• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Parasit Gastrointestinal Pada Domba Waringin

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis Parasit Gastrointestinal Pada Domba Waringin

Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan secara mikroskopis, ditemukan tiga jenis cacing parasit yang menginfeksi domba waringin di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara, dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Jenis Parasit Gastrointestinal Pada Feses Domba Waringin Yang Diberi Pakan Hijauan dan Campuran Hijauan Konsentrat di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

Kelas Jenis Parasit Jenis Pakan

Hijauan Campuran

Nematoda Haemonchus sp. √ √

Trematoda Fasciola sp. √ √

Trematoda Paramphistomum sp. √ √

Jumlah 3 3

Ketera a : (√): ada,

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada hewan ternak domba yang diberi pakan hijauan dan pakan campuran hijauan konsentrat ditemukan 2 kelompok parasit yang menginfeksi domba. Kelompok parasit pertama berasal dari Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Strongylida, dan Family Trichostrongylidae. Kelompok parasit kedua berasal dari Filum Platyhelminthes, Kelas Trematode, Ordo Plagiorchiida, Family Fasciolidae dan Paramphistomatidae.

Jenis telur cacing parasit yang menginfeksi hewan ternak domba yang diberi pakan hijauan dan diberi campuran hijauan konsentrat sama, hal ini dapat disebabkan oleh faktor lokasi pengambilan hijauan yang sama, dan cara pemberian pakan tanpa proses pelayuan. Menurut Nugroho (2013), pemberian pakan hijauan pada ternak setiap pagi berupa rumput gajah segar tanpa proses pelayuan. Hijauan segar menjadi salah satu faktor penyebab tingginya infestasi cacing saluran pencernaan pada ternak akibat pencemaran larva pada hijauan. Proses pelayuan pada hijauan dibutuhkan, karena diduga turut berperan menurunkan jumlah stadium infektif cacing yang mungkin tersedia dalam hijauan.

Sumber penularan infeksi cacing diperkirakan berasal dari pakan rumput yang diambil dari tegalan atau kebun. Pengambilan pakan berupa hijauan atau

rerumputan biasanya diambil oleh peternak dari satu lokasi yang sama sehingga memungkinkan jenis parasit yang menginfeksi domba sama. Melaku and Addis (2012), mengatakan bahwa tingginya tingkat infeksi cacing pada ternak diduga berkaitan dengan tingginya tingkat kontaminasi lapangan pengambilan pakan dan potensi biologi yang cukup tinggi dari siput sebagai hospes.

Berdasarkan hasil pengamatan, parasit gastrointestinal pada domba waringin yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat ditemukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

A. Haemonchus sp.

Hasil pemeriksaan telur Haemonchus sp. (Gambar 4.1) memperlihatkan bahwa telur berbentuk oval, memiliki dinding yang transparan dan tebal, memiliki operculum, dan blastomer yang memenuhi telur. Gambaran tersebut sesuai dengan acuan atlas dari Zajac dan Conboy (2012), menyatakan bahwa telur Haemonchus contortus memiliki dinding tipis, terdapat blastomer yang hampir memenuhi ruangan telur, dan telur berbentuk elips. Telur Haemonchus sp. mempunyai ukuran antara 62-90 μ ×39-50 μ (Sou sb , 1986).

Gambar 4.1 Telur Haemonchus sp.

(A) Telur Haemonchus sp. yang ditemukan pada feses domba waringin (Ovis aries) di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan perbesaran 40×10. (B) Telur Haemonchus sp. (Hassan et al., 2013). 1: Operculum; 2: Blastomer; 3: Dinding telur.

Cacing Haemonchus sp., betina mempunyai ukuran panjang antara 18–20 mm dan berdiameter 0,5 mm dengan warna spesifik yaitu berselang seling merah putih seperti spiral. Uterus yang mengelilingi usus yang berwarna merah. Pada bagian posterior terdapat vulva yang tertutup oleh cuping vulva di bagian depannya, yang terbentuk sebagai suatu tonjolan yang besar dan panjang. Vulva tampak

2

A

3 1

2

B 3

berbentuk seperti bungkul yang kecil. Cacing jantan mempunyai ukuran panjang antara 10–20 mm dan berdiameter 0,4 mm, berwarna cokelat kemerahan. Pada ujung posteriornya terdapat bursa kopulatrik yang terdiri dari tiga lobus, yaitu sepasang lobus lateral dengan ukuran yang relatif besar, dan sebuah lobus dorsal yang terletak asimetris dan lebih dekat dengan lobus lateral yang sebelah kiri. Spikula yang dimiliki berukuran panjang antara 0,46–0,50 mm dan mempunyai gubernakulum yang panjangnya sekitar 0,2 mm dengan ujung berkait (Soulsby, 1986; Levine, 1990).

Haemonchus sp. berdasarkan habitat dan bentuknya sering di sebut cacing lambung berpilin atau cacing kawat pada ruminansia. Infeksi cacing ini dapat membahayakan tubuh inangnya karena dapat menghisap darah dan menyebabkan anemia akibat perdarahan akut karena dapat menghisap 0,05 ml perhari hingga berakibat kematian (Junquera, 2004).

B. Fasciola sp.

Hasil pemeriksaan telur Fasciola sp. (Gambar 4.2) memperlihatkan bentuk telur oval, dinding telur transparan dan tebal, memiliki blastomer yang memenuhi rongga telur, memiliki operculum dan berwarna kekuningan. Karakteristik telur cacing ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Baker (2007) bahwa telur Fasciola gegantica memiliki operkulum, berwarna emas dan berukuran 190×100 µ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150×90 µ.

Gambar 4.2 Telur Fasciola sp.

(A) Telur Fasciola sp. yang ditemukan pada feses domba waringin (Ovis aries) di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan perbesaran 40×10. (B) Telur Fasciola sp. dengan A

2

1 3

1 2

3 B

perbesaran 40×10 (Robert, 2011) 1: Operculum; 2: Blastomer; 3:

Dinding telur.

Purwanta et al., (2009) mengatakan bahwa unsur-unsur yang tampak jelas pada telur Fasciola sp. yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10×10 terlihat sel-sel kuning telur cacing (yolk) dan sel germinal yang tampak transparan di daerah operkulum pada salah satu kutubnya (operkulum).

Fasciola sp. berukuran 25-27×3-12 mm, mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung posterior lancip (Baker, 2007). Siklus hidup berbagai spesies Fasciola sp., umumnya memiliki pola yang sama, dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes perantaranya dan panjang waktu yang diperlukan untuk berkembang di dalam hospes tersebut, maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Subronto, 2007).

Cacing Fasciola sp. dewasa hidup di saluran empedu inang mamalia seperti domba, sapi dan manusia. Telur parasit memasuki duodenum kemudian keluar bersama feses. Mirasidium bersilia berkembang di dalam telur setelah 2-3 minggu pada kondisi suhu, kelembapan dan tekanan oksigen yang optimum. Mirasidium yang telah berkembang keluar mencari siput dari genus Lymnaea yang bertindak sebagai inang perantara, setelah penetrasi ke dalam tubuh siput, mirasidium kehilangan silia dan membentuk sporokista. Sporokista terdiri dari sel germinal yang sangat padat berkembangbiak dan menghasilkan redia. Redia tumbuh sampai dinding sporokista pecah dan dibebaskan ke dalam kelenjar pencernaan siput. Redia berkembangbiak dan menjadi serkaria. Serkaria memiliki ekor panjang untuk berenang. Serkaria berkembang sempurna meninggalkan siput 4-7 minggu setelah infeksi, kemudian serkaria berenang bebas di air menetap di tanaman air dan kehilangan ekor dan berkembang menjadi metaserkaria yang akan menginfeksi inang definitif. Manusia dan host definitif lainnya akan terinfeksi setelah menelan metaserkaria. Saat tertelan, kista akan menembus dinding usus inang, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan bebarapa bulan menjadi dewasa secara seksual dan mulai bertelur (Andrews, 1999; Mas-Coma et.al., 2014; Moazeni and Ahmadi, 2016).

C. Paramphistomum sp.

Hasil pemeriksaan Paramphistomum sp. (Gambar 4.3) memperlihatkan bahwa telur cacing berbentuk oval, memiliki operculum, memiliki dinding telur transparan, terdapat blastomer yang memenuhi rongga telur. Gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Kamaruddin (2005) bahwa telur Paramphistomum sp.

panjangnya 113-175 mikron dan lebar 73-100 mikron dan berwarna sedikit kuning muda transparan.

Gambar 4.3 Telur Paramphistomum sp.

(A) Telur Paramphistomum sp. yang ditemukan pada feses domba waringin (Ovis aries) di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan perbesaran 40×10. (B) Telur Paramphistomum sp. dengan perbesaran 40×10 (Lukesova, 2009) 1: Operculum; 2:

Blastomer; 3: Dinding telur.

Paramphistomum sp. merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda dari famili Paramphistomidae (Mage et al., 2002). Paramphistomum sp. disebut juga sebagai cacing hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh hospesnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Siklus hidup Paramphistomum sp., yaitu telur cacing yang telah mengalami r ba a awa (air t r a da su u 27˚C) s t a bi ura 12 ari melalui operkulum akan keluar larva yang disebut mirasidium. Mirasidium akan berenang di air dan secara aktif akan mencari hospes intermidiet berupa siput dari genus (Planorbis, Bulinus, Fossaria, Gliptanisus dan Fysmanisus). Setelah masuk dalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporokista. Waktu 11 hari sporokista akan berkembang dan mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke-21 sporokista akan pecah dan menghasilkan redia dengan ukuran panjang 0,5₋ 1 mm. Di dalam tubuh redia ditemukan 15-30 serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput terutama pada saat terpapar sinar matahari. Serkaria yang bebas memiliki ekor sederhana dan sepasang titik mata, berenang dalam air beberapa jam. Serkaria akan

3 2

A

1 B

1 3 2

mengkista disebut metaserkaria di dalam tumbuhan air yang dapat tahan pengaruh luar sampai 3 bulan. Infeksi terjadi karena tertelannya rumput yang mengandung metaserkaria, setelah sampai di dalam usus kista akan pecah dan terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus masuk ke dalam mukosa usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan bermigrasi ke atas menuju rumen dan retikulum dan berkembang menjadi cacing dewasa (Javed et al., 2006).

Dokumen terkait