• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS. KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Putusan No 105/Pid.B/2015/PN. Bdg) Oleh : RANI TRISNA TOGATOROP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS. KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Putusan No 105/Pid.B/2015/PN. Bdg) Oleh : RANI TRISNA TOGATOROP"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

(Studi Putusan No 105/Pid.B/2015/PN. Bdg)

Oleh :

RANI TRISNA TOGATOROP 167005112/ Hukum Pidana

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

(Studi Putusan No 105/Pid.B/2015/PN. Bdg) Rani Trisna Togatorop1

Syafruddin Kalo2 Marlina3 Edy Yunara4

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 184 ayat 1 tentang hukum acara pidana yang mengatur tentang alat bukti yang sah, dengan adanya Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi eletronik juga mengatur tentang alat bukti yang merupakan perluasan dari KUHAP Salah satu alat elektronik yang paling sering digunakan untuk alat keamanan adalah Closed Circuit Television (CCTV). contoh kasus Tindak pidana yang dilakukan oleh ECEP RUSTIANA Bin EMAN SULAEMAN yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung yaitu kasus pencurian sebuah handphone yang aksinya terekam oleh CCTV Rumah Sakit tersebut dan rekaman CCTV Rumah Sakit tersebut dijadikan alat bukti di persidangan untuk menjerat tersangka pada perbuatan yang telah dilakukannya dan dijatuhkan hukuman berdasarkan Pasal 363 ayat (1) ke 3, Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian hukum yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan melakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier terkait dengan permasalahan. Keseluruhan data dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan (library research).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa rekaman CCTV dapat dipergunakan sebagai alat bukti petunjuk, jika CCTV tersebut mempunyai keterkaitan antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 188 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya keterkaitan antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa dengan Rekaman CCTV itu sendiri, maka rekaman CCTV tersebut dapat menunjang sebagai petunjuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam kasus tersebut.

Kata kunci: Rekaman CCTV, Alat Bukti, Pencurian

1 Mahasiswi Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara

2 Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4 Dosen Pembimbing III, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

ABSTRACT

THE STATUS OF CCTV RECORDINGS AS MEANS OF EVIDENCE FOR THEFT

(A Case Study on Ruling No 105/Pid.B/2015/PN. Bdg)

Law No. 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code in article 184 paragraph 1 concerning criminal procedural law governing legal evidence, with the Act No. 11 of 2008 concerning information and electronic transactions also regulates evidence which is an extension of the Criminal Procedure Code One of the most frequently used electronic devices for security devices is Closed Circuit Television (CCTV). example of a criminal case committed by ECEP RUSTIANA Bin EMAN SULAEMAN that occurred at Hasan Sadikin Hospital in Bandung, namely the theft of a cellphone whose action was recorded by the CCTV of the Hospital and the CCTV footage of the Hospital was used as evidence at the trial to ensnare the suspect in the act of committing the crime he has done and sentenced according to Article 363 paragraph (1) to 3, Drop the sentence to the defendant and therefore imprisonment for 10 (ten) months.

The research method used in writing this thesis is a normative juridical legal research method that is analytical descriptive by conducting library research to obtain secondary data needed, including primary, secondary, and tertiary legal materials related to the problem. Overall data was collected using the method of collecting library research data (library research).

Based on the results of the study shows that CCTV recordings can be used as evidence evidence, if the CCTV has a link between witness statements, letters, and statements of the defendant as stated by Article 188 Paragraph (2) of the Criminal Procedure Code. With the connection between witness statements, letters, and the defendant's statement with the CCTV Records themselves, the CCTV footage can be used as evidence to be used as evidence in the case.

Keywords : CCTV footage, evidence, theft

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karuniaNya yang tiada berkesudahan dan telah memberikan penulis kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul

“KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Putusan No 105/Pid.B/2015/PN. Bdg)”, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang berharga yang telah diberikan untuk dapat menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum;

(7)

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar., S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum;

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan rendah hati telah membimbing penulis, memberikan masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan tesis ini;

6. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang dengan rendah hati telah membimbing penulis, memberikan masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan tesis ini;

7. Bapak Dr. Edy Yunara, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing III yang dengan rendah hati telah membimbing penulis, memberikan masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan tesis ini;

8. Bapak Dr. Sutiarnoto., S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji yang telah dengan sabar memberi masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini;

9. Bapak Dr. Hamdan., S.H., M.H, selaku Dosen Penguji yang telah dengan sabar memberi masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini;

10. Bapak dan Ibu Guru Besar juga seluruh Dosen dan staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan perkuliahan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(8)

11. Kedua orang tua penulis yang sangat penulis hormati dan sayangi Hotler Togatorop dan Tiodor Br Manurung dan semua anggota keluarga Kakak dan Adik yang selalu memberikan dukungan dan doa dalam menyelesaikan perkuliahan ini;

12. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2016 yang telah berjuang bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjasamanya selama penulis menjalankan perkuliahan;

13. Rekan-rekan penulis Tari, Dinan, Kristi, Nanang yang sangat membantu setiap proses penulisan tesis ini.

14. Kepada setiap orang yang telah memberi support, doa dan telah membantu penulis dalam penulisan tesis ini, penulis ucapkan terima kasih.

Akhir kata, kiranya Tuhan memberkati kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa smua pihak yang telah membantu penulis secara tulus. Semoga tesis ini memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, September 2019

Hormat Penulis

Rani Trisna Togatorop

(9)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...7

C. Tujuan Penelitian...8

1. Tujuan Objektif ... 8

2. Tujuan Subjektif ... 8

D. Manfaat Penelitian...9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis... 9

E. Keaslian Penelitian... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 11

1. Kerangka Teori …...11

2. Landasan Konsepsi…...17

G. Metode Penelitian... 18

1. Jenis Penelitian... 19

2. Sumber Data... 20

3. Teknik Pengumpulan data... 21

4. Analisis Data ... 21

(10)

BAB II KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

A. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana Indonesia...23

1. Pengertian Alat Bukti dan Pembuktian…...23

2. Jenis-Jenis Alat Bukti dalam KUHAP…...27

3. Kedudukan Alat Bukti Rekaman CCTV dalam KUHAP…...51

B. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik...58

BAB III KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA A. Nilai dan Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti...67

B. Penerapan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Sah pada Sidang Pengadilan Pidana...76

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM PUTUSAN NO. 105/Pid.B/2015/PN. Bdg A. Kedudukan Rekaman CCTV Dalam Pembuktian Pada Sistem Peradilan Pidana dalam Putusan No. 105/Pid.B/2015/PN.Bdg...83

1. Posisi Kasus…...83

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 84

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 87

(11)

B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim dalam Menilai Kedudukan Rekaman CCTV Dalam Pembuktian Pada Sistem Peradilan Pidana dalam Putusan No.

105/Pid.B/2015/PN.Bdg...89

1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ... 89

2. Amar Putusan ... 93

3. Analisis Kasus ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN...108

B. SARAN...109

DAFTAR PUSTAKA...111

(12)

BAB I

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Perkembangan teknologi pada masa sekarang tidak bisa disamakan dengan teknologi pada zaman dahulu, dimana dahulu belum mengenal adanya media elektronik. Zaman yang serba dengan teknologi yang semakin pesat maka kita dituntut untuk lebih mengenal akan kemajuan teknologi. Perkembangan ini semakin memajukkan pola pikir dan cara berinteraksi setiap orang yang membawa perubahan pada kehidupan ekonomi, sosial dan budaya di lingkungan sekitar.

Latar belakang dan dimanapun berada tidak akan pernah lepas dengan namanya kebutuhan akan teknologi karena informasi sekecil apapun itu akan sangat berguna bagi kehidupan. Suatu teknologi dapat digunakan untuk mengolah data baik secara informasi maupun dalam mencari informasi sehingga dapat membantu memudahkan permasalahan yang di hadapi.

Menurut Soerjono Soekanto, kemajuan di bidang teknologi akan berjalan bersamaan dengan munculnya perubahan-perubahan di bidang kemasyarakatan.

Perubahan-perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial, kaidah kaidah sosial, pola-pola perilaku, organisasi dan susunan lembaga kemasyarakatan.5

5 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta Rajawali Pers, 1980, hlm.87- 88.

(13)

Kecanggihan teknologi dan perkembangan teknologi tersebut memberi dampak negatif kepada setiap orang apabila menyalahgunakan teknologi tersebut, tetapi dibalik dampak negatif tersebut ada juga dampak positif dimana perkembangan teknologi dapat memudahkan proses pembuktian di persidangan.

R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti. Pertama, dalam arti luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum misalnya jika hakim mengabulkan gugatan penggugat. Gugatan penggugat yang dikabulkan mengandung arti hakim telah menarik kesimpulan bahwa hal yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Membuktikan dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Kedua, dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh tergugat. Sementara itu, hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.6

Pembuktian adalah titik sentral dalam rangkaian pemeriksaan perkara (pidana) di pengadilan. Melalui „ruang‟ yang disebut pembuktian itu, persidangan dilakukan dalam rangka mencari dan mempertahankan kebenaran. Pembuktian dibatasi oleh ketentuan tentang cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa pengertian yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Pertama, membuktikan dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan

6R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramitha, 2008, hlm. 7

(14)

tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, pembuktin dalam arti konvensional ialah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif. Ketiga, membuktikan dalam arti yuridis ialah memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.7

Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada pasal 184 ayat 1 tentang hukum acara pidana yang mengatur tentang alat bukti yang sah. Usaha dalam memperoleh bukti-bukti yang siperlukan untuk memeriksa perkara pidana kerapkali para anggota penegak hukum mengalami kesulitan karena masalah tersebut berada diluar keahliannya. Kebenaran materil yang lengkap untuk para anggota penegak hukum diperlukan bantuan seorang yang ahli.

Perkembangan zaman sekarang telah melahirkan UU baru dimana UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi eletronik juga mengatur tentang alat bukti yang merupakan perluasan dari KUHAP. Seperti tertulis pada pasal 5 UU ITE.

Pasal 5 UU ITE berbunyi :

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.8

7 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Yogyakarta, PT. Gelora Aksara Pratama, 2012, hlm. 6

8 Pasal 5 UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik.

(15)

Pengaturan pada Perundang-undangan khusus hanya mengikat pembuktian tindak pidana khusus yang diaturnya saja, sehingga hanya berupa semacam jalan pintas (shortcut) dalam keadaan darurat (emergency) guna mengakomondasi tidak hanya perkembangan hukum materil, namun juga hukum formilnya. Limitasi dari KUHAP dalam engaturan alat bukti dalam pasal 184 akan membatasi perkembangan alat bukti. Perkembangan yang masih belum jelas diatur dalam KUHAP akan menimbulkan kontroversi terus menerus dan pelaksanaannya hanya didasarkan pada kebiasaan praktik persidangan, yurisprudensi, maupun instrumen hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.9

Sifat KUHAP sebagai lex generalist dari hukum acara pidana di Indonesia merupakan kedudukan mutlak, sehingga setiap hukum formil yang diatur dalam perundang-undangan khusus akan selalu terikat asas lex specialist derogat lex generalist (undang-undang pidana khusus mengesampingkan undang-undang yang

bersifat umum), dan akan selalu kembali dan bersumber pada KUHAP bila tidak ada pengaturannya, bahkan adanya pengaturan pun belum memberi kepastian penerimaan dalam persidangan, karena masih dihadapkan pada kontroversi kesesuaiannya dengan pengaturan pada KUHAP selaku lex generalist.10

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diperhatikan mengenai sisi keamanan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam penggunaan teknologi informasi, media

9 Alcadini Wijayanti, Perkembangan Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Dan Implikasi Yuridis Terhadap KUHAP, Diponegoro Law Review Vol 1, no 4, 2012, hlm. 6.

10 Ibid, hlm. 6-7.

(16)

dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal agar tidak terjadi penyalahgunaan. Undang- Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan perluasan-perluasan arti alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan suatu bentuk antisipasi dari Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan DPR untuk mencegah adanya suatu kemungkinan - kemungkinan dampak buruk yang ditimbulkan.11

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi telah muncul berbagai macam inovasi-inovasi terbaru dalam bidang teknologi salah satunya keamanan. Demi memberikan kemudahan dalam menjaga keamanan dari tindakan kriminal, maka kita membutuhkan alat yang dapat memantau kegiatan sekitar kita selama 24 jam yaitu dengan kamera pengawas atau lebih sering dikenal dengan nama CCTV.

Salah satu alat elektronik yang paling sering digunakan untuk alat keamanan adalah Closed Circuit Television (CCTV). CCTV sering digunakan sebagai alat Keamanan di toko-toko, rumah, bandara serta rumah sakit dan perkantoran dikarenakan sering digunakan untuk memantau keadaan disekitar lingkungandan juga untuk melihat adakah perbuatan kejahatan yang dilakukan. Misalnya beberapa kasus tindak pidana yang tidak diketahui kejadiannya secara persis dan detail.

11O. C Kaligis,Penerapan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dalam Prakteknya, Jakarta: Yarsif Watampone, 2012, hlm. 505-506.

(17)

Membutuhkan bantuan alat bukti lain yang dapat dijadikan sebagai petunjuk, dan menjadi salah satu alat bukti selain pengakuan dari saksi untuk mengungkap tindak pidana yang bertujuan pada nilai-nilai keadilan.

Herman Dwi Surjono, rekaman CCTV adalah satu media yang dapat digunakan untuk memuat rekaman setiap informasi yang dapat dilihat, dibaca dan didengar dengan bantuan sarana rekaman CCTV. Rekaman CCTV dijadikan sebagai alat bukti yang sistemnya menggunakan video kamera untuk menampilkan dan merekam gambar pada waktu dan tempat tertentu dimana perangkat ini terpasang yang berarti menggunakan signal yang bersifat tertutup, tidak seperti televisi biasa yang merupakan broadcast signal.12

CCTV dapat berfungsi sebagai alat bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan untuk menjadi petunjuk dan mengungkap tindak pidana di pengadilan.

Alat bukti yang berupa CCTV tersebut untuk sementara waktu disimpan di bawah penguasaan pejabat yang berwenang untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian di persidangan.

Menyikapi keadaan ini, salah satu contoh kasus Tindak pidana ini dilakukan oleh ECEP RUSTIANA Bin EMAN SULAEMAN yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Kota Bandung yaitu kasus pencurian sebuah handphone yang aksinya terekam oleh CCTV Rumah Sakit tersebut dan rekaman CCTV Rumah Sakit tersebut

12Herman Dwi Surjono, Pengembangan Pendidikan TI di Era Global, Yogyakarta:

Pendidikan Teknik Informatika FT UNY, 1996, hlm. 18.

(18)

dijadikan barang bukti di persidangan untuk menjerat tersangka pada perbuatan yang telah dilakukannya dan dijatuhkan hukuman berdasarkan Pasal 363 ayat (1) ke 3, KUHP serta peraturan-peraturan lain yang bersangkutan Menyatakan terdakwa ECEP RUSTIANA Bin EMAN SULAEMAN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencurian dalam keadaan memberatkan Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 ( sepuluh ) bulan.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk merumuskannya menjadi sebuah judul penelitian, yaitu: ”KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Putusan No 105/Pid.B/2015/PN.Bdg)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengaturan Rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana ?

2. Bagaimana Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana?

(19)

3. Bagaimana Pertimbangan Hakim terhadap Rekaman CCTV sebagai alat bukti yang sah dalam Tindak Pidana Pencurian dalam Putusan No 105/Pid.B/2015/PN.Bdg) ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian meupakan hal- hal apakah yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Tujuan Objektif

a. Untuk mengkaji kedudukan Rekaman CCTV yang dapat dijadikan alat bukti dalam proses peradilan pidana.

b. Untuk mengkaji Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV sebagai alat bukti dalam proses peradilan pidana.

c. Untuk mengkaji Pertimbangan Hakim terhadap Rekaman CCTV sebagai alat bukti yang sah dalam Tindak Pidana Pencurian dalam Putusan No 105/Pid.B/2015/PN.Bdg)

2. Tujuan Subjektif

a. Mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran dan pengetahuan serta untuk lebih meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang didapatkan selama menempuh kuliah di Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

(20)

b. Untuk mengumpulkan data penelitian guna penyusunan penulisan hukum sebagai persyaratan dalam pencapaian gelar Master di bidang Ilmu Hukum pada Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

c. Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi Ilmu pengetahuan Hukum Acara, khususnya Hukum Acara Pidana.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian akan bernilai apabila dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat dai penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Ilmu Hukum pada umumnya, serta Hukum Acara Pidana pada khususnya, utamanya berkaitan dengan Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pencurian.

b. Penelitian ini di harapkan dapat menyumbangkan pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum acara pidana.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran dan pola kritis bagi pihak- pihak terkait, berkenaan dengan Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

(21)

b. Hasil penulisan ini diharapkan mampu membantu dan memberikan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang sedang di teliti.

E. Keaslian Penelitian

Penulis menegaskan bahwa tesis ini merupakan karya asli dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berikut penelitian yang pernah dilakukan yaitu :

a. Tesis atas nama Muhammad Iqbal Tarigan , NIM 117005005 dengan judul : Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dasar pengaturan penggunaan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata di Indonesia?

2. Apakah kriteria-kriteria yang dapat menjadikan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

3. Bagaimana kedudukan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam pembaruan hukum acara perdata Indonesia?

b. Tesis atas nama Adi Tyogunawan NIM 087005124 dengan judul : Kajian Alat Bukti Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Sistem Pembuktian Perkara Pidana, rumusan masalah sebagai berikut :

(22)

1. Bagaimana perluasan alat bukti yang terdapat dalam UUPPLH?

2. Mengapa terjadi perluasan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan?

3. Bagaimana peranan alat bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana lingkungan?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka Teori adalah bagian terpenting dalam sebuah penelitian untuk memecahkan permasalahan-permasalahn yang telah dirumuskan. Kerangka teori merupakan bagian dari rumusan masalah dimana variabel penelitian terletak di permasalahan. Penelitian ini menggunakan teori pembuktian.

Hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan pemeriksaan terhadap di sidang pengadilan. Sejalan dengan perkembangan waktu, teori atau sistem pembuktian mengalami perkembangan dan perubahan. Demikian pula penerapan sistem pembuktian di suatu negara dengan negara lain dapat berbeda. Adapun sistem atau teori pembuktian yang dikenal dalam dunia hukum pidana yaitu conviction intime atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata-mata, conviction rasionnee atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis, positif wettelijk bewijstheorie atau teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang-

(23)

undang secara positif, dan negatief wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif.13

a. Conviction intime atau Teori pembuktian berdasaran keyakinan hakim semata-mata

Conviction intime diartikan sebagai pembuktian berdasarkan keyakinan hakim

belaka. Teori pembuktian ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan suatu putusan berdasarkan keyakinan hakim, artinya bahwa jika dalam pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuata sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan. Keyakinan hakim pada teori ini adalah menetukan dan mengabaikan hal-hal lainnya jika sekiranya tidak sesuai atau bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.

Sistem ini pernah diterapkan di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja sebagai dasar keyakinannya, termasuk bisikan dukun. Juga terjadi pada pengadilan adat dan swapraja yang para hakimnya terdiri atas orang-orang yang bukan ahli hukum.

Sistem ini merugikan dalam hal pengawasan terhadap hakim dan merugikan

13Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung: Alumni, 2011, Hlm.

11.

(24)

terdakwa dan penasihat hukum karena tidak jelas patokan dan ukuran suatu keyakinan hakim.14

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar, karena sebagai manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim.15

b. Conviction Rasionnee atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis

Sistem pembuktian conviction rasionnee adalah sistem pembuktian yang tetap menggunakan keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim didasarkan pada alasan- alasan (reasoning) yang rasional. Sistem ini hakim tidak dapat lagi memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, tetapi keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang reasonable yakni alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar keyakinannya itu.16

Conviction rasionnee sebagai jalan tengah antara teori pembuktian berdasarkan undang-undang dan teori pembuktian semata-mata berdasar keyakinan hakim. Dalam

14 Ibid, hlm 39-40

15 Adhami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni, 2008 ,Hlm. 25.

16 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2007 , hlm. 187.

(25)

teori ini, hakim dapat memutuskan terdakwa bersalah berdasarkan keyakinannya, namun tidak semata-mata keyakinan yang diciptakan oleh hakim sendiri, tetapi keyakinan hakim sampai batas tertentu, yaitu keyakinan hakim yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada ketentuan pembuktian tertentu.17

c. Positif Wettelijk Bewijstheorie atau Teori Pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut oleh undang- undang secara positif

Sistem pembuktian positif wettelijk bewijstheorie adalah pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara positif atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sebelumnya telah ditentukan dalam undang-undang. Menentukan kesalahan seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang tersebut dalam undang-undang, jika alat-alat bukti tersebut telah terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan putusannya tanpa harus timbul keyakinan terlebih dahulu atas kebenaran alat-alat bukti yang ada. Keyakinan hakim tidak diberi kesempatan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan seseorang, keyakinan hakim harus dihindari dan tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kesalahan seseorang.18

Sistem ini hanya sesuai dengan pemeriksaan yang bersifat inkuisitor yang dulu pernah dianut di Eropa yang saat ini sudah tidak digunakan lagi karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia yang saat ini sangat diperhatikan dalam hal

17 Hendar Soetarna, Op cit., Hlm. 40.

18 Rusli Muhammad, Op cit, Hlm. 190.

(26)

pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan hati nurani hakim, di mana hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah diprogram melalui undang- undang.19

Wirjono Prodjodikoro, menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.20

d. Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif

Pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif adalah pembuktian yang selain menggunakan alat-alat bukti yang dicantumkan di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan hakim terbatas pada alat-alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Sistem pembuktian ini menggabungkan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif

19 Adhami Chazawi, Op cit, Hlm. 27-28.

20 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, Hlm. 251.

(27)

dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim sehingga sistem pembuktian ini disebut pembuktian berganda (doubelen grondslag).21

Negatief wettelijk bewijstheorie memadukan dua unsur yaitu ketentuan

pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur keyakinan hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat terpisahkan. Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dua alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan keyakinan hakim.22

Hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Di mana rumusannya bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.23

Sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie mempunyai persamaan dan perbedaan dengan sistem conviction rasionalee. Persamaannya adalah kedua teori tersebut sama-sama menggunakan keyakinan hakim dan kedua-duanya sama-sama membatasi keyakinan hakim. Sedangkan perbedaannya bahwa sistem conviction

21Rusli Muhammad, Op cit, Hlm. 187.

22 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Bandung: Alumni, 2011, Hlm.

11.

23 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Hlm. 277.

(28)

rasionalee berpangkal tolak pada keyakinan hakim yang didasarkan pada suatu

kesimpulan atau alasan-alasan yang logis yang diterima oleh akal pikiran yang tidak didasarkan pada undang-undang, sedangkan pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie berpangkal tolak pada alat-alat bukti yang ditetapkan secara limitatif

oleh undang-undang dan harus mendapat keyakinan hakim.24 2. Landasan Konsepsi

Kerangka konsepsional ini penting untuk dirumuskan agar tidak tersesat kepahaman lain di luar maksud di dalam penelitian ini. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standart.

Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu inti sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu kontruksi mental yakni sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pemikiran untuk keperluan analisis.25

Landasan Konsepsi terdiri dari :

a. Rekaman CCTV merupakan satu media yang dapat digunakan untuk memuat rekaman setiap informasi yang dapat dilihat, dibaca dan didengar dengan bantuan sarana RekamanCCTV.26

24 Rusli Muhammad, Op cit, Hlm. 190-191.

25 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 48.

26 Herman Dwi Surjono, Pengembangan Pendidikan TI di Era Global, Pendidikan Teknik Informatika FT UNY, Yogyakarta, 1996, hlm. 18.

(29)

b. Alat Bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.27

c. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatkan sebagai perbuatan yang dilarang dn dincam dengan pidana.28

d. Pencurian menurut hukum dalam pasal 362 KUHP adalah “Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimilikisecara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00".29

G. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode pendekatan perundang-undang (statue approach) dan penelitian kasus (case approach). Metode pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan melakukan analisis terhadap semua perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan

27 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Jember:

Mandar Maju, 2003, hlm. 11.

28Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan hukum Pidana, Jakarta: Prenadamedia group, 2014, hlm. 84.

29 Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

(30)

dengan alat bukti dengan mencari ratio legis dan dasar antologis lahirnya undang- undang.30

Satu sisi sistem hukum Indonesia mendapatkan pengaruh perkembangan hukum yang terjadi dinegara-negara sistem Anglo-Saxon akibat dari perkembangan zaman, di sisi lain sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental warisan kolonial Belanda. Penelitian komparatif ini untuk memperoleh persamaan dan perbedaan diantara undang-undang dan regulasi tersebut.31

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan pembuktian perkara pidana. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan

30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 133.

31 ibid

(31)

dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan- peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.32 2. Sumber Data

Di dalam metode penelitian hukum normatif, terdapat 3 macam bahan pustaka yang dipergunakan yakni :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni:

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)

2. Putusan Tindak Pidana Pencurian No 105/Pid.B/2015/PN.Bdg.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah.

Bahan sekunder adalah doktrin–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.

32 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.

(32)

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi ini dilakkan dengan jalan meneliti dokumen-dokumen yang ada, yaitu bahan hukum dan informasi baik berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu dengan mencari, mempelajari dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.33

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan bahan- bahan hukum ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dsar, sehingga terciptalah suatu tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data tersebut.34 Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu didasarkan pada relevansi

33 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Hukum dan Jurumateri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 225.

34 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 280.

(33)

data,keakuratan data, dan keatualan data terhadap permasalahan bukan berdasarkan banyaknya data (kualitatif).35

35 Johny Ibrahim, Teori dan metedologi penelitian hukum normatif, Malang:Bayumedia Publishing, 1999, hlm. 323.

(34)

BAB II

KEDUDUKAN REKAMAN CCTV SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

A. Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia

1. Pengertian Alat Bukti dan Pembuktian

Pembuktian adalah titik sentral dalam rangkaian pemeriksaan perkara (pidana) di pengadilan. Melalui „ruang‟ yang disebut pembuktian itulah batas-batas persidangan terbentuk dalam rangka mencari dan mempertahankan kebenaran.

Pembuktian dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman dan penggarisan tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pembuktian didalam proses peradilan merupakan hal yang sangat penting karena amat menentukan bagi keberhasilan pihak-pihak yang berperkara. Menang atau kalahnya para pihak yang berpekara ditentukan dalam tahap pembuktian melalui alat bukti yang sah. Pembuktian merupakan landasan bagi hakim dalam memutus perkara yang diperiksa yang bertujuan mencari atau menemukan kebenaran peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mempunyai akibat hukum.

Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “bukti” terjemahan dari Bahasa Belanda

“bewijs” diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.

Dalam kamus hukum “bewijs‟ artinya sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan

(35)

kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya. Sementara itu pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan.

Defenisi alat bukti dan pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukumMenurut Hari Sasangka dan Lily Rosita:36

“Alat Bukti adalah segala sesuatu perbuatan, dimana dengan alatalat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang terlah dilakukan terdakwa.”

Darwan Prinst mengatakan bahwa:37

“Sedangkan definisi alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.”

Bambang Waluyo Kemudian memberikan batasan bahwa alat bukti adalah :38

“suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan, tuntutan atau gugatan.”

Mengenai alat bukti, George Whitecross Paton menyebutkan bahwa :39

“bukti dapat diberikan secara oral (kata-kata yang disampaikan oleh saksi di pengadilan), documenter (dkumen yang sah yang secara hukum), atau material (barang fisik lainnya selain dokumen).”

36 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.11.

37 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 1998, hlm.135

38 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 3.

39 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 15.

(36)

Pengertian dari bukti, membuktikan, terbukti dan pembuktian menurut W.J.S.

Poerwardarminta sebagai berikut :40

a. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya)

b. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tnda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya).

c. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian : 1) Memberi (mempelihatkan) bukti;

2) Melakukan sesuatu sebagi bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);

3) Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);

4) Menyakinkan, menyaksikan.

d. Pembuktian adalah perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan.

Menurut EOD bukti didefenisikan sebagai sebuag dasar untuk percaya, kesaksian atau fakta-fakta untuk membuktikan atau tidak membuktikan setiap kesimpulan. Jadi kita melihat kata fakta dan menemukan bahwa hal tersebut didefenisikan sebagai hal mana yang sebenarnya telah terjadi atau yang sebagaimana

40 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, jakarta, Balai Pustaka, 1976, hlm. 160-161.

(37)

keadaannya, kebenaran yang telah diuji melalui pengamatan langsung atau kesaksian yang otentik. Kemudian melihat kesaksian dan menemukan defenisinya: bukti personal atau dokumen atau pengujian dalam mendukung suatu fakta atau pernyataan karenanya setiap bentuk dari pembuktian atau bukti, maka mencari definisi kamus dari pembuktian, kita mengambil jalan yang membawa kita kembali ketempat dimana kita mulai.41

Pengertian Yuridis, tentang bukti dan alat bukti dari pendapat Prof. Soerbekti yang menyatakan “bukti adalah sesuatu untuk menyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian, adalah alat-alat yang dipergunakan untukdipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak dimuka pengadilan misalnya bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkahan, sumpah dan lain- lain.”42

Pendapat-pendapat yang duraikan dapat disimpulkan bahwa alat bukti adalah suatu hal (barang dan non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakn untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan tuntutan atau gugatan. Jenis- jenis alat bukti sangat tergantung pada hukum acara yang dipergunakn misalnya apakah acara pidana, perdata atau tata usaha negara.43

41 H. Agus Takariawan, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana di Indonesia, Bandung, Pustaka Reka Cipta, 2019, hlm. 65.

42 Subekti, Kamus Hukum, Jakarta, Prandya Paramitha, 1980, hlm. 21.

43 Bambang Waluyo, Op.cit, Hlm 3.

(38)

2. Jenis-Jenis Alat Bukti dalam KUHAP

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur mengenai tata cara mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil sehingga memperoleh keputusan hakim, dan tata cara tentang bagaimana seharusnya keputusan hakim atau pengadilan tersebut dilaksanakan.44

Dalam halnya suatu perkara pidana, maka menurut pasal 295 RIB hanya diakui sebagai alat-alat bukti yang sah :

a. Kesaksian;

b. Surat-surat;

c. Pengakuan;

d. Petunjuk-petunjuk.

KUHAP juga mengatur mengenai alat bukti yang dapat digunakan dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana. Alat bukti yang dapat sah tersebut, terdapat dalam bab XVI bagian ke empat tentang pembuktian dan putusan dalam

44 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta:Kencana, 2014, hlm. 4.

(39)

acara pemeriksaan biasa, yakni Pasal 184 ayat (1). Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan, alat bukti yang sah yaitu:45

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

1. Keterangan Saksi

Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1 sampai 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis).

Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27 KUHAp menentukan, bahwa :

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alamai sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti dengan redaksional, bahwa :

45 Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

(40)

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”

Didalam keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti maka harus memenuhi dua syarat, yaitu :46

a. Syarat Formil

Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah apabila diberikan memenuhi syarat formil, yaitu saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.

b. Syarat Materiel

Bahwa keterangan seorang atau satu saksi tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis) karena tidak memenuhi syarat materiel, akan tetapi keterangan seorang atau satu orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur kejahatan yang dituduhkan.

Perihal syarat materiel dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1 angka 27 jo Pasal 85 ayat (1) KUHAP yang ditentukan bahwa :

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan menegani suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.”

46 Andi Sofyan dan Abdul Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Group,Jakarta;2014, hlm.239.

(41)

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah :

1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi;

2. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.47

Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan:

a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;

b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain;

47 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan penuntutan). Sinar Grafika. Jakarta, 2001, hlm 288.

(42)

c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;

d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar- benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

(43)

Saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, berdasarkan Pasal 1 angka 27 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa yang dapat menjadi saksi adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri, dengar, alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka testimonium de auditu atau lebih dikenal dengan keterangan yang diperoleh sebagai

hasil mendengar dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti dikarenakan tujuan acara pidana adalah mencari kebenaran materiil sehingga keterangan yang didengar dari orang lain tidak menjamin kebenaran keterangannya.

Meskipun demikian testimonium de auditu dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim yang bersumber dari dua alat bukti yang lain yang dihadirkan dipersidangan.

(44)

Melalui kajian teoretik dan praktik dapat dikonklusikan bahwa menjadi seorsng saksi merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang. Seseorang dipanggil menjadi saksi tetapi menolak/tidak mau hadir di depan persidangan, saksi tersebut supaya dihadapkan ke persidangan (Pasal 159 ayat (2) KUHAP). Dengan demikian, asasnya setiap orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa dapat didengar sebagai saksi (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Akan tetapi, dalam hal eksepsional sifatnya seseorang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini ditegaskan Pasal 168 KUHAP yang berbunyi :

Kecuali ketentuan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi :

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu :

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun

(45)

kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

2. Keterangan Ahli

Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 Undang- Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, selain itu dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan ahli yaitu:

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

(46)

Ketentuan penjelasan Pasal 186 KUHAP tersbut diatas, sebenarnya secara teoretik pada hakikatnya “keterangan ahli” dapat menimbulkan 2 (dua) dilema di dalamnya, yaitu :48

a. Bahwa keterangan ahli dapat diberikan pada pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum. Di sini menimbulkan dilema apakah mungkin dalam era KUHAP “keterangan ahli” dapat diberikan dihadapan penuntut umum, padahal semenjak penerapan KUHAP penuntut umum sudah tidak berwenang lagi melakukan penyidikan; dan

b. Bahwa jika keterangan tersebut dituangkan dalam bentuk laporan, eksistensinya bukan lagi sebagai “keterangan ahli”, tetapi merupakan alat bukti surat (Pasal 187 huruf c KUHAP).

Pasal 184 (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian.

Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan

48 Lilik Mulyadi, lock cit, hlm. 183.

(47)

dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masiih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.49

Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Didalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli.

Setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, jo. sbt. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi :

1. Ahli kedokteran forensik atau;

2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.stb.1937 no.3500; atau;

3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan setipa orang yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; atau

49 R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 3.

(48)

4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soa, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi kepentingan pemeriksaan.50

Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 Undang- Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :

1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya

dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan

50 Ibid, hal.72-73.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Beberapa hal yang dimodifikasi oleh para mahasiswa adalah dapat dilihat dari gambar di atas, mahasiswa menambahkan lampu untuk membuat Truncted Icosidodecahedron tampak

dari 126 unit usaha perebusan,75 unit penggaraman ikan, dan 26 unit usaha pengolahan produk turunan ikan. setiap unit pengolahan menyerap rata-rata 5 orang pekerja,

Ucapan puji syukur kami kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan ridho-Nya atas kami sehingga akhirnya kami dapat menyelesaikan skripsi dengan judul.. "IDENTIFIKASI SIDIK

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keadaan air ketuban keruh dapat mempengaruhi terjadinya asfiksia neonatorum akibat dihirupnya mekonium ke paru-paru

Berdasarkan pelaksanaan penelitian tindakan kelas yang penulis laksanakan dalam peningkatan hasil belajar pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan

2. Menyelenggarakan koordinasi program kerja dengan Sekretaris dan Kepala Bidang di lingkungan Dinas maupun SKPD lain baik secara langsung maupun tidak langsung

Mata kuliah ini menyajikan pemahaman kepada mahasiswa tentang teori dan konsep hukum dan hukum kepegawaian, ruang lingkup administrasi Negara, hubungan hukum kepegawaian

Sub-sub judul dalam buku ini antara lain, Kota Raya di Tepian Brantas (membahas tentang sejarah Kerajaan Majapahit dan lahirnya Kota Mojokerto), Batik