Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya serta ada pembagian atas dasar pihak –pihak yang terlibat dalam konflik. Pada kasus konflik internal yang terjadi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik dalam Project XL Installasi Rectifier Backbone area Jawa Timur 2014, jenis konflik dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi serta pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik internal karyawan.
Konflik internal karyawan pada PT.GSPE sudah menjadi hal yang biasa bagi para karyawan hal itu karena konflik selalu terjadi setiap project berlangsung. Saling ketergantungan pekerjaan pada setiap divisi dan karyawan menimbulkan interaksi komunikasi antara masing-masing karyawan dan divisi, tak dapat disangkal akan menimbukan konflik antar kelompok di PT.GSPE. Jenis konflik di PT.GSPE adalah konflik antar kelompok yaitu konflik antara divisi Project, Installasi, Subcont, Monitoring yang terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan pekerjaan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
Bapak Agung Raharjo menyampaikan hal serupa seperti seperti yang dikemukakan peneliti.
“Konflik antar karyawan dan divisi biasanya ada, divisi yang terlibat Divisi Project, PPIC selaku penyedia barang ke customer terus engiering, logistic dan Installasi Monitoring”.
muncul dan membutuhkan penyelesaian.
“Konflik antar karyawan iya pastinya ada, divisi yang terlibat divisi monitoring installer, monitoring forwarder/ logistik, project dan warehouse.
Menurut saya konflik ituharussegeradiselesaikan karena kita kerjanya target jadi semua harus selesai pada hari yang dijadwalkan jadi koordinasi ke atasan atau ke installer.”
Hal serupa juga dinyatakan oleh Windha Septiani bahwa terdapat banyak konflik antar karyawan karena kurangnya komunikasi antara Divisi Subcont degan Divisi Pengiriman dan di dalam divisi logistik ternyata lebih mendukung forwarder dibanding team Installasi padahal forwarder merupakan vendor PT.GSPE dan bukan merupakan internal dari PT.GSPE.
“Ya untuk internalnya untuk posisi saya dari pengiriman barang. Saya di bagian subcont monitoring installasi dari divisi yang lain seperti logistik banyak kabel yang masih indent jadi kita harus nunggu kabel dulu.
Forwarder juga masih disubcontninjadibanyak vendor-vendor forwarder yang lama pengirimannya dateng ke kantornya juga lama, banyak alesannya sih.
Kalau dari pengiriman itu biasasanya komunikasi. Jadi kitakan disini perdivisisaya divisi lebih ke installasi kalau pengiriman itu kan beda lagi managernya juga beda.
Antara kita ke pengiriman itu komunikasinya kurang lancarjadi justru yang didivisi pengiriman itu lebih berpihak ke forwarder.Divisi yang terlibat konflik divisi pengiriman logistik dan installasi subcont.”
Siti Tri Setiarini menyetujui bahwa memang konflik antar divisi memang terjadi dan tidak hanya Divisi Intsallasi dengan Divisi Pengiriman tetapi Divisi Akunting juga ikut terlibat.
“Konflik antar divisi pasti, misalnya team logistik dengan team monitoring.Team monitoring sudah siapin installernya tetapi team logistiknya belum siap dari forwardernya pun belum siap jadi kita harus sampai barang hari ini tapi belum siap.
Pihak yang terkait seperti team monitoring, team logistik, PICnya yaitu orang-orang yangterlibat konfliktersebut dan faktornya yaitu ada miss.communication antara mereka itu semua divisi project, logistik, pengiriman”.
Kalau dari divisi accounting itu bisa menimbulkan konflik antar karyawan /divisi , contohnya com.case kita ada keluarin uang untuk warga atau ormas yang minta jatah preman.
Akunting pasti tanya kok bisa ada add cost kaya gini bayar ormaslah atau sewa kuli karena biaya bongkar muat itu kan mahal barangnya segede-gede kulkas dari sisi itu mereka akan adain meeting ke bagian project atau logistik.
Konflik antar kelompok/ antar divisi di PT.GSPE tentunya mempunyai dampak/pengaruh yang buruk bagi perusahaan terlebih dalam menjalankan oprasional kerja. Konflik antar kelompok ini akan mempengaruhi jalannya Project XL installasi rectifier Backbone area Jawa Timur seperti terpendingnya site yang seharusnya sudah bisa dikerjakan tetapi pending karena masih menunggu barang datang, selanjutnya karena site belum ready sehingga barang belum bisa dileakan dan harus menyewa gudang atau ditarik kembali ke gudang forwarder.
Bertambahnya waktu Installasi otomatis menambah biaya oprasional untuk para installer serta forwarder apabila melakukan pengiriman kembali. Agung Raharjo selaku pelaksana project XL menyatakan hal serupa :
“Iya menggangukalau dari team installasi harusnya bisa dialihkan ke site lain karena sudah selesai (done install).Kita dapet target 10 misalnya terus terpending 5 site otomatis 5 sitenya lagi cuma selesai 5 site otomatis 5 sitenya lagi terpending.Jadi kita masih ada utang outstanding”.
Bella Siti Hawa juga mengungkapkan pernyataan yang sama bahwa memang pengaruh konflik akan menambah biaya forwarder.
“Berpengaruh banget ya mba, karena kan kalau site belum ready otomatis barang balik dan perlu disiapin juga spacenya dan otomatis kita perlu inventory lagi dan kalau kita mau kirim lagi otomatis kita perlu nambah biaya juga untuk forwardernya”.
Windha Septiani yang sama-sama berasal dari divisi Installasi menyetujui pendapat Bella Siti Hawa.
“Kalau shelternya belum ready berarti rectifier belum tau taronya dimana, dan kalau disitu gak ada rumah tinggal atau rumah PICnya atau rumah keamanannya (security), rectifier gak bisa di onsite rectifier gak bisa diturunin dari mobil dibawa balik ke gudang forwarder.
Siti Rini Setiarini berpendapat sama dengan ketiga informan memang terdapat pengaruh terutama dengan deadline installasi tetapi ia mempunyai pandangan sendiri bahwa memang pasti terdapat konflik terutama konflik antar
kelompok/divisi dalam menjalankan project apapun, maka konflik tersebut harus cepat diseleasikan agar tidak mengganggu pekerjaan yang lain dan tetap harus membagi fokus dalam melakukan pekerjaan sehingga konflik merupakan hal biasa dan bukan merupakan fokus bagi organisasi di PT.GSPE.
“Saya memandang konflik itu kita liat dulu ukuran konflik itu bisa diselesaikan dengan team atau memang harus di eskalasi kepada atasan-atasan.
Kita kan sudah biasa ngerjain project dan sudah pasti project kita sama dan konfliknya juga hampir sama semuanya.Jadi biarkan mereka berkreatifitas sendiri menyelesaikan problem.
Kalau mereka gak bisa dan sudah buntu baru mereka eskalasi ke atasan-atasannya dan aku memandangya biarkan beri kebebasan mereka dulu kelarin konfliknya nanti baru eskalasi ke atasan.
Pengaruhnya memang besar sih kalau kita deadline harusnya oprasional sampai hari ini kita akan nambah biaya oprasional sampai besok atau bahkan minggu depan.
Problem itu harus diselesaikan kita gak mau tau walaupun ada site yang berjalan juga jadi kita mau gak mau kita bagi fokus kita antara site yang berjalan dan problem site yang harus diselesaikan.” Dampak atau pengaruh konflik dalam Organisasi di PT.GSPE sejauh ini peneliti melihat masih dalam batas wajar dan fungsional. Konflik belum sampai menimbulkan perdebatan panjang diluar hubungan kerja dan masuk menjadi konflik interpersonal. Konflik masih dapat diselesaikan dalam diskusi dan meeting. Siti Rini Setiarini memaparkan pernyataan yang sama dengan peneliti :
“Sejauh ini masih fungsional belum sampai disfungsional. Fungsional itu konflik bagus untuk perkembangan kita selanjutnya kedepan harus bagaimana ketika menghadapi masalah.
Jadi kita sudah tau langkah-langkah apa yang harus kita ambil tapi kalau kita gak olah problemnya sudah pasti akan jadi disfungsional.
Sejauh ini kalau untuk team –team yang stress pasti ada namanya pekerjaan yang banyak pasti stress tapi gak ada yang sampai resign karena tekanan pekerjaan mereka biasanya resign karena dapat pekerjaan yang lebih baik atau hamil , menikah dan lain-lain.
Setiap konflik yang terjadi tentu ada bagian/divisi yang mendapat dampak paling terasa dalam konflik antar kelompok yang terjadi. Peneliti melihat divisi yang paling terkena feedback dari konflik antar kelompok yang terjadi yaitu divisi Project dan Divisi Intsllasi baik Intsaller maupun Subcont. Peneliti melihat divisi Project tentu mendapat dampak sebab apabila site pending maka akan menjadi outstanding bagi pekerjaan team project dan team Installasi sebagai orang yang berada di lapangan juga mendapatkan dampak yang besar karena mereka harus menunggu semua keputusan dari kantor.
Dari keempat narasumber mereka berpendapat sama yaitu feedback yang paling terasa dari divisi Project. Agung Raharjo memaparkan pendapatnya.
“Project, kita kan dapet SLA dari Customer yang harus selesai 30 hari kita dapet feedbacknya kita ditekankan sama bos GSPE harus selesai dalam 30hari,yang dikejar–kejar kita bukan team installasi. Bella Siti Hawa setuju bahwa divisi project mendapatkan feedback paling besar tetapi ia memaparkan bahwa selain project ada beberapa divisi lain yaitu
Divisi Installasi dan Divisi Subcont.
“Divisi project, monitoring installer sama logistik, karena mereka yang menjalankan planning setiap hari nah planning itu kan udah ada beberapa site yang harus diselesaikan hari ini jadi tiga divisi itu yang sangat crowded”.
4.2.4 Pengelolaan Konflik
Community case merupakan masalah yang terjadi antara PT.GSPE dengan warga/ ormas setempat karena terjadi pertentangan antara pihak PT.GSPE dengan warga. Hal ini disebabkan karena tuntutan warga/ ormas setempat tidak dipenuhi yaitu meminta jatah atau biasa disebut dengan uang keamanan untuk memasukan rectifier ke dalam shelter. Sehingga saat peletakan rectifier hingga installasi dilakukan warga tidak mengganggu jalannya oprasional team installer dan forwarder dari pihak PT.GSPE.
Masalah ini akan menimbulkan konflik antar kelompok yang terjadi antara divisi logistik selaku penyedia dan pengirim rectifier , divisi installer dan divisi subcont dalam melakukan installasi serta divisi project sebagai penanggung jawab project yang sedang berjalan. Masing-masing divisi terkait harus mencari jalan keluar agar mencapai kesepakatan bersama serta dapat memenuhi permintaan warga tetapi tidak merugikan PT.GSPE. Sebab dalam mengambil dan menentukan keputusan harga bukan sepenuhnya wewenang dari PT.GSPE tetapi melibatkan pihak PT.XL Axiata sebagai otoritas tertinggi agar mau menyetujui Berita Acara Community case yang akan dilampirkan saat penagihan kepada PT.XL Axiata.
serangkaian manajemen pengelolaan konflik agar konflik dapat terselesaikan dengan mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak. Serta menggunakan teknik kolaborasi dengan melakukan pertemuan antara masing-masing Divisi walaupun berbeda lokasi tetapi dapat menggunakan media komunikasi Skype serta melibatkan pihak PT.XL. Tetapi untuk team yang berada di lapangan dalam berkoordinasi dengan pihak kantor dan engineering PT.XL di lapangan menggunakan media teleconference antara divisi logistic, installer, subcont, project serta engineering PT.XL agar informasi yang diterima dapat dipercaya dan dikonfirmasi langsung oleh pihak XL yang berada di lapangan.
Pengelolaan konflik di PT.Graha Sumber Prima Elektronik menggunakan berbagai media komunikasi dalam memecahkan konflik. PT.GSPE juga menggunakan program internal yang disebut dengan MOM (minute of meeting) yang dijadikan sebagai cara untuk mengingatkan problem yang sedang berlangsung ataupun yang belum terselesaikan. Melalui MOM (minute of meeting) masing-masing divisi akan menginput masalah/konflik ke dalam program MOM setelah itu diadakan rapat seluruh divisi terkait konflik ke dalam meeting non rutin. Selain meeting non rutin diadakan juga meeting rutin agar semua divisi menjelaskan project installasi yang sedang berjalan walaupun konflik sedang tidak terjadi.
Keempat informan menyatakan hal yang sama yaitu dalam memecahkan konflik antar kelompok di PT.GSPE menggunakan program MOM (Minute of Meeting). Sebelum meeting antar divisi dilakukan ada pemberitahuan melalui email ke semua divisi yang terlibat konflik, dan apabila konflik melibatkan PIC
XL dan team di lapangan maka mereka juga ikut dilibatkan melalui teleconference ataupun SKYPE jika memungkinkan.
Windha Septiani menyatakan hal yang sama dengan peneliti ;
“Pertama kita by email dulu kedua kita selalu ikut meeting dan meetingnya berkelanjutan misalkan meeting yang kedua belum selesai juga biasanya dari pihak atasan kita minta untuk skype dengan PIC terkait.
Kalau kita masih satu kantor (gedung) ya kita komunikasinya langsung meeting tapi kalau orangnya diluar kantor kita bisa
teleconference untuk yang di gudang werehouse di tekno itu biasanya
pakai skype.
Kumpulin orang-orang yang terlibat dalam problem apa sih keluhan mereka apa sih saran mereka kita kumpulin jadi satu dan kita ambil keputusan yang terbaik yang mana dari meeting itu.
Biasanya ada meeting mingguan semua divisi ikut meeting dan biasanya skype /video call sama pihak PIC, ada juga meeting keluar tapi itu lebih ke project yang berhubungan dengan customer di tempat mereka.
Biar kita gak lupa kita di kasih waktu 7 hari by program MOM (Minute of Meeting ) tentang case-case yang sedang terjadi dan diingatkan kapan deadinenya “.
Siti Rini Setiarini memaparkan lebih detail terkait fungsi MOM (Minute of Meeting ) yang digunakan PT.GSPE dalam memecahkan konflik.
“Kita dapat project bukan hanya satu area saja tetapi seluruh Indonesia kita pegang. Setiap area setiap site karena sering ada problem maka perusahan membuat program namanya MOM (minute
of meeting).
namanya MOM (minute of meeting) jadi persite kita input problemnya apa dan kita harus kasih deadline,kalau kita gak selesaikan problem sebelum deadline itu harus ada reasons kenapa dan kita harus eskalasi.
Selain itu kita juga harus meeting ada namanya meeting rutin dan nonrutin. Kalau yang rutin kita biasanya breafing setiap hari dengan installer untuk kasih tau plan site kemana dan meeting nonrutin dengan para divisi bisa seminggu sekali bisa 2 minggu sekali tergantung kebutuhan.
Meeting dengan customer itu rutin 2 minggu sekali jadi problem yang belum selesai harus bagaimana.Setiap hari kita harus
breafing kasih plan ke mereka hari ini apa yang harus di kerjain dan mereka juga harus kasih tau problem apa yang mereka hadapi.
Peneliti melihat dalam memecahkan konflik di PT.GSPE mereka menggunakan media komunikasi teleconference by phone, skype, email, blackberry messanger dan what’s up. Hal ini digunakan untuk mempercepat penyelesaian konflik yang terjadi sebab pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bukan hanya dari internal PT.GSPE tetapi juga melibatkan enginering XL serta team installasi dan forwarder yang berada di lapangan.
Keempat Informan sependapat dengan peneliti berikut pernyataan salah satu informan Siti Rini Setiarini selaku Project Manager di PT.GSPE.
“Medianya banyak dalam menyelesaikan konflik pokoknya sebisa mungkin kita harus gunakan media apapun misalkan by email dengan customer.
Internal menggunakan teleconference by phone dengan logistik,installer team monitoring dengan PIC mereka dikumpul jadi satu by phone teleconference.
Bisa juga dengan Skype by face to face karena di GSPE ada dua gedung di intercom dengan di serpong jadi mau gak mau kita harus Skype buat selesain problem.Skype dari Logistik dengan Team Monitoring Installasi dan team Project untuk koordinasi material onsite atau enggaknya.
Lebih banyak dipakai media telepon dan email untuk koordinasi. Terutama teleconference ya karena konflik gak cuma dua pihak pasti ada pihak ketiga jadi dari semua pihak bisa mendengar apa masalah dari masing-masing pihak.
Tetapi sekarang karna medianya sudah gampang misalnya site belum ready kita tinggal minta foto kita langsung dapat foto dari whatsap atau BBM (Blackberry Messanger), misalkan PLN belum ready fotoin aja .
Kalau dulu kita nunggu dari team dari lapangan ke kantor dulu baru kita liat bukti dari mereka karena mereka hanya dibekalin kamera dari kantor dan belum ada gadget canggih seperti sekarang. Windha Septiani menyatakan hal sebaliknya bahwa media teleconference kurang efektif dalam memecahkan masalah .
“Kita lebih banyak pakai email sama by phone kalau meeting secara langsung cuman seminggu sekali. Biasanya sih by email karena historikal obrolan kita keliatan kadang kalau by phone namanya manusiawi dia bilangnya selesai tapi enggak jadi gak ada rekamannya”.
Pengelolaan konflik antar kelompok tentu berkaitan dengan alur komunikasi yang terjadi di PT.GSPE. Peneliti melihat alur komunikasi terdapat dari atas ke bawah.Memang benar saat terjadi konflik karyawan memberitaukan atau eskalasi ke atasan tetapi dalam pengambilan keputusan tetap semua
sebelum mendapat persetujuan dari Project Manager, Manager atau Direktur. Ketiga informan menyatakan hal yang sama dengan peneliti tetapi satu informan menyatakan hal sebaliknya. Berikut pernyataan dari Agung Raharjo, Bella Siti Hawa dan Windha Septiani.
“Sesuai sama struktur aja mba dari atas ke bawah karena ada tingkatan-tingkatanya, misalkan saya project support ada atasannya namanya PM (Project Manager)misalkan ada konflik kita harus report ke PM gak boleh langsung ke GM atau Direkrut .
Jadi kendalanya gak bisa ngambil keputusan langsung.Project ke monitoring installer, dari monitoring installer ke installernya kalau dari installer gak mungkin langsung ke project karena kan itu menyalahkan aturan itu namanya by pass.
Kurang sih antara bawahan sama atasan sih kurang terbuka jadi kalau disini tergantung rasnya juga sih “.
Pernyataan Siti Rini Setiarini selaku Project Manager bertentangan dengan ketiga informan :
“Dari bawah ke atas jadi kalau ada konflik biarkan team monitoringnya kelarin masalahnya dulu baru eskalasi ke aku.”
4.2.5 Penyelesaian Konflik
Konflik antar kelompok/antar divisi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik harus segera diselesaikan agar project tetap berjalan dan tidak melewati batas waktu yang telah di tentukan oleh customer yang disebut dengan SLA (service level agreement). Manajer atau pemimpin berusaha mencari pemecahan masalah (problem solving) dalam menyelesaikan konflik antar kelompok.
mengurangi konflik melalui pertemuan tatap muka dari kelompok-kelompok yang bertentangan. Kelompok yang saling bertentangan memperdebatkan masalahnya dengan mengumpulkan informasi yang relevan sampai tercapai suatu keputusan.
Penyelesaian masalah di PT.GSPE diselesaikan melalui meeting internal maupun eksternal. Pihak-pihak yang terlibat konflik disatukan dan dibicarakan apa yang menjadi hambatan dalam Project XL rectifier Backbone dan atasan mencari solusi agar semua divisi yang terlibat dapat meneruskan pekerjaannya dan apabila belum mendapatkan solusi maka akan diadakan meeting selanjutnya.
Keempat informan menyatakan hal yang sama yaitu untuk mendapatkan solusi dari konflik antar kelompok yang terjadi maka diadakan meeting semua bagian yang terkait konflik.
Siti Rini Setiarini memaparkan hal yang sama dengan peneliti:
“Komunikasi antara internal dengan eksternal kemudian eskalasi ke atasan atau dengan eskalasi ke customer.Biasanya kita langsung arrange meeting bersama divisi terkait.
Melalui meeting kita kumpulin semua orang yang berhubungan dengan konflikdan apabila beda gedung kita bisa Skype, Teleconference, by phone banyak cara untuk selesaikan
problem.
Keluhan mereka,saran dan masukan mereka kita kumpulin jadi satu . Kita ambil keputusan yang terbaik yang mana dari meeting itu.Karyawan dan headnya masing2dijadiin satu baru di cari solusinya.
Meeting lagi mba kalau ada masalah kita selalu meeting karena gak bisa diselesaikan dengan satu divisi harus seluruh divisi ikut serta semua.
dengan semua divisi seperti installernya kurang, forwardernya gak ada jadi kita bisa cari solusi bersama.
Apabila meeting yang kedua belum selesai juga biasanya dari pihak atasan kita minta untuk skype dengan PIC terkait.Biasanya kalau customer kan gak mau tau,tapi kita arrange meeting juga.
Kita ke customer kita jelasin kendalanya apa di lapangan dan biasanya sih customernya mau.”
Konflik yang sering muncul dalam setiap pekerjaan dalam berbagai project membuat manajemen mengambil langkah dalam mengantisipasi konflik yang sama. Setidaknya meminimalisir konflik walaupun sedikit sebab sumber konflik kebanyakan dari eksternal perusahaan sehingga harus lebih meninggkatkan serta memperbaiki komunikasi dengan customer agar konflik yang sering terjadi berulang-ulang dapat diminimalisir.
Agung Raharjo dari bagian project XL mempunyai pernyataan yang sama dengan peneliti.
“Menekankan sih team projectnya jadi kalau ada project baruteam projectnya harus bisa lebih jelas koordinasinya,misalkan saat survei site harus dipastikan bener-bener ready dan alamat site salah kirim atau enggak.
Biasanya sih koordinasi bareng- bareng antar vendor disesuaikan schedule misalkan tgl 12 melakukan installasi dengan vendor rectifier, vendor RBS, vendor antena bareng – bareng jadi com.case akan tetep ada tapi kecil, kita ngeluarin add costnya kecil”. Bella Siti Hawa menyampaikan hal yang sama dengan Agung Raharjo.
“Biasanya kita menekankan tim survey untuk kesiapan sitenya, PICnya suka bilang ready padahal enggak ready dan
biasanya team projectnya bantu untuk bilang ke PIC atau supervisior