KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK
PADA PERIKANAN TANGKAP
DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR
ACHMAD BUDIONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menya takan bahwa disertasi Keefektivan Pengelolaan Konflik Pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2005
Achmad Budiono
ABSTRAK
ACHMAD BUDIONO. Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. Dibimbing oleh John Haluan, Fedi A. Sondita dan Victor P.H. Nikijuluw.
Tujuan studi adalah mengetahui tipologi konflik, upaya-upaya yang telah dilakukan dan keefektivan pengelolaan konflik perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru, Teluk Prigi dan Teluk Popoh, guna merancang model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif. Data diperoleh dari survai responden secara purposif. Participatory institutional survey and conflict evaluation exercise digunakan untuk mendeskripsikan konflik. Principal component analysis dan structural equation model digunakan dalam pengujian hipotesis kemampuan stakeholder dalam mengidentidikasi dan memetakan penyebab konflik dan memilih teknik resolusi konflik.
Penelitian ini menemukan sembilan jenis konflik perikanan tangkap, yaitu 1) konflik retribusi, 2) konflik tambat labuh, 3) konflik perebutan daerah tangkap, 4) konflik perbedaan alat tangkap, 5) konflik penggunaan potas/obat-obatan, 6) konflik bagi hasil, 7) konflik nelayan lokal vs andon, 8) konflik pencemaran lingkungan, dan 9) konflik perusakan terumbu karang. Konflik perikanan tangkap disebabkan oleh 11 faktor penyebab konflik yaitu : 1) jumlah pihak yang terlibat dalam konflik, 2) keberadaan tokoh dalam konflik, 3) keberadaan pihak yang bertolak belakang, 4) isu yang berkembang dalam masyarakat, 5) kondisi perekonomian masyarakat, 6) jumlah nelayan, 7) latar belakang budaya dan adat istiadat, 8) keberadaan peraturan dan penegakan hukum, 9) keinginan tertentu dalam masyarakat, 10) kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya dan 11) persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya. Seluruh konflik yang terjadi diselesaikan dengan teknik resolusi konflik alternatif (ADR), yaitu: fasilitasi, negosiasi, mediasi dan avoidance.
Faktor utama penyebab konflik adalah keberadaan peraturan dan penegakan hukum, kehadiran tokoh, dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya, isu yang berkembang dalam masyarakat dan kondisi ekonomi masyarakat. Sedangkan jenis konflik perikanan tangkap yang utama terdiri dari konflik bagi hasil, konflik tambat labuh, konflik daerah tangkap, konflik alat tangkap dan konflik nelayan local vs andon.
Teknik resolusi yang sesuai dengan penyebab konflik adalah mediasi. Teknik resolusi konflik yang digunakan di lokasi penelitian telah terbukti efektif, yang ditunjukkan dengan adanya hubungan positif antara teknik resolusi konflik dengan outcome.
Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif adalah model yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan konflik. Secara garis besar model ini memiliki empat komponen dasar, yaitu: perundangan dan regulasi, peran serta organisasi masyarakat, infrastruktur dasar dan kondisi sosial-ekonomi.
ABSTRACT
ACHMAD BUDIONO. Effective Conflict Management for Capture Fisheries in the Southern Sea of East Java. Supervised by John Haluan, Fedi A.Sondita and Victor P.H. Nikijuluw as members of advisory team.
The aim of this study is to describe conflict typology, implemented local conflict management efforts and their effectiveness in Sendang Biru, Popoh and Prigi Bay in order to design an effective conflict management model. Data are obtained through a series of surveys in the study areas. Participatory institutional survey and conflict evaluation exercise were used to describe the conflicts. Principal component analysis and structural equation model were applied to verify hypotheses of capability of community in identifying factors determining conflict and selecting conflict resolution methods.
The research was conducted to identify nine types of capture fisheries conflicts namely: 1) conflict on fee imposition 2) conflict on anchoring/landing port 3) conflict on fight for fishing ground, 4) conflict on capture tool discrepancy, 5) conflict on the use of potassium/chemical substances 6) conflict of fishing harvest division 7) conflict between local fishers and migrant fishers 8) conflict on environmental pollution and 9) conflict on coral reef destruction. Conflicts of capture fisheries are caused by eleven reasons namely 1) the number of people involved in conflict 2) the presence of community leaders in conflict, 3) the position of opposing sides 4) issues among the community 5) the local economic condition 6) the number of fishers 7) socio-cultural background 8) regulations and law enforcement 9) special community interests 10) competition in the use of resources and 11) perception of the people towards remaining resources. All conflicts were resolved by alternative dispute resolution method (ADR), namely: facilitation, negotiation, mediation and avoidance.
The main causing factors for conflicts are regulation and law enforcement, the presence of community leaders, competition in the use of resources, perception of the people toward resources, issues among the community and the local economic condition. Meanwhile, the main type of capture fisheries conflicts namely: conflict on fee imposition, conflict on anchoring/landing port, conflict on fight for fishing ground, conflict on capture tool discrepancy, conflict between local fishers and migrant fishers.
The most suitable methods to resolve fisheries conflict that relevant to the main reason of the conflict is mediation. This methods showed to be the most effective as influential to the positive correlation between conflict resolution methods and outcome.
The proposed effective model of process to resolve capture fisheries conflicts should be promote community participation in conflict management. The model has four basic components, namely: law and regulation, role and organization of coastal community, basic infrastructure and socio economic condition.
KEEFEKTIVAN PENGELOLAAN KONFLIK
PADA PERIKANAN TANGKAP
DI PERAIRAN SELATAN JAWA TIMUR
ACHMAD BUDIONO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur
Nama : Achmad Budiono
NIM : C5260140314
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. H. M. Fedi A. Sondita M.Sc. Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M. Sc. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
© Hak Cipta milik Achmad Budiono, tahun 2005
Hak cipta dilindungi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bangil pada tanggal 17 Agustus 1960 sebagai anak ke tiga dari pasangan Ali Soejanus (Alm) dan Rossiti Alfini (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Perairan dan Kultur, Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Pasca Sarjana Universitas Trisakti dan menamatkannya pada tahun 1998. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2002. Ijin belajar diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan.
Penulis mengawali bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian pada tahun 1984 dan ditempatkan di Jakarta. Selama bertugas di Ditjen Perikanan penulis pernah menangani bidang prasarana perikanan, produksi dan kesekretariatan. Pada periode tahun 2000-2001 penulis bertugas di Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur. Bidang yang menjadi tanggung jawab penulis adalah produksi perikanan tangkap. Penulis bertugas di Inspektorat Jenderal Perikanan mulai Maret 2001 sampai dengan sekarang.
Penulis menikah dengan Dra. Hj. Sulistyorini pada tahun 1992 dan saat ini penulis dikarunia tiga orang putra, yaitu Muhammad Dhoni Arifin, Leonie Nur Wahyuni dan Akhmad Basroni.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah konflik perikanan tangkap, dengan judul Keefektivan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., Bapak Dr. Ir. H. M. Fedi A. Sondita M.Sc. dan Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. selaku pembimbing atas segala bimbingan, arahan dan dorongan semangat selama penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih yang tidak ternilai juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Daniel R. Monintja dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. yang banyak memberi dorongan dan saran bagi sempurnanya disertasi ini. Di samping itu, secara khusus penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Mustafa Abubakar, M.Si. dan Bapak Dr. Suseno selaku pimpinan di Inspektorat Jenderal Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan waktu dan keleluasaan bagi penulis serta dorongan, motiva si yang tiada henti untuk penyelesaian studi ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu saat penelitian, yaitu Ir. Supartono, MM dan Pak Heri dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tulungagung. Ir. Suhada Abdullah dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Trenggalek, Pak Edward, Pak Edo dan Pak Edi Yusuf dari Co-Fish Pak Haryomo, Pak Sukarni dan Pak Tri dari PPN Prigi. , Pak Suparni dari HNSI Prigi, Pak Kabul dari kelompok pancing Prigi serta mbah Yot sesepuh nelayan Prigi. Dari Kabupaten Malang penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Edi dari Fakultas perikanan Unbra, Ir. Nusa Patriota dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Malang, H. Atmo serta rekan-rekan dari jajaran Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi jawa Timur, khususnya Pak Hari Tulaksmono, Pak Bambang Sanyoto, dan Mas Eko dkk dari Badan Pengelola Pangkalan Pendaratan Ikan (BPPP) Pondokdadap, Sendang Biru.
Yan Husana , AK dari Universitas Indonesia serta Mas Andi dari LIPI yang memberikan berbagai referensi yang sangat berharga dalam bidang pengelolaan konflik. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Mas Supriyadi (Pak UP), Pak Wahyu, Pak Diding, Priambodho, Yudi Wahyudin, Rifki, Erwin, dan Pak Hari Tulaksmono yang sangat banyak memberikan kontribusi untuk penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan dari Sekretariat TKL, Erien, Amelia, Eva, Shinta, Juhri dan Iwan; hanya Allah SWT yang dapat membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Pengorbanan yang luar biasa dari orang-orang yang sangat penulis cintai, Sulistyorini istri tercinta dan anak-anakku Muhammad Dhoni Arifin, Leonie Nur Wahyuni dan Akhmad Basrroni yang telah menjadikan inspirasi dan semangat hidup, serta atas pengertian waktu untuk keluarga banyak tersita selama belajar dan menyusun disertasi ini. Semangat belajar ini juga tidak lain adalah dorongan dan doa dari Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah tiada, ibu Soetarmiati di Banjarmasin dan ibu Darmantini di Malang.
Penulis menyadari disertasi ini masih banyak kekurangannya dan masih perlu penyempurnaan. Untuk itu segala saran maupun kritik disertasi ini masih perlu untuk penyempurnaan. Akhirnya semoga disertasi dapat bermanfaat bagi kita semua da lam memperkaya khsanah ilmu pengetahuan dan juga dapat diaplikasikan bagi kemaslahatan hidup dan kehidupan di masa yang akan datang. Amin.
Bogor, Desember 2005
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ...
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
iii
x
xi
xiii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 9
1.3 Manfaat Penelitian ... 9
2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK ... 10 2.1 Kerangka Teoritis Konflik dan Pengelolaan Konflik ... 10
2.1.1 Definisi dan anatomi konflik ... 10
2.1.2 Wujuddan sebab-sebab terjadinya konflik ... 12
2.1.3 Metodapengelolaan konflik ... 18
2.1.4 Perkembangan ADR di beberapa negara ... 30
2.1.5 PerkembanganADR di Indonesia ... 31
2.1.6 Efektivitas pengelolaan konflik ... 34
2.2 Hubungan upaya dan Hasil Tangkapan ... 36
2.3 Pendekatan Bio-Ekonomi dalam Analisis Sumberdaya Perikanan Tangkap ... 42
2.4 Pendekatan Pengelolaan Perikanan Berbasis Resolusi Konflik ... 44
2.5 Kerangka Pemikiran ... 48
2.6 Hipotesis ... 51
3 METODOLOGI UMUM ... 52
3.1 Lokasi Penelitian ... 52
3.3 Pengumpulan Data ... 54
3.4 Variabel Penelitian ... 55
3.5 Pengolahan Data ... 56
3.6 Analisis Data ... 56
4 TIPOLOGI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ... 59
4.1 Pendahuluan ... 59
4.2 Metode ... 61
4.2.1 Pengumpulan data ... 61
4.2.2 Variabel penelitian ... 62
4.2.3 Analisis data ... 62
4.3 Hasil ... 63
4.3.1 Teluk Prigi ... 63
4.3.1.1 Keadaan umum lokasi ... 63
4.3.1.2 Kegiatan perikanan tangkap ... 67
4.3.1.3 Jenis konflik ... 72
4.3.1.4 Pengelolaan konflik ... 82
4.3.2 Teluk Sendang Biru ... 86
4.3.2.1 Keadaan umum lokasi ... 86
4.3.2.2 Kegiatan perikanan tangkap ... 89
4.3.2.3 Jenis konflik ... 93
4.3.2.4 Pengelolaan konflik ... 101
4.3.3 Teluk Popoh ... 103
4.3.3.1 Keadaan umum lokasi ... 103
4.3.3.2 Kegiatan perikanan tangkap ... 106
4.3.3.3 Jenis konflik ... 110
4.3.3.4 Pengelolaan konflik ... 115
4.3.4 Pembahasan ... 117
5 KEEFEKTIVAN RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN
TANGKAP ... 123
5.1 Pendahuluan ... 123
5.2 Kerangka Teoritis dalam Menganalisis Efektivitas Resolusi Konflik ... 125
5.3 Metode ... 134
5.3.1 Variabel penelitian ... 134
5.3.1.1 Faktor penyebab konflik ... 134
5.3.1.2 Teknik resolusi konflik ... 140
5.3.1.3 Keefektivan resolusi konflik ... ... 142
5.3.1.4 Kecocokan teknik resolusi konflik ... 147
5.3.1.5 Outcome resolusi konflik ... 149
5.3.1.5.1 Pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SDPT) yang berkeadilan ... 149
5.3.1.5.2 Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan ... 152
5.3.1.5.3 Pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan 155 5.3.1.5.4 Pemahaman masyarakat tentang pengelolaan SDPT ... 162
5.3.2 Pengumpulan data ... 168
5.3.3 Analisis data ... 168
5.3.4 Model yang diestimasi ... 170
5.4 Hasil ... 172
5.5 Pembahasan ... 195
5.5.1 Hubungan penyebab dengan teknik resolusi konflik ... 195
5.5.2 Hubungan teknik resolusi konflik dengan outcome ... 203
5.6. Kesimpulan ... 207
6 MODEL PROSES PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ... 208 6.1 Pendahuluan ... 208
6.2 Kerangka Teoristis Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap ... 210
6.2.2 Pengelolaan konflik perikanan tangkap ... 213
6.2.3 Kerangka pemikiran ... 218
6.3 Metode ... 219
6.3.1 Variabel penelitian ... 220
6.3.2 Pengumpulan data ... 220
6.3.3 Analisis data dan perancangan model ... 220
6.4 Hasil ... 221
6.5 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap ... 226
6.6. Kesimpulan ... 235
7 PEMBAHASAN UMUM ... 236
7.1 Latar Belakang Timbulnya Konflik ... 236
7.2 Efektivitas Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap ... 238
7.3 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap ... 239
8 KESIMPULAN UMUM DAN SARAN ... 241
8.1 Kesimpulan Umum ... 241
8.2 Saran ... 242
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tipologi konflik menurut FAO (1996) ... 25
2. Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Prigi ... 74
3. Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru ... 94
4. Tipologi konflik perikanan tangkap di Teluk Popoh ... 111
5. Jenis konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian ... 117
6. Tipologi konflik di lokasi penelitian berdasarkan kriteria Charles (2001) ... 118
7. Teknik resolusi konflik di lokasi penelitian ... 119
8. Jenis konflik dan metode resolusi di lokasi penelitian ... 120
9. Tipologi konflik dan metode resolusi yang digunakan ... 120
10. Sub variabel penyebab konflik perikanan tangkap menurut Bennet dan Neiland (2000) ……….……….…… 121
11. Perbandingan beberapa penyelesaian konflik alternatif ... 129
12. Perbandingan resolusi konflik dengan metoda litigasi dan alternative dispute resolution (ADR) ... 131
13. Tipologi partisipasi masyarakat ... 153
14. Rerata skor jenis konflik menurut penyebabnya ... 173
15. Rerata skor jenis konflik menurut teknik resolusi ... 174
16. Kumulatif structural equation modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) ... 185
17. Rerata skor outcome menurut jenis konflik ... 186
18. Kumulatif structural equation modeling untuk teknik resolusi konflik (RESO) dengan outcome (OUTC) ... 194
19 Kemungkinan penggunaan penyelesaian sengketa alternatif (ADR) 201 20. Peluang sukses penggunaan ADR ... 201
21. Kecocokan metoda pengelolaan konflik yang digunakan ... 202
22. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap ... 205
23. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan ………….. 206
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Hubungan sasaran dan perilaku dalam konflik (Fisher et al. 2000) 12
2. Segitiga kepuasan (Diadopsi dari Lincoln 1986) ... 22
3. Kontinum teknik alternative dispute resolution (Priscolli 2003) ... 23
4. Hubungan antar aktor dalam resolusi konflik (FAO 1996) ... 27
5. Prosedur resolusi konflik berdasarkan cognitive approach (al-Tabbai et al. 1991) ...
29
6. Hubungan antara produksi lestari dengan upaya penangkapan
ikan ... 39
7. Hubungan manfaat dan biaya dengan upaya penangkapan ikan ... 40
8. Hubungan upaya penangkapan ikan dengan populasi ikan ... 44
9. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik ... 50
10. Bagan alir proses penelitian proses penelitian keefektivan pengelolaan konflik pada perikanan tangkap di perairan selatan
Jawa Timur ... 58 11. Sketsa lokasi penelitian di Teluk Prigi ... 66
12. Perkembangan perikanan tangkap dan konflik yang terjadi di
Teluk Prigi ... 70
13. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Trenggalek
periode 1990 – 2004 ... 71
14. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten
Trenggalek periode 1990 – 2004 ... 72
15. Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di
Teluk Prigi ... 83 16. Sketsa lokasi penelitian di Teluk Sendang Biru ... 88
17. Perkembangan perikanan tangkap di Teluk Sendang Biru ... 91
18. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Malang periode
1990 – 2004 ... 92
19. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Malang periode 1990 – 2004 ...
93
20. Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di
Teluk Sendang Biru ... 102 21. Sketsa lokasi penelitian di Teluk Popoh ... 105
22. Perkembangan perikanan tangkap dan konflik yang terjadi di
23. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Tulungagung periode 1990 – 2004 ...
109
24. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tulungagung periode 1990 – 2004 ...
110
25. Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik di
Teluk Popoh ... 116
26. Metoda pengelolaan konflik (diadopsi dari Bennett dan Neiland 2000) ... 128 27. Kondisi optimal dalam resolusi konflik melalui negoisasi (Creighton dan Priscolli 2001) ... 132
28. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik ... 134
29. Model struktural antara konflik, metoda resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome (diadopsi dari Barki et al. 2001) ... 169
30. Korelasi antar variabel jenis konflik (A) dan sebaran individu faktor penyebab konflik (B) pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) ... 176
31. Korelasi antar variabel jenis konflik (A) dan sebaran individu teknik resolusi konflik (B) pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) ... 178
32. Structural Equation Modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO)... 180
33. Korelasi antar variabel outcome (A) dan sebaran individu jenis konflik (B) pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) ... 188
34. Nilai koefisien teknik resolusi konflik dan outcome untuk konflik perikanan tangkap ... 190
35. Rata-rata produksi aktual ikan demersal periode 1990-2004 di lokasi penelitian ... 198 36. Kerangka pemikiran model proses resolusi konflik perikanan tangkap ... 219
37. Bagan alir proses penelitian ... 221
38. Kelembagaan pengelolaan konflik ... 231
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Peta lokasi penelitian ... 250
2. Daftar responden di lokasi penelitian ... 251
3. Diagonalisasi dan korelasi antara variabel penyebab konflik dan sumbu utama ...
253
4. Diagonaliasi dan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik dan komponen utama ...
254
5. Diagonaliasi dan korelasi antara variabel outcome dan komponen utama ………...
255
6. Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua
(F-2) 256
7. Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua
(F-2) 257
8. Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua
(F-2) 258
1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti
air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting
dalam kajian akademik, khususnya setelah Indonesia dilanda krisis ekonomi.
Kedudukan dan nilai sumberdaya alam sangat strategis dalam menjaga
kelangsungan hidup sebagian besar penduduk. Kedudukan tersebut juga
ditentukan oleh tingkat ketergantungan penduduk terhadap sumberdaya alam.
Semakin tinggi tingkat ketergantungan penduduk pada sumberdaya alam maka
semakin tinggi pula nilai strategis sumberdaya tersebut.
Sumberdaya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan
milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk
memanfaakan sumberdaya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya
melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga
pihak-pihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak-pihak yang memiliki
kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam sering berbenturan sehingga
menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumberdaya merasa memiliki hak yang
sama dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sifat pemanfaatan sumberdaya
yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumberdaya,
khususnya antar kelompok nelayan. (Christy 1987).
Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumberdaya milik
bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi
pemegangnya, yaitu :
1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki
batas-batas fisik yang jelas.
2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan
cara-cara dan tehnik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang
3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan
stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan.
4) Hak eksklusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak
akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain, dan
5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual atau menyewakan ke empat hak
tadi kepada orang lain.
Ke lima hak di atas dapat bersifat terpisah dan tidak saling berpengaruh
antara satu dengan yang lain. Pemegang hak pada sumberdaya milik bersama
dapat dibagi ke dalam :
1) Pengguna sumberdaya
Pengguna sumberdaya merupakan mereka yang menggunakan atau
memanfaatkan sumberdaya karena memiliki atau diberi hak akses dan hak
memanfaatkan. Pengguna sumberdaya memiliki otoritas untuk masuk dan
memanfaaatkan sumberdaya yang biasanya melalui lisensi atau izin. Meski
demikian, merekahanya sekedar pengguna yang berotoritas atau resmi, tetapi
tidak memiliki hak-hak kolektif (hak mengatur, hak eksklutif dan hak
mengalihkan). Jika disebutkan di dalam aturan-aturan operasional, hak akses dan
hak memanfaatkan yang dipegang pengguna atau sementara melalui penjualan
hak atau penyewaan. Pengalihan hak seperti ini tidak sama dengan mengalihkan
yang merupakan hak kolektif.
Kehadiran pengguna atau pemegang izin yang menggunakn hak akses dan
hak memanfaatkan sumberdaya ini dapat dijumpain di banyak perikanan di dunia.
Di Indonesia, perikanan skala besar umumnya dikuasai pengguna sumberdaya,
yaitu mereka yang masuk dan memanfaatkan sumberdaya berdasarkan izin
penangkapan ikan yang dikeluarkan pemerintah. Meski demikian mereka sekedar
pengguna yang tidak dapat mengalihkan haknya kepada orang lain.
2) Claimant
Claimant yaitu individu pemegang hak yang sama seperti yang dipegang
pengguna sumberdaya, namun memiliki hak lain, yaitu hak mengatur atau
claimant dapat secara kolektif menentukan cara dan metoda memanfaatkan mutu
sumberdaya melalui konservasi atau pengayaan lingkungan. Meski demikian,
seorang claimant tidak memiliki hak untuk menentukan siapa yang boleh atau
tidak boleh memanfaatkan sumberdaya. Begitu juga seorang claimant tidak dapat
mengalihkan atau menyerahkan hak mengaturnya kepada orang lain.
Menjadi seorang claimant tentu saja dituntut lebih banyak tanggung jawab
dibandingkan dengan seorang pengguna atau sekedar pemegang izin. Hal ini
disebabkan disamping memanfaatkan sumberdaya, seorang claimant memiliki
hak atau bertangung jawab untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya itu. Jika
seorang pengguna hanya mengeksploitasi sumberdaya, seorang claimant
memiliki hak untuk mengembangkan konservasi sumberdaya itu. Disaat seorang
pengguna hanya berpikir tentang saat ini, seorang claimant berpikir tentang masa
depan sumberdaya yang akan dimanfaatkannya. Jadi dari sisi kelangsungan dan
keberlanjutan sumberdaya, kehadiran seorang claimant lebih diperlukan dari
seorang pengguna.
3) Proprieator
Proprietor adalah individu yang memiliki hak akses, hak memanfaatkan,
hak mengatur dan hak eksklusif terhadap suatu sumberdaya milik bersama
(common property). Satu-satunya hak yang tidak dipegang proprietor adalah hak
mengalihkan. Namun kehadiran seorang proprietor jauh lebih bermanfaat
dibanding seorang claimant atau seorang pengguna yang berizin karena seoarang
proprietor secara kolektif dapat menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh
memanfaatkan sumberdaya.
4) Pemilik
Selain memiliki hak kolektif mengatur dan hak eksklusif, seorang individu
juga memiliki hak untuk menjual atau mengalihkan hak mengatur dan hak
eksklusif yang dimilikinya sehingga orang yang membeli menjadi pemilik baru
sumberdaya. Jadi seorang pemilik sumberdaya memiliki keseluruhan hak kolektif
disamping hak untuk akses dan memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu
Priscoly (2002) menyatakan bahwa konflik sumberdaya alam dapat
disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan
ego, perbedaan personalitas serta masalah stereotype, perbedaan pandangan
tentang baik dan buruk (konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor
struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar
waktu.Bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat
multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang
kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik, adalah aktor,
ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan.
Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan
sumberdaya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait
dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap
oleh nelayan (not enough fish). Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan
tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan
sumberdaya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh
prinsip hunting dimana nelayan harus selalu memburu dimana ikan berada, suatu
persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada
tempat dan waktu yang sama.
Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan
tangkap Indonesia adalah konflik yang timbul karena pemahaman yang keliru
mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya otonomi daerah, perebutan
daerah/lokasi penangkapan, perbedaan kualitas dan kapasitas peralatan tangkap
antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah perairan, serta pelanggaran
hak ulayat laut masyarakat lokal.
Sebagai contoh adalah konflik perikanan tangkap yang terjadi di Provinsi
Jawa Timur. Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Jawa Timur (2005), tercatat
bahwa pada kurun waktu 2001-2005 telah terjadi kasus konflik pemanfaatan
sumberdaya perikanan sebanyak 31 kali. Konflik pemanfaatan sumberdaya
perikanan berdasarkan agregasi data yang sama menunjukkan bahwa sebagian
sosial akibat perbedaan hasil tangkapan antara nelayan lokal dan andon, 2)
kecemburuan sosial akibat penggunaan alat tangkap yang berbeda, 3) perebutan
daerah penangkapan ikan (fishing ground), dan 4) penggunaan alat tangkap
illegal. Sebagian besar kasus konflik pemanfaatn sumberdaya ikan di Jawa Timur
terjadi di sekitar perairan pantai utara (Laut Jawa) dan timur (Selat Bali) Jawa
Timur. Informasi tentang kasus konflik yang terjadi di perairan selatan Jawa
Timur berdasarkan data-data yang dikemukakan relatif minim. Namun, minimnya
data tersebut tidak berarti bahwa kasus-kasus serupa dan faktor-faktor
penyebabnya tidak terjadi di perairan selatan Jawa Timur.
Pada tahun 70-an terjadi konflik yang melibatkan nelayan skala kecil
dengan nelayan purse seine. Konflik tersebut dikenal sebagai Malapetaka Muncar
(Malamun) yang berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik
bergeser tidak hanya melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine,
tetapi juga antar nelayan skala kecil/tradisional (Anonimous 2001).
Di Teluk Prigi, Kabupaten Trenggalek misalnya, konflik terjadi antara
nelayan payang dengan nelayan purse seine. Penggunaan lampu yang berlebihan
pada operasi penangkapan ikan oleh perahu payang (skala kecil) ternyata
mengganggu operasi perahu purse seine (skala besar), serta tumpang tindihnya
fishing ground ikan sasaran yang sama (Anonimous 2002). Demikian halnya
dengan daerah lain seperti di Teluk Sedang Biru, Kabupaten Malang. Konflik
terjadi antara nelayan pancing dengan nelayan purse seine dan payang.
Dibandingkan Teluk Prigi dan Teluk Sendang Biru, konflik perikanan tangkap di
Teluk Popoh mempunyai intensitas yang paling sedikit.
Konflik yang terkait dengan hukum dan peraturan adalah akibat
terbatasnya pemahaman nelayan, sehingga banyak terjadi pelanggaran terhadap
peraturan tersebut. Selain itu juga konflik juga sering terjadi disebabkan adanya
perbedaan nilai, yaitu pandangan tentang baik dan buruk, serta kurangnya
pengetahuan dari aparat penegak hukum memperbesar terjadinya frekuensi
pelanggaran. Hal ini dapat dilihat dari kasus penggunaan kompresor dan potas,
pencurian, perusakan lingkungan dan sumberdaya habitat serta kasus nelayan
Konflik perikanan tangkap juga sering terjadi karena peraturan lokal
kurang komprehensif dan sangat sempit jangkauannya. Hal ini memberikan
peluang pada setiap orang untuk melakukan intepretasi yang berbeda terhadap
peraturan tersebut. Ada bentuk aturan lokal yang sudah disepakati oleh nelayan
yaitu sejenis hak penggunaan wilayah untuk perikanan (HPWP) atau lebih dikenal
sebagai territorial use right for fisheries (TURF). Namun organisasi dan
perangkat hukum dari aturan lokal tersebut masih bersifat non formal. TURF
berhubungan dengan perikanan tangkap, seperti pada kasus jaring tarik (pukat
pantai) di Prigi, Jawa Timur. Sebagian nelayan sebenarnya sudah memahami
pentingnya mempertahankan habitat dan keberadaan sumberdaya pantai, terutama
untuk kasus-kasus nelayan di Prigi. Pelanggaran atau perusakan habitat dan
sumberdaya mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan.
Kesenjangan sosial-ekonomi dan kemiskinan juga merupakan faktor
penyebab konflik perikanan tangkap. Berbagai tindak kekerasan dalam menyikapi
konflik perikanan tangkap sering dipicu oleh faktor ini. Tantangan terberat yang
dihadapi adalah jika kelangsungan hidup menjadi terganggu karena hasil
tangkapan ikan yang terbatas.
Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi konflik perikanan tangkap
yang muncul dengan mengeluarkan berbagai peraturan, namun hasilnya masih
belum efektif. Anonimous (2002), menyebutkan beberapa faktor yang
menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap belum
efektif, yaitu 1) Perangkat peraturan yang terlalu kompleks dan bahkan tidak
diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan 2) Kurangnya tingkat pengetahuan
penegak hukum. Faktor lain yang menyebabkan peraturan dan kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap (PT) belum efektif adalah perangkat peraturan
yang belum dibuat berdasarkan kebutuhan bersama, yaitu Pemerintah, swasta dan
masyarakat nelayan.
Pengelolaan konflik (conflict management) memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya, termasuk ke dalamnya
konflik dapat menghambat partisipasi masyarakat dan berpengaruh terhadap
produktivitas nelayan.
Para ahli sumberdaya perikanan menyebutkan faktor utama yang
menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya perikanan
tangkap dan degradasi lingkungan di daerah pesisir adalah masalah sosial,
ekonomi dan politik. Untuk itu perhatian utama pengelolaan sumberdaya
perikanan hendaknya dihubungkan dengan masalah kesejahteraan manusia dan
konservasi sumberdaya perikanan guna kelangsungan hidup generasi yang akan
datang, sehingga sudah sewajarnya bila faktor manusia (actor) menjadi perhatian
utama dalam sistem pengelolaan sumberdaya perikanan dan bukan faktor
sumberdayanya (Pomeroy 2004).
Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, guna memberikan
resolusi yang optimum, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang
mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan. Identifikasi ini perlu dilakukan guna menyusun model
resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif. Pendekatan yang baik untuk
menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak
yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang
sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat
sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali
tanda–tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut.
Dengan memiliki ketrampilan mengelola konflik, seperti memetakan
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk
menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi
konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan dapat dihasilkan
resolusi konflik yang menyeluruh, sehingga keputusan atau kesepakatan yang
dihasilkan dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang
terkait (Anonimous 2002). Disamping itu, resolusi konflik akan meningkatkan
hubungan di antara pihak yang berkonflik dan secara otomatis jalan keluar yang
diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik,
Untuk menyelesaikan konflik telah banyak upaya yang dilakukan, namun
sampai sejauh ini hasilnya masih kurang memuaskan. Terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan hasil proses resolusi konflik belum memuaskan, yaitu 1)
belum dikenalinya tipologi konflik, dan 2) belum tepatnya teknik resolusi konflik
yang digunakan. Tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan
sulit untuk memberikan resolusi konflik yang tepat. Pemahaman terhadap tipologi
konflik memberikan manfaat yang signifikan, karena dengan pemahaman ini
maka outcome dari proses resolusi konflik dapat diprediksi dengan baik
(Obserschall 1973).
Pengelolaan konflik umumnya masih dilakukan secara parsial dan bersifat
ad hock. Proses resolusi konflik belum dilakukan dengan benar, dan komitmen
yang dihasilkan belum mengikutsertakan seluruh pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan. Hal ini mengakibatkan pengelolaan konflik belum menyentuh
akar/pokok konflik, tetapi hanya merubah konflik yang terbuka menjadi konflik
laten yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali.
Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian pada saat menganalisis konflik dan menyusun model
pengelolaan konflik perikanan tangkap, yaitu :
1) Bagaimana tipologi konflik perikanan tangkap yang terjadi?
2) Bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengelolaan konflik
perikanan tangkap?
3) Bagaimana efektivitas pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah dan
sedang terjadi ?, serta
4) Bagaimana model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif?
Disertasi ini disusun dengan sistematika atau pola beberapa judul yang
setiap judulnya merupakan artikel sebagai berikut :
1) Pendahuluan, menerangkan mengenai latar belakang, tujuan dan manfaat
dilakukannya penelitian.
2) Pendekatan teoritis analisis konflik dan pengelolaan konflik, akan
menerangkan mengenai berbagai pendekatan yang pernah digunakan dalam
3) Metodologi umum penelitian, yang menerangkan mengenai lokasi
penelitian, responden, pengumpulan data, variabel penelitian, pengolahan
data dan analisis data.
4) Tipologi konflik perikanan tangkap, menerangkan mengenai faktor
penyebab konflik, tehnik resolusi dan efektivitas resolusi konflik menurut
responden.
5) Keefektivan tehnik resolusi konflik perikanan tangkap, yang menerangkan
mengenai efektivitas resolusi konflik di lokasi penelitian berdasarkan alat
analisis yang digunakan.
6) Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap, yang menerangkan
mengenai model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang dibangun
berdasarkan hasil analisis, berbagai referensi dan pengalaman negara lain
dalam pengelolaan konflik.
1.2Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1) Mengidentifikasi tipologi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian.
2) Mendeskripsikan upaya pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah
dilakukan di lokasi penelitian.
3) Menganalisis keefektivan pengelolaan konflik perikanan tangkap yang telah
dilakukan di lokasi penelitian.
4) Merancang model pengelolaan konflik perikanan tangkap yang efektif di
lokasi penelitian.
1.3Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian adalah 1) mengembangkan pendekatan efektif yang
dapat diaplikasikan dalam menyelesaikan konflik perikanan tangkap, 2)
merupakan landasan penelitian lanjutan tentang analisis konflik laten, menyusun
indikator yang dapat digunakan untuk memprediksi dimana dan kapan konflik
dapat terjadi, keterkaitan antara partisipasi masyarakat dengan modal sosial, dan
bagaimana kebijakan pengelolaan berpengaruh terhadap konflik, serta 3) menjadi
2
PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN
PENGELOLAAN KONFLIK
2.1 Kerangka Teoritis Analisis Konflik dan Pengelolaan Konflik
2.1.1 Definisi dan anatomi konflik
Terdapat beragam literatur yang terkait dengan pendekatan teoritis untuk
menggambarkan dan menjelaskan konflik. Konflik pada dasarnya merupakan
fungsi dari struktur sosial, hubungan antar kelas, atau perilaku individu dalam
masyarakat. Konflik dapat terjadi dimana individu berupaya memperoleh hasil
maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin, yang dalam prakteknya perilaku
ini seringkali mengorbankan kepentingan pihak lain yang pada akhirnya dapat
memicu terjadinya konflik.
Konflik dapat diartikan dari sudut pandang positif atau negatif, serta dari
perspektif konstruktif maupun destruktif (Powelson 1972), atau pelanggaran,
pengasingan maupun bukan pelanggaran (Wallace 1993). Definisi konflik
berkembang dan tidak hanya berfokus pada tindakan antagonistik (antagonistic
action) tetapi juga memasukan istilah ketidaksetujuan yang tajam atau
penentangan atas kepentingan, ide dan lain-lain.
Konflik dapat pula diartikan sebagai “kepentingan yang dirasakan sangat
berbeda sehingga keinginan para pihak tidak dapat dicapai secara bersamaan”
(Pruit dan Rubin 1986). Pengertian lainnya adalah “interaksi antara orang-orang
yang saling bergantung satu sama lain yang memiliki tujuan berbeda dimana
mereka saling mengintervensi untuk mencapai tujuan masing-masing (Hocker
1985).
Pada dasarnya konflik itu nyata, bisa destruktif (negatif) bisa juga
konstruktif (positif), dan kadangkala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang penting
adalah bagaimana respon terhadap konflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan
baru ditumbuhkan agar dapat digunakan untuk menghadapi dan mengelola konflik
tersebut. Pendapat ahli yang lain mendefinisikan konflik sebagai situasi yang
non-kooperatif yang melibatkan kelompok orang yang memiliki tujuan berbeda.
Konflik merupakan proses dinamis dan dapat dipandang sebagai katalis positif
negatif, tetapi pendapat ini tidak seluruhnya benar (Warner and Jones 1998).
Powelson (1972) berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara
agregasi kelompok tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik (zero-sum
game) atau dimana terjadi deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat dari
argumen ”guns vs butter” (Neary 1997). Pada situasi yang lain, konflik dapat
dipandang sebagai hal positif. Dalam kasus ini konflik yang muncul sebaiknya
jangan diredam atau dihilangkan sama sekali. Dalam konflik yang positif, maka
barang atau jasa dapat diproduksi lebih murah. Selain itu pemerintah juga menjadi
lebih efisien, kegagalan dalam membangun kelembagaan dapat dihindari serta
masyarakat dapat berfungsi secara efisien dalam menyelesaikan konflik-konflik
kecil yang biasanya lebih sering terjadi (Powelson 1972). Menurut Lewicky et al.
(2001) manfaat positif konflik antara lain :
1) Konflik membuat anggota organisasi lebih menyadari adanya persoalan dan
mampu menanganinya.
2) Konflik menjanjikan perubahan dan adaptasi.
3) Konflik memperkuat hubungan dan meningkatkan moral.
4) Konflik meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain, artinya melalui
konflik orang belajar tentang apa yang membuat mereka marah, frustasi dan
takut.
5) Konflik meningkatkan perkembangan pribadi.
6) Konflik mendorong perkembangan psikologis, dalam hal ini orang menjadi
lebih realistis dan akurat dalam mengukur dirinya.
7) Konflik dapat memberikan rangsangan dan kesenangan karena orang merasa
terpuji, terlibat dan hidup di dalam konflik menjadi istirahat dari hal-hal yang
rutin dan mudah.
Definisi di atas menunjukkan bahwa para ahli memandang konflik dari
perspektif yang berbeda, tetapi intinya tetap sama yaitu adanya perbedaan
pandangan dan pemahaman antar pihak terhadap sesuatu kepentingan. Dalam
rangka mengklasifikasi apakah konflik bersifat positif atau negatif, maka sangat
bermanfaat untuk melihat bagaimana konflik terjadi dan apa penyebab yang
Aubert (1963), Boulding (1966) dan Powelson (1972), membedakan
konflik yang masih berada dalam konsensus atau konflik yang sudah melewati
konsensus. Pada konflik yang masih dalam konsensus semua pihak yang
berkonflik setuju terhadap nilai (value) yang mereka inginkan tetapi mereka tidak
mampu untuk mencapainya. Sedangkan konflik yang melewati batas konsensus,
pihak yang berkonflik tidak dapat mencapai kesepakatan tentang nilai yang
mereka inginkan dan mereka sendiri tidak tahu bagaimana mencapainya. Oleh
sebab itu dampak konflik dapat diukur dari sejauh mana pihak yang berkonflik
mencapai kesepakatan (Coser 1972).
2.1.2 Wujud dan sebab-sebab terjadinya konflik
Wijardjo et al. (2001) menyebutkan wujud konflik dapat tertutup (latent),
mencuat (emerging) dan terbuka (manifest), seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan sasaran dan perilaku dalam konflik (Fisher et al. 2000)
Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak
nampak yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak
konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan
yang paling potensialpun. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana
pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan,
kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dan resolusi masalahnya
TANPA KONFLIK KONFLIK TERTUT UP
belum berkembang. Sedangkan konflik terbuka adalah konflik dimana
pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah mulai bernegosiasi, dan mungkin juga mencapai jalan buntu.
Bennett dan Neiland (2000), menyatakan bahwa konflik sifatnya
multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam suatu hubungan
yang kompleks. Lebih lanjut, disebutkan terdapat tiga dimensi yang
mempengaruhi terjadinya konflik, yaitu: aktor, ketersediaan sumberdaya dan
dimensi lingkungan.
Termasuk ke dalam dimensi aktor adalah pihak-pihak yang sedang
berkonflik. Aktor dapat terdiri dari pemerintah, perusahaan swasta dan
masyarakat lokal. Bentuk hubungan antar aktor sangat mempengaruhi bentuk
resolusi konflik yang dapat diajukan. Bentuk hubungan tersebut dipengaruhi oleh
pada tingkatan mana konflik tersebut terjadi (tingkat pusat, daerah atau
masyarakat), kedudukan atau status masing-masing aktor tersebut (konflik dapat
terjadi secara vertikal maupun horisontal), serta kekuatan masing-masing pihak
yang berkonflik. Walaupun demikian Jabri (1996) mengingatkan bahwa
menganalisis konflik melalui pola hubungan antar aktor relatif sulit, mengingat
aktor yang secara relatif memiliki posisi dan kekuatan yang lebih baik akan
cenderung lebih didengar dibandingkan dengan lawannya yang memiliki posisi
dan kekuatan lebih lemah.
Ketersediaan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat.
Bennett dan Neiland (2000) mengemukakan bahwa aktivitas yang terkait dengan
pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam
hubungan yang sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke
empat model ini maka hubungan yang kompetitif dan antagonistik berpotensi
menyebabkan konflik (baik konflik fisik, konflik biologis, sosial maupun
ekonomi). Konflik pada umumnya terjadi karena adanya kompetisi dalam
pemanfaatan sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan sumberdaya
terhadap terjadinya konflik, Bennett dan Neiland (2000) berpendapat bahwa
interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga harus
mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan
Peranan lingkungan juga menjadi dimensi penting dalam menganalisis
tipologi konflik. Hal ini disebabkan konflik pemanfatan sumberdaya alam terjadi
karena sumberdaya alam dieksploitasi dengan tanpa memperhatikan nilai
sesungguhnya (true value). Nilai sesungguhnya dari sumberdaya serta biaya
kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat over eksploitasi dikenal dengan
eksternalitas. Dalam hal ini eksternalitas seringkali tidak diperhitungkan ke dalam
pemanfaatan sumberdaya. Schlager et al. (1992) menyebutkan tiga jenis
eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan,
yaitu :
1) Appropriation externalities.
Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari
stok ikan yang tersedia di laut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari
setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal
dari setiap tambahan upaya penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan
biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya
berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang
ikut memanfaatkan stok ikan tersebut.
2) Technological externalities.
Eksternalitas ini muncul ketika para nelayan secara fisik saling melakukan
intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat memicu
timbulnya konflik. Technological externalities dapat didefinisikan sebagai
terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau
bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan
penangkapan ikan sangat berdekatan satu dengan lainnya.
3) Assignment problems.
Assignment problems muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak
terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara efisien
pada daerah tangkapan tersebut. Permasalahan muncul mengenai siapakah yang
memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana akses tersebut harus
ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam memecahkan assignment problems dapat
Dari pengalaman empiris maka konflik atas sumberdaya alam di berbagai
daerah di Indonesia dapat digolongkan dalam konflik yang bersifat struktural,
dengan melibatkan unsur-unsur lainnya. Pada pengelolaan perikanan tangkap,
terdapat tujuh penyebab konflik seperti dijelaskan berikut ini (Anonimous 2002).
Pertama, konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam
memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah.
Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya. Dengan
persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu
daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam
konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai
faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan.
Kedua, konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan.
Daerah/lokasi demikian sudah dipersepsi oleh nelayan memiliki potensi perikanan
yang cukup banyak. Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat kualitas
peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan yang
sama. Fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi penangkapan.
Ketiga, konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap
antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa
mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan tangkap
yang lebih rendah.
Keempat, konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap
antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada
daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan
yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat
dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan
yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap.
Kelima, konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan.
Misalnya, perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi
nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap lebih canggih menangkap jenis
ikan yang sama di perairan pantai.
Keenam, konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan
tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada
dalam lokasi penangkapan yang sama.
Ketujuh, konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut
masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan
milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya
perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan
norma-norma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain.
Konflik perikanan tangkap umumnya muncul terkait dengan bagaimana
mempertahankan kesejahteraan masyarakat di satu sisi, kepentingan industri dan
kelestarian sumberdaya perikanan di sisi lain. Charles (1992) telah membuat
model konseptual untuk menganalisis berbagai isu konflik perikanan. Kerangka
tersebut dikenal sebagai paradigma segitiga (triangle paradigm) yang terdiri dari
tiga isu, yaitu efisiensi, konservasi dan komunitas sosial.
Keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap membutuhkan partisipasi
aktif dari stakeholder utama dan sekunder. Selanjutnya yang lebih penting adalah
apakah ada koherensi antara tujuan yang diinginkan dengan yang dirasakan dari
suatu sistem secara keseluruhan, dengan kepentingan kelompok stakeholder yang
berbeda (Brown et al. 2001; Charles 1992).
Dalam pengelolaan sumberdaya alam sering diperdebatkan pentingnya
menyatukan persepsi stakeholder dalam proses pengelolaan. Khususnya
bagaimana persepsi stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan
bagaimana mereka dapat terlibat dalam proses pengelolaan tersebut. Berdasarkan
pengalamannya di Tobbago, Brown et al. (2001) mengelompokkan stakeholder ke
dalam suatu “kontinum” dan “pengaruhnya”. Kedudukan dalam kontinum
menyatakan posisi stakeholder dalam kaitannya dengan wilayah kerja (global,
nasional, regional dan lokal) serta posisi mereka dalam “melihat” situasi.
Berdasarkan kriteria tersebut stakeholder dapat dibagi ke dalam tiga kelompok,
yaitu:
1) Primary stakeholder, yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat
penting tetapi pada umumnya mereka menganggap bahwa mereka mempunyai
2) Secondary stakeholder, adalah mereka yang mempunyai posisi cukup penting
dan cukup memiliki pengaruh, mereka bisa saja terlibat secara langsung dan
merupakan bagian integral dari pengelolaan perikanan.
3) External stakeholder, mereka dapat saja sangat mempengaruhi tetapi memiliki
kedudukan yang tidak terlalu penting dalam pengelolaan perikanan. Mereka
memiliki pengaruh yang cukup signifikan karena kemampuannya melobi
pihak atau organisasi lain.
Brown et al. (2001) menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di perikanan
lebih banyak melibatkan primary dan secondary stakeholder yang banyak
melibatkan masyarakat lokal.
Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam penyebab internal dan
penyebab eksternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau
kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor
yang berada diluar kontrol individu atau kelompok. Berdasarkan hal itu, konflik
yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Charles
(1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab atau faktor eksternal.
Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan bahwa perbedaan
karakteristik individu yang menjadi anggota kelompok dapat memicu timbulnya
konflik. Perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang
bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan
kepuasan anggota terhadap outcome kelompok.
Jika ditinjau konstruksinya, maka konflik memiliki konstruksi yang
multidimensional (Amason et al. 1995; Jehn 1995). Selanjutnya mereka
mengelompokkan konflik menjadi: 1) affective conflict dan 2) task conflict.
Gilbraith dan Stringfellow (2002) menjelaskan konflik afektif terjadi karena dua
hal, yaitu: perbedaan kekuatan (power) dan komitmen. Suatu kelompok dimana
perbedaan kekuatannya sangat besar akan cenderung mengalami friksi personal
yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial
yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki komitmen
untuk menyelesasikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh
Task conflict disebabkan karena adanya perbedaan pengetahuan, kekuatan
dan komitmen diantara anggota kelompok. Perbedaan keahlian dapat berwujud
perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok
terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan
keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan
atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga
perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik.
Bradford dan Stringfellow (2002) mengemukakan konflik dalam sebuah
kelompok dapat disebabkan karena perbedaan kemampuan dan pandangan
terhadap masalah atau tantangan yang dihadapi. Secara umum perbedaan tersebut
terkait dengan karakteristik demografik yang dapat diamati (visible) seperti jenis
kelamin, usia, dan latar belakang etnik. Milliken and Martins (1996)
menambahkan faktor yang tidak dapat diamati langsung (unobservable diversity)
dan “deep level” (Harrison et al. 1998) seperti kepribadian dan tata-nilai yang
dianut. Dalam penelitiannya berhasil dibuktikan bahwa perbedaan atribut deep
level memberikan kontribusi terhadap kualitas output yang dihasilkan oleh
kelompok.
Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu
timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status
kekuasaan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik
umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar
kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya
diperlihatkan, dimanfaatkan, dan dipertahankan.
2.1.3 Metoda pengelolaan konflik
Melling (1994) dalam FAO (1998) mendefinisikan conflict resolution
sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya
memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan
kesempatan pada semua pihak yang berkonflik untuk memperbesar “kue” dan
menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap
ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan
manfaat untuk semua pihak.
Conflict resolution atau resolusi konflik adalah jalan keluar dari
perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai
perdamaian. Resolusi, dimana pihak–pihak yang bertikai segera mengadakan
perjanjian perdamaian dengan membahas isu-isu resolusi konflik tersebut, namun
bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu
konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering
tekanan dari pihak luar yang bertikai. Tanpa tekanan, tampaknya konflik akan
timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain.
Singth dan Vlatas (1991) menyatakan bahwa ada lima pendekatan yang
dapat digunakan oleh pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan konflik, yaitu :
1) Forcing. Pendekatan yang bersifat win-lose solution, dimana satu pihak
merasa menang dan pihak lain merasa kalah. Pendekatan ini sering
menimbulkan rasa marah dan rusaknya hubungan antara pihak yang
berkonflik.
2) Withdrawal. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik keluar dari konflik
atau menghindari isu konflik. Pendekatan ini tidak efektif karena konfliknya
sendiri tidak diselesaikan secara tuntas.
3) Smoothing. Pendekatan yang lebih mencari kesamaan pandangan daripada
perbedaan terhadap isu konflik. Sebagaimana withdrawal, pendekatan ini pada
dasarnya tidak mampu menyelesaikan akar konflik, dengan demikian
perbedaan pandangan yang menjurus pada timbulnya konflik susulan dapat
terjadi.
4) Compromising. Pendekatan dimana masing-masing pihak yang berkonflik
saling menimbang dan mencari solusi. Kompromi dapat dicapai dan sering
kali dengan melibatkan pihak ketiga, negoisasi dan bahkan voting. Resolusi
konflik pada pendekatan ini dipengaruhi oleh kekuatan relatif dari
5) Confrontation. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik menyelesaikan
perbedaan diantara mereka dengan memfokuskan pada isu konflik, kemudian
mencari alternatif resolusinya dan akhirnya memilih alternatif yang terbaik
dalam menyelesaikan konflik.
Pendapat lain mengelompokkan resolusi konflik ke dalam suatu kontinum.
Kontinum adalah suatu alur yang menghubungkan dua kondisi ekstrim yang
bertolak belakang, mulai dari pelanggaran dan perusakan pada satu sisi hingga
kondisi pembiaran konflik itu tetap terjadi (masa bodoh) pada sisi yang lain.
Diantara ke dua ektrim tadi maka pendekatan resolusi konflik sebenarnya bekerja.
Mengacu pada formalitas legal, proses resolusi konflik dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar
pengadilan atau resolusi konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR).
Melalui proses resolusi konflik secara litigasi, akan memunculkan pihak yang
menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang
dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak yang
berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih
populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah
lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis resolusi konflik alternatif (ADR)
yang sering digunakan terdiri dari negoisasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase.
Berbagai pakar resolusi konflik sering menggunakan konsep piramid
sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik. Piramid resolusi konflik
menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke
cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan hukum formal (litigasi) akan
menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan
yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang
menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal
ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai
kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.
Pemilihan metode resolusi konflik sangat situasional. Resolusi konflik
melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh hasil yang saling
menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi yang lebih baik
pendekatan ini merupakan pendekatan yang terbaik untuk pihak yang berkonflik.
Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh
manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Dalam sistem hukum formal, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi
(pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan
kelompok yang lebih superior di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini
menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat
diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa
kasus, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya
konflik dimana batasan hukumnya sudah jelas.
Dalam resolusi konflik, seorang dari luar atau satu orang yang penting
dapat diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua
masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan
lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar
yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar.
Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa
yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya
perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat
Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable
settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1) Substantive interests, yaitu: content need, dana, waktu, material dan
sumberdaya.
2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara
bagaimana sesuatu dapat diselesaikan.
3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada
perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk
menciptakan hubungan yang berkelanjutan.
Ketiga prasyarat di atas sering digambarkan dalam bentuk “satisfaction triangle”
Gambar 2 . Segitiga kepuasan (Diadopsi dari Lincoln 1986)
Idealnya partisipasi masyarakat dan pengelolaan konflik berupaya
mencapai titik A, yaitu kondisi optimal dimana prosedur, psikologi dan
kepentingan substantif secara seimbang dapat dipenuhi. Tetapi sering kali yang
tercapai adalah kondisi yang tidak optimal, misalnya pada titik B. Pada titik ini
masalah substantive atau content aspect dapat terpenuhi tetapi pencapaian kedua
aspek lainnya (psikologi dan prosedur) relatif rendah.
Pengelolaan konflik (conflict management) terdiri atas berbagai teknik
yang digambarkan dalam suatu spektrum. Perbedaan teknik resolusi konflik
tersebut disebabkan derajat formalitas/struktur, partisipasi pihak ketiga (seperti
fasilitator atau mediator) dan derajat partisipasi langsung dari pihak yang
berkonflik Spektrum tersebut dapat digambarkan dalam suatu kontinum seperti
pada Gambar 3.
A
B
Psikologi
Prosedur
Gambar 3. Kontinum teknik alternative dispute resolution (Diadopsi dari Priscoli 2003)
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa teknik resolusi konflik berada
dalam suatu kontinum dimana hot tub (A) dan war (B) berada pada
masing-masing titik ekstrimnya. Semakin ke arah A maka formalitas hukumnya menjadi
semakin rendah, sementara ke arah B, formalitas hukumnya semakin kuat.
Disepanjang kontinum terdapat beragam teknik resolusi konflik yang dapat
dikelompokkan kedalam tidak dibimbing (unassisted), dibimbing (assisted) dan
keputusan dari pihak ke tiga (third party decision making). Titik C ke kanan
memperlihatkan posisi dimana resolusi konflik diserahkan kepada pihak ke tiga,
misalnya pengadilan atau hakim.
Pada daerah assisted, proses resolusi konflik dilakukan dengan melibatkan
pihak ke tiga, tetapi peranannya hanya terbatas pada perancangan kesepakatan
melalui diagnosis konflik secara bersama, membangun alternatif resolusi bersama
serta penerapannya secara bersama pula. Pengalaman menunjukkan pihak yang
berkonflik sering lebih memilih daerah kiri, karena pada daerah kanan kontinum
sering memunculkan pihak yang menang (winner) dan pihak yang kalah (looser).
Gambar diatas juga memperlihatkan bahwa suatu konflik dapat saja
diselesaikan tanpa bantuan pihak lain, yang dalam hal ini dilakukan melalui
A
dibimbing Keputusan dari
pihak ke tiga Relationship Building Procedural
Assistance Assistance