• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan pembuktian perkara pidana. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan

30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 133.

31 ibid

dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.32 2. Sumber Data

Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 macam bahan pustaka yang dipergunakan yakni :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni:

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)

2. Putusan Tindak Pidana Pencurian No 105/Pid.B/2015/PN.Bdg.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah.

Bahan sekunder adalah doktrin–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.

32 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi ini dilakkan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu bahan hukum dan informasi baik berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu dengan mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.33

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan-bahan hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dsar, sehingga terciptalah suatu tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data tersebut.34 Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu didasarkan pada relevansi

33 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Hukum dan Jurumateri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 225.

34 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 280.

data,keakuratan data, dan keatualan data terhadap permasalahan bukan berdasarkan banyaknya data (kualitatif).35

35 Johny Ibrahim, Teori dan metedologi penelitian hukum normatif, Malang:Bayumedia Publishing, 1999, hlm. 323.

BAB II

KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

A. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia

1. Pengertian Alat Bukti dan Pembuktian

Pembuktian adalah titik sentral dalam rangkaian pemeriksaan perkara (pidana) di pengadilan. Melalui „ruang‟ yang disebut pembuktian itulah batas-batas persidangan terbentuk dalam rangka mencari dan mempertahankan kebenaran.

Pembuktian dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman dan penggarisan tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian didalam proses peradilan merupakan hal yang sangat penting karena amat menentukan bagi keberhasilan pihak-pihak yang berperkara. Menang atau kalahnya para pihak yang berpekara ditentukan dalam tahap pembuktian melalui alat bukti yang sah. Pembuktian merupakan landasan bagi hakim dalam memutus perkara yang diperiksa yang bertujuan mencari atau menemukan kebenaran peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mempunyai akibat hukum.

Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “bukti” terjemahan dari Bahasa Belanda

“bewijs” diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.

Dalam kamus hukum “bewijs‟ artinya sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan

kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya. Sementara itu pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan.

Defenisi alat bukti dan pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukumMenurut Hari Sasangka dan Lily Rosita:36

“Alat Bukti adalah segala sesuatu perbuatan, dimana dengan alatalat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang terlah dilakukan terdakwa.”

Darwan Prinst mengatakan bahwa:37

“Sedangkan definisi alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.”

Bambang Waluyo Kemudian memberikan batasan bahwa alat bukti adalah :38

“suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tuntutan atau gugatan.”

Mengenai alat bukti, George Whitecross Paton menyebutkan bahwa :39

“bukti dapat diberikan secara oral (kata-kata yang disampaikan oleh saksi di pengadilan), documenter (dkumen yang sah yang secara hukum), atau material (barang fisik lainnya selain dokumen).”

36 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.11.

37 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm.135

38 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 3.

39 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 15.

Pengertian dari bukti, membuktikan, terbukti dan pembuktian menurut W.J.S.

Poerwardarminta sebagai berikut :40

a. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya)

b. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tnda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya).

c. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian : 1) Memberi (mempelihatkan) bukti;

2) Melakukan sesuatu sebagi bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);

3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);

4) Menyakinkan, menyaksikan.

d. Pembuktian adalah perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan.

Menurut EOD bukti didefenisikan sebagai sebuag dasar untuk percaya, kesaksian atau fakta-fakta untuk membuktikan atau tidak membuktikan setiap kesimpulan. Jadi kita melihat kata fakta dan menemukan bahwa hal tersebut didefenisikan sebagai hal mana yang sebenarnya telah terjadi atau yang sebagaimana

40 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, jakarta, Balai Pustaka, 1976, hlm. 160-161.

keadaannya, kebenaran yang telah diuji melalui pengamatan langsung atau kesaksian yang otentik. Kemudian melihat kesaksian dan menemukan defenisinya: bukti personal atau dokumen atau pengujian dalam mendukung suatu fakta atau pernyataan karenanya setiap bentuk dari pembuktian atau bukti, maka mencari definisi kamus dari pembuktian, kita mengambil jalan yang membawa kita kembali ketempat dimana kita mulai.41

Pengertian Yuridis, tentang bukti dan alat bukti dari pendapat Prof. Soerbekti yang menyatakan “bukti adalah sesuatu untuk menyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian, adalah alat-alat yang dipergunakan untukdipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak dimuka pengadilan misalnya bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkahan, sumpah dan lain-lain.”42

Pendapat-pendapat yang duraikan dapat disimpulkan bahwa alat bukti adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakn untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan tuntutan atau gugatan. Jenis- jenis alat bukti sangat tergantung pada hukum acara yang dipergunakn misalnya apakah acara pidana, perdata atau tata usaha negara.43

41 H. Agus Takariawan, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana di Indonesia, Bandung, Pustaka Reka Cipta, 2019, hlm. 65.

42 Subekti, Kamus Hukum, Jakarta, Prandya Paramitha, 1980, hlm. 21.

43 Bambang Waluyo, Op.cit, Hlm 3.

2. Jenis-Jenis Alat Bukti dalam KUHAP

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai tata cara mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil sehingga memperoleh keputusan hakim, dan tata cara tentang bagaimana seharusnya keputusan hakim atau pengadilan tersebut dilaksanakan.44

Dalam halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB hanya diakui sebagai alat-alat bukti yang sah :

a. Kesaksian;

b. Surat-surat;

c. Pengakuan;

d. Petunjuk-petunjuk.

KUHAP juga mengatur mengenai alat bukti yang dapat digunakan dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana. Alat bukti yang dapat sah tersebut, terdapat dalam bab XVI bagian ke empat tentang pembuktian dan putusan dalam

44 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta:Kencana, 2014, hlm. 4.

acara pemeriksaan biasa, yakni Pasal 184 ayat (1). Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan, alat bukti yang sah yaitu:45

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

1. Keterangan Saksi

Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1 sampai 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis).

Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27 KUHAp menentukan, bahwa :

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alamai sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti dengan redaksional, bahwa :

45 Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”

Didalam keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti maka harus memenuhi dua syarat, yaitu :46

a. Syarat Formil

Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.

b. Syarat Materiel

Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.

Perihal syarat materiel dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo Pasal 85 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa :

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan menegani suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.”

46 Andi Sofyan dan Abdul Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Group,Jakarta;2014, hlm.239.

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah :

1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi;

2. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.47

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;

b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;

47 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta, 2001, hlm 288.

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sesebenar-benarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, berdasarkan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa yang dapat menjadi saksi adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri, dengar, alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka testimonium de auditu atau lebih dikenal dengan keterangan yang diperoleh sebagai

hasil mendengar dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti dikarenakan tujuan acara pidana adalah mencari kebenaran materiil sehingga keterangan yang didengar dari orang lain tidak menjamin kebenaran keterangannya.

Meskipun demikian testimonium de auditu dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim yang bersumber dari dua alat bukti yang lain yang dihadirkan dipersidangan.

Melalui kajian teoretik dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorsng saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Seseorang dipanggil menjadi saksi tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, saksi tersebut supaya dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP). Dengan demikian, asasnya setiap orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa dapat didengar sebagai saksi (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Akan tetapi, dalam hal eksepsional sifatnya seseorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini ditegaskan Pasal 168 KUHAP yang berbunyi :

Kecuali ketentuan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun

kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

2. Keterangan Ahli

Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, selain itu dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan ahli yaitu:

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Ketentuan penjelasan Pasal 186 KUHAP tersbut diatas, sebenarnya secara teoretik pada hakikatnya “keterangan ahli” dapat menimbulkan 2 (dua) dilema di dalamnya, yaitu :48

a. Bahwa keterangan ahli dapat diberikan pada pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum. Di sini menimbulkan dilema apakah mungkin dalam era KUHAP “keterangan ahli” dapat diberikan dihadapan penuntut umum, padahal semenjak penerapan KUHAP penuntut umum sudah tidak berwenang lagi melakukan penyidikan; dan

b. Bahwa jika keterangan tersebut dituangkan dalam bentuk laporan, eksistensinya bukan lagi sebagai “keterangan ahli”, tetapi merupakan alat bukti surat (Pasal 187 huruf c KUHAP).

Pasal 184 (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian.

Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan

48 Lilik Mulyadi, lock cit, hlm. 183.

dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masiih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.49

Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Didalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli.

Setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jo. sbt. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi :

1. Ahli kedokteran forensik atau;

2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.stb.1937 no.3500; atau;

3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan setipa orang yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; atau

49 R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 3.

4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soa, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya,

4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soa, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya,

Dokumen terkait