingan tunggal tertinggi adalah disebabkan oleh Trichuris (8,82%), kemudian disusul oleh Ascaris (5,88%), dan Strongylid (2,49%). Prevalensi tunggal terkecil ditemukan pada jenis Hymenolepis dan Oxyurid yaitu sebesar 1,47%. Prevalensi infeksi campuran hanya terjadi pada infeksi Strongylid dan Trichuris sebesar 1,47%. Tidak seperti hewan domestik yang umumnya memiliki beberapa infeksi campuran, monyet yang ada di Pulau Tinjil hanya memiliki satu infeksi campuran cacing saluran pencernaan. Berdasarkan hasil tersebut (Tabel 6 dan 7) dapat dilihat bahwa walaupun home range kelompok monyet di Pulau Tinjil ada yang bertumpukan (Kyes 1994), namun kontak antar kelompok sangat jarang terjadi sehingga transmisi penyakit tidak dapat terjadi dengan baik. Karena hal inilah infeksi tunggal lebih banyak jenisnya apabila dibandingkan dengan infeksi campuran.

d. Transmisi kecacingan

Prevalensi infeksi cacing saluran pencernaan dipengaruhi oleh transmisi penyakit, sehingga berhubungan erat dengan siklus hidup dari masing-masing cacing tersebut. Rute infeksi dapat terjadi melalui mulut dan kulit. Metode dari transmisi dapat terjadi melalui pencernaan dan kontak langsung dengan agen infektif (Thrushfield 2007).

Infeksi Hymenolepis terjadi secara tidak langsung yaitu melalui inang antara arthropoda (larva pinjal tikus, larva pinjal mencit, kumbang tepung dewasa, lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera). Tinja yang mengandung telur cacing termakan oleh arthropoda, kemudian telur akan menetas dan mengeluarkan oncospher yang akan berkembang menjadi larva sistiserkoid (infektif). Inang definitif akan terkena apabila memakan arthropoda yang terinfeksi tersebut (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001). Arthropoda bukanlah makanan bagi monyet ini, akan tetapi tingkah lakunya yaitu merawat diri memungkinkan sistiserkoid masuk ke dalam tubuhnya. Menurut Anggraeni (2003) dan Iskandar (1993), tingkah laku ini dilakukan saat monyet beristirahat yaitu dengan melakukan grooming menggunakan tangan ataupun mulut dalam bentuk mencari kotoran-kotoran, serpihan kulit kering, dan parasit eksternal, dari rambut satwa lain ataupun dari rambut sendiri

Tabel 7 Prevalensi infeksi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan Macaca fascicularis di Pulau Tinjil

No. Jenis n (sampel) Prevalensi (%)

1. Hymenolepis 1 1.47

2. Ascaris 4 5.88

3. Oxyurid 1 1.47

4. Strongylid 2 2.94

5. Trichuris 7 8.82

Gambar 11 Monyet sedang melakukan grooming

Stadium infektif Ascaris merupakan larva stadium kedua yang tidak menetas. Larva stadium kedua (infektif) apabila tertelan oleh inang akan menetas di dalam usus. Larva menembus dinding usus dan pergi menuju hati melalui sistem portal hepatik, kemudian akan berubah menjadi larva stadium tiga dalam 4-5 hari. Larva akan menuju jantung dan paru-paru melalui aliran darah, kemudian akan berkembang lebih lanjut pada paru-paru. Larva keluar dari kapiler alveolus menuju alveolus dan akan melewati duktus alveolus ke bronkiolus, bronkus, dan trakea. Puncak dari perpindahan ini terlihat sekitar 12 hari sesudah infeksi (Levine 1990, Soulsby 1982).

Infeksi Oxyurid biasanya terjadi melalui transmisi telur secara langsung ke mulut dari tangan. Makanan dan minuman yang tercemar dapat juga sebagai sumber penularan. Telur ini dapat berasal dari luar ataupun berasal dari tubuh sendiri yang tidak sengaja terbawa oleh tangan setelah menggaruk bagian perianal maupun perineal. Hal ini biasa terjadi akibat pruritus yang disebabkan saat cacing betina dewasa bertelur. Beberapa larva menetas dari telur yang berada di sekeliling anus dan merambat kembali melalui anus menuju usus, kemudian larva tersebut matang dalam usus besar (Ash dan Orihel 1990, Bennett et al. 1995, Onggowaluyo 2001). Menurut Levine (1990), modus infeksi ini dikenal sebagai retrofeksi.

Telur Strongylid akan berkembang baik pada kondisi tanah yang sedikit berpasir, tanah yang lembab sedangkan pada kondisi tanah liat dan berkerikil,

Photo by Nicolle Perisho Photo by Nicolle Perisho

telur tidak dapat berkembang dengan baik. Pulau Tinjil memiliki tanah berpasir yang cukup banyak sehingga dapat menjadi tempat berkembang yang baik bagi telur Strongylid. Strongylid dapat menginfeksi inang apabila larva filariform menembus kulit inang dan menjadi larva migrant (Ancylostoma sp. dan Necator sp.), namun ada pula cara lain bagi cacing ini untuk menginfeksi inangnya yaitu dengan cara telur infektif (Oesophagostomum sp.) dan larva infektif tertelan oleh inang (Ancylostoma sp. dan Necator sp.) (Ash dan Orihel 1990, Soulsby 1982).

Telur infektif Trichuris dapat bertahan di lingkungan yang sesuai selama beberapa tahun. Transmisi penyakit ini terjadi secara langsung yaitu dengan menelan telur infektif, kemudian larva akan menuju usus halus dan menjadi dewasa di usus besar (Soulsby 1982).

e. Peran manusia dalam transmisi kecacingan monyet di Pulau Tinjil

Untuk menjawab peran manusia sebagai faktor transmisi kecacingan di Pulau Tinjil, dapat dikaji dengan melihat besarnya prevalensi pada kandang yang berdekatan dengan aktivitas manusia. Berdasarkan gambar pada Lampiran 2 dapat dipelajari bahwa kandang 3, 4, 8, dan 10 merupakan kandang pakan yang relatif dekat dengan base camp manajemen penangkaran maupun berdekatan dengan pondok nelayan di Pulau Tinjil. Apabila dikaitkan dengan analisis Tabel 6 dapat dipelajari bahwa ternyata prevalensi kecacingan saluran pencernaan pada kandang-kandang tersebut tidak selalu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kandang-kandang lain yang jauh dari aktivitas manusia. Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa faktor aktivitas manusia bukan merupakan faktor utama dalam transmisi kecacingan saluran pencernaan pada M. fascicularis di Pulau Tinjil.

Dokumen terkait