• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berikut adalah pekerjaan yang dianggap paling dapat membuat stres (National Safety Council, 2004) yakni : pegawai pos, perawat, jurnalis, pilot pesawat, manajer tingkat menengah, sekretaris, polisi, petugas medis, para medis, guru, pemadam kebakaran, petugas customer service dan pelayan.

Apapun profesi seseorang, dapat mengalami stres kerja. Namun, ada profesi tertentu yang sangat rentan terhadap stres kerja yaitu pekerjaan di bidang perawatan kesehatan, penegakan hukum dan pendidikan (Goliszek Andrew, 2005).

Tenaga kesehatan yang sering mengalami stres kerja di rumah sakit antara lain adalah :

1. Dokter

Guncangan perasaan paling besar yang dihadapi para dokter adalah kegagalan terapi, kesulitan diagnosis, kematian pasien, dan dampak keluarga yang negatif. Ketika peristiwa negatif di atas tak terbendung, beberapa dokter akan mengalami stres bahkan dapat memikirkan upaya bunuh diri. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dokter pria, sebagai suatu kelompok, memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk melakukan bunuh diri ketimbang populasi secara umum. Bagi sebagian dokter, adalah sulit untuk menghadapi standar ganda antara lingkungan pekerjaan dan rumah. Misalnya, seorang dokter yang jengkel dan marah karena diminta membuang sampah atau membantu mencuci pakaian di rumah, setelah seharian mendapat perlakuan penuh hormat dan kagum di tempat kerja.

2. Perawat

Perawat juga mengalami stres kerja, tetapi mereka mempunyai alasan yang berbeda. Selain mengurus pasien yang suka menuntut, mereka juga berhadapan dengan dokter yang stres. Dua penyebab stres tersebut sering menjadi alasan mengapa perawat merasa kelebihan beban, kelebihan kerja, dan kurang di hargai. Perawat muda memulai kariernya dengan antusiasme dan idealisme yang luar biasa. Mereka percaya bahwa perawat adalah profesi yang sangat istimewa. Idealisme tersebut runtuh ketika mereka berhadapan dengan pasien atau dokter yang kritis, menuntut, dan tidak tahu berterimakasih, yang memperlakukan

mereka seperti warga negara kelas dua. Salah satu alasan terbesar munculnya kejenuhan perawat adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Stres di tempat kerja bukanlah fenomena baru. Akan tetapi, dewasa ini stres telah menjadi masalah manajemen yang sangat penting di dunia bisnis, Manajer perusahaan dan penyelia pabrik mengakui bahwa stres telah mewabah, dua dari tiga pekerja mengaku mengalami stres kerja. Perkiraan terbaru mengindikasikan bahwa stres kerja menyebabkan pemilik perusahaan harus mengeluarkan sekitar $200 milyar per tahun karena masalah absen, keterlambatan, kejenuhan, produktivitas yang semakin rendah, angka keluar masuk yang yang tinggi, kompensasi pekerja, dan peningkatan biaya asuransi kesehatan. Kini diyakini bahwa sekitar 80% penyakit dan kesakitan dipicu dan diperburuk oleh stres (National safety council, 2004).

Rendal Schuller (dalam Rini, 2003) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stres yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, ketidakhadiran kerja serta tendensi mengalami kecelekaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat berupa :

1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupaun operasional kerja

2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja 3. Menurunkan tingkat produktivitas

4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian financial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya.

Stres merupakan suatu kondisi yang negatif dan mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tak wajar. Selye membedakan antara distress, yang destruktif dan eustress yang merupakan kekuatan yang positif (eustress yang dalam bahasa Yunani berarti ”baik”, seperti yang terdapat dalam kata euphoria). Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bentuk-U-terbalik antara stres dan unjuk-kerja pekerjaan sebagaimana dapat dilihat seperti gambar 2.1. berikut ini : High Health And Performance Low Low (Distress) Optimum (Eustress) High (Distress) Gambar 2.1.Stres Level

Tampak bahwa stres tingkat rendah dan tingkat tinggi dua-duanya menghasilkan unjuk-kerja pekerjaan yang rendah. Makin tinggi dorongan untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif. Sampai titik tertentu bekerja dengan tekanan batas waktu dapat merupakan proses kreatif yang merangsang. Seseorang yang bekerja pada tingkat optimal menunjukkan antusiasme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam berpikir (mental clarity) dan pertimbangan yang baik. Jika orang terlalu ambisius, memiliki dorongan kerja yang besar atau jika beban kerja menjadi berlebih, tuntutan pekerjaan tinggi, maka unjuk-kerja menjadi rendah lagi.

Stres menguras kesehatan dan kekuatan. Tanda-tanda beban berlebih adalah mudah tersinggung, kelelahan fisik dan mental, ketidaktegasan, hilangnya obyektivitas, kecendrungan berbuat salah, kekhilafan dalam ingatan dan hubungan interpersonal yang tegang. Stres yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik optimalnya merupakan stres yang baik dan menyenangkan (eustress), sebelum mencapai titik optimalnya, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan yang merangsang. Melewati titik optimal stres menjadi distress, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai ancaman yang mencemaskan. Agar tetap berada dalam kesehatan yang baik dan bekerja pada tingkat puncak, kita harus mampu mengenali titik optimal kita dan mampu menggunakan teknik- teknik mengatasi stres.

2.3. Kerja

Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bisa bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya, dan orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya (Anoraga Pandji, 2006).

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang pada saatnya membentuk tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan dipenuhinya. Demi mencapai tujuan-tujuan itu, orang terdorong melakukan suatu aktivitas yang disebut kerja. Tetapi tidak semua aktivitas dapat dikatakan kerja. Menurut Frans Von Magnis, pekerjaan adalah kegiatan yang direncanakan. Jadi pekerjaan itu memerlukan pemikiran yang khusus dan tidak dapat dijalankan oleh binatang. Yang dilakukan tidak hanya karena pelaksanaan kegiatan itu sendiri menyenangkan, melainkan karena kita mau dengan sungguh- sungguh mencapai suatu hasil yang kemudian berdiri sendiri atau sebagai benda, karya, tenaga dan sebagainya. Menurut Hegel, inti pekerjaan adalah kesadaran manusia dimana pekerjaan memungkinkan orang dapat menyatakan diri secara objektif ke dunia ini, sehingga ia dan orang lain dapat memandang dan memahami keberadaan dirinya.

Memang sulit untuk dapat merumuskan secara jelas, tepat dan ringkas defenisi dari apa yang dimaksud dengan istilah “kerja”. Apabila defenisi itu

dikaitkan dengan pengertian imbalan atau pembayaran (atas suatu prestasi kerja), maka para ibu rumah tangga yang juga bekerja keras tentulah tidak akan tercakup dalam pengertian kerja. Tetapi bila defenisi kerja dihubungkan dengan pengertian kesenangan atau pilihan (terhadap jenis pekerjaan), maka dapat dengan mudah terlihat bahwa bagi sementara orang, antara kerja dan permainan (keisengan) sesungguhnya sama saja.

Kerja itu sesungguhnya adalah suatu kegiatan sosial. Dahulu orang beranggapan bahwa satu-satunya perangsang (insentif) untuk bekerja hanyalah uang atau perasaan takut menganggur. Tetapi dewasa ini ternyata bahwa uang bukanlah merupakan faktor utama yang memotivasi semua orang untuk bekerja. Miller dan Form menyatakan bahwa “Motivasi untuk bekerja tidak dapat dikaitkan hanya pada kebutuhan-kebutuhan ekonomis belaka, sebab orang tetap akan bekerja walaupun mereka sudah tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat materiil”.

Bagi sementara orang, bekerja merupakan sarana untuk menuju ke arah terpenuhinya kepuasan pribadi dengan jalan memperoleh kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu pada orang lain. Pada pokoknya, kerja itu merupakan aktivitas yang memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial dan persahabatan. Dalam pandangan paling modern mengenai kerja, dikatakan bahwa :

a. Kerja merupakan bagian yang paling mendasar/esensial dari kehidupan manusia. Sebagai bagian yang paling dasar, dia akan memberikan status dari masyarakat yang ada di lingkungan. Juga bisa mengikat individu lain

baik yang bekerja atau tidak. Sehingga kerja akan memberi isi dan makna dari kehidupan manusia yang bersangkutan.

b. Baik pria maupun wanita menyukai pekerjaan. Kalaupun orang tersebut tidak menyukai pekerjaan, hal ini biasanya disebabkan kondisi psikologis dan sosial dari pekerjaan itu.

c. Moral dari pekerja tidak mempunyai hubungan langsung dengan kondisi material yang menyangkut pekerjaan tersebut.

d. Insentif dari kerja banyak bentuk dan tidak selalu tergantung pada uang. Insentif ini adalah hal-hal yang mendorong tenaga kerja untuk bekerja lebih giat.

2.3.1. Kondisi Kerja dan Beban Kerja

Menurut Munandar AS (2001), kondisi kerja meliputi variabel lingkungan fisik kerja dan kondisi lama waktu kerja. Dapat dijelaskan bahwa variabel- variabel tadi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku kerja. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam kondisi kerja yang sesuai dengan situasi organisasi tertentu termasuk bagaimana biasanya pekerjaan dilakukan, karakteristik tenaga kerja yang terlibat dan aturan standar eksternal yang sesuai. Dalam Psikologi industri (1998), kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas kerja.

Rancangan kantor memberikan pengaruh pada produktivitas juga. Schultz (1982) mengajukan hasil suatu penelitian di Amerika serikat tentang pengaruh kantor yang dirancang seperti pemandangan alam. Kantornya terdiri dari ruangan

yang luas, tidak ada dinding-dinding yang membagi ruangan ke dalam kamar- kamar terpisah. Semua karyawan dari pegawai rendah sampai menengah dikelompokkan ke dalam satuan-satuan kerja fungsional, masing-masing dipisahkan dari satuan-satuan lainnya dengan pohon-pohon (pendek) dan tanaman, kasa jendela yang rendah, lemari-lemari pendek dan rak buku. Kantor ”pemandangan alam ini” dikatakan dapat melancarkan komunikasi dan alur kerja. Disamping itu, keterbukaan menunjang timbulnya keikatan dan kerjasama kelompok serta mengurangi rintangan-rintangan psikologis antara manajemen dan karyawan.

Kondisi lingkungan kerja, dapat menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya misalnya suhu udara dan kebisingan, karena beberapa orang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan (Muchinsky dalam Margiati, 1999). Lazarus dan Folkman (1984), menyatakan timbulnya suatu ransangan dari lingkungan eksternal dan internal yang dirasakan oleh individu melalui sikap tertentu apakah menimbulkan stres, bergantung pada penilaian kognitif individu tentang situasi.

Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit ”kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit ”kualitatif”, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak

menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja. Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan terjadinya stres.

Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2001) menambahkan kategori lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat-saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (dead line) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.

Beban kerja terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia ”tidak maju-maju”, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Sutherland dan Cooper dalam Munandar, 2001).

Dokumen terkait