• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Gambaran Umum Perusahaan

4.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan

PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE) didirikan pada tahun 1996, oleh Bapak Yanto Liem, yang menyediakan peralatan berkualitas tinggi seperti Energi dan Power System, Power Supply / Power Konverter dan Elektronika, Listrik dan Mechanical Components, Test dan pengukuran untuk Industri Manufaktur, Telekomunikasi dan Aplikasi umum.

Strategi Penjualan GSPE adalah untuk menawarkan pelayanan berkualitas tinggi, hemat biaya dan jasa yang diarahkan untuk kebutuhan pasar mereka. GSPE selektif bekerja dengan vendor berkualitas untuk produknya untuk memenuhi pelanggan individu. Salah satu aliansa strategi kami, Nemic Lambda (Sebuah Perusahaan invensys), dimana kantor Penjualan Regional di Singapura dengan ketersediaan saham untuk pengiriman langsung kepada pelanggan di wilayah ini seperti di Indonesia. Nemic Lambda adalah pemimpin di pasar Asia Jepang dan pasar lainnya sebagai Global Industri dari Switching Power Supplies dan Secure Power System.Selain karena mendistribusikan Power Supplies module, kami menawarkan layanan lengkap Value Added Reseller (VAR), untuk merancang dan

(2)

membangun pasokan listrik menggunakan komponen daya yang bervariasi untuk banyak pabrik yang mengandalkan sumber daya dari luar untuk menyediakan sistem kekuasaan yang lengkap untuk produk mereka.

Farnell-Newark InOnemembawa pelanggan kami di Asia tentang produk gabungan dari Farnel InOne dan Newark InOne. Kami menawarkan untuk segera mengirim lebih dari 250.000 produk siap dari lebih dari 1000 pabrik yang terkemuka di Asia, Inggris dan gudang Amerika Serikat.GSPE memiliki berbagai produk kekuasaan yang kompleks dengan desain teknologi maju dari catu daya, rectifier, baterai di bawah merek Invensys.

Komponen konsultasi, layanan yang ramah, dukungan logistik yang handal dan efisien adalah beberapa faktor penting yang berkontribusi untuk GSPE ekspansi. GSPE juga menawarkan tim teknisi servis, tersedia untuk membantu pelanggan dengan pertanyaan tentang fitur produk dan solusinya. Kontak dekat ke produsen teknologi dasar dan pembelian yang dihasilkan komponen mereka dengan harga yang memadai telah mengantarkan GSPE ke gerbang kesuksesan.Semua faktor ini digabungkan,membuat kami menjadi salah satu distributir terkemuka Energi dan Power System, Power Supply / Power Konverter, Electronic, Electrical dan Mechanical Components.

(3)

4.1.2 VISI dan MISI Perusahaan 1. Visi

Menjadi sebuah perusahaan dengan pelayanan profesional, dan sebagai penyedia peralatan dengan teknologi tinggi, serta dapat mengambil bagian dalam meramaikan pasar di Indonesia bahkan Asia.

2. Misi

Adapun misi dari PT. Graha Sumber Prima Elektronik adalah sebagai berikut :

a. Mencapai target penjualan tinggi

b. Menyediakan produk – produk yang bermutu tinggi c. Menyajikan pelayanan yang professional

d. Menjadi partner handal bagi operator selular di Indonesia

e. Turut serta membantu pemerintah dalam menangani masalah pengangguran. 4.1.3 Struktur Organisasi

Dalam menjalankan kegiatannya PT. Graha Sumber Prima Elektronik memiliki struktur organisasi yang dapat menjaga kestabilan dan kelangsungan operasional yang terdiri dari beberapa departemen yang memiliki tanggung jawab dan wewenangnya masing-masing yang saling berhubungan dalam melakukan pelayanan terhadap para pelanggan. Adapun struktur organisasi dapat dilihat secara rinci pada gambar 4.1.3

(4)

DEWAN KOMISARIS DIREKTUR SEKRETARIS MANAGER UMUM HRD FINANCE &

ACOUNTING MARKETING ADMIN PROJECT

MONITORING &

INSTALASI LOGISTIK GUDANG

Gambar 4.1.3 Struktur Organisasi PT Graha Sumber Prima Elektronik

4.1.4 Tugas dan Wewenang Divisi di PT. Graha Sumber Prima Elektronik Berikut adalah deskripsi kerja pada PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE) Jakarta yang akan dibahas dari masing-masing bagian secara singkat diuraikan sebagai berikut :

1. Dewan Komisaris Tugas :

a. Mengawasi secara keseluruhan sistem dan prosedur program kerja.

b. Menentukan dan menyusun agenda perusahaan serta menyelenggarakan pertemuan mingguan.

Wewenang :

a. Menjajaki dan menentukan serta memutuskan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik didalam maupun diluar negeri, demi perkembangan dan kemajuan serta keuntungan perusahaan.

(5)

c. Mengangkat, memberhentikan, memutasi karyawan perusahaan.

4.1.4 Tugas dan Wewenang Divisi di PT. Graha Sumber Prima Elektronik

Berikut adalah deskripsi kerja pada PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE) Jakarta yang akan dibahas dari masing-masing bagian secara singkat diuraikan sebagai berikut :

2. Dewan Komisaris Tugas :

a. Mengawasi secara keseluruhan sistem dan prosedur program kerja.

b. Menentukan dan menyusun agenda perusahaan serta menyelenggarakan pertemuan mingguan.

Wewenang :

a. Menjajaki dan menentukan serta memutuskan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik didalam maupun diluar negeri, demi perkembangan dan kemajuan serta keuntungan perusahaan.

b. Menentukan aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan sepanjang tidak menyimpang atau tidak bertentangan dengan peraturan perusahaan.

c. Mengangkat, memberhentikan, memutasi karyawan perusahaan. 3. Direktur

Tugas :

a. Memimpin seluruh dewan dan komite eksekutif b. Menawarkan visi dan imajinasi di tingkat tertinggi

(6)

c. Memimpin rapat umum d. Pengambil keputusan

e. Bertindak sebagai perwakilan organisasi dalam hubungannya dengan dunia luar.

4. Genaral Manager Tugas :

Bertugas atas pengkoordinasian, penghargaan dan pengawasan keseluruhan dan pelaksanaan semua kegiatan perusahaan agar sesuai degan tujuan, kebijaksanaan, sistem dan prosedur kerja jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang, dan program kerja serta rencana anggaran.

5. Sekretaris Tugas :

a. Menerima Pendiktean, menyiapkan surat-menyurat, dan menerima tamu. b. Mengatur jadwal kegiatan pimpinan.

c. Memegang rahasia serta memperoleh kepercayaan dari pimpinan untuk menangani urusan kantor.

d. Mengelola anak buah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja di kantor.

6. HRD Tugas :

a. Merekrut karyawan, menerima lamaran, wawancara, melakukan tes sampai dengan penentuan gaji

(7)

b. Mengatur dan mengkordinasi hak-hak karyawan seperti jatah cuti katyawan, santunan kesehatan, dan absensi karyawan.

c. HRD juga bisa menampung aspirasi karyawan (apabila tidak ada SPSI) lalu kemudian disaring dan disampaikan pada jajaran direksi saat diadakan rapat bulanan/tahunan

7. Finance & Accounting Tugas :

a. Mengatur siklus keuangan PT. Graha Sumber Prima Elektronik (GSPE). b. Mengeluarkan dana untuk pembelian dan pembayaran dari persetujuan

Direktur.

c. Membuat neraca dan laporan arus kas perusahaan. 8. Marketing

Tugas :

a. Memaksimumkan kesempatan penjualan yang akan datang dengan membantu mengatasi masalah-masalah yang menyangkut kebutuhan pelanggan.

b. Membuat laporan hasil klaim mengenai penjualan Rectyfier dari berbagai daerah.

c. Merancang strategi pemasaran yang diarahkan untuk masing-masing supervisor area.

9. Project Tugas :

(8)

b. Menangani permasalahan project

c. Memberikan solusi permasalahan project 10. Admin Project

Tugas :

a. Menerima PO (purchasing order) b. Menginput PO (purchasing order)

c. Bertanggung jawab atas invoice pengiriman barang d. Menangani biaya-biaya tambahan instalasi

e. Membuat dokumen pengajuan biaya kepada pihak vendor 11. Monitoring & Instalasition

Tugas :

a. Membuat rencana kerja harian.

b. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses pengiriman barang.

c. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses administrasi. d. Mengkoordinasi tim-tim install.

12.Logistic Tugas :

a. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses administrasi logistik dalam hal pembuatan Delivery Order (DO), Surat Perintah Kerja (SPK).

(9)

b. Mengkoordinasi, mengawasi dan mengendalikan proses administrasi logistik dalam hal monitoring pengiriman dan add-cost pada saat pengiriman barang.

c. Merancang, membuat, memelihara dan menganalisa jaringan infrastruktur yang berhubungan dengan logistik yang meliputi area Jabodetabeka, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan area lain yang berpotensi untuk pengembangan jaringan.

13.Warehouse Tugas :

a. Bertanggung jawab atas stock barang b. Bertanggung jawab pengeluaran barang. c. Merakit rectifier

d. Menginput SN (serial number) untuk barang yang akan dikirim

4.1.5 Produk dan Jasa a. Produk

1. FARNELL-NETWORK INONE Leading Distributor Electronic & Industrial Components

Farnell-Newark InOne membawa pelanggan kami di Asia rangkaian produk gabungan dari Farnell In One, distributor terkemuka di dunia elektronik,

(10)

perbaikan dan pemeliharaan, & operasi (MRO) produk dan Newark InOne, distributor elektronik Amerika yang berbasis pasar terkemuka.

Kami menawarkan pelanggan kami pilihan lebih dari 250.000 produk yang ditebar di gudang kami di Asia, Amerika, dan Inggris dari lebih dari 1.000 produsen terkemuka & tambahan 6 juta produk melalui layanan ProductFindTM kami.Sebagai pelanggan, anda hanya perlu membeli jumlah yang Anda butuhkan tanpa minimal jumlah pesanan dan meskipun kami melayani ribuan pelanggan di seluruh dunia sehari – hari, dari industri yang berbeda, Anda dapat mengharapkan satu-ke-satu layanan dan fleksibelitas yang tidak ada duanya.

2. DENSEI LAMBDA POWER SUPPLY

DENSEI-lambda K. K. bertekad untuk mewujudkan solusi total dengan benar daya lebih meningkatkan kualitas, memotong biaya produksi, mengurangi waktu pengiriman, meningkatkan layanan purna jual, dan mengembangkan produk yang inovatif.

3. POWERWARE – DC Power System

Powerware Energy System adalah pemimpin dalam perancangan dan pembuatan peralatan listrik DC Siaga untuk komunikasi. Powerware adalah generasi baru dari sistem tenaga DC modul bagi insdustri komunikasi saat ini.

(11)

EXIDE Technologies Industrial Energy adalah pemimpin global dalam solusi energi listrik yang di simpan untuk semua aplikasi cadangan utama kritis dan kebutuhan. Aplikasi daya siaga termasuk jaringan komunikasi / data network, sistem UPS untuk komputer dan sistem kontrol, pembangkit tenaga listrik dan sistem distribusi, serta berbagai aplikasi lainnya kekuatan industri siaga.

5. ASHLEY-EDISON (UK)NAC Line/Power Conditioner – AVR

Ashley-Edison (Inggris) AC Line / Power Conditioner dirancang memelihara tegangan utama listrik terus – menerus sepanjang waktu. Kontrol penguat elektronik akan memperbaiki tegangan listrik yang berubah tinggi atau rendah. Mereka dicirikan oleh efisiensi tinggi dan sama sekali tidak terpengaruh oleh faktor daya, beban dan variasi frekuensi. Mereka dapat menahan overloads sesaat dan tidak menciptakan gangguan magnetik.

6. INFRARED SOLUTIONS – Infrared Camera

Flaxcam Kamera Inframerah sangat terjangkau dan mudah digunakan portabel, tingkat video kamera inframerah dengan pusat titik pengukuran suhu, “Sharper Simpler Smarter” fitur desain membuat kamera yang ideal untuk cepat dan mudah inspeksi inframerah.

7. Shenzhen Powercom Co, Ltd

SHENZHEN POWERCOM didirikan pada tahun 1999 adalah perusahaan berteknologi tinggi yang mengkhususkan diri dalam penelitian, produksi dan

(12)

penjualan produk seri RF nirkabel dan sistem komunikasi nirkabel, pelanggan utama kami adalah China Unicom, China Mobile, China Telecom dan China Netcom, mengintegrasikan kedua POWERCOM mengambil pangsa pasar di Cina. Baru – baru ini, aset POWERCOM secara keseluruhan telah tumbuh dari RMB 10 juta untuk dana terdaftar untuk RMB 1 miliar, dan tim berkembang dari puluhan karyawan untuk tahun 2000. Kami memiliki 3 pusat R & D diman di Shinzhen, Quanzhou, dan Nanjing, dan kami sudah memiliki Shenzhen terpadu pusat R & D dan Quanzhou frekuaensi radio profesional R & D center; jaringan pelayanan pemasaran kami dan Produk berhasil dijalankan di jaringan telekomunikasi selular dalam negeri yang meliputi 30 provinsi dan domestik kotamadya, dan mulai pergi ke pasar international.

8. AGILIS Comunication Technologies

Pendirian pada bulan Agustus 1991, dukungan yang kuat telah mendorong kita untuk jadi manufaktur terkemuka dan pemasok VSAT, Doppler Montion Sensor dan Microwave Digital Radio untuk berbagai aplikasi di pasar industri, komersial dan korporasi.

b. Jasa

Adapun jasa yang ditawarkan adalah : 1. Jasa Pengiriman dan instalasi

(13)

1.1.6 Alur Pekerjaan PT.Graha Sumber Prima Elektronik

Divisi yang terdapat di PT.GSPE terbagi menjadi Divisi Enginering, Divisi Workshop, Divisi Marketing, Divisi Sales Project, Divisi Project , Divisi Admint Project, Divisi Installasi , Divisi Subcont, Divisi Purchasing , Divisi CRC (Customer Responds Center) dan Divisi Finnance , Divisi GR (Good Receieved), Divisi EDP (Entry Data Proccess) , Divisi PPIC (Production Planing Inventory Control) dan terakhir adalah Divisi Logistik (warehouse) berlokasi di Taman Tekno Serpong.Gudang ini menyimpan banyak barang (rectifier) serta dijadikan sebagai tempat perakitan barang yang hendak dijual dan diinstallasi.

Setiap divisi mempunyai fungsi dan peran dalam mejalankan tugas pekerjaan mereka masing – masing . Mulai dari Divisi Enginering yaitu bertugas untuk menciptakan rectifier baru melalui percobaan yang mereka lakukan. Selain bereksperimen dengan percobaannya, enginering juga mempunyai tanggung jawab lebih besar di atas para installer apabila team installer tidak mampu menangani problem installasi di lapangan. Divisi Installer memiliki wewenang terhadap team Installer untuk segala keperluan dan pekerjaan Installer. Installer ialah orang yang bertugas menginstallasi rectifier yang hendak dijual sehingga dapat terkoneksi dan beroprasi dengan baik dalam satu rangkaian elektronik di dalam shelter dan tower.

Divisi Sales Marketing Project yang memasarkan produk dan jasa yang dihasilkan PT.Graha Sumber Prima Elektronika (GSPE). Divisi Project yang bertugas mengatur plan serta menjalankan hasil tender yang telah di menangkan

(14)

oleh Sales Marketing Project, bidang pekerjaan pada divisi project berhubungan dengan para PIC (supervisor) customer seperti PIC XL, PIC Indosat, PIC Telkomsel , PIC Axis serta PIC Ericsson , kemudian dibawah divisi project yaitu Divisi Admint Monitoring yang bertugas memonitor jalannya proses installasi oleh para installer. Divisi Logistik (warehouse) bertugas menyediakan barang (rectifier) serta melakukan ekspedisi / pengiriman barang ke tempat tower /shelter yang akan di installasi.

(15)

Berikut merupakan Prosedur Mutu Sales Support XL :

PT. GRAHA SUMBER PRIMA ELEKTRONIK

QUALITY PROCEDURE No. Dokumen QP-SLS-0004

SALES XL

No. Revisi 01

Tanggal Efektif 10 Juni 2014

Halaman 98 / 70

PIC PROSES DOKUMEN

SALES ENGINEERING PPIC SALES CUSTOMER CUSTOMER TEAM PO, PPIC, PRODUKSI, PROJECT, TEAM GR,FINANCE Email Request, RFQ Drawing, BOQ Approval From Customer Quotation Y N Y Y N N Mulai Terima Inquiry/RFQ Dari customer Inquiry/RFQ

Design & BOQ By Engineer New? Approval Design Mock Up Approv al Mock Quotation Send to Customer Process di Cust, Nego harga dll PO Implementasi :(produksi, delivery& /install, GR, invoice) Selesai

(16)

Alur atau mekanisme aktifitas pekerjaan di PT.Graha Sumber Prima Elektronik di mulai dari Divisi Sales Project melakukan presentasi produk dan penawaran (quotation) dari proses negoisasi hingga release PO dari customer. Selanjutnya divisi project menerima sales order dari XL (customer ) /forecast dari sales, melakukan pengecekan PO dan segera memberikan info apabila PO bermasalah serta membuat project name.

Divisi project juga melakukan survey kesiapan site ke PIC dan membuat request DIN (Delivery Instruction Notice) , merequest DN ( Delivery Note ) ke customer lalu mengecek DIN dan DN yang diterima .Setelah ready baru memproses dan berkoordinasi dengan bagian internal untuk implementasinya.

Divisi Installasi akan menyiapkan team Installer untuk memproses / menjalankan project dan mengoprasikan perangkat yang akan di pasang. Apabila team Installer kurang sedangkan material ( rectifier ) sudah ready dan siap untuk dilakukan installasi, maka PT.GSPE akan menyewa subcont1 agar tidak melewati DIN da DN yang ditentukan oleh customer . Divisi Installer dan Divisi Subcont akan berkoordinasi untuk menentukan site ( tujuan ) dilakukan installasi .

Sebelum dilakukan installasi oleh installer dan subcont maka divisi Logistik akan melakukan pengiriman barang sesuai dengan plan (perencanaan) yang dibuat oleh Divisi Project. Divisi Logistik harus memastikan bahwa semua

1

(17)

Purchase Order ( PO ) dari customer di penuhi dan dikirim sesuai jadwal serta memastikan bahwa pengiriman barang harus sampai ke tangan customer dalam keadaan baik dan tidak hilang.

Setelah dilakukan installasi perangkat (rectifier) lalu Divisi GR (Good Receipt) menerima dan memeriksa dokumen penagihan ke departement terkait. Setelah dokumen lengkap entry sistem dan kelengkapan invoice , lalu kirim dokumen ke customer dan membuat rencana penerimaa pembayaran dan melakukan penagihan saat jatuh tempo , terima pembayaran , entry sistem , membuat plan vs aktual sesuai .

4.2 Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara mendalam(indepth interview) dengan narasumber(informan). Narasumber adalah Siti Tri Setiarini selaku Manajer Project PT.Graha Sumber Prima Elektronik, Agung Raharjo selaku Project XL area Jawa Timur PT.GSPE, Windha Septiani selaku Koordinator Divisi Installasi Subcont PT.GSPE, Bela Siti Hawa selaku Koordinator Divisi Installer. Selain itu penelitian ini juga diperoleh dari data sekunderberupa dokumen yang mendukung penelitian yang didapat dari divisi Project XL.

Setelah melakukan wawancara mendalam melalui penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan oleh peneliti kepada informan yang diperoleh dari divisi Project XL,divisi Installer, divisi monitoring Subcont,maka diperoleh hasil penelitian sebagai berikut

(18)

4.2.1 Unsur Konflik

Unsur konflik merupakan keterlibatan pihak – pihak yang mengalami konflik terdapat interaksi antara pihak-pihak yang terlibat serta ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Unsur Konflik yang ditemukan peneliti pada PT.GSPE dalam Studi Kasus Project XL rectifier Backbone area Jawa Timur 2014 merupakan keterlibatanantara divisi dan karyawan selama project berlangsung.

Terdapat kendala dalam menjalankan oprasional kerja dari internal maupun eksternal, dari internal yaitu kendala dalam komunikasi organisasi antara divisi project, divisi Installasi dan Subcont serta divisi Logistik.Kendala yang terjadi di eksternal yaitu miss.koordinasi pada saat survey kesiapan site, ketika team RFS (ready for survey ) melakukan survey melalui telepon dengan PIC supervisior XL mereka mengatakan site ready tetapi aktual di lapangan belum ready terkait belum ada pondasi shelter, PLN belum ready ataupun vendor – vendor lain yang belum siap sebab untuk melaksanakan installasi butuh kerjasama kesiapan dari berbagai vendor karena terdapat rangkaian listrik yang tidak bisa dikerjakan hanya dari pihak PT.GSPE yang seharusnya customer memberikan informasi yang pasti.

Hal ini terjadi biasanya pada shelter di luar jabodetabek dan survey dilakukan hanya melalui telepon sehingga biasanya para PIC XL sebenarnya belum megetahui pasti keadaan shelter dan kondisi site yang sebenarnya. Hal ini biasanya terjadi di site yang terpencil dan jauh dari pemukiman warga dan berada di tengah hutan.

(19)

Kendala seperti ini akan memakan biaya tambahan seperti sewa gudang karena PT.GSPE harus menyewa gudang untuk meletakan rectifier backbone. Agung Raharjo menyampaikan hal yang sama dengan peneliti tantang kendala dalam melaksanakan Project XL Rectifier Backbone area Jawa Timur 2014.

“Biasanya sih ada kendala dalam oprasional kerja seperti

miss.koordinasi eksternal maupun internal. Konfliknya seperti

koordinasi dari customer ke setiap projectnya, yaitu awal-awal project.

Konflik yang sering terjadi yaitu Community Case itu biasanya

dari warga, ada juga kesiapan site misalnya aktualnya waktu survey by phone sudah ready ternyata aktual di lapangan belum ready.”

Selain Agung Raharjo, Bella Siti Hawa dan Windha Septiani juga mempunyai pendapat yang sama yaitu kesiapan site selalu menjadi kendala dalam melaksanan project rectifier backbone.

Bella Siti Hawa mengemukakan bahwa :

“Kendala pastinya selalu ada, internal dan eksternalnya pun ada dimulai dari persiapan barang dan dari eksternalnya untuk kesiapan sitenya, shelternya belum ready terus pondasinya belum ready , pln belum ready dan vendor-vendor lainnya belum ready.

Jadi gak dari kita juga sih,konflik Installasi backbone karena installasinya butuh PLN sudah ready atau belum kadang PLN belum ready.

Selanjutnya Windha Septiani selaku Koordinator Subcont juga berpandangan sama melalui pendapatnya :

“Semua kantor punya kendala tetapi untuk PT.GSPE memang

crowded banget mulai dari internal maupun eksternal. Installasi

(20)

yang belum ready, pondasinya berada di dalam shelter,belum ada

installasi listriknya.

Selain itu posisi AC juga terkadang di lokasi rectifier dekat dengan AC jadi gak bisa di pasang. Kalau konflik itu belum selesai rectifier juga belum bisa dipasang.

Sebenernya posisi AC kan simple banget tapi kalau misalkan posisinya mengganggu jadi rectifier belum bisa di pasang.”

Peneliti menemukan konflik yang paling sering muncul adalah Community Case yaitu banyak ormas-ormas atau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang meminta pungutan liar agar barang /rectifier dapat diturunkan dari mobil forwarder serta dapat dimasukan ke dalam shelter/site.

Keempat informan setuju bahwa memang konflik Community Casesering muncul dalam project XL rectifier backbone.Bella Siti Hawa selaku Koordinator team Installasi di lapangan setuju dengan peneliti :

“Ada special case seperti Com.Case , kalau itu kan urusan XL

dengan warga. Com.Case itu Community Case jadikan antara XL

dengan warga harus ada kesepakatan sebelum membangun shelter nah disitu biasanya warga sering minta jatah sama pihak kita. “ Siti Tri Setiarini juga mempunyai pendapat yang sama dan menjelaskan bahwa terdapat banyak ormas-ormas atau penjaga site yang muncul saat project berlangsung.

“Konflik pasti selalu ada dan sering muncul jadi setiap site pasti selalu ada konflik, beda-beda konfliknya misalnya site A konflik dengan community dengan masyarakat setempatnya terus site B dengan penjaga site atau dengan ormas itu macam-macam.

(21)

Ada dua faktor juga internal atau eksternal konflik yang bisa kita ciptain sendiri atau konflik yang memang kita gak bisa ukur contohnya kalau konflik diluar kendali kita contoh sitenya kebakar, bencana alamlah.

Konflik yang dibuat itu misalnya ada ormas –ormas yang kita mau kerja tapi kita dimintain uang kaya gitu sih biasanya. “

Selain community case terdapat konflik internal antara team Installasi dan team forwarder. PT.GSPE menyewa forwarder untuk melakukan pengiriman barang melalui divisi Logistik tetapi karena forwarder punya aturan sendiri dalam melakukan pengiriman barang sehingga waktu barang tiba akan lebih lama sampai dibanding dengan team installasi yang tiba ke lokasi. Team installasi sudah tiba di lokasi tetapi barang belum sampai sehingga akan menambah biaya oprasional untuk team installasi dan waktu installasi akan semakin mendekati deadline yang diberikan customer karena kendala tersebut.

Bella Siti Hawa memaparkan hal yang sama dengan peneliti :

“Setiap ada kerjaan pasti ada konfliknya misalnya di site itu forwarder dengan intsaller kan berbeda. Kalau forwarder dari gudang dan intstaller dari kantor dan yang sampe duluan ke site biasanya installer

Forwarder harus ke tempat kesatu, kedua, ketiga jadi forwarder bisa tiga tempat nah disitu mereka bisa tunggu-tungguan dan itu makan waktu buat intsall, biasanya dari pihak gudang dan pihak monitoring installer itu pasti adalah konfliknya.

Terus juga ada spesial case yang lain misalnya ada site spesial

itu harus diutamain nah kadang dari kitakan gak siap dari installernya karena installernya udah bolak-balik sitenya belum ready.

(22)

Jadi akhirnya installernya kita alihin ke tempat lain ternyata itu sudah di tunggu sitenya dan itu sampai manajemen sampai ikut-ikutan turun tangan membantu menyelesainkan masalah itu.”

Windha Septiani melalui pendapatnya menyebutkan bahwa dari Divisi Pengirman memang lama dalam mengirim barang.

“Internalnya untuk posisi saya dari pengiriman barang. Saya di bagian subcont monitoring installasi dari divisi yang lain seperti logistik banyak kabel yang masih indent jadi kita harus nunggu kabel.

Forwarder juga masih di subcontnin jadi banyak vendor-vendor forwarder yang lama pengirimannya dateng ke kantornya juga lama, banyak alesannya sih.

Siti Tri Setiarini selaku Project Manager menyampaikan pendapatnya bahwa terpadat miss.communications antara internal PT.GSPE sehingga Logistik kurang mendapatkan informasi.

Installasi site di area jawa timur kita ada installasi battery segala macam rectifier. Sekarang yang sedang berjalan itu project XL BB (backbone) konflik yang baru kemarin-kemarin terjadi ada miss.communications antara GSPE dengan logistic.

Konflik internalnya seperti teamnya sudah datang tetapi barangnya belum datang. Kita kan sudah ada SLA ada deadline

misalkan hari ini sudah deadline harus DONE Install tetapi kita gak bisa installasi hari ini karena logistik barangnya telat.

Terjadi bisa logistiknya memang lambat atau ada kurang info yang harusya onsite hari ini malah besok gitu. Konflik itu bakalan besar kalau itu gak di solve problem dan efeknya itu lebih kita ke customer nya.

(23)

Kita delay efeknya itu ke penagihan kita kenapa diluar jadwal

dari deadline kita installasi lebih lambat dari deadline. “

Munculnya konflik tersebut akan menimbulkan konflik antar divisi dan karyawan dalam mengkoordinasikan kepentingan masing-masing. Divisi yang terlibat konflik yaitu Divisi Project, Divisi Intsallasi dari Installer ataupun Subcont serta Divisi pengiriman barang yaitu Logistik.

Keempat informan menyampaikan pendapat yang sama dengan peneliti. Berikut pemaparan salah satu informan Siti Tri Setiarini

“Divisi yang terlibat konflik yaitu project, logistikPPIC (Production Planning Inventory Control) selaku penyedia barang ke

customer terus enginering, dan Installasi Monitoring”.

PICnya yaitu orang-orang yang terlibat konflik tersebut dan faktornya yaitu ada miss.communication antara mereka itu semua”.

4.2.2 Sumber Konflik

Sumber konflik paling tinggi yang terjadi di PT.GSPE yaitu komunikasi. Masing – masing antar divisi dan karyawan dalam melaksanan Project XL Installasi Backbone area Jawa Timur memiliki saling ketergantungan pekerjaan satu arah yaitu ada alur pekerjaan yang harus diikuti masing-masing divisi sehingga sangat membutuhkan koordinasi yang jelas antara masing- masing divisi.

Namun fakta di lapangan peneliti banyak menemukan terjadinya miss communication antara masing-masing divisi dan karyawan khususnya divisi Logistik, Installasi, Subcont dan Project.Miss communication yang paling banyak terjadi terdapat pada divisi logistik dan Installasi . Kedua divisi tersebut sering

(24)

mengalami konflik karena keterlambatan barang yang sampai pada lokasi shelter. Keempat Informan mempunyai pendapat yang sama dengan peneliti. Agung Raharjo dan Siti Rini Setiarini membenarkan peneliti melalui pendapat mereka.

Agung Raharjo menjelaskan bahwa miss koordinasi terjadi terlebih pada tahap awal project dilakukan.

“Kendalanya biasanya miss koordinasi, konfliknya seperti

koordinasi dari customer ke setiap projectnya, yaitu awal-awal project.

Konfliknya koordinasi persiapan site dan SLA ( batas waktu pengiriman & installasi) dari done install sampe ATP dengan customer.

Seperti yang tadi saya bilang di awal biasanya ada com.case

sama ready installasi sama ready surveyjadi kesiapan sitenya belum

ready.

Kalau backbone itu kekurangan material, pondasi belum ready kalau backbone kan biasanya di dalam shelter yaitu new site kadang shelternya belum ada atau PLN nya belum ready

Siti Tri Setiarini juga menyampaikan hal yang sama dengan Agung Raharjo :

“Yang terkait seperti team monitoring, team logistik, PICnya yaitu orang-orang yang terlibat konflik tersebut dan faktornya yaitu ada miss.communication antara mereka itu semua.

Team logistic dengan team monitoring, team monitoring sudah siapin installernya tetapi team logistiknya belum siap dari forwardernya pun belum siap jadi kita harus sampai barang hari ini tapi belum siap.”

(25)

Faktor lain yang peneliti temukan sebagai sumber konflik yaitu kesiapan site dan material yang akan sampai pada lokasi. Kurangnya koordinasi dari team survey dengan PIC XL saat melakukan survey site sehingga banyak site yang belum ready serta ada beberapa rectifier backbone tipe lama harus upgrade ke tipe baru dan menggunakan modul yang baru tetapi modul/ material yang dikirim oleh divisi Logistik yaitu tipe yang lama sehingga harus menunggu lagi pengiriman modul yang baru dampaknya team Installasi harus menunggu kekurangan material untuk melakukan installasi.

Dari keempat informan ketiga informan membenarkan penemuan peneliti. Windha Septiani melalui pendapatnya :

“Faktor penyebab konflik persiapan site dan SLA (batas waktu pengiriman & installasi) dari done install sampai ATP dengan customer.

Kalau shelternya belum ready berarti rectifier belum tau taronya dimana, dan kalau disitu gak ada rumah tinggal atau rumah PICnya atau rumah keamanannya (security) rectifier gak bisa di onsite.

Rectifier gak bisa diturunin dari mobil dibawa balik ke gudang forwarder. Kalau dari kami kita dapat info dari forwarder kita dapat foto/bukti barangnya gak bisa onsite.

Otomatis kita gak bisa installasi dan kita minta foto dulu dari orang lapangan setelah itu kirim by email lalu konfimasi by phone ke PIC terkait.

Kalau dari internalnya sendiri pakai waktu kalau kita email ke PICnya hari senin dan 3 hari kemudian kita follow up lagi by phone.

Karena shelternya belum ada, biasanya backbone kendalanya cuman satu sih kesiapan shelter dan kesiapan isi shelter.”

(26)

Agung Raharjo juga menyebutkan bahwa dalam pengerjaan rectifier backbone sering mengalami kekurangan material.

“Faktor penyebab konlfik persiapan site dan SLA (batas waktu pengiriman & installasi) dari done install sampe ATP dengan customer.

Kesiapan site, survey by phone sudah ready ternyata aktual di

lapangan belum ready. Ready installasi sama readysurvey jadi

kesiapan sitenya belum ready gitu .

Kalau backbone itu kekurangan material , pondasi belum

ready kalau backbone kan biasanya di dalam shelter yaitu new site

kadang shelternya belum ada atau PLN nya belum ready.

Sering banget materialnya kurang biasanya dari 10 site pasti ada 2 site karena pengaruh dari team logistikjuga kan yang prepare material team logistik.”

Siti Tri Setiarini juga membenarkan penemuan peneliti melalui penuturannya: “Team monitoring sudah siapin installernya tetapi team logistiknya belum siap dan dari forwardernya pun belum siap sedangkan kita harus sampai barang hari ini tetapi belum siap.

Project XL kan ada SLA jadi gak berjalan sesuai target atau plan pasti ada kerikil-kerikil kecil yang menghalangi kita harus selesai sesuai deadline masalah – masalah yang seperti tadi contohnya.

Macam-macam faktor site pending itu bisa terjadi karena kurang material, terus kurang komunikasi dengan PIC, barangnya

delay, community case.”

Faktor lain yang menjadi sumber konflik yaitu community case .Saat terjadi community case divisi Logistik dan divisi Installasi juga ikut bernegosiasi dengan ormas agar menurunkan harga jatah preman tersebut. Mereka adalah pihak yang terlibat di lapangan langsung sehingga mereka yang harus berkoordinasi

(27)

dengan ormas-ormas tersebut dan mendiskusikan dengan pihak kantor serta menunggu persetujuan (approval) dari Manager Project.

Sementara team Installasi dan team forwarder menunggu keputusan dari kantor, divisi Installasi dan Logistik yang berada di kantor melakukan negosiasi dengan customer XL agar mereka mau manandatangani Berita Acara add cost community case agar saat penagihan Berita Acara tersebut juga dapat tercantum untuk ditagihkan.

Agung Raharjo selaku pihak yang bernegosiasi dengan pihak customer menyetujui peneliti melalui pendapatnya:

“Setiap ada konflik kita minta approval seperti com. case ,

ini material sudah mau on site tetapi warga minta uang , biasanya info

dari pengiriman Logistik jadi barang gak boleh turun kalau warga gak di kasih uang.

Misalnya sebesar dua juta kita biasanya ada team negosiasi dari Logistik juga tetapi kalau Logistik sudah mentok biasanya di lempar lagi ke project.

Team monitoring Instalasi gak ikutan kaya gitu jadi langsung ke project. Project kalau mentok langsung minta aprooval ke GM .Langsung sih kalau kita dapat report dari team di lapangan team project langsung kejerin ke atasan.

Jadi kita biasanya sebelumnya koordinasi dengan pihak customer yaitu PIC XL oh di site ini ada com.case dan pasti timbul com.case saat di survey tetapi tidak tau berapa nominalnya lalu dari

team kita kasih info yang sebenarnya terjadi di lapangan.

Lama negonya juga si mba, kita kan gak mungkin kasih warga minta 2 juta langsung kita kasih masa cuma kaya gitu doang minta segitu. Divisi logistik nego ke warga dan pasti melibatkan team Installasi untuk membantu bernegosiasi.”

(28)

Ketidakjelasan pola pengambilan keputusan, pola pendeglasian wewenang, mekanisme kerja dan pembagian tugas juga menyebabkan konflik di PT.Graha Sumber Prima Elektronik. Ketidakjelasan untuk bertanggung jawab atas dampak keputusan yang akan diambil dalam masalah community case karena pada dasarnya setiap divisi memang tidak ingin bertanggungjawab terlebih mengenai hal – hal yang berakibat tidak atau kurang menguntungkan. Apabila hal ini menyangkut beberapa pihak dan masing – masing tidak mau bertanggung jawab dan menimbulkan konflik antar Divisi dan karyawan.

Agung Raharjo melalui pernyataanya setuju bahwa pengambilan keputusan di PT.GSPE terlalu lama sehingga menjadi kurang efektif .

“Pengambilan keputusan PT.GSPE yaitu GM (General Manajer)karena ketika ada konflik kita bisa minta approval . Community case,ini material sudah mau on site tetapi dari pihak

warga meminta uang.

Biasanya dari pengiriman logistik barang tidak boleh turun apabila permintaan warga belum dipenuhi. Team negoisasi dari logistik tetapi kalau dari logistik sudah mentok di lempar ke project lalu project minta approval ke GM dan dari GM ke direktur.

Tidak efektif terlalu bertele-tele jadi lama. Contoh Com.Case

di lapangan warga meminta uang turun barang dan harus ada birokrasi kesini kesana yang kasian team di lapangan di kejar- kejar terus sama warga.

Bagaimana jadi gak sih kalau enggak tarik balik, sedangkan team installasinya ditekankan sama team monitoring dan team monitoring ditekankan lagi oleh team project. Jadi konflik internalnya lebih luas karena pengambilan keputusannya lama.

(29)

Windha Septiani menuturkan pendapat yang sama dengan Agung Raharjo. Pengambilan keputusan langsung dengan manajer kami,

biasanya manajer kami langsung turun tangan kasih kita jalan keluar cuman ya sekedar global aja dia juga gak begitu detail malah dia lebih push kitapadahal kan kesalahan dari customer.

Namanya atasan kan gak mau tau dia maunya selesai aja gak ada kendala cuman dia cari jalan keluar untuk kita, paling atasan

push kita aja untuk follow up ke PIC site.

Bella Siti Hawa menyampaikan hal sebaliknya, pernyataan beliau berbeda dengan Agung Raharjo dan Windha Septiani.

Pengambilan keputusan jadi project minta ke ownernya langsung tapi sebelum owner dari project ke manajer project baru ke GM atau ownernya untuk minta persetujuan.

Atasan sih biasanya cepat tanggep setiap ada masalah pasti langsung diselesaikan hari itu karena kan kita kerjanya sesuai target.

Tetap harus diselesaikan hari itu juga dan mereka dibilang gak mau tau gak juga ya kadang ngebantu juga untuk koordinasi dengan orang ektsernalnya contohnya PICnya.

Lebih banyak ke project manajernya sih mba ya untuk menyelesaikan konflik kalau GM kan gak mau tau terima beres aja gitu kecuali emang berhubungan dengan dia baru dia kasih masukan untuk menyelesaikan masalahnya sih.

Siti Rini Setiarini juga mempunyai pendapat yang sama dengan Bella Siti Hawa. “Pengambilan keputusan yaitu atasan misalnya ada ormas yang minta uang sebesar 2 juta kalau misalkan 2juta itu gak turun kita gak bisa install sedangkan kita dihadapkan dengan deadline ,

team monitoring pasti bilang ke project dan atasan yang memberikan

(30)

Atasan terlibat dalam mengambil keputusan, team monitoring atau team project sudah kasih solusi seperti ini terkait com.case 2 juta tadi dan atasan pasti bilang nego dulu lah jangan 2 juta nah biasanya atasan yang langsung nego kalau dari team project gak bisa nego pasti atasan yang langsung nego.

Biasanya langsung ke saya ke PMnya , biasanya ada special case yang dari aku gak bisa di solve nah aku harus solving problem

eskalasi ke atasan ku langsung Direktur atau Ownernya tapi kalau aku gak bisa tanganin baru ke atas lagi.

Ketidakpercayaan antara rekan kerja dalam divisi installasi maupun divisi installasi dengan divisi project dan divisi logistik dalam memberikan informasi . Installer memberikan informasi bahwa Installasi sudah selesai tetapi team monitoring dari divisi Installasi tidak mencentang DONE di program sehingga dari divisi project harus menanyakan kembali ke Installer dan PIC Xl bahwa memang benar installasi sudah selesai dan tidak ada kendala.

Selain itu dari divisi Logistik memberikan informasi barang sudah dikirim tetapi team installer masih menunggu barang dan ternyata barang yang terkirim itu salah.Informasi yang diberikan oleh team RFS (readi for survey) juga di ragukan seperti site sudah ready ternyata belum ready lalu alamat site yang tercantum di program ternyata tidak detail sehingga team installasi dan team logistik meminta kepastian alamat dari PIC XL.

Agung Raharjo menjelaskan ketidaksamaan informasi yang diberikan oleh rekan kerja dan harus dilakukan pengecekan kembali atas kebenaran informasi.

“Biasanya saya cari tau lagi informasi dari team installer karena kadang bilang sudah done tetapi aktualnya belum done , jadi

(31)

saya biasanya langsung tanya ke team installasinya (installer) bukan

monitoringnya.

Kita ada program WO (work order), program installasi jadi

kita tarik data kita cek tiap hari yang sesuai sama plan kita misalkan kita dapet 10 site dalam list tarikan data yang sudah done berapa yang belum done.

Termasuk kotak belum install, kotak be,um DO (delivery order), kotak Done Install, dan Invoice. Kita cek dari 10 site actual

dilapangan yang sudah install harusnya 5 kan sisa 5 tetapi di sistem masih ada 10.

Kita harus minta monitoring untuk di donekan di program.

Antara program dan aktual sering miss makanya kita tiap hari liat sistem tarikan data by program, report kadang sudah done tetapi masih masuk di kotak belum install.

Kalau team monitoring sering lupa bisa jadi konflik besar karena fungsinya monitoring untuk memonitor.”

Bella Siti Hawa juga menyampaikan pendapat seiring dengan penemuan peneliti. “Kesiapan site/shelternyabelum ready terus pondasinya belum ready, PLN belum ready dan vendor – vendor lainya belum ready.

Installasi backbone karena installasinya butuh PLN kadang belum ready juga.

Kalau site belum ready otomatis barang balik dan perlu disiapin juga space dan otomatis kita perlu inventory lagi.Kalau kita

mau kirim lagi otomatis kita perlu nambah biaya juga untuk forwardernya.

Banyak faktor yang menyebabkan konflik karyawan forwarder yang telat, installer yang telat atau RFS (ready for survey)

DO (delivery order) telat, barangnya gak ada.

Project XL Rectifier Backbone tidak berjalan sesuai target dan plane kebanyakan dari eksternal sitenya belum ready atau pln belum

(32)

ready RBS belum ready jadi gak di internal juga.

Informasi yang saya terima saya pastiin lagi ke installer atau customer kalau dari PICnya sitenya ready dan dari installer sitenya gak ready dan ada bukti fotonya saya bisa menjelaskan ke orang Xlnya.

Kalau misalnya dari si Installer bilang pekerjaannya sudah selesai itu DONE Install tapi ternyata kata orang Xlnya belum saya harus memastikan juga dengan bukti-buktinya”.

Windha Septiani selaku Koordinator Subcont menuturkan pendapat terkait pekerjaannya.

“Konflik internalnya untuk posisi saya dari pengiriman barang. Saya di bagian subcont monitoring installasi dari divisi yang lain seperti logistik banyak kabel yang masih indent.

Jadi kita harus nunggu kabel dulu dan forwarder juga masih di subcontnin jadi banyak vendor-vendor forwarder yang lama pengirimannya dateng ke kantornya juga lama, banyak alesannya sih .

Konflik seperti itu sering muncul kalau dari pengiriman itu biasasanya komunikasi. Jadi kitakan disini per divisi saya divisi lebih ke installasi kalau pengiriman itu kan beda lagi managernya.

Antara kita ke pengiriman itu komunikasinya kurang lancar jadi justru yang di divisi pengiriman itu lebih berpihak ke forwarder.

Informasi dari rekan kerja kalau by email kita percaya aja tetapi kalau by phone kita agak gak percaya karena kan gak ada recordnya,kadang pihak installer bilang sudah install tapi pihak PIC belum.”

(33)

Siti Tri Setiarini sependapat dengan ketiga informan bahwa ketidakpercayaan informasi yang diterima dari rekan kerja disebabkan adanya miss.communication. “Sekarang yang sedang berjalan itu project XL BB (backbone)

konflik yang baru kemarin-kemarin terjadi ada miss.communications

antara GSPE dengan logistic itu konflik internalnya seperti teamnya sudah datang tetapi barangnya belum datang.

Kita kan sudah ada SLA ada deadline misalkan hari ini sudah

deadline harus DONE Install tetapi kita gak bisa installasi hari ini karena logistik barangnya telat.

Nah itu terjadi bisa logistiknya memang lambat atau ada kurang info yang harusya onsite hari ini malah besok gitu.

Project XL rectifier Backbone tidak berjalan sesuai target &plane pasti ada kerikil-kerikil kecil yang menghalangi kita harus selesai sesuai deadline.

Masalah – masalah yang seperti tadi contohnya.Site terpending itu bisa terjadi karena kurang material, terus kurang komunikasi dengan PIC , barangnya delay, community case.

Site itu kan berhubungan dengan teknik engineering nah dari situ kita gak bisa langsung ambil keputusan kita harus koordinasi ke bagian enginering dari enginering internal GSPE dan eksternalnya yaitu engenering XL.

Kita harus koordinasi ke mereka terkait dengan masalah teknik ada juga dari sales seperti solusi dari enginer yaitu membutuhkan tambahan material dan kita harus tanya ke sales POnya tercover atau enggak itu site itu dan kita bisa nagih gak untuk

kelebihan materialnya itu.

Informasi dari rekan kerja percaya atau tidaknya pasti aku gak denger dari satu pihak aja koordinasi juga dengan pihak-pihak lain ke bagian installasi ke bagian logistik, jadi gak satu pihak aja aku denger problemnya dari orang lain juga.

(34)

4.2.3 Jenis Konflik

Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik atas dasar fungsinya serta ada pembagian atas dasar pihak –pihak yang terlibat dalam konflik. Pada kasus konflik internal yang terjadi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik dalam Project XL Installasi Rectifier Backbone area Jawa Timur 2014, jenis konflik dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsi serta pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik internal karyawan.

Konflik internal karyawan pada PT.GSPE sudah menjadi hal yang biasa bagi para karyawan hal itu karena konflik selalu terjadi setiap project berlangsung. Saling ketergantungan pekerjaan pada setiap divisi dan karyawan menimbulkan interaksi komunikasi antara masing-masing karyawan dan divisi, tak dapat disangkal akan menimbukan konflik antar kelompok di PT.GSPE. Jenis konflik di PT.GSPE adalah konflik antar kelompok yaitu konflik antara divisi Project, Installasi, Subcont, Monitoring yang terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan pekerjaan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.

Bapak Agung Raharjo menyampaikan hal serupa seperti seperti yang dikemukakan peneliti.

“Konflik antar karyawan dan divisi biasanya ada, divisi yang terlibat Divisi Project, PPIC selaku penyedia barang ke customer terus engiering, logistic dan Installasi Monitoring”.

(35)

muncul dan membutuhkan penyelesaian.

“Konflik antar karyawan iya pastinya ada, divisi yang terlibat divisi monitoring installer, monitoring forwarder/ logistik, project dan warehouse.

Menurut saya konflik ituharussegeradiselesaikan karena kita kerjanya target jadi semua harus selesai pada hari yang dijadwalkan jadi koordinasi ke atasan atau ke installer.”

Hal serupa juga dinyatakan oleh Windha Septiani bahwa terdapat banyak konflik antar karyawan karena kurangnya komunikasi antara Divisi Subcont degan Divisi Pengiriman dan di dalam divisi logistik ternyata lebih mendukung forwarder dibanding team Installasi padahal forwarder merupakan vendor PT.GSPE dan bukan merupakan internal dari PT.GSPE.

“Ya untuk internalnya untuk posisi saya dari pengiriman barang. Saya di bagian subcont monitoring installasi dari divisi yang lain seperti logistik banyak kabel yang masih indent jadi kita harus nunggu kabel dulu.

Forwarder juga masih disubcontninjadibanyak vendor-vendor forwarder yang lama pengirimannya dateng ke kantornya juga lama, banyak alesannya sih.

Kalau dari pengiriman itu biasasanya komunikasi. Jadi kitakan disini perdivisisaya divisi lebih ke installasi kalau pengiriman itu kan beda lagi managernya juga beda.

Antara kita ke pengiriman itu komunikasinya kurang lancarjadi justru yang didivisi pengiriman itu lebih berpihak ke forwarder.Divisi yang terlibat konflik divisi pengiriman logistik dan installasi subcont.”

(36)

Siti Tri Setiarini menyetujui bahwa memang konflik antar divisi memang terjadi dan tidak hanya Divisi Intsallasi dengan Divisi Pengiriman tetapi Divisi Akunting juga ikut terlibat.

“Konflik antar divisi pasti, misalnya team logistik dengan team monitoring.Team monitoring sudah siapin installernya tetapi team logistiknya belum siap dari forwardernya pun belum siap jadi kita harus sampai barang hari ini tapi belum siap.

Pihak yang terkait seperti team monitoring, team logistik, PICnya yaitu orang-orang yangterlibat konfliktersebut dan faktornya yaitu ada miss.communication antara mereka itu semua divisi

project, logistik, pengiriman”.

Kalau dari divisi accounting itu bisa menimbulkan konflik

antar karyawan /divisi , contohnya com.case kita ada keluarin uang untuk warga atau ormas yang minta jatah preman.

Akunting pasti tanya kok bisa ada add cost kaya gini bayar

ormaslah atau sewa kuli karena biaya bongkar muat itu kan mahal barangnya segede-gede kulkas dari sisi itu mereka akan adain meeting

ke bagian project atau logistik.

Konflik antar kelompok/ antar divisi di PT.GSPE tentunya mempunyai dampak/pengaruh yang buruk bagi perusahaan terlebih dalam menjalankan oprasional kerja. Konflik antar kelompok ini akan mempengaruhi jalannya Project XL installasi rectifier Backbone area Jawa Timur seperti terpendingnya site yang seharusnya sudah bisa dikerjakan tetapi pending karena masih menunggu barang datang, selanjutnya karena site belum ready sehingga barang belum bisa dileakan dan harus menyewa gudang atau ditarik kembali ke gudang forwarder.

(37)

Bertambahnya waktu Installasi otomatis menambah biaya oprasional untuk para installer serta forwarder apabila melakukan pengiriman kembali. Agung Raharjo selaku pelaksana project XL menyatakan hal serupa :

“Iya menggangukalau dari team installasi harusnya bisa dialihkan ke site lain karena sudah selesai (done install).Kita dapet target 10 misalnya terus terpending 5 site otomatis 5 sitenya lagi cuma selesai 5 site otomatis 5 sitenya lagi terpending.Jadi kita masih ada utang outstanding”.

Bella Siti Hawa juga mengungkapkan pernyataan yang sama bahwa memang pengaruh konflik akan menambah biaya forwarder.

“Berpengaruh banget ya mba, karena kan kalau site belum ready otomatis barang balik dan perlu disiapin juga spacenya dan otomatis kita perlu inventory lagi dan kalau kita mau kirim lagi otomatis kita perlu nambah biaya juga untuk forwardernya”.

Windha Septiani yang sama-sama berasal dari divisi Installasi menyetujui pendapat Bella Siti Hawa.

“Kalau shelternya belum ready berarti rectifier belum tau taronya dimana, dan kalau disitu gak ada rumah tinggal atau rumah PICnya atau rumah keamanannya (security), rectifier gak bisa di onsite rectifier gak bisa diturunin dari mobil dibawa balik ke gudang forwarder.

Siti Rini Setiarini berpendapat sama dengan ketiga informan memang terdapat pengaruh terutama dengan deadline installasi tetapi ia mempunyai pandangan sendiri bahwa memang pasti terdapat konflik terutama konflik antar

(38)

kelompok/divisi dalam menjalankan project apapun, maka konflik tersebut harus cepat diseleasikan agar tidak mengganggu pekerjaan yang lain dan tetap harus membagi fokus dalam melakukan pekerjaan sehingga konflik merupakan hal biasa dan bukan merupakan fokus bagi organisasi di PT.GSPE.

“Saya memandang konflik itu kita liat dulu ukuran konflik itu bisa diselesaikan dengan team atau memang harus di eskalasi kepada atasan-atasan.

Kita kan sudah biasa ngerjain project dan sudah pasti project kita sama dan konfliknya juga hampir sama semuanya.Jadi biarkan mereka berkreatifitas sendiri menyelesaikan problem.

Kalau mereka gak bisa dan sudah buntu baru mereka eskalasi ke atasan-atasannya dan aku memandangya biarkan beri kebebasan mereka dulu kelarin konfliknya nanti baru eskalasi ke atasan.

Pengaruhnya memang besar sih kalau kita deadline harusnya

oprasional sampai hari ini kita akan nambah biaya oprasional sampai besok atau bahkan minggu depan.

Problem itu harus diselesaikan kita gak mau tau walaupun ada site yang berjalan juga jadi kita mau gak mau kita bagi fokus kita antara site yang berjalan dan problem site yang harus diselesaikan.”

Dampak atau pengaruh konflik dalam Organisasi di PT.GSPE sejauh ini peneliti melihat masih dalam batas wajar dan fungsional. Konflik belum sampai menimbulkan perdebatan panjang diluar hubungan kerja dan masuk menjadi konflik interpersonal. Konflik masih dapat diselesaikan dalam diskusi dan meeting. Siti Rini Setiarini memaparkan pernyataan yang sama dengan peneliti :

(39)

“Sejauh ini masih fungsional belum sampai disfungsional. Fungsional itu konflik bagus untuk perkembangan kita selanjutnya kedepan harus bagaimana ketika menghadapi masalah.

Jadi kita sudah tau langkah-langkah apa yang harus kita ambil tapi kalau kita gak olah problemnya sudah pasti akan jadi disfungsional.

Sejauh ini kalau untuk team –team yang stress pasti ada namanya pekerjaan yang banyak pasti stress tapi gak ada yang sampai resign karena tekanan pekerjaan mereka biasanya resign karena dapat pekerjaan yang lebih baik atau hamil , menikah dan lain-lain.

Setiap konflik yang terjadi tentu ada bagian/divisi yang mendapat dampak paling terasa dalam konflik antar kelompok yang terjadi. Peneliti melihat divisi yang paling terkena feedback dari konflik antar kelompok yang terjadi yaitu divisi Project dan Divisi Intsllasi baik Intsaller maupun Subcont. Peneliti melihat divisi Project tentu mendapat dampak sebab apabila site pending maka akan menjadi outstanding bagi pekerjaan team project dan team Installasi sebagai orang yang berada di lapangan juga mendapatkan dampak yang besar karena mereka harus menunggu semua keputusan dari kantor.

Dari keempat narasumber mereka berpendapat sama yaitu feedback yang paling terasa dari divisi Project. Agung Raharjo memaparkan pendapatnya.

“Project, kita kan dapet SLA dari Customer yang harus selesai 30 hari kita dapet feedbacknya kita ditekankan sama bos GSPE harus selesai dalam 30hari,yang dikejar–kejar kita bukan team installasi.

Bella Siti Hawa setuju bahwa divisi project mendapatkan feedback paling besar tetapi ia memaparkan bahwa selain project ada beberapa divisi lain yaitu

(40)

Divisi Installasi dan Divisi Subcont.

“Divisi project, monitoring installer sama logistik, karena mereka yang menjalankan planning setiap hari nah planning itu kan udah ada beberapa site yang harus diselesaikan hari ini jadi tiga divisi itu yang sangat crowded”.

4.2.4 Pengelolaan Konflik

Community case merupakan masalah yang terjadi antara PT.GSPE dengan warga/ ormas setempat karena terjadi pertentangan antara pihak PT.GSPE dengan warga. Hal ini disebabkan karena tuntutan warga/ ormas setempat tidak dipenuhi yaitu meminta jatah atau biasa disebut dengan uang keamanan untuk memasukan rectifier ke dalam shelter. Sehingga saat peletakan rectifier hingga installasi dilakukan warga tidak mengganggu jalannya oprasional team installer dan forwarder dari pihak PT.GSPE.

Masalah ini akan menimbulkan konflik antar kelompok yang terjadi antara divisi logistik selaku penyedia dan pengirim rectifier , divisi installer dan divisi subcont dalam melakukan installasi serta divisi project sebagai penanggung jawab project yang sedang berjalan. Masing-masing divisi terkait harus mencari jalan keluar agar mencapai kesepakatan bersama serta dapat memenuhi permintaan warga tetapi tidak merugikan PT.GSPE. Sebab dalam mengambil dan menentukan keputusan harga bukan sepenuhnya wewenang dari PT.GSPE tetapi melibatkan pihak PT.XL Axiata sebagai otoritas tertinggi agar mau menyetujui Berita Acara Community case yang akan dilampirkan saat penagihan kepada PT.XL Axiata.

(41)

serangkaian manajemen pengelolaan konflik agar konflik dapat terselesaikan dengan mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak. Serta menggunakan teknik kolaborasi dengan melakukan pertemuan antara masing-masing Divisi walaupun berbeda lokasi tetapi dapat menggunakan media komunikasi Skype serta melibatkan pihak PT.XL. Tetapi untuk team yang berada di lapangan dalam berkoordinasi dengan pihak kantor dan engineering PT.XL di lapangan menggunakan media teleconference antara divisi logistic, installer, subcont, project serta engineering PT.XL agar informasi yang diterima dapat dipercaya dan dikonfirmasi langsung oleh pihak XL yang berada di lapangan.

Pengelolaan konflik di PT.Graha Sumber Prima Elektronik menggunakan berbagai media komunikasi dalam memecahkan konflik. PT.GSPE juga menggunakan program internal yang disebut dengan MOM (minute of meeting) yang dijadikan sebagai cara untuk mengingatkan problem yang sedang berlangsung ataupun yang belum terselesaikan. Melalui MOM (minute of meeting) masing-masing divisi akan menginput masalah/konflik ke dalam program MOM setelah itu diadakan rapat seluruh divisi terkait konflik ke dalam meeting non rutin. Selain meeting non rutin diadakan juga meeting rutin agar semua divisi menjelaskan project installasi yang sedang berjalan walaupun konflik sedang tidak terjadi.

Keempat informan menyatakan hal yang sama yaitu dalam memecahkan konflik antar kelompok di PT.GSPE menggunakan program MOM (Minute of Meeting). Sebelum meeting antar divisi dilakukan ada pemberitahuan melalui email ke semua divisi yang terlibat konflik, dan apabila konflik melibatkan PIC

(42)

XL dan team di lapangan maka mereka juga ikut dilibatkan melalui teleconference ataupun SKYPE jika memungkinkan.

Windha Septiani menyatakan hal yang sama dengan peneliti ;

“Pertama kita by email dulu kedua kita selalu ikut meeting dan meetingnya berkelanjutan misalkan meeting yang kedua belum selesai juga biasanya dari pihak atasan kita minta untuk skype dengan PIC terkait.

Kalau kita masih satu kantor (gedung) ya kita komunikasinya langsung meeting tapi kalau orangnya diluar kantor kita bisa

teleconference untuk yang di gudang werehouse di tekno itu biasanya

pakai skype.

Kumpulin orang-orang yang terlibat dalam problem apa sih keluhan mereka apa sih saran mereka kita kumpulin jadi satu dan kita ambil keputusan yang terbaik yang mana dari meeting itu.

Biasanya ada meeting mingguan semua divisi ikut meeting dan biasanya skype /video call sama pihak PIC, ada juga meeting keluar tapi itu lebih ke project yang berhubungan dengan customer di tempat mereka.

Biar kita gak lupa kita di kasih waktu 7 hari by program MOM (Minute of Meeting ) tentang case-case yang sedang terjadi dan

diingatkan kapan deadinenya “.

Siti Rini Setiarini memaparkan lebih detail terkait fungsi MOM (Minute of Meeting ) yang digunakan PT.GSPE dalam memecahkan konflik.

“Kita dapat project bukan hanya satu area saja tetapi seluruh Indonesia kita pegang. Setiap area setiap site karena sering ada problem maka perusahan membuat program namanya MOM (minute of meeting).

(43)

namanya MOM (minute of meeting) jadi persite kita input

problemnya apa dan kita harus kasih deadline,kalau kita gak

selesaikan problem sebelum deadline itu harus ada reasons kenapa

dan kita harus eskalasi.

Selain itu kita juga harus meeting ada namanya meeting rutin

dan nonrutin. Kalau yang rutin kita biasanya breafing setiap hari

dengan installer untuk kasih tau plan site kemana dan meeting nonrutin dengan para divisi bisa seminggu sekali bisa 2 minggu sekali tergantung kebutuhan.

Meeting dengan customer itu rutin 2 minggu sekali jadi

problem yang belum selesai harus bagaimana.Setiap hari kita harus

breafing kasih plan ke mereka hari ini apa yang harus di kerjain dan

mereka juga harus kasih tau problem apa yang mereka hadapi.

Peneliti melihat dalam memecahkan konflik di PT.GSPE mereka menggunakan media komunikasi teleconference by phone, skype, email, blackberry messanger dan what’s up. Hal ini digunakan untuk mempercepat penyelesaian konflik yang terjadi sebab pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bukan hanya dari internal PT.GSPE tetapi juga melibatkan enginering XL serta team installasi dan forwarder yang berada di lapangan.

Keempat Informan sependapat dengan peneliti berikut pernyataan salah satu informan Siti Rini Setiarini selaku Project Manager di PT.GSPE.

“Medianya banyak dalam menyelesaikan konflik pokoknya sebisa mungkin kita harus gunakan media apapun misalkan by email dengan customer.

Internal menggunakan teleconference by phone dengan

logistik,installer team monitoring dengan PIC mereka dikumpul jadi satu by phone teleconference.

(44)

Bisa juga dengan Skype by face to face karena di GSPE ada dua gedung di intercom dengan di serpong jadi mau gak mau kita harus Skype buat selesain problem.Skype dari Logistik dengan Team Monitoring Installasi dan team Project untuk koordinasi material onsite atau enggaknya.

Lebih banyak dipakai media telepon dan email untuk koordinasi. Terutama teleconference ya karena konflik gak cuma dua pihak pasti ada pihak ketiga jadi dari semua pihak bisa mendengar apa masalah dari masing-masing pihak.

Tetapi sekarang karna medianya sudah gampang misalnya site belum ready kita tinggal minta foto kita langsung dapat foto dari whatsap atau BBM (Blackberry Messanger), misalkan PLN belum ready fotoin aja .

Kalau dulu kita nunggu dari team dari lapangan ke kantor dulu baru kita liat bukti dari mereka karena mereka hanya dibekalin kamera dari kantor dan belum ada gadget canggih seperti sekarang.

Windha Septiani menyatakan hal sebaliknya bahwa media teleconference kurang efektif dalam memecahkan masalah .

“Kita lebih banyak pakai email sama by phone kalau meeting secara langsung cuman seminggu sekali. Biasanya sih by email karena historikal obrolan kita keliatan kadang kalau by phone namanya manusiawi dia bilangnya selesai tapi enggak jadi gak ada rekamannya”.

Pengelolaan konflik antar kelompok tentu berkaitan dengan alur komunikasi yang terjadi di PT.GSPE. Peneliti melihat alur komunikasi terdapat dari atas ke bawah.Memang benar saat terjadi konflik karyawan memberitaukan atau eskalasi ke atasan tetapi dalam pengambilan keputusan tetap semua

(45)

sebelum mendapat persetujuan dari Project Manager, Manager atau Direktur. Ketiga informan menyatakan hal yang sama dengan peneliti tetapi satu informan menyatakan hal sebaliknya. Berikut pernyataan dari Agung Raharjo, Bella Siti Hawa dan Windha Septiani.

“Sesuai sama struktur aja mba dari atas ke bawah karena ada tingkatan-tingkatanya, misalkan saya project support ada atasannya namanya PM (Project Manager)misalkan ada konflik kita harus report ke PM gak boleh langsung ke GM atau Direkrut .

Jadi kendalanya gak bisa ngambil keputusan langsung.Project ke monitoring installer, dari monitoring installer ke installernya kalau dari installer gak mungkin langsung ke project karena kan itu menyalahkan aturan itu namanya by pass.

Kurang sih antara bawahan sama atasan sih kurang terbuka jadi kalau disini tergantung rasnya juga sih “.

Pernyataan Siti Rini Setiarini selaku Project Manager bertentangan dengan ketiga informan :

“Dari bawah ke atas jadi kalau ada konflik biarkan team monitoringnya kelarin masalahnya dulu baru eskalasi ke aku.”

4.2.5 Penyelesaian Konflik

Konflik antar kelompok/antar divisi di PT.Graha Sumber Prima Elektronik harus segera diselesaikan agar project tetap berjalan dan tidak melewati batas waktu yang telah di tentukan oleh customer yang disebut dengan SLA (service level agreement). Manajer atau pemimpin berusaha mencari pemecahan masalah (problem solving) dalam menyelesaikan konflik antar kelompok.

Gambar

Gambar 4.1.3 Struktur Organisasi PT Graha Sumber Prima Elektronik

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Pembelajaran dengan menggunakan sistem blok pada kegiatan praktikum akan meningkatkan efektivitas dari segi waktu, hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah

Lembar observasi siswa digunakan untuk melihat kegiatan siswa selama pembelajaran dan mengetahui apakah siswa secara aktif melaksanakan pembelajaran sesuai

Berdasar pada latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut, untuk mengetahui persepsi guru PJOK terhadap perubahan Kurikulum 2013 ke

Dapat diketahui bahwa sistem juga merupakan suatu susunan dari beberapa yang lebih unggul sebagai penyerap dan pencatat data yang dibandingkan secara manual

Untuk mengatasinya cara lain dapat dilakukan yaitu dengan mengambil folikel dari anak sapi betina dengan kualitas sedang, yang disembelih hanya untuk mengambil oosit dari

Munculnya berbagai game yang semakin beragam ini perlu ditindak secara positif dan negatif, karena game tidak hanya menimbulkan dampak negatif saja, namun juga

Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti tertarik melakukan penelitian dengan mencoba memberikan gaya mengajar melalui media Audiovisual dan gaya mengajar