• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan data dilakukan dengan tahapan yaitu :

3.6 Analisis Data

4.3.1 Teluk Prigi

4.3.1.3 Jenis konflik

Jenis-jenis konflik yang dapat diidentifikasi di kawasan ini adalah 12 kasus konflik yang tercakup dalam tujuh jenis konflik perikanan tangkap yaitu: 1) konflik daerah tangkap

2) konflik alat tangkap

3) konflik penggunaan potas /obat-obatan 4) konflik bagi hasil

5) konflik nelayan lokal dengan andon,

0.00 10,000.00 20,000.00 30,000.00 40,000.00 50,000.00 60,000.00 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 20 1 2 3 4 Tahun Ju m la h ( T o n )

Hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan tipologi konflik seperti pada Tabel 2.

Konflik konflik 1985 Penggunaan potas/obat-obatan Nelayan Banyuwangi menggunakan potas untuk menangkap ikan di terumbu karang Nelayan andon Banyuwangi vs nelayan lokal Alokasi internal Kesepakatan untuk tidak menggunakan potas dalam penangkapan ikan

Negosiasi Kasus ini sulit ditindaklanjuti karena kesulitan menelukan barang bukti. 1993, 1997 Nelayan Blitar menggunakan potas untuk menangkap ikan di terumbu karang Nelayan Blitar vs nelayan lokal Alokasi internal Kesepakatan untuk tidak menggunakan potas dalam penangkapan ikan

Negosiasi Kasus ini sulit ditindaklanjuti karena kesulitan menelukan barang bukti. 2001 nelayan lokal vs andon Nelayan lokal cemburu karena hasil tangkapan nelayan andon lebih banyak.

Payang andon dari Pasuruan vs nelayan lokal Alokasi internal Muspida, Muspika, LSM dan tokoh masyarakat bertindak sebagai mediator

Mediasi Pembakaran perahu DPRD Pasuruan melakukan protes

Etika berpakaian nelayan andon dianggap tidak senonoh

2003-2004 Bagi hasil Juragan menilai pembagian hasil tangkapan tidak adil.

Juragan vs ABK

purse seine

Manajemen Kesepakatan antara juragan dengan ABK

Negosiasi Kebiasaan keluarga ABK mengambil ikan hasil

tangkapan sebelum dibawa ke TPI

1979 Alat tangkap Kecemburuan nelayan lokal terhadap nelayan andon Nelayan andon Bugis vs nelayan lokal Alokasi internal Sosialiasi kepada nelayan lokal, lalu dibuat kesepakan

Negosiasi Nelayan andon menggunakan alat tangkap yang memberikan hasil yang lebih banyak

Konflik konflik 2001 Nelayan purse seine menganggap adanya rumpon menghambat mobilitas ikan ke perairan pantai.

Nelayan purse seine

vs nelayan pancing

Alokasi internal

Kesepakata bagi hasil dalam proses penyelesaian

Mediasi Kasus ini sebenarnya mengekspresikan

kecemburuan nelayan

purse seine atas jumlah

hasil tangkapan nelayan pancing. 2001 Penggunaan lampu (oncoran) yang berlebihan oleh nelayan payang menyebabkan nelayan purse seine kesulitan melihat gerombolan ikan (gadangan)

Nelayan purse seine

vs nelayan payang

Alokasi internal

Diselesaikan oleh pihak ketiga

Mediasi Nelayan payang diharapkan tidak melakukan oncoran di lokasi purse seine

melakukan gadangan 2000 Daerah tangkap Nelayan andon menangkap ikan di fishing ground nelayan lokal Nelayan payang andon (Pasuruan) vs nelayan pancing lokal Alokasi internal Kesepakatan tentang pembatasan jumlah andon (40 unit), penetapan tempat labuh bagi andon, ABK jangan

dimonopoli oleh orang pasuruan saja.

Mediasi Konflik diselesaikan dengan mempertemukan stakeholder dalam rapat yang dimediasi oleh instansi/aparat terkait.

terlibat Konflik konflik 1998-1999 Zona jaring tarik

dimasuki oleh nelayan payang

dan purse seine.

Nelayan payang,

dan purse seine vs

nelayan jaring tarik

Alokasi internal

Kesepakatan

penentuan batas-batas daerah penangkapan dan sanksi bagi yang melanggar.

Negosiasi Jaring tarik adalah alat tangkap yang cocok di Teluk Prigi karena sebagian pantainya landai dan berpasir. 2001 Pengolahan limbah Pengolahan ikan asin dilokasi wisata

Pengolah ikan asin vs pengelola obyek wisata Alokasi eksternal Pengolahan ikan dilokaslisasi diluar daerah wisata

Fasilitasi Pertemuan antara masyarakat, pemerintah, dan pengelola obyek wisata 2003 Pengolah ubur-ubur membuang limbah langsung kesungai Pengolah ubur-ubur vs masyarakat Alokasi eksternal Pengolah ubur-ubur dilokalisasi diluar Prigi

Fasilitasi Pertemuan pemerintah dengan pengolah ubur-ubur 2001 Perusakan terumbu karang Masyarakat mengambil karang dan biota laut untuk cendra mata dan bahan bangunan Stakeholder pro lingkungan vs masyarakat tidak peduli lingkungan Alokasi internal Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) memonitor aktivitas yang merusak lingkungan

Fasilitasi Penyuluhan dan fasilitasi kegiatan konservasi

terumbu karang

mulai muncul tahun 1985 yang melibatkan nelayan andon Banyuwangi dan nelayan Prigi. Kasus serupa kembali muncul tahun 1993 dan 1997, yang melibatkan nelayan Blitar dan nelayan Prigi. Kedua kasus konflik tersebut terjadi disebabkan nelayan andon Banyuwangi dan nelayan Blitar menggunakan potas dalam operasi penangkapan ikan dan udang di kawasan terumbu karang yang terdapat di sekitar perairan Teluk Prigi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, kemungkinan munculnya konflik dipicu oleh dua hal yaitu: 1) meningkatnya tingkat kesadaran nelayan lokal tentang dampak negatif penggunaan potas dalam penangkapan ikan, dan 2) nelayan lokal mengetahui adanya peraturan atau hukum yang melarang penggunaan potas dan kompresor dalam operasi penangkapan ikan.

Penggunaan potas dalam penangkapan ikan dan udang di kawasan terumbu karang menurut nelayan Prigi sangat berbahaya karena akan berdampak pada perusakan terumbu karang. Terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat pemijahan (spawning area), daerah asuhan (nursery area) dan tempat mencari makan (feeding area) beberapa biota lain, termasuk udang barong dan ikan karang. Sehingga jika terjadi penurunan kualitas terumbu karang di suatu kawasan perairan akan berdampak terhadap berkurangnya populasi ikan dan udang yang ada di kawasan perairan tersebut.

Selain menggunakan potas nelayan andon juga menggunakan kompresor sebagai alat bantu operasi penangkapan ikan di kawasan terumbu karang.. Kompresor digunakan agar dapat lebih lama bertahan di dalam air. Hal ini tentunya sangat tidak mendukung pelestarian terumbu karang karena akan semakin meningkatkan resiko kerusakan yang ditimbulkan.

Kasus penggunaan potas dalam operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Banyuwangi dan Blitar sampai saat ini belum dapat dibuktikan. Menurut keterangan responden sulitnya pembuktian penggunaan potas pada operasi penangkapan ikan disebabkan sulit menemukan barang bukti. Pada saat ada oknum nelayan yang dicurigai sedang melakukan penangkapan ikan

Pada saat penelitian tidak dijumpai adanya laporan atau kasus penangkapan ikan dengan menggunakan potas.

Konflik nelayan lokal vs andon

Konflik nelayan lokal vs andon terjadi tahun 2001, melibatkan nelayan lokal (Prigi) dengan nelayan andon dari Pasuruan, Lamongan, Banyuwangi, Madura dan Makassar (Bugis). Konflik ini tergolong besar karena sempat tereskalasi ke tahap krisis yang ditandai dengan peristiwa pembakaran perahu yang dilakukan oleh nelayan lokal terhadap nelayan andon dari Kabupaten Pasuruan.

Konflik antara nelayan lokal vs andon disebabkan oleh kecemburuan nelayan lokal (Prigi) terhadap para nelayan andon yang hasil tangkapannya lebih banyak daripada hasil tangkapan nelayan Prigi. Nelayan andon umumnya memiliki alat tangkap dan kemampuan jelajah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan nelayan Prigi. Alat tangkap yang digunakan nelayan andon lebih baik dibandingkan dengan alat tangkap yang dimiliki nelayan Prigi. Selain itu, armada penangkapan nelayan andon relatif lebih maju dibandingkan dengan armada penangkapan nelayan Prigi. Selain itu, munculnya konflik antara nelayan andon vs nelayan lokal juga disebabkan oleh perbedaan budaya yang melibatkan nelayan pancing dengan nelayan payang. Konflik ini lebih merupakan akumulasi dari kejengkelan dan kekesalan nelayan lokal terhadap nelayan andon yang dianggap berperilaku tidak sesuai dengan kebiasaan setempat, serta disebabkan adanya kesenjangan pendapatan, yaitu hasil tangkapan nelayan andon jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan nelayan lokal, sehingga pendapatan nelayan andon lebih besar dari nelayan lokal.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh, kebiasaan nelayan andon yang tidak disukai nelayan lokal antara lain: 1) cara berpakaian kurang sopan karena mereka sering hanya menggunakan pakaian dalam sewaktu di darat, 2) membuang kotoran di sembarang tempat atau tidak mau menjaga kebersihan lingkungan, dan 3) melakukan operasi penangkapan dengan membuang jaring di lokasi nelayan

Konflik bagi hasil

Pada tahun 2003-2004, terjadi konflik bagi hasil yang melibatkan juragan darat dengan para ABK (anak buah kapal) purse seine. Juragan darat mengeluh dengan banyaknya jumlah esekan pada saat tambat labuh kapal ikan. Esekan

adalah aktivitas keluarga ABK yang mengambil hasil tangkapan (ikan) sebelum hasil tangkapan tersebut diturunkan ke tempat pelelangan ikan (TPI). Aktivitas ini disebut esekan karena ikan yang diambil tersebut ditaruh di dalam wadah kantong plastik (kresek). Pengambilan ikan tersebut tanpa mempertimbangkan banyak atau sedikitnya jumlah hasil tangkapan. Juragan darat menilai kebiasaan tersebut termasuk kegiatan “pencurian” yang sangat merugikan. Aktivitas esekan sulit dicegah karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Prigi.

Konflik alat tangkap

Konflik alat tangkap juga terjadi di perairan Teluk Prigi sejak tahun 1979. Kasus paling akhir terjadi tahun 2001, melibatkan nelayan payang dengan nelayan pancing serta antara nelayan payang dengan nelayan purse seine. Faktor penyebab konflik utama adalah kecemburuan nelayan pancing terhadap hasil tangkapan nelayan payang dan purse seine yang lebih banyak. Nelayan pancing sering mencari-cari kesalahan nelayan payang dan purse seine, khususnya apabila mereka mendapat hasil tangkapan berupa ikan layur yang merupakan target species penangkapan nelayan pancing. Nelayan payang dan purse seine

mengganggap keberadaan rumpon menghambat mobilitas ikan ke perairan pantai. Rumpon mengundang ikan-ikan pelagis kecil dan besar untuk datang berkumpul di sekitar rumpon. Di sisi lain keberadaan rumpon merupakan alat bantu penangkapan yang cukup efektif bagi nelayan pancing meningkatkan produktivitas hasil tangkapannya, terutama hasil tangkapan ikan pelagis besar dan ikan demersal yang banyak terdapat di sekitar rumpon.

Dengan melimpahnya populasi ikan di lokasi rumpon pada akhirnya mengundang nelayan payang dan purse seine untuk melakukan operasi penangkapan ikan di sekitar rumpon dan seperti yang dapat diduga, hal ini

pancing merasa terganggu dengan aktivitas nelayan purse seine dan payang tersebut karena disamping hasil tangkapan nelayan pancing jumlahnya lebih sedikit, juga sering terjadi persinggungan antar alat tangkap sehingga berpotensi memicu terjadinya konflik.

Konflik lain yang berhasil diidentifikasi adalah konflik antara nelayan payang dan purse seine andon yang memiliki fishing ground yang sama. Konflik muncul karena ketidaksenangan nelayan purse seine terhadap nelayan payang yang menggunakan lampu (oncor) dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan

purse seine beranggapan penggunaan lampu yang berlebihan (oncoran) dalam

operasi penangkapan ikan sangat mengganggu aktivitas dan produktivitas hasil tangkapan mereka. Isu lain yang muncul terkait dengan masalah ini adalah adanya anggapan nelayan andon kurang mengindahkan norma atau adat istiadat sehingga keberadaan mereka kurang disukai oleh masyarakat setempat.

Konflik daerah tangkap

Konflik daerah tangkap (fishing ground) melibatkan nelayan lokal dengan nelayan andon dari Kabupaten Pasuruan dan antara nelayan jaring tarik dengan nelayan payang dan purse seine. Frekuensi konflik yang lebih sering terjadi adalah antara nelayan pancing dengan nelayan jaring, dan antara nelayan payang dengan nelayan purse seine. Sampai saat ini konflik daerah tangkap belum ada penyelesaian yang tuntas.

Konflik antara nelayan jaring tarik dengan nelayan payang dan purse seine

terjadi pada tahun 1998-1999. Pada saat itu terjadi pelanggaran zona penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan payang dan purseseine. Zona jaring tarik yang berada di sekitar perairan landai dan berpasir dimasuki oleh nelayan payang dan

purse seine. Nelayan jaring tarik beranggapan bahwa masuknya nelayan payang

dan purse seine ke perairan pantai dapat mengurangi hasil tangkapan mereka

sehingga situasi tersebut dapat memicu terjadinya konflik.

Pada tahun 2000 terjadi konflik daerah tangkap antara nelayan andon dari Kabupaten Pasuruan dan nelayan lokal. Nelayan andon dianggap bersalah karena menangkap ikan di fishing ground nelayan lokal tanpa meminta ijin kepada

stakeholder terkait untuk menemukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak.

Konflik pengolahan limbah

Konflik pengolahan limbah terjadi sebanyak dua kasus. Kasus pertama terjadi pada tahun 2001 melibatkan pengolah ikan asin melawan pengelola obyek wisata Pantai Prigi. Konflik pengolahan limbah diakibatkan oleh pengolah ikan asin yang menjadikan areal di sekitar objek wisata sebagai tempat pengolahan dan penjemuran ikan asin.

Pada tahun 2003 konflik pengolahan limbah melibatkan masyarakat dengan pengolah ubur-ubur dan pemindangan. Konflik ini disebabkan pengolah ubur-ubur membuang limbah dari pengolahan ubur-ubur dan pemindangan yang banyak mengandung zat kimia di sekitarnya sehingga menyebabkan pencemaran. Berdasarkan keterangan responden, limbah dari pengolahan ubur-ubur tersebut berbau busuk dan diduga mengandung senyawa kimia yang berbahaya. Indikasi adanya pencemaran antara lain dapat diketahui dari banyaknya ditemukan pohon kelapa yang mati disekitar lokasi pabrik. Disamping itu limbah pengolahan ubur-ubur juga menimbulkan bau yang tidak sedap pada lingkungan disekitarnya sehingga sangat mengganggu masyarakat yang tinggal disekitar lokasi tersebut..

Konflik perusakan terumbu karang

Konflik perusakan terumbu karang terjadi pada tahun 2001, melibatkan kelompok masyarakat yang peduli dengan kelestarian lingkungan dengan masyarakat lainnya yang merusak terumbu karang dan mengambil biota laut untuk kepentingan jangka pendek. Konflik ini disebabkan oleh lima hal, yang pertama adalah karena adanya aktivitas pengambilan karang oleh masyarakat untuk hiasan dan cindera mata yang nantinya dijual di kawasan wisata Pantai Prigi; ke dua adalah pengambilan batu-batu karang oleh masyarakat yang digunakan untuk bahan bangunan. Pada kasus pengambilan batu karang seringkali digunakan bahan peledak; ke tiga adalah kegiatan pengunjung wisata mandi di pantai yang mengakibatkan karang (biota laut) terinjak-injak dan mati; serta yang

Pengelolaan konflik

Dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap seringkali menggunakan hukum atau aturan baik hukum tertulis maupun yang tidak tertulis. Kebanyakan hukum yang berlaku di masyarakat berupa hukum tidak tertulis yaitu berupa kesepakatan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap. Pada umumnya pada setiap proses resolusi konflik dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani oleh wakil dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik. Dari keterangan responden disebutkan bahwa pada setiap konflik yang terjadi wakil-wakil dari kelompok nelayan selalu berinisiatif untuk menemui wakil dari pihak lawan untuk melakukan negosiasi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam hal upaya ini mengalami kegagalan maka mereka akan menghubungi pihak ke tiga (misalnya dari unsur musyawarah pimpinan kecamatan/Muspika) untuk melakukan intervensi dan bertindak sebagai mediator. Berdasarkan pengamatan, untuk kasus-kasus konflik alokasi internal kelompok nelayan lebih suka menyelesaikan secara langsung dengan bernegosiasi dengan pihak lawan; hal ini dapat dipahami karena untuk kasus konflik ini ke dua belah pihak mempunyai pemahaman yang sangat baik terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga mereka bersedia langsung bernegosiasi tanpa khawatir akan dicurangi oleh masing-masing pihak. Sedangkan untuk kasus konflik alokasi eksternal kelompok nelayan biasanya mengundang pihak ke tiga untuk melakukan intervensi baik sebagai mediator atau fasilitator.

Peranan stakeholders (pemangku kepentingan) dalam proses resolusi konflik di Teluk prigi menduduki posisi yang sangat penting. Pemangku kepentingan dapat berperan sebagai mediator maupun fasilitator. Dari 12 kasus konflik perikanan tangkap yang terjadi di teluk Prigi, tercatat tujuh kasus diselesaikan dengan intervensi dari pihak ke tiga yaitu tiga kasus menggunakan fasilitator dan empat kasus menggunakan mediator. Selain kelompok yang berkonflik, pemangku kepentingan yang sering terlibat dalam proses resolusi konflik adalah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Kelompok

Airud, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan Pokwasmas. Secara umum keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Prigi dapat dilihat pada Gambar 15.

: fasilitasi/mediasi : konflik

Gambar 15. Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di Teluk Prigi

Dari sisi kelembagaan, maka kelembagaan masyarakat yang terdapat di kawasan Teluk Prigi relatif lebih baik dibandingkan dengan kelembagaan masyarakat yang ada di teluk Sendang Biru dan Teluk Popoh. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan Proyek Co Fish yang salah satu kegiatannya adalah melakukan penguatan kelembagaan masyarakat, khususnya kelembagaan masyarakat nelayan yang merupakan salah satu pre kondisi yang positif di dalam menyusun perencanaan pengelolaan konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian. Disamping itu, satu hal yang positif yang telah dicapai oleh masyarakat Teluk Prigi adalah dengan telah diratifikasinya peraturan daerah (Perda) yaitu : Perda No. 22 Tahun 2003 tentang Kawasan Lindung di Kabupaten Trenggalek, Perda Kabupaten Trenggalek No. 10 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Perda No.11 Tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan di Kabupaten Trenggalek.

FACILITATOR/MEDIATOR : APARAT DESA APARAT KAB. APARAT PROV. PPN PRIGI CO FISH HNSI Pihak berkonflik I Pihak berkonflik II

tersebut dihasilkan melalui proses negosiasi, mediasi dan fasilitasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Dalam konflik penggunaan potas/obat-obatan dicapai kesepakatan bahwa nelayan Blitar dan Banyuwangi tidak menggunakan potas dalam penangkapan ikan dan udang barong (lobster) di kawasan terumbu karang serta larangan pengambilan terumbu karang dari perairan Teluk Prigi. Sanksi bagi yang melanggar adalah berupa pembakaran atau pemusnahan sarana penangkapan (kapal) yang digunakan untuk operasi penangkapan udang barong (lobster) yang menggunakan potas dan kompresor.

2) Dalam konflik alat tangkap dicapai kesepakatan untuk melakukan sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat nelayan lokal tentang pentingnya peranan nelayan andon dalam pengembangan kegiatan perikanan tangkap di kawasan Teluk Prigi.

3) Dalam konflik daerah penangkapan dicapai kesepakatan tentang pembatasan jumlah andon (40 unit), penetapan tempat labuh bagi andon dan pengaturan anak buah kapal (ABK) dari nelayan lokal untuk bekerja di perahu payang nelayan andon dari Pasuruan. Selain itu dicapai pula kesepakatan antara nelayan jaring tarik, purse seine dan payang tentang penentuan batas-batas daerah penangkapan dan sanksi bagi yang melanggar untuk. sanksi bagi yang melanggar adalah :

- pemusnahan dan perampasan hasil tangkapan ikan untuk diberikan kepada nelayan pancing, bagi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan payang yang melakukan operasi penangkapan di daerah penangkapan nelayan pancing.

- perampasan lampu yang digunakan oleh nelayan payang yang melakukan operasi penangkapan di luar perairan teluk prigi yang dinilai merugikan nelayan purse seine.

- nelayan andon harus mematuhi adat istiadat atau norma yang berlaku agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat terutama norma kesopanan.

pelampung pembatas dan papan informasi.

5) Dalam konflik pengolahan limbah dicapai kesepakatan tentang lokasi pengolah ubur-ubur tidak diijinkan beroperasi di kawasan Teluk Prigi. Sedangkan untuk pengolah ikan asin didak diijinkan berada di kawasan wisata Pantai Prigi.

6) Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas) diberi kewenangan untuk memonitor aktivitas masyarakat yang merusak lingkungan

7) Kesepakatan antara juragan darat dengan anak buah kapal (ABK) purse seiner

tentang bagi hasil hingga saat ini dalam proses penyelesaian dengan difasilitasi oleh pemangku kepentingan yang terkait.

8) Berbagai sanksi bagi nelayan yang melanggar kesepakatan antara lain: a) pelarangan kegiatan melaut (tidak boleh menangkap ikan), b) didenda sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan, c) ditegur dengan baik, d) dikucilkan masyarakat, e) kapal dibakar atau dimusnahkan, dan f) diusir dari wilayah perairan Prigi.

9) Kesepakatan lokal atau hukum adat yang telah terbentuk dan dipahami oleh masyarakat antara lain: a) upacara ritual yaitu larung sesaji (sembonyo), b) sistem bagi hasil tangkapan, dan c) kesepakatan tentang penindakan pelanggaran hukum di laut.

Kesepakatan-kesepakatan lokal yang ada pada umumnya telah dipatuhi oleh nelayan meskipun pada beberapa kasus masih ditemukan sedikit pelanggaran terutama disebabkan oleh kurang mengertinya sebagian nelayan tentang kesepakatan lokal tersebut, disamping adanya sikap dari sebagian nelayan yang hanya patuh pada aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah (Perda).

Pengawasan dan penegakan hukum dilakukan bersama oleh Polisi Air dan Udara (Pol Airud), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Trenggalek dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, serta masyarakat pengguna sumberdaya itu sendiri yang terhimpun dalam Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas).

dicari alternatif solusinya. Kelompok PSBK cukup penting perannya di dalam menjembatani lahirnya kesepakatan tentang pengelolaan konflik perikanan tangkap yang ada, serta pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.

4.3.2 Teluk Sendang Biru

Dokumen terkait