• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI PARASIT GASTROINTESTINAL DOMBA WARINGIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PREVALENSI PARASIT GASTROINTESTINAL DOMBA WARINGIN"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI PARASIT GASTROINTESTINAL DOMBA WARINGIN (Ovis aries) YANG DIBERI PAKAN HIJAUAN DAN

CAMPURAN HIJAUAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SIDOMULYO, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

RIKA AZLAN 160805081

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

CAMPURAN HIJAUAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SIDOMULYO, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RIKA AZLAN 160805081

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(3)

PERNYATAAN ORISINALITAS

PREVALENSI PARASIT GASTROINTESTINAL DOMBA WARINGIN (Ovis aries) YANG DIBERI PAKAN HIJAUAN DAN

CAMPURAN HIJAUAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SIDOMULYO, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Januari 2021

Rika Azlan 160805081

(4)
(5)

aries) YANG DIBERI PAKAN HIJAUAN DAN CAMPURAN HIJAUAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SIDOMULYO, KABUPATEN LANGKAT,

SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Pakan berpengaruh terhadap infeksi parasit gastrointestinal pada domba ternak. Penelitian tentang infeksi parasit gastrointestinal pada domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, telah dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2020.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis, perbandingan infeksi, prevalensi dan intensitas parasit gastrointestinal. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah feses dari masing-masing 20 ekor domba. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Medan dengan metode sedimentasi glass beads. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada domba yang diberi pakan hijauan ditemukan parasit Haemonchus sp. dengan prevalensi 75% (usually) serta intensitas serangan 5,73 (moderate); Fasciola sp. dengan prevalensi 10% (often) serta intensitas serangan 1,5 (light); dan Paramphistomum sp. dengan prevalensi 10%

(often) serta intensitas serangan 1,5 (Light). Prevalensi pada feses domba yang diberi pakan hijauan dengan tambahan konsentrat yaitu Haemonchus sp. dengan prevalensi 50% (frequently) serta intensitas serangan 3,2 (light); Fasciola sp. dengan prevalensi 15% (often) serta intensitas serangan 2 (light); dan Paramphistomum sp. dengan prevalensi 20% (often) serta intensitas serangan 1,25 (light). Manifestasi infeksi parasit gastrointestinal lebih banyak jumlah parasit pada domba yang hanya diberi pakan hijauan.

Kata kunci: Domba, Feses, Fasciola sp., Haemonchus sp., Paramphistomum sp.

(6)

SUMATERA

ABSTRACT

Feed has an effect on gastrointestinal parasite infections that attack livestock sheep. Research of gastrointestinal parasite in sheep fed forage and forage with additional concentrate in Sidomulyo village, Langkat regency, North Sumatera was conducted from June to August 2020. The purpose of this research was to determine the type, comparison of infections, prevalence and intensity of gastrointestinal parasites. The sample that used was the feces of each of the 20 sheep. Sample examination was carried out in the parasitology laboratory, veteriner center of Medan using the glass beads sedimentation method. The result of this research showed that the sheep fed with forage found the parasite Haemoenchus sp. with a prevalence of 75% (usually) and an attack intensity of 5,73 (moderate); Fasciola sp.

with a prevalence of 10% (often) and an attack intensity 1,5 (light); and Paramphistomum sp. with a prevalence 10% (often) and an attack intensity 1,5 (light). Prevalence of the feces sheep fed with forage concentrate is Haemonchus sp.

with a prevalence 50% (frequently) and an attack intensity 3,2 (light); Fasciola sp.

with a prevalence of 15% (often) and an attack intensity 2 (light); Paramphistomum sp. with a prevalence 20% (0ften) and an attack intensity 1,25 (light). Manifestation of gastrointestinal parasites infection in sheep fed by forage was higher than that of fed by forage with additional concentrate.

Keywords: Fasciola sp., Feces, Haemonchus sp., Paramphistomum sp., Sheep

(7)

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya. Shalawat beriringan salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul Prevalensi Parasit Gastrointestinal Domba Waringin (Ovis aries) Yang Diberi Pakan Hijauan Dan Campuran Hijauan Konsentrat Di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Masitta Tanjung, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, arahan, dukungan hingga penyempurnaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si dan kepada Bapak Dr. Drs. Arlen Hanel John, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan demi menyempurnakan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan bimbingan kepada penulis dalam menjalani perkuliahan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr.

Saleha Hannum, M.Si selaku Ketua Departemen dan kepada Bapak Riyanto, M.Si selaku Sekretaris Departemen Biologi, beserta seluruh dosen Biologi dan staf administrasi departemen. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dekan FMIPA USU beserta seluruh wakil dan staf administrasinya.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak drh. Agustina, M.P selaku Kepala Balai Veteriner Medan dan Ibu drh. Nensy Marnana Hutagaol selaku Kepala Seksi Pelayanan Teknis Balai Veteriner Medan yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hermintha, S.Pt, Ibu Samaritha Bangun, S.Pt dan Kakak drh. Dianatul Habibah Harahap selaku Staf Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan yang telah membantu penulis dalam penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Sitompul selaku pemilik peternakan domba

(8)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta ayahanda Ruslan S.Pd, Ibunda Asmaliani dan ucapan terima kasih juga untuk abangda Dody Azlan S.E, kakak Rina Azlan S.Pd, Rini Azlan yang senantiasa memberikan kasih sayang setulus hati serta mendoakan penulis menyelesaikan skripsi. Ucapan Terima kasih kepada sahabat satu penelitian yang selalu setia menemani, dan sebagai pendengar keluh kesah dalam pengerjaan skripsi ini (Widia Maharani Pulungan dan Abigail Paulina). Ucapan terima kasih kepada sahabat yang selalu setia menemani, memberi semangat dan tempat bertukar pikiran Tifa, Anggi, Silvia, CG, Nisa, Aqis, Meilani, Yasmin, sahabat seperjuangan stambuk 2016 (LED), asisten Laboratorium Fisiologi Hewan dan teman-teman Fisiologi Hewan. Terima kasih kepada saudara asuh (Herwina) adek asuh (Nabila) yang selalu setia mendoakan serta tempat berkeluh kesah, tak lupa pula terima kasih kepada kak dini, kak fitri, kak santi yang selalu memberi semangat, saran dan arahan, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang disajikan ini masih terdapat kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan penulisan skripsi ini. Demikianlah skripsi ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Januari 2021

Rika Azlan

(9)

Halaman

PERNYATAAN ORISINALITAS iii

LEMBARAN PENGESAHAN iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

PENGHARGAAN vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Hipotesis 2

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Domba (Ovis aries) 4

2.2 Sumber Pakan Domba 6

2.2.1 Pakan Hijauan 6

2.2.2 Konsentrat 6

2.3 Jenis-Jenis Parasit Pada Hewan Ruminansia 7 2.3.1 Cacing Kelas Trematoda (Cacing Hisap/Gepeng) 7 2.3.2 Cacing Kelas Nematoda (Cacing Giling) 8 2.3.3 Cacing Kelas Cestoda (Cacing Pita) 8

2.3.4 Protozoa 8

2.4 Penyakit Pada Ternak Domba 9

2.5 Pencegahan Infeksi Cacing 10

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 12

3.2 Metode Penelitian 12

3.2.1 Deskripsi Area Sampling 12

3.2.2 Pemberian Pakan 13

3.2.3 Pengambilan Sampel 13

3.2.4 Pemeriksaan Sampel 14

3.3 Analisis Data 14

3.3.1 Identifikasi Parasit 14

3.3.2 Prevalensi Parasit 14

3.3.3 Intensitas Serangan Parasit 15

(10)

4.2 Jumlah Dan Perbandingan Tingkat Infeksi Parasit 21 Gastrointestinal

4.3 Prevalensi Parasit Gastrointestinal 22 4.4 Intensitas Parasit Gastrointestinal 23 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 25

5.2 Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 31

(11)

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1 Komposisi Pakan Ternak Domba di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

13

3.2 Kategori Infeksi Berdasarkan Prevalensi 15

3.3 Nilai Kategori Intensitas 15

4.1 Jenis Parasit Gastrointestinal Pada Feses Domba Waringin Yang Diberi Pakan Hijauan dan Campuran di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

16

4.2 Jumlah dan Perbandingan Tingkat Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Domba Yang Diberi Pakan Hijauan dan Campuran Hijauan Konsentrat di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

21

4.3 Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Domba Yang Diberi Pakan Hijauan dan Campuran Hijauan Konsentrat di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

22

4.4 Intensitas Parasit Gastrointestinal Pada Domba Yang Diberi Pakan Hijauan dan Campuran Hijauan Konsentrat di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

24

(12)

Nomor Gambar

Judul Halaman

2.1 Domba Waringin di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

5

3.1 Area Kandang Domba Waringin di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

12

4.1 Telur Haemonchus sp. 17

4.2 Telur Fasciola sp. 18

4.3 Telur Paramphistomum sp. 20

(13)

Nomor Lampiran

Judul Halaman

1 Kegiatan Kerja 31

2 Bagan Kerja Pemeriksaan Feses Sapi 32

3 Data Telur Cacing Parasit Pada Domba Yang Diberi Pakan Hijauan Di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

33

4 Data Telur Cacing Parasit Pada Domba Yang Diberi Pakan Campuran Hijauan Konsentrat Di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

34

5 Perhitungan Nilai Prevalensi dan Intensitas 35 6 Hasil Penelitian Berdasarkan Balai Veteriner Medan 38

7 Identifikasi Telur Cacing 41

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi produk peternakan di Indonesia berkembang sangat pesat, seiring perkembangan jumlah penduduk dan kesadaran pentingnya gizi yang terus meningkat. Ternak penghasil daging alternatif dibutuhkan untuk membantu menyokong kebutuhan daging (Segara et al., 2018). Salah satu hewan ternak potensial sebagai alternatif dalam menyuplai kebutuhan daging yaitu domba.

Hasil produksi dari ternak domba yaitu daging, selain itu berupa bulu dan kulit yang dapat dijadikan salah satu bahan baku untuk industri seperti pembuatan tas, jaket, dan sepatu (Rusdiana, 2015). Ternak domba mempunyai peluang besar untuk memperbanyak ragam komoditas ekpors nonmigas. Beberapa aspek yang menarik dari usaha ternak domba antara lain dapat berkembang biak dengan cepat, dapat dengan mudah menyesuaikan diri pada lingkungan, serta dagingnya sangat digemari oleh masyarakat dalam negeri dan luar negeri, khususnya negara-negara Timur Tengah.

Usaha beternak domba di Indonesia umumnya berupa peternakan berskala kecil dengan teknologi yang sederhana. Aspek pemeliharaan hewan ternak secara umum dipelihara secara ekstensif yaitu menggembalakan dombanya langsung di padang rumput. Penggunaan padang rumput secara terus-menerus dapat menyebabkan hijauan yang dimakan oleh ternak terkontaminasi parasit dan menimbulkan penyakit pada hewan ternak (Rahayu et al., 2005).

Gangguan penyakit pada ternak menjadi salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan, diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit kurang mendapat perhatian dari para peternak. Penyakit parasit tidak secara langsung mengakibatkan kematian pada ternak, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas hewan. Penyakit parasit yang paling merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing (Dewi et al., 2011).

(15)

Hasil survei di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan 90%

ruminansia yang berasal dari peternakan rakyat positif mengandung cacing saluran pencernaan yaitu cacing hati (Fasciola hepatica), cacing gelang (Neoascaris vitulorum) dan cacing lambung (Haemonchus contortus) (Abidin, 2002). Tahun 2011 di Jawa, domba memiliki prevalensi nematodiosis 38%, fasciolosis 29% dan strongylodosis 15,92%. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, angka prevalensi kasus infeksi cacingan (helminthiasis) selama tahun 2012 di Sulawesi Selatan mencapai 49% (Susilo, 2013).

Penyakit cacingan pada ternak disebabkan oleh salah satu faktor yaitu pakan, terutama pakan hijauan yang menjadi inang perantara bagi siklus hidup cacing parasit dari waktu telur dalam feses di lingkungan sampai larva infektif siap untuk menginfeksi tubuh ruminansia (Wiliams dan Loyacano, 2001). Pemberian tambahan konsentrat disamping pakan hijauan bertujuan untuk melihat perbedaan prevalensi parasit gastrointestinal antara domba yang diberi pakan hijauan dan domba yang diberi pakan campuran hijauan konsentrat di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.2 Permasalahan

Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menggunakan metode pemeliharaan secara intensif. Metode pemeliharaan secara intensif dilakukan pemberian pakan berupa hijauan dan campuran hijauan konsentrat. Kedua jenis makanan tersebut diduga terdapat perbedaan infeksi parasit gastrointestinal pada domba, oleh sebab itu diperlukan informasi mengenai jenis endoparasit yang diharapkan informasi ini dapat mengurangi kerugian ekonomi peternakan domba di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

1.3 Hipotesis

Hipotetis dari penelitian ini yaitu:

a. Jenis parasit gastrointestinal pada domba waringin yang diberi pakan campuran hijauan konsetrat lebih sedikit daripada yang diberi hijauan saja.

(16)

b. Prevalensi parasit gastrointestinal pada domba waringin yang diberi pakan campuran hijauan konsetrat lebih rendah daripada yang diberi hijauan saja.

c. Intensitas serangan parasit gastrointestinal pada domba waringin yang diberi pakan campuran hijauan konsetrat lebih rendah daripada yang diberi hijauan saja.

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu:

a. Mengetahui jenis-jenis parasit gastrointestinal domba waringin yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat

b. Mengetahui prevalensi serangan parasit gastrointestinal domba waringin yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat

c. Mengetahui intensitas serangan parasit gastrointestinal domba waringin yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada peternak maupun masyarakat mengenai infeksi telur cacing parasit yang ada pada hewan ternak domba dan upaya mengatasi infeksi tersebut terutama di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

(17)

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Domba (Ovis aries)

Domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku dua dan termasuk pada sub famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk ke dalam genus Ovis dan yang didomestikasi adalah Ovis aries (Johnston, 1983). Taksonomi domba menurut Blakely dan Bade (1985) adalah sebagai berikut: kingdom : animalia, filum : chordata, class : mammalia, ordo : artiodactyla, family : bovidae, genus : ovis, spesies : Ovis aries.

Domba diklasifikasikan sebagai hewan herbivora (pemakan tumbuhan) karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Sistem pencernaan yang khas di dalam rumen, menyebabkan domba digolongkan sebagai hewan ruminansia (Muttaqien, 2007). Domba memiliki kelenjar yang terdapat di bawah mata yang terbuka serta menghasilkan sekresi yang berlebihan, sehingga domba sering mengeluarkan air mata. Celah-celah kuku domba juga menghasilkan sekresi yang bersifat minyak serta memiliki bau yang khas. Ciri khas lain domba adalah tanduknya berpenampang segitiga yang tumbuh melilit seperti spiral (Murtidjo, 1993).

Ada tiga jenis domba yang dikenal di Indonesia yaitu domba ekor tipis, domba ekor gemuk dan domba priangan (Mulyono dan Sawono, 2004). Domba lokal merupakan domba yang sudah mengalami adaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia. Domba ini cukup bertahan dan berkembang dengan kondisi musim hujan atau kemarau. Domba lokal betina dewasa mempunyai berat sekitar 35 kg, sedangkan jantan dewasa mempunyai berat antara 35 sampai 45 kg (Ngadiyono, 2009).

Domba waringin merupakan jenis (breed) baru hasil persilangan dari empat jenis domba, yakni domba Barbados asal Karibia (Amerika Latin), domba Suffolk (Inggris), domba St. Croix (Australia), dan domba lokal ekor tipis (Indonesia).

Perkembangbiakan domba ini sangat cepat karena bersifat profilik atau beranak 2-4 ekor per kelahiran (Rahayu et al., 2018).

(18)

Domba waringin memiliki kekhasan, jantan dewasa berbulu gimbal di bagian perut. Bulu menjuntai menyerupai domba St. Croix dan Barbados blackbelly muncul di bagian leher dan dada. Sedangkan pada domba waringin betina tidak berbulu dada seperti jantan. Ciri lain yang dimiliki domba waringin adalah pada jantan maupun betina kerap terdapat bercak cokelat di kaki maupun wajah. Nama waringin disematkan dari penyilangan Tista Waringin yang menyilangkan domba lokal dengan domba introduksi (Trubus, 2014).

Gambar 2.1 Domba Waringin di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

Ternak domba memiliki kelebihan yaitu tubunya relatif kecil, cepat berkembang, pemeliharaannya relatif mudah, tidak membutuhkan lahan yang luas, investasi modal usaha relatif kecil, mudah dipasarkan sehingga modal usaha cepat berputar. Ternak domba juga memiliki kelebihan antara lain reproduksinya efisien dan dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun, memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, tahan terhadap panas dan beberapa penyakit serta prospek pemasaran yang baik (Sudjana, 2011).

Jenis pola pemeliharaan ternak yaitu sistem ekstensif (digembalakan), intensif (dikandangkan) dan semi intensif (kombinasi). Pada pola penggembalaan (pasture fattening), ternak tidak mendapatkan pakan tambahan. Keuntungan pola penggembalaan adalah tidak perlu penambahan pakan, tidak perlu perawatan khusus, dan kebutuhan tercukupi oleh alam. Kekurangannya adalah ternak mudah stres, mudah terjadi perkelahian antar ternak, pemberian pakan tidak terkontrol. Pada

(19)

sebagian besar peternakan hewan, sistem yang digunakan adalah pola pemeliharaan kandang (dry lot fattening) yaitu memberikan pakan konsentrat yang dibuat dan ternak yang dikandangkan tanpa digembalakan (Siregar, 2008).

2.2 Sumber Pakan Domba

Makanan merupakan salah satu unsur yang sangat vital dalam usaha peternakan. Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi ternak dapat menyebabkan defisiensi makanan sehingga ternak mudah terserang penyakit. Oleh karena itu, penyediaan dan pemberian pakan harus diupayakan secara terus-menerus sesuai standar gizi menurut tingkatan umur ternak (Cahyono, 1998). Makanan ternak domba lebih sederhana. Pada umumnya makanan domba berasal dari hijauan yang terdiri dari berbagai jenis rumput dan daun-daunan. Ternak domba perlu diberi makanan penguat atau konsentrat yang banyak mengandung karbohidrat untuk menghasilkan energi, dan protein untuk membentuk tubuh (Sugeng, 1985).

Menurut Prabowo (2010), pakan ternak dapat dibagi menjadi dua, yaitu pakan hijauan dan konsentrat:

2.2.1 Pakan Hijauan

Pakan merupakan makanan kasar yang terdiri dari hijauan pakan yang berupa rerumputan lapangan, limbah hasil pertanian, rumput jenis unggul yang telah diintroduksikan, juga beberapa leguminosa. Hijauan pakan merupakan makanan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi tidak saja sebagai pengisi perut, tetapi sumber gizi, yaitu protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Murtidjo, 1993).

Pakan hijauan dapat berupa daun pisang, nangka, lamtoro, turi, dan lain sebagainya yang mengandung banyak serabut kasar. Ternak domba merupakan hewan yang memerlukan hijauan dalam jumlah yang besar, yaitu kurang lebih 90%.

Pakan dari hijauan leguminose kaya akan unsur N seperti Centrosema pubescent, tanaman kacang panjang, kedelai dan lain-lain. Golongan hijauan yang termasuk nonleguminose umumnya sedikit mengandung unsur protein seperti daun nangka, waru, daun pisang dan lai-lain (Sugeng, 1985).

2.2.2 Konsentrat

Konsentrat merupakan penguat yang terdiri dari bahan baku yang kaya karbohidrat dan protein seperti jagung kuning, bekatul, dedak, gandum dan bungkil-

(20)

bungkilan. Konsentrat untuk ternak domba umumnya disebut makanan penguat atau bahan baku makanan yang memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18% dan mudah dicerna (Murtidjo, 1993).

Kandungan konsentrat dibagi menjadi tiga yaitu konsentrat sebagai sumber energi (carbonaseous concentrate) konsentrat sebagai sumber protein (proteinaseous concentrate) dan kosentrat sebagai sumber vitamin dan mineral.

Konsentrat sebagai sumber energi merupakan konsentrat yang mengandung energi tinggi, protein rendah, protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar 18%

seperti dedak, jagung, nasi jagung, polar (hasil samping dari proses penggilingan gandum menjadi tepung terigu), kedelai dan lain lain. Bahan pakan yang tinggi kandungan energi umumnya mengandung protein rendah sampai sedang, walaupun ada beberapa macam yang mengandung protein tinggi (Amoo et al., 2006).

Konsentrat sebagai sumber protein adalah konsentrat yang mengandung protein tinggi dan protein kasar lebih dari 20%. Kandungan unsurnya seperti mineral Ca lebih dari 1% dan P lebih dari 1,5% serta kandungan serat kasar di bawah 2,5%.

Contoh protein hewani antara lain tepung ikan, tepung susu, tepung daging, tepung darah, tepung bulu dan tepung cacing. Contoh protein nabati antara lain tepung kedelai, tepung biji kapuk, tepung bunga matahari, bungkil wijen, bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit dan lain-lain (Prawirokusumo, 1994).

Konsentrat sebagai sumber vitamin dan mineral dimiliki hampir semua bahan pakan ternak, baik yang berasal dari tanaman maupun hewan. Pakan jenis ini mengandung beberapa vitamin dan mineral dengan konsentrasi yang bervariasi.

Bahan-bahan pakan sebagai sumber vitamin dan mineral sudah tersedia di pasaran yang dikemas khusus berupa bahan olahan yang siap digunakan sebagai campuran pakan, misalnya premix, kapur, Ca2PO4 dan beberapa mineral (Supriyadi, 2011).

2.3 Jenis-Jenis Endoparasit Pada Hewan Ruminansia 2.3.1 Cacing Kelas Trematoda (Cacing Hisap/ Gepeng)

Jeffrey dan Leach (1983) mengemukakan bahwa, kelas Trematoda termasuk dalam filum Plathyhelminthes memiliki ciri-ciri, yaitu badan tidak bersegmen, umumnya hermaprodit, reproduksi ovipar (berbiak dalam larva), infeksi terutama oleh stadium larva yang masuk lewat mulut sampai usus. Semua organ dikelilingi

(21)

oleh sel-sel parenkim, badan tak berongga dan mempunyai mulut penghisap atau sucker.

Spesies Trematoda yang bersifat zoonotic bagi hewan ternak, yakni Schistosoma japonicum, Fasciolopsis buski, Fasciola gigantica, Fasciola hepatica, Clonorchis sinensis, Opisthorchis viverrini, Opisthorchis felineus, dan Paragonimus sp. (Budiono, 2018).

2.3.2 Cacing Kelas Nematoda (Cacing Giling)

Kelas Nematoda termasuk ke dalam filum Nemathelminthes dengan ciri-ciri, yaitu tubuh tidak bersegmen, memiliki bentuk silindris, mempunyai rongga tubuh mulai dari mulut sampai dengan anus, umumnya terpisah dan reproduksi secara ovipar. Infeksi terutama disebabkan karna termakannya telur/larva dalam kista (Jeffrey dan Leach, 1983).

Nematoda merupakan cacing gastrointestinal yang tidak memerlukan inang perantara, sehingga saat berlangsungnya siklus cacing lebih cepat serta nematode dapat tumbuh dengan optimum pada curah hujan di atas 55 mm dengan suhu maksimum rata-rata di atas 18˚C (Southwell et al., 2008). Nematoda yang biasa menginfeksi ternak antara lain adalah Bunostomum sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., Mesistorcirrus sp., Oesophagosomum sp., Strongiloides sp., dan Trichostrongyloides sp (Indriyati, 2017).

2.3.3 Cacing Kelas Cestoda (Cacing Pita)

Cestoda mempunyai bentuk seperti pita, pipih kearah dorsoventral, dan mempunyai banyak ruas (segmen). Ukuran panjang cestoda sangat bervariasi, antara lain beberapa milimeter sampai beberapa meter. Kepala cacing cestoda mempunyai alat isap untuk menempel pada organ manusia atau hewan yang menjadi hospes (host) tempatnya hidup (Soedarto, 2008).

Cacing dari kelas cestoda yang biasanya hidup dalam usus kecil ternak jenisnya yaitu Moniezia sp. dan Taenia sp. Kedua jenis cacing parasit dari kelas cestoda ini yang sering ditemukan di dalam usus kecil hewan ruminansia (arifin, 1982). Moniezia sp., yang ditemukan di dalam usus halus domba, kambing dan sapi yaitu Moniezia benedent, Moniezia expansa, dan Moniezia caprae (Bowman, 2014).

(22)

2.3.4 Protozoa

Protozoa parasitik dapat mengakibatkan kerugian secara ekologis, biologis, ekonomis dan dapat mengakibatkan kematian (Herdaus, 2015). Protozoa parasitik menyerang hewan yang berada dalam lingkungan yang kurang bersih dan makanan yang kurang higienis. Protozoa usus yang menyerang hewan khususnya mamalia yaitu Entamoeba coli, Balantidium coli, Isospora sp,. dan Eimeria sp. (Allen dan Fetterer, 2002).

Golongan filum protozoa yang penting dan biasanya menyerang tractus digestivus hewan ruminansia contohnya seperti domba, sapi dan kerbau adalah golongan Coccidia (saluran pencernaan), Trypanosoma (menyerang sel darah merah), Babesiosis, Anaplasmosis, Theileriosis (menyerang sel darah merah) dan Trichomonas (menyerang sistem perkemihan) (Suwandi, 2001).

2.4 Penyakit Pada Ternak Domba

Penyakit pada domba merupakan salah satu kendala yang dapat memengaruhi produktivitas ternak yaitu adanya ancaman penyakit parasitik pada ternak yang dipelihara. Domba di Indonesia mudah terserang infestasi parasit saluran pencernaan karena pengaruh iklim tropis basah yang sangat menguntungkan untuk kelangsungan hidup dan mempermudah penularan (Segara et al., 2018).

Jenis penyakit pada ternak domba yang sering terjadi antara lain seperti:

kembung, disebabkan adanya timbunan gas-gas yang berlebihan yang terdapat dalam perut kambing. Penyakit cacingan, penyakit cacingan merupakan penyakit parasit saluran pencernaan yang disebabkan oleh infeksi cacing nematode. Diare, penyakit diare menandakan bahwa adanya gangguan pada saluran pencernaan hewan ternak dikarenakan domba memakan pakan yang mengandung mikroorganisme pathogen.

Scabies, ataupun kudis disebabkan dua jenis tungau yaitu tungau kudis (Sarcoptes scabiei, Sarcoptes communis var. chorioptes ovis) dan tungau folikel bulu (demodex) sehingga penyakit ini menyebabkan kematian. Orf, penyakit orf termasuk penyakit yang menular, agen penyakit orf disebabkan virus kelompok parapoks dari keluarga virus poks. Masititis, penyakit pada kambing dan domba yang disebabkan oleh bakteri yang biasanya menyerang induk domba pada masa laktasi. Pink eyes,

(23)

merupakan penyakit yang menyerang mata domba yang disebabkan oleh mikroorgansime termasuk virus atau bakteri (Orisa et al., 2014).

Penyakit pada ternak yang cukup merugikan yaitu penyakit parasit. Parasit merupakan organisme yang hidupnya di dalam tubuh induk semang dan merugikan induk semangnya. Parasit dapat hidup baik sementara ataupun menetap di dalam atau di permukaan organisme lain. Berdasarkan tempat hidupnya parasit dikelompokkan menjadi dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di luar tubuh inang sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang, seperti di dalam organ tubuh, peredaran darah dan saluran pencernaan (Trimariani, 1994). Parasit pada ternak dapat berupa parasit hewan seperti cacing, kutu, bahkan jamur dan bakteri juga sering menginfeksi ternak (Nofyan et al., 2010).

Menurut Murtidjo (1993), penyakit parasit pada domba yaitu: Cacing Fasciola gigantica (cacing hati), merupakan cacing yang sering menyerang hati domba. Cacing Neoascaris vitulorum (cacing gelang), merupakan cacing yang senang menyerang dan menetap di usu kecil domba, serta menyerang ke dalam jaringan otot, selain itu memiliki kesanggupan mengikuti peredaran darah. Cacing Haemonchus contortus (cacing lambung), merupakan cacing yang berdiam di lambung dan menghisap darah pada hewan ternak. Cacing Thelazia rhodesii (cacing mata), merupakan cacing yang menyerang bagian mata, seperti pada kantong konjungtiva, dan saluran air mata.

Jenis penyakit parasitik yang umum dijumpai pada ruminansia yaitu fasciolosis dan nematodosis. Beberapa genus nematode saluran pencernaan yang ditemukan pada domba dan kambing diantaranya Strongyloides sp., Trichuris sp., Gaigeria sp., Bunostomun sp., Oesophagusomun sp., Haemonchus sp., dan Chabertia sp (Hanafiah et al., 2002).

Cacing dari genus nematoda yang paling sering menginfeksi ruminansia terutama domba, kambing dan sapi yaitu Haemonchus sp.. Telur cacing ini biasanya ditemukan pada abomasum ruminansia dan memiliki jangkauan yang luas terutama di daerah tropis (Pfukenyi dan Mukaratirwa, 2013). Cacing ini dapat memberikan kerugian segi ekonomis dan material yang besar bagi industri agrikultur. Siklus hidup nematoda pada ruminansia bersifat langsung tanpa membutuhkan hospes

(24)

intermediet sehingga intensitas nematoda pada ternak cukup tinggi (Bowman and Georgi, 2009).

2.5 Pencegahan Infeksi Cacing

Infeksi cacing pada domba memerlukan perhatian, sehingga dapat meminimalisir kerugian bagi peternak. Kerugian karena infestasi cacing menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2010) mencapai 4 milyar rupiah pertahun dan merupakan penyakit yang dapat memengaruhi produktivitas, kekurusan, penurunan daya produksi bahkan pada infeksi berat dapat menyebabkan gangguan pencernaan hingga terhambatnya pertumbuhan hewan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan cara pencegahan dan pengendalian terhadap infeksi cacing pada hewan ternak.

Pencegahan penyakit cacingan dapat dilakukan secara tradisional, yaitu dengan memberikan perasan buah pinang atau air tembakau sebanyak satu sendok makan diberikan sebulan sekali. Penyakit lain pada domba, yaitu penyakit kembung dapat diatasi dengan memberikan antibiotik seperti penicillin dengan dosis yang telah dianjurkan. Antibiotik berfungsi untuk mengurangi bakteri penghasil gas dalam perut domba. Domba yang terserang belatung (Miasis) dilakukan pencegahan dengan pemberian vitamin sesuai jadwal, menjaga kondisi kandang tetap nyaman, serta diobati dengan cara kelupas koreng yang ada lalu diberi betadyne atau kunyit dihaluskan (Farm dan harianto, 2012).

Pengendalian parasit saluran pencernaan tergantung pada frekuensi pemberian obat cacing (anthelmintik) secara rutin dan benar (Jakson dan Coop, 2000). Efektivitas pemberian anthelmintika sangat dipengaruhi oleh ketepatan dosis dan cara pemberiannya (Pfukenyi et al., 2007). Kebanyakan anthelmintika diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Salah satu anthelmintika yang sering digunakan adalah dari golongan benzimedazole yang terdiri dari albendazole, thiabendazole, fenbendazole, mebendazole, dan lain-lain (Gunawan, 2009).

Pencegahan dan pengendalian penyakit pada ternak seperti sapi, domba dan kambing merupakan pendukung keberhasilan dalam usaha peternakan. Pencegahan penyakit hewan ternak dilakukan dengan memerhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang, kontak dengan ternak lain yang sedang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan

(25)

atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan penyakit (Astiti et al., 2010). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam beternak domba, yaitu: domba yang akan dimasukkan ke dalam areal peternakan harus sehat dan bebas dari penyakit, kandang harus bebas dari genangan air, melakukan vaksinisasi secara teratur. Sinar matahari perlu diperhatian pada kandang, sinar matahari pagi mengandung ultra violet yang berperan sebagai energi dan mencegah gangguan rakhitis, terutama bagi hewan yang dikandangkan terus-menerus (Murtodjo, 1993).

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2020 di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dan Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Regional Medan, Sumatera Utara.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Deskripsi Area Sampling

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah feses domba waringin di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Peternakan Domba Waringin memiliki kandang berukuran panjang 18 m dan lebar 2,5 m, kandang dibagi menjadi dua bagian dengan ukuran panjang 9 m dan lebar 2,5 m. Tiap kandang berisi 20 ekor domba jantan yang diberi pakan hijauan dan 20 ekor domba jantan yang diberi campuran hijauan konsentrat. Tipe kandang merupakan kandang panggung yang memiliki kolong bermanfaat sebagai penampung kotoran. Konstruksi kandang terbuka sebagian dimana sisi belakang berupa dinding tembok, dan sisi lainnya terbuat dari kayu yang disusun berpilah. Sisi bagian depan, terdapat kerangka tempat makan. Alas kandang terbuat dari kayu dan atap kandang terbuat dari bahan seng. Gambar kandang dapat dilihat pada Gambar 3.1

(26)

Gambar 3.1 Area Kandang Domba Waringin di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara

3.2.2 Pemberian Pakan

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berupa 40 ekor domba jantan yang diberi pakan hijauan dan campuran (hijauan dan konsentrat) di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pakan yang diberi berupa rerumputan dan konsentrat yang terdiri dari ampas tahu, dedak padi, dan menir kedelai. Domba diberi makan 2 kali sehari yaitu pagi pukul 08.00 WIB dan sore pukul 16.00 WIB dan air diberi secara adlibitum. Komposisi pakan dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini:

Tabel 3.1 Komposisi Pakan Ternak Domba Di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

Jenis Pakan Komposisi Pakan

Hijauan (%) Konsentrat (%)

Hijauan 100 0

Campuran 75 25

3.2.3 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian yaitu feses dari 40 ekor domba jantan dibagi dalam 2 kategori yaitu 20 ekor domba yang diberi pakan berupa hijauan, dan 20 ekor domba yang diberi pakan campuran (hijauan dan konsentrat).

Pengambilan sampel dilakukan di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pengambilan feses dilakukan dengan cara menampung kotoran domba yang masih segar dengan menggunakan terpal sebagai alas agar feses tidak terkontaminasi tanah. Feses diambil dengan

(27)

menggunakan spatula kemudian dimasukkan ke dalam sample cup, sample cup yang berisi feses dimasukkan ke dalam coolbox, kemudian sampel diberi label sp1 pada sampel pertama dan seterusnya. Sampel dibawa ke Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan, Sumatera Utara.

3.2.4 Pemeriksaan Sampel

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode sedimentasi Glass Beads. Cara pemeriksaannya yaitu sampel feses diambil 1 gram lalu dimasukkan ke dalam tabung A (centrifuge ukuran 50 ml), kemudian ditambahkan 10 ml air kran, dan dikocok sampai homogen. Sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung B (centrifuge ukuran 50 ml) yang telah diisi dengan butir kaca (glass beads).

Sampel dimasukkan melalui saringan wire mesh, sisa sampel yang ada pada tabung A dibilas dengan air, kemudian air bilasan dimasukkan ke dalam tabung B sampai suspensi sebatas leher tabung. Setelah itu, biarkan selama lima menit sampai terjadi suspense, setelah 5 menit diletakkan tabung B ke dalam rotator dan putar lima kali pada kecepatan 10 detik per rotasi. Setelah diputar dibuang supernatant dengan aspirator, ditambahkan lagi air sebanyak 50 ml, diaduk dan didiamkan selama 5 menit. Kemudian dimasukkan kembali ke dalam rotator, diputar sebanyak lima putaran pada kecepatan 10 detik per rotasi, dibuang kembali supernatant dengan aspirator, diamkan 5 menit untuk di sedimentasi. Setelah 5 menit dibuang supernatan dan ditinggalkan kurang lebih 2 ml dari endapan, dituangkan seluruh endapan di atas object glass dengan pipet. Dilakukan pengamatan di bawah mikroskop. Perlakukan yang sama dilakukan terhadap semua sampel feses pada Peternakan Domba Waringin di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Taira, 1985).

3.3 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu dengan mengidentifikasi, menghitung prevalensi dan intensitas parasit.

3.3.1 Identifikasi Parasit

(28)

Identifikasi jenis telur cacing parasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan dengan menggunakan buku Identifikasi Atlas Parasitologi Oleh Hidajati (2014) dan Helminthes, Arthropoda and protozoa of Domesticated Animals Soulsby (1968).

3.3.2 Prevalensi Parasit

Prevalensi adalah jumlah host yang terinfeksi dengan 1 atau lebih individu dari spesies parasit tertentu dan dibagi dengan jumlah host yang diperiksa pada spesies parasit. Dinyatakan sebagai persentase apabila digunakan secara deskriptif dan sebagai proporsi saat dimasukkan ke dalam model matematika (Margolis et al., 1982) sebagai berikut:

Prevalensi

=

u a ho a t rs ra arasit

u a ho a dia ati x 100%

Tingkat prevalensi dapat dikategorikan berdasarkan Tabel 3.2 di bawah ini.

Tabel 3.2 Kategori Infeksi Berdasarkan Prevalensi

No Tingkat Serangan Kategori Prevalensi

1. Selalu Always 99-100%

2. Hampir selalu Almost always 90-98%

3. Biasanya Usually 70-89%

4. Sangat sering Frequently 50-69%

5. Umumnya Commonly 30-49%

6. Sering Often 10-29%

7. Kadang Occasionally 1-9%

8. Jarang Rarely >0,1-1%

9. Sangat jarang Very rarely >0,01-0,1%

10. Hamper tidak pernah Almost never 0,01%

(William dan William, 1996).

3.3.3 Intensitas Serangan Parasit

Intensitas adalah jumlah individu dari spesies parasit tertentu dalam satu host yang terinfeksi, yaitu jumlah individu dalam intrapopulasi. Menghitung intensitas menggunakan rumus perhitungan (Margolis et al., 1982). Rumus sebagai berikut:

Intensitas serangan

=

u a arasit a dit u a u a ho a t ri si

(29)

Tingkat intensitas dapat dikategorikan berdasarkan Tabel 3.3 di bawah ini.

Tabel 3.3 Nilai Kategori Intensitas

No Tingkat Infeksi Kategori Intensitas

1. Sangat ringan Very light <1

2. Ringan Light 1-5

3. Sedang Moderate 6-50

4. Parah Heavy 51-100

5. Sangat parah Vey heavy >100

6. Super infeksi Super infection >1000 (William dan William, 1996).

(30)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis Parasit Gastrointestinal Pada Domba Waringin

Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan secara mikroskopis, ditemukan tiga jenis cacing parasit yang menginfeksi domba waringin di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara, dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Jenis Parasit Gastrointestinal Pada Feses Domba Waringin Yang Diberi Pakan Hijauan dan Campuran Hijauan Konsentrat di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

Kelas Jenis Parasit Jenis Pakan

Hijauan Campuran

Nematoda Haemonchus sp. √ √

Trematoda Fasciola sp. √ √

Trematoda Paramphistomum sp. √ √

Jumlah 3 3

Ketera a : (√): ada,

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada hewan ternak domba yang diberi pakan hijauan dan pakan campuran hijauan konsentrat ditemukan 2 kelompok parasit yang menginfeksi domba. Kelompok parasit pertama berasal dari Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Strongylida, dan Family Trichostrongylidae. Kelompok parasit kedua berasal dari Filum Platyhelminthes, Kelas Trematode, Ordo Plagiorchiida, Family Fasciolidae dan Paramphistomatidae.

Jenis telur cacing parasit yang menginfeksi hewan ternak domba yang diberi pakan hijauan dan diberi campuran hijauan konsentrat sama, hal ini dapat disebabkan oleh faktor lokasi pengambilan hijauan yang sama, dan cara pemberian pakan tanpa proses pelayuan. Menurut Nugroho (2013), pemberian pakan hijauan pada ternak setiap pagi berupa rumput gajah segar tanpa proses pelayuan. Hijauan segar menjadi salah satu faktor penyebab tingginya infestasi cacing saluran pencernaan pada ternak akibat pencemaran larva pada hijauan. Proses pelayuan pada hijauan dibutuhkan, karena diduga turut berperan menurunkan jumlah stadium infektif cacing yang mungkin tersedia dalam hijauan.

Sumber penularan infeksi cacing diperkirakan berasal dari pakan rumput yang diambil dari tegalan atau kebun. Pengambilan pakan berupa hijauan atau

(31)

rerumputan biasanya diambil oleh peternak dari satu lokasi yang sama sehingga memungkinkan jenis parasit yang menginfeksi domba sama. Melaku and Addis (2012), mengatakan bahwa tingginya tingkat infeksi cacing pada ternak diduga berkaitan dengan tingginya tingkat kontaminasi lapangan pengambilan pakan dan potensi biologi yang cukup tinggi dari siput sebagai hospes.

Berdasarkan hasil pengamatan, parasit gastrointestinal pada domba waringin yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat ditemukan memiliki ciri- ciri sebagai berikut:

A. Haemonchus sp.

Hasil pemeriksaan telur Haemonchus sp. (Gambar 4.1) memperlihatkan bahwa telur berbentuk oval, memiliki dinding yang transparan dan tebal, memiliki operculum, dan blastomer yang memenuhi telur. Gambaran tersebut sesuai dengan acuan atlas dari Zajac dan Conboy (2012), menyatakan bahwa telur Haemonchus contortus memiliki dinding tipis, terdapat blastomer yang hampir memenuhi ruangan telur, dan telur berbentuk elips. Telur Haemonchus sp. mempunyai ukuran antara 62- 90 μ ×39-50 μ (Sou sb , 1986).

Gambar 4.1 Telur Haemonchus sp.

(A) Telur Haemonchus sp. yang ditemukan pada feses domba waringin (Ovis aries) di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan perbesaran 40×10. (B) Telur Haemonchus sp. (Hassan et al., 2013). 1: Operculum; 2: Blastomer; 3: Dinding telur.

Cacing Haemonchus sp., betina mempunyai ukuran panjang antara 18–20 mm dan berdiameter 0,5 mm dengan warna spesifik yaitu berselang seling merah putih seperti spiral. Uterus yang mengelilingi usus yang berwarna merah. Pada bagian posterior terdapat vulva yang tertutup oleh cuping vulva di bagian depannya, yang terbentuk sebagai suatu tonjolan yang besar dan panjang. Vulva tampak

2

A

3 1

2

B 3

(32)

berbentuk seperti bungkul yang kecil. Cacing jantan mempunyai ukuran panjang antara 10–20 mm dan berdiameter 0,4 mm, berwarna cokelat kemerahan. Pada ujung posteriornya terdapat bursa kopulatrik yang terdiri dari tiga lobus, yaitu sepasang lobus lateral dengan ukuran yang relatif besar, dan sebuah lobus dorsal yang terletak asimetris dan lebih dekat dengan lobus lateral yang sebelah kiri. Spikula yang dimiliki berukuran panjang antara 0,46–0,50 mm dan mempunyai gubernakulum yang panjangnya sekitar 0,2 mm dengan ujung berkait (Soulsby, 1986; Levine, 1990).

Haemonchus sp. berdasarkan habitat dan bentuknya sering di sebut cacing lambung berpilin atau cacing kawat pada ruminansia. Infeksi cacing ini dapat membahayakan tubuh inangnya karena dapat menghisap darah dan menyebabkan anemia akibat perdarahan akut karena dapat menghisap 0,05 ml perhari hingga berakibat kematian (Junquera, 2004).

B. Fasciola sp.

Hasil pemeriksaan telur Fasciola sp. (Gambar 4.2) memperlihatkan bentuk telur oval, dinding telur transparan dan tebal, memiliki blastomer yang memenuhi rongga telur, memiliki operculum dan berwarna kekuningan. Karakteristik telur cacing ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Baker (2007) bahwa telur Fasciola gegantica memiliki operkulum, berwarna emas dan berukuran 190×100 µ, sedangkan telur Fasciola hepatica juga memiliki operkulum, berwarna kuning emas dan berukuran 150×90 µ.

Gambar 4.2 Telur Fasciola sp.

(A) Telur Fasciola sp. yang ditemukan pada feses domba waringin (Ovis aries) di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan perbesaran 40×10. (B) Telur Fasciola sp. dengan A

2

1 3

1 2

3 B

(33)

perbesaran 40×10 (Robert, 2011) 1: Operculum; 2: Blastomer; 3:

Dinding telur.

Purwanta et al., (2009) mengatakan bahwa unsur-unsur yang tampak jelas pada telur Fasciola sp. yang dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 10×10 terlihat sel-sel kuning telur cacing (yolk) dan sel germinal yang tampak transparan di daerah operkulum pada salah satu kutubnya (operkulum).

Fasciola sp. berukuran 25-27×3-12 mm, mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan banyak cabang, sedangkan Fasciola hepatica berukuran 35 x 10 mm, mempunyai pundak lebar dan ujung posterior lancip (Baker, 2007). Siklus hidup berbagai spesies Fasciola sp., umumnya memiliki pola yang sama, dengan variasi pada ukuran telur, jenis siput sebagai hospes perantaranya dan panjang waktu yang diperlukan untuk berkembang di dalam hospes tersebut, maupun pertumbuhannya dalam hospes definitif (Subronto, 2007).

Cacing Fasciola sp. dewasa hidup di saluran empedu inang mamalia seperti domba, sapi dan manusia. Telur parasit memasuki duodenum kemudian keluar bersama feses. Mirasidium bersilia berkembang di dalam telur setelah 2-3 minggu pada kondisi suhu, kelembapan dan tekanan oksigen yang optimum. Mirasidium yang telah berkembang keluar mencari siput dari genus Lymnaea yang bertindak sebagai inang perantara, setelah penetrasi ke dalam tubuh siput, mirasidium kehilangan silia dan membentuk sporokista. Sporokista terdiri dari sel germinal yang sangat padat berkembangbiak dan menghasilkan redia. Redia tumbuh sampai dinding sporokista pecah dan dibebaskan ke dalam kelenjar pencernaan siput. Redia berkembangbiak dan menjadi serkaria. Serkaria memiliki ekor panjang untuk berenang. Serkaria berkembang sempurna meninggalkan siput 4-7 minggu setelah infeksi, kemudian serkaria berenang bebas di air menetap di tanaman air dan kehilangan ekor dan berkembang menjadi metaserkaria yang akan menginfeksi inang definitif. Manusia dan host definitif lainnya akan terinfeksi setelah menelan metaserkaria. Saat tertelan, kista akan menembus dinding usus inang, kemudian masuk ke dalam hati, lalu ke saluran empedu dan bebarapa bulan menjadi dewasa secara seksual dan mulai bertelur (Andrews, 1999; Mas-Coma et.al., 2014; Moazeni and Ahmadi, 2016).

C. Paramphistomum sp.

(34)

Hasil pemeriksaan Paramphistomum sp. (Gambar 4.3) memperlihatkan bahwa telur cacing berbentuk oval, memiliki operculum, memiliki dinding telur transparan, terdapat blastomer yang memenuhi rongga telur. Gambaran tersebut sesuai dengan pendapat Kamaruddin (2005) bahwa telur Paramphistomum sp.

panjangnya 113-175 mikron dan lebar 73-100 mikron dan berwarna sedikit kuning muda transparan.

Gambar 4.3 Telur Paramphistomum sp.

(A) Telur Paramphistomum sp. yang ditemukan pada feses domba waringin (Ovis aries) di Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan perbesaran 40×10. (B) Telur Paramphistomum sp. dengan perbesaran 40×10 (Lukesova, 2009) 1: Operculum; 2:

Blastomer; 3: Dinding telur.

Paramphistomum sp. merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda dari famili Paramphistomidae (Mage et al., 2002). Paramphistomum sp. disebut juga sebagai cacing hisap karena pada saat menempel, cacing ini menghisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh hospesnya (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Siklus hidup Paramphistomum sp., yaitu telur cacing yang telah mengalami r ba a awa (air t r a da su u 27˚C) s t a bi ura 12 ari melalui operkulum akan keluar larva yang disebut mirasidium. Mirasidium akan berenang di air dan secara aktif akan mencari hospes intermidiet berupa siput dari genus (Planorbis, Bulinus, Fossaria, Gliptanisus dan Fysmanisus). Setelah masuk dalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporokista. Waktu 11 hari sporokista akan berkembang dan mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke-21 sporokista akan pecah dan menghasilkan redia dengan ukuran panjang 0,5₋ 1 mm. Di dalam tubuh redia ditemukan 15-30 serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput terutama pada saat terpapar sinar matahari. Serkaria yang bebas memiliki ekor sederhana dan sepasang titik mata, berenang dalam air beberapa jam. Serkaria akan

3 2

A

1 B

1 3 2

(35)

mengkista disebut metaserkaria di dalam tumbuhan air yang dapat tahan pengaruh luar sampai 3 bulan. Infeksi terjadi karena tertelannya rumput yang mengandung metaserkaria, setelah sampai di dalam usus kista akan pecah dan terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus masuk ke dalam mukosa usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan bermigrasi ke atas menuju rumen dan retikulum dan berkembang menjadi cacing dewasa (Javed et al., 2006).

4.2 Jumlah Dan Perbandingan Tingkat Infeksi Parasit Gastrointestinal

Jumlah dan perbandingan tingkat infeksi parasit gastrointestinal pada domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Jumlah dan Perbandingan Tingkat Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Domba Yang Diberi Pakan Hijauan dan Campuran Hijauan Konsentrat di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

No

Pakan Hijauan Pakan Campuran

Jenis Parasit Jumlah Telur

Tingkat

Infeksi Jenis Parasit Jumlah Telur

Tingkat Infeksi 1. Haemonchus sp.

Paramphistomum sp.

2 1

Ringan Ringan

- - -

2. Haemonchus sp.

Paramphistomum sp.

2 2

Ringan Ringan

Fasciola sp.

-

3 -

Ringan - 3. Haemonchus sp. 3 Ringan

Haemonchus sp.

Fasciola sp.

Paramphistomum sp.

3 2 1

Ringan Ringan Ringan

4. Haemonchus sp. 5 Ringan Fasciola sp. 1 Ringan

5. Haemonchus sp. 3 Ringan Haemonchus sp.

Paramphistomum sp.

1 1

Ringan Ringan

6. - - - Paramphistomum sp. 1 Ringan

7. Haemonchus sp. 7 Ringan Haemonchus sp. 3 Ringan

8. - - - Haemonchus sp. 5 Ringan

9. Haemonchus sp. 7 Ringan Haemonchus sp. 2 Ringan

10. - - - Haemonchus sp. 8 Ringan

11. Haemonchus sp. 2 Ringan Haemonchus sp. 2 Ringan

12. Haemonchus sp. 7 Ringan - - -

13. Haemonchus sp.

Fasciola sp.

7 2

Ringan Ringan

- - -

14. Haemonchus sp. 10 Ringan - - -

15. Haemonchus sp. 8 Ringan Paramphistomum sp. 2 Ringan 16. Haemonchus sp.

Fasciola sp.

10 1

Ringan Ringan

Haemonchus sp. 1 Ringan

17. Haemonchus sp. 10 Ringan Haemonchus sp. 4 Ringan

18. - - - -

(36)

19. Haemonchus sp. 3 Ringan Haemonchus sp. 3 Ringan

20. - - - -

Keterangan; (-): tidak ada

Pada Tabel 4.2 dapat dilihat tingkat infeksi parasit gastrointestinal dari keseluruhan domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat tergolong ringan, bahkan beberapa ekor domba tidak ditemukan telur cacing parasit (negatif). Pada domba yang diberi pakan hijauan maupun domba yang diberi campuran hijauan konsentrat ditemukan 3 jenis telur cacing yaitu Hameonchus sp., Fasciola sp., dan Paramphistomum sp. yang memiliki jumlah berbeda-beda, tetapi masih dalam kategori golongan infeksi ringan. Nofyan et al., (2010) mengemukakan bahwa berdasarkan keterangan standar infeksi, infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi ringan jika jumlah telur 1-499 butir tiap gram, infeksi sedang ditunjukkan jika jumlah telur 500-5000 butir tiap gram dan infeksi berat ditunjukkan jika telur yang dihasilkan >5000 butir tiap gram feses ternak.

Jumlah infeksi parasit yang ditemukan pada masing-masing domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat berbeda-beda, dengan jenis parasit yang ditemukan sama. Hasil yang diperoleh diduga karena pada setiap individu domba memiliki sistem imunitas yang berbeda terhadap infeksi cacing.

Daya tahan tubuh inang yang tidak stabil dapat mempengaruhi ketahanan diri terhadap infeksi parasit. Infeksi parasit yang terjadi pada hewan ternak diakibatkan oleh lemahnya ketahanan tubuh hewan dalam melawan serangan cacing parasit (Soulsby, 1982). Pemberian tambahan nutrisi di samping pakan hijauan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan ternak. Sesuai dengan pendapat (Mekuria et al., 2014), tambahan nutrisi terutama pada pakan ternak di musim kemarau sangatlah penting untuk menghindarkan ternak dari kondisi stres yang mempengaruhi kekebalan tubuh ternak tersebut. Hewan ternak yang mengalami kondisi stress biasanya rentan terhadap penyakit salah satunya infeksi cacing.

4.3 Prevalensi Parasit Gastrointestinal

Nilai prevalensi parasit gastrointestinal pada domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Prevalensi Parasit Gastrointestinal Pada Domba Yang Diberi Pakan Hijauan Dan Campuran Hijauan Konsentrat di Di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

(37)

No Jenis Parasit

Jenis Pakan

Hijauan Campuran

Prevalensi Kategori Prevalensi Kategori

1. Haemonchus sp. 75% Usually 50% Frequently

2. Fasciola sp. 10% Often 15% Often

3. Paramphistomum sp. 10% Often 20% Often

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa prevalensi parasit gastrointestinal pada domba yang diberi pakan hijauan yaitu Haemonchus sp. 75% dengan kategori usually, Fasciola sp. 10% dengan kategori often, dan Paramphistomum sp. 10%

dengan kategori often. Selanjutnya prevalensi parasit gastrointestinal pada domba yang beri pakan campuran hijauan dengan konsentrat yaitu Haemonchus sp. 50%

dengan kategori frequently, Fasciola sp. 15% dengan kategori often, dan Paramphistomum sp. 20% dengan kategori often. Perbedaan tingkat prevalensi telur cacing pada feses domba yang diberi pakan hijauan dan pakan campuran hijauan konsentrat kemungkinan disebabkan oleh sistem pemeliharaan, pakan, umur dan lingkungan. Yulianto (2007) mengemukakan bahwa penyebaran infeksi cacing terjadi cukup tinggi pada daerah tropis yang lembab dan panas, sehingga mendukung kelangsungan hidup cacing. Selain faktor lingkungan menurut Raza et al., (2012) faktor instrinsik juga mempengaruhi infeksi cacingan diantaranya umur, jenis kelamin, dan bangsa dari ternak itu sendiri.

Nilai prevalensi Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. (Tabel 4.3) pada domba yang diberi pakan campuran lebih tinggi daripada domba yang diberi pakan hijauan saja, hal ini dapat disebabkan oleh hijauan pada pakan campuran lebih banyak mengandung larva infektif trematoda yang cenderung ada di tanah atau bagian bawah rumput yang lembab. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Purwaningsih et al., (2017) menyatakan bahwa hijauan yang diperoleh dari rumput yang ditanam atau tumbuh liar di sekitar sawah, lapangan atau sungai, serta cara pemotongan rumput biasanya dilakukan sampai pada pangkal rumput beresiko tinggi terinfeksi oleh larva infektif Fasciola sp., (metaserkaria). Metaserkaria yang berada di dalam air akan menempel di bawah batang padi, rumput, dan tumbuhan lain yang berada di sekitar tempat yang tergenang air, seperti cekungan yang berisi air dan sungai. Ternak yang memakan tanaman tersebut akan terinfeksi metaserkaria. Telur Fasciola sp. akan dikeluarkan bersama feses dan harus berada di air dengan suhu i i u 27˚C untuk menetas menjadi mirasidium 19 hari (Brotowidjoyo, 1987).

(38)

4.4 Intensitas Parasit Gastrointestinal parasit

Intensitas serangan parasit gastrointestinal pada domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4 Intensitas Parasit Gastrointestinal Pada Domba Yang Diberi Pakan Hijauan Dan Campuran Hijauan Konsentrat di Di Kelurahan Sidomulyo Kabupaten Langkat Sumatera Utara

No Jenis Parasit

Jenis Pakan

Hijauan Campuran

Intemsitas Kategori Intensitas Kategori

1. Haemonchus sp. 5,73 Moderate 3,2 Light

2. Fasciola sp. 1,5 Light 2 Light

3. Paramphistomum sp. 1,5 Light 1,25 Light

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa intensitas serangan endoparasit pada feses domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat menunjukkan nilai intensitas serangan yang berbeda. Nilai intensitas yang tertinggi terdapat pada domba yang diberi pakan hijauan saja, yaitu Haemonchus sp. dengan nilai 5,73 dengan kategori moderate atau tingkat infeksi parasit sedang. Nilai intensitas pada jenis parasit Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. memiliki tingkat intensitas dalam satu kategori yaitu light (parasit ringan).

Tingginya nilai intensitas Haemonchus sp. pada domba yang diberi pakan hijauan diduga disebabkan oleh hijauan diambil dari padang rumput yang banyak menempel larva Haemonchus sp. serta didukung oleh siklus hidup nematoda secara langsung. Whittier et al., (2003) mengemukakan bahwa infestasi tunggal cacing Haemonchus sp. dapat disebabkan oleh siklus hidupnya bersifat langsung, tidak membutuhkan inang perantara. Telur dikeluarkan oleh hewan bersama pengeluaran feses kemudian pada kondisi yang sesuai di luar tubuh hospes atau inang, telur menetas dan menjadi larva. Larva infektif menempel pada rumput-rumputan dan terinfeksi oleh ternak, selanjutnya larva akan dewasa di abomasum.

Nilai intensitas Fasciola sp. pada domba yang diberi pakan campuran lebih tinggi daripada yang diberi pakan hijauan, hal ini diduga terjadinya resistensi pada Fasciola sp. yang diberi pakan campuran terhadap antelmintik yang digunakan.

Menurut Ridwan et al., (2000), frekuensi pemberian antelmintik dengan jenis yang sama dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya resistensi cacing

(39)

terhadap antelmintik tersebut. Manajemen pemeliharaan perlu diperhatikan. Menurut Raza et al., (2012) mengatakan bahwa manajemen pemeliharaan ternak terutama sanitasi kandang dan kebersihan kandang yang kurang baik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi banyaknya infeksi penyakit cacing pada ternak.

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

a. Jenis cacing parasit yang ditemukan pada feses domba yang diberi pakan hijauan dan campuran hijauan konsentrat berjumlah tiga jenis yaitu:

Haemonchus sp., Fasciola sp., Paramphistomum sp.

b. Prevalensi parasit gastrointestinal pada domba yang diberi pakan hijauan antara lain Haemonchus sp. 75% dengan kategori usually, Fasciola sp. 10%

dengan kategori often, Paramphistomum sp. 10% dengan kategori often.

Selanjutnya prevalensi parasit gastrointestinal pada domba yang diberi pakan campuran hijauan konsentrat antara lain Haemonchus sp. 50% dengan kategori frequently, Fasciola sp. 15% dengan kategori often, Paramphistomum sp. 20% dengan kategori often.

c. Intensitas serangan tertinggi terdapat pada Haemonchus sp. dengan nilai 5,73 dengan kategori moderate keterangan (parasit sedang), dan intensitas serangan terendah terdapat pada parasit Fasciola sp., dan Paramphistomum sp. dengan kategori light keterangan (parasit ringan).

5.2 Saran

Informasi mengenai jenis parasit, tingkat serangan parasit, dan mekanisme penularan parasit diharapkan dapat membantu pihak pengelolahan peternakan dalam melakukan pencegahan awal terhadap infeksi parasit. Pencegahan dapat dilakukan dengan memperhatikan pola pemberian pakan, waktu pengambilan pakan, pemberian obat cacing (antelmintik) dan kebersihan kandang untuk meminimalisir perkembangan parasit yang mengancam kesehatan hewan ternak.

(40)
(41)

28

DAFTAR PUSTAKA

Arifin C, Soedarmono, 1982. Parasit Ternak Dan Cara Penanggulangannya. Pt.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Andrews SJ, 1999. In Dalton, JP (Ed.). The Life Cycle of Fasciola Hepatica in Fasciolosis. CAB International, pp. 1-29.

Amoo IA, Adebayo OT, Oyeleye AO, 2006. Chemical Evaluation of Winged Beans (Psophocarpus tetragonolabus), Pitanga Cherries (Eugenia uniflora) and Orchid Fruit (Orchid fruit myristica). African. J food Agr Nutr Dvlpmnt. 2: 1-12

Allen PC, Fetterer RH, 2002. Clinical Microbiology Reviews: Recent Advances in Biology and Immunobiology of Eimeria Species and In Diagnosis and Confoll of Infection with These Coccidian Parasite of Poultry. Journal Society Microbiology. 15: 58-65.

Astiti LS, Muzani A dan Panjaitan TS, 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Pada Ternaksapi. Balai Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Nusa Tenggara Barat.

Baker DG, 2007. Flynn’ Para i e of Labora ory Animal Second edi ion. Blackwell Publishing. USA.

Blakely J, Bade DH, 1985. Ilmu Peternakan. Terjemahan: B. Srigandono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Bowman DD, 2014. Geogi ’ Para i ology for Veterinerians. 10th edition. Elsevier.

St. Louis (US).

Brotowidjoyo MD, 1987. Dasar Parasitologi Klinis Edisi ke 3. PT. Gramedia.

Jakarta.

Budiono NG, Satrija F, Ridwan Y, Nur D, Hasmawati, 2018. Trematodosis Pada Sapi Dan Kerbau di Wilayah Endemik Schistosomiasis di Provinsi Sulawesu Tengah Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI). 23(2): 112-126.

Cahyono B, 1998. Beternak Domba Dan Kambing. Kamisius. Yogyakarta.

Dewi AP, Eni F, Edi S, 2012. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp.) Pada Sapi Potong di Kabupaten Kebumen Tahun 2012. Buletin Laboratorium Veteriner Yogyakarta. 12: 47-51.

Directorat Jendral Peternakan, 2010. Epidemiologi Kejadian Penyakit Nematodiasisdi Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta.

Farm MT, Harianto B, 2012. Bisnis Penggemukan Domba. Agromedia Pustaka.

Jakarta.

Gunawan, 2009. Kemoterapika antiparasit. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 3(1):

37-40.

Hanafiah M, Winaruddin, Rusli, 2002. Studi Infeksi Nematoda Gastrointestinal Pada Kambing dan Domba di Rumah Potong Hewan Banda Aceh. J. Sain Vet. 20(1):

14-1 8.

Hassan MFM, Gammaz HA, Daim MMA, Motalab YMA, Mohammedsalih KM, 2013. Efficacy and safety of albendazole against Haemonchus contortus infestation in goats. Research in Zoology. 3(1): 31-37.

Gambar

Gambar 2.1 Domba Waringin di Peternakan Domba Waringin di Kelurahan       Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Gambar 3.1 Area Kandang Domba Waringin di Peternakan Domba Waringin di         Kelurahan Sidomulyo, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Gambar 4.2  Telur Fasciola sp.
Gambar 4.3  Telur Paramphistomum sp.

Referensi

Dokumen terkait

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya dengan parameter kesamaan umur pohon 15 tahun, hasil waktu tempuh iris alat sadap karet semi mekanis dengan 6 mata

Perlakuan manajemen yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kopi pada semua variabel pengamatan didapat nilai yang berbeda nyata (tabel 1 dan 2) pengamatanper

Dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh selebriti endorser (X 1 ) dan desain produk ( X 2 ) berpengaruh secara simultan dan secar parsial

Berdasarkan informasi para tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh pemerintahan di wilayah Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang tidak terdapat sanksi berat yang

Pededad Hasl BelaF Malemalika Diinjau dariKmbndiModel Pemlelajamn Koopeiafi danMolivasiBe@Eslasi. 2

Hasil penetapan kadar protein pada sampel biskuit bayi dan balita merek Milna ® dan Farley’s ® menggunakan metode kjeldahl, diperoleh kadar sebagai berikut (dilihat pada

Selanjutnya, analisa dilakukan terhadap paket data dengan protokol TCP dan UDP pada Link Aggregation dengan metode Load Sharing Weighted Round Robin.. Pada

Menindaklanjuti Surat Kepala Pusdiklat BPS nomor B-001/BPS/2600/1/202, tanggal 12 januari 2021 tentang Konfirmasi Calon Peserta Pelatihan Kepemimpinan Pengawas (PKP)