• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1Kepadatan Titik Panas

Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada daerah Kalimantan Barat selalu dijumpai kemunculan titik panas dengan kepadatan yang tidak sama setiap tahunnya seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jumlah Titik Panas Tahun 2000-2011

Jumlah titik panas tahunan pada tahun 2000 hingga tahun 2011 yaitu tahun 2000 (972 titik), tahun 2001 (1.617 titik), tahun 2002 (4.043 titik), tahun 2003 (1.522 titik), tahun 2004 (2.366 titik), tahun 2005 (1.505 titik), tahun 2006 (6.521 titik), tahun 2007 (394 titik), tahun 2008 (1.584 titik), tahun 2009 (7.291 titik), tahun 2010 (1.763 titik), tahun 2011 (1.222 titik). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2002, 2004, 2006 dan 2009 titik panas yang terpantau oleh satelit NOAA pada wilayah Kalimantan Barat mencapai jumlah diatas 2.000 titik per tahun atau dapat dikatakan tinggi jika dibandingkan dengan kemunculan titik panas pada tahun lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan fenomena anomali iklim yaitu El-Nino yang menyebabkan kekeringan. Intensitas kebakaran akan semakin tinggi apabila terjadi peristiwa El Nino Southern Oscillation/ENSO

seperti yang terjadi pada tahun 2002, 2004, 2006, dan 2009 (Suwarsono et.al,

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 T ahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 201 1

(2)

2010). Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu di waspadai peningkatan jumlah kemunculan titik panas pada waktu yang diprediksi akan terjadinya fenomena El-Nino.

5.2Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Wilayah Kabupaten/kota

Sebaran titik panas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000 hingga tahun 2010 menunjukkan bahwa Wilayah yang memiliki titik panas terbanyak setiap tahunnya adalah tahun 2000 (Kabupaten Sintang), tahun 2001 (Kabupaten Sintang), tahun 2002 (Kabupaten Ketapang), tahun 2003 (Kabupaten Ketapang), tahun 2004 (Kabupaten Ketapang), tahun 2005 (Kabupaten Sambas), tahun 2006 (Kabupaten Ketapang), tahun 2007 (Kabupaten Sambas), tahun 2008 (Kabupaten Sanggau), tahun 2009 (Kabupaten Ketapang), tahun 2010 (Kabupaten Sintang), tahun 2011 (Kabupaten Ketapang).

Tabel 4 menyajikan jumlah titik panas masing-masing wilayah kabupaten. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Sintang merupakan wilayah yang menyumbangkan jumlah titik panas terbanyak. Hal ini ditandai dengan jumlah titik panas yang terjadi pada kedua wilayah tersebut seringkali berada di peringkat 3 besar. Sedangkan Kota Pontianak dan Kota Singkawang adalah wilayah dengan kemunculan titik panas terendah bahkan jarang sekali ditemukan kemunculan titik panas. Hal ini dapat disebabkan karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah perkotaan yang berkembang, sehingga aktivitas masyarakat yang dapat memicu kemunculan titik panas dapat dihindari.

Kemunculan titik panas di Kabupaten Ketapang yaitu pada tahun 2000 sebanyak 138 titik (14,20% dari jumlah total titik panas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000) sedangkan di tahun 2001 titik panas muncul 240 titik (14,84%). Kemunculan titik panas di 3 tahun berikutnya yakni tahun 2002, 2003 dan 2004 berada pada peringkat pertama yakni berturut-turut sebesar 1699 titik (42,02%), 511 titik (33,57%), 911 titik (38,50%). Pada tahun 2005 terdapat 148 titik (9,8%) dan di tahun 2006 sebanyak 2325 titik (35,65%). Sedangkan pada tahun 2007 hanya terdapat 32 titik (8,12%) dan di tahun 2008 terdapat sebanyak 218 titik (13,76%). Pada tahun berikutnya yakni tahun 2009, kemunculan titik panas di Kabupaten Ketapang menjadi yang terbanyak kembali

(3)

dibandingkan wilayah lainnya yaitu sebanyak 1364 titik (18,70%). Di tahun 2010 diketahui terdapat 195 titik (11,06%) dan di tahun 2011 terdapat 215 titik (17,59%).

Wilayah lainnya yang juga memiliki kemunculan titik panas terbanyak adalah Kabupaten Sintang. Pada tahun 2000 terdapat kemunculan titik panas sebanyak 242 titik atau 24,89% dari jumlah total titik panas yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat selama tahun 2000. Tahun berikutnya yaitu pada tahun 2001, Kabupaten Sintang masih menempati peringkat 1 wilayah dengan kemunculan titik panas paling banyak yaitu sebesar 390 titik (24,11%). Pada tahun 2002 ditemukan sebanyak 575 titik (14,22%) dan di tahun 2003 sebanyak 364 titik (23,91%). Selama tahun 2002 hingga tahun 2007, wilayah ini menempati peringkat kedua dalam kemunculan titik panas. Untuk tahun 2004 terdapat 497 titik (21%), tahun 2005 terdapat 306 titik (20,33%), tahun 2006 terdapat 1013 titik (15,53%), dan tahun 2007 terdapat 24 titik (18,78%). Pada tahun 2008 dan tahun 2009, wilayah ini tidak menempati peringkat 3 besar dalam kemunculan titik panas. Pada tahun 2008 terdapat 807 titik (5,61%) dan di tahun 2009 terdapat 324 titik (11,06%). Di tahun 2011 terdapat 93 titik (7,61%).

Dari ke 14 wilayah kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat diketahui bahwa Kota Pontianak dan Kota Singkawang merupakan wilayah dengan kemunculan titik panas terendah. Pada Kota Pontianak hanya ditemukan kemunculan titik panas di tahun 2010 dan tahun 2011 sebanyak tidak lebih dari 2 titik panas. Sementara itu di Kota Singkawang lebih banyak dijumpai adanya kemunculan titik panas tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit. Pada tahun 2001 (2 titik), tahun 2002 (4 titik), tahun 2003 (4 titik), tahun 2005 (2 titik), tahun 2006 (15 titik), tahun 2008 (9 titik), tahun 2009 (18 titik), tahun 2010 (3 titik), tahun 2011 (2 titik). Untuk lebih lengkapnya, peta sebaran titik panas Provinsi Kalimantan Barat tahun 2000 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Lampiran 9 hingga Lampiran 20

(4)

30 Kabu paten T ah un 2000 T ah un 2001 T ah un 2002 T ah un 2003 T ah un 2004 T ah un 2005 T ah un 2006 T ah un 2007 T ah un 2008 T ah un 2009 T ah un 2010 T ah un 2011 Jum lah Titik Panas Kabu paten Beng k ay ang 7 20 59 8 63 125 105 13 84 471 130 64 Kabu paten Kapu as Hu lu 72 214 181 104 81 64 388 31 228 844 252 209 Kabu paten Kay ong Utara 14 12 66 10 71 18 242 15 93 385 40 20 Kabu paten Ke tapa ng 138 240 1699 511 911 148 2325 32 218 1364 195 215 Kabu paten Kubu R ay a 175 113 265 154 89 119 575 57 165 696 93 176 Kabu paten Lan dak 30 100 184 35 69 68 216 4 91 309 86 19 Kabu paten M elawi 31 104 238 121 230 122 330 25 49 302 84 43 Kabu paten Pon ti anak 13 10 76 7 13 23 78 13 92 273 58 66 Kabu paten Sam bas 78 36 43 15 69 308 316 98 194 523 88 186 Kabu paten Sang g au 123 281 472 126 127 126 592 27 247 1008 288 110 Kabu paten Sek adau 49 95 181 63 146 76 326 5 25 291 121 17 Kabu paten S int ang 242 390 575 364 497 306 1013 74 89 807 324 93 Kot a Si ng k awang 2 4 4 2 15 9 18 3 2 Kot a Pon ti anak 1 2 Grand T o ta l 972 1617 4043 1522 2366 1505 6521 394 1584 7291 1763 1222 Tabel 4. J umlah Titik Pa nas Masing -masin g Wilay ah Ka bupat en Ke teran gan Pering kat 1 Pering kat 2 Pering kat 3

(5)

5.3Distribusi Spasial Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan

Kemunculan titik panas pada Provinsi Kalimantan Barat terdapat pada penggunaan lahan berupa hutan, kebun campuran, mangrove, pemukiman, perkebunan, pertambangan, rawa, sawah, semak belukar, tanah terbuka, dan tubuh air. Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2010 diketahui bahwa jumlah titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan berupa kebun campuran. Sebaran titik panas pada masing-masing penggunaan lahan secara lengkap tersaji pada Gambar 7.

Gambar 7. Titik Panas Pada Masing-masing Penggunaan Lahan Selama Tahun 2000 hingga Tahun 2010

Secara keseluruhan selama tahun 2000 hingga tahun 2010, kemunculan titik panas paling banyak ditemukan pada penggunaan lahan kebun campuran yaitu sebanyak 15.366 titik. Kebun campuran merupakan penggunaan lahan kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim. Kemunculan titik panas pada penggunaan lahan kebun campuran terjadi diakibatkan dari aktivitas penyiapan lahan.

Penggunaan lahan lainnya yang juga ditemukan kemunculan titik panas terbanyak adalah pada penggunaan lahan berupa rawa. Pada penggunaan lahan rawa ditemukan sebanyak 3.768 titik. Hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dan berkembang pada tempat yang selalu tergenang air tawar atau secara musiman

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

(6)

tergenang air tawar. Berkembangnya sektor perkebunan dan pertanian di Provinsi Kalimantan Barat mengakibatkan sulitnya mencari lahan untuk kegiatan perladangan. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat mulai beralih memanfaatkan hutan rawa untuk areal pertanian, terutama lahan gambut. Masalah yang timbul adalah sebagian masyarakat masih menggunakan teknik pembakaran untuk membuka areal pertanian, sehingga mengakibatkan terjadinya kemunculan titik panas.

Pada semak belukar ditemukan adanya kemunculan titik panas sebanyak 2.950 titik. Semak belukar adalah tumbuhan perdu yang mempunyai cabang kayu kecil dan rendah. Kemunculan titik panas sangat rawan terjadi pada semak belukar terutama di musim kemarau. Hal ini dikarenakan menumpuknya serasah gulma terutama pakis-pakisan sehingga apabila ada api sedikit saja dapat menimbulkan kebakaran hebat. Peristiwa ini tentunya akan memicu kemunculan titik panas.

Hal yang menarik adalah ditemukannya kemunculan titik panas pada penggunaan lahan tubuh air/sungai. Pada kenyataannya titik panas yang biasanya diindikasikan sebagai peristiwa kebakaran hutan/lahan, tidak mungkin dapat ditemukan pada tubuh air. Kondisi ini menunjukkan kelemahan dari penggunaan data titik panas pada Citra NOAA. Menurut Hiroki dan Dwi (1999), hal ini dikarenakan adanya efek kilau matahari misalnya dikarenakan sudut perekaman yang terlalu rendah dan mengenai obyek air sehingga menyebabkan nilai pantulan menjadi tinggi hampir sama dengan nilai pancaran. Apabila penentuan titik panas menggunakan metode sederhana, maka energi pantulan air menjadi tinggi sehingga akan terekam oleh sensor AVHRR sebagai nilai pancaran dan terklasifikasikan sebagai titik panas.

5.4 Distribusi Temporal Titik Panas

Sebaran titik panas masing-masing bulan selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa jumlah titik panas di awal tahun terbilang masih berada dalam intensitas yang rendah. Kemunculan titik panas mulai menunjukkan peningkatan di bulan Juli hingga mencapai puncak di bulan Agustus. Hal ini dinilai terkait dengan musim kemarau yang mencapai puncaknya di bulan Agustus

(7)

sehingga menyebabkan titik panas yang terpantau mencapai angka yang maksimal. Selanjutnya, pada bulan berikutnya yakni di bulan September jumlah titik panas mengalami penurunan dikarenakan kondisi iklim mulai memasuki musim penghujan kembali. Pola semacam ini terus berulang di setiap tahunnya.

Selain hal tersebut, kemunculan titik panas yang tinggi di bulan Agustus terkait dengan aktivitas pertanian tanaman semusim masyarakat Kalimantan Barat. Berdasarkan hasil penelitian Sunanto tahun 2008 di Kecamatan Rasau Jaya Kabupaten Kubu Raya menyebutkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan di wilayah ini adalah sistem pertanian ekstensif, termasuk masih digunakannya penyiapan lahan dengan cara dibakar untuk tanaman padi. Tanaman padi biasa dilakukan pada saat menjelang musim hujan sekitar bulan September, sedangkan penyiapan lahan dilakukan satu bulan sebelumnya yakni bulan Agustus. Aktivitas penyiapan lahan tersebut dapat memicu kemunculan titik panas sebagai indikasi adanya aktivitas pembakaran hutan/lahan.

Gambar 8. Sebaran Titik Panas Bulanan

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun

(8)

5.5 Hubungan Antara Titik Panas dengan Curah Hujan

Analisis dilakukan menggunakan data curah hujan rata-rata bulanan pada 5 titik stasiun meteorologi. Agar mewakili keterkaitan antara titik panas dengan curah hujan maka dilakukan buffer sejauh 100 km dari stasiun meteorologi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kemunculan titik panas paling banyak terjadi pada bulan Agustus. Curah hujan yang terjadi pada bulan Agustus merupakan curah hujan paling rendah dibanding dengan curah hujan yang terjadi di bulan lainnya. Pada pemaparan berikut akan disampaikan kondisi curah hujan dengan banyaknya titik panas yang terjadi selama 5 periode pengamatan yaitu tahun 2005 hingga tahun 2010

Pada tahun 2005, titik panas paling sering muncul di bulan Agustus dengan kondisi curah hujan intensitas rendah. Titik panas yang muncul sebanyak 583 titik dengan curah hujan sebesar 172.7 mm/bulan. Ketika intensitas curah hujan meningkat menjadi 191.66 mm/bulan mengakibatkan kepadatan titik panas yang muncul mengalami penurunan menjadi 400 titik. Pada tahun 2006, terjadi pola yang serupa. Titik panas paling banyak ditemukan pada bulan Agustus yaitu sebanyak 2061 titik dengan kondisi curah hujan paling rendah sebesar 79.8 mm/bulan. Ketika bulan berikutnya terjadi kenaikan curah hujan menjadi 195.9 mm/bulan, titik panas yang terpantau hanya sebesar 621 titik.

Pada tahun 2007, titik panas di bulan Agustus sebanyak 128 titik dengan kondisi curah hujan 257.88 mm/bulan. Bulan berikutnya terjadi peningkatan curah hujan dan penurunan titik panas hingga akhir tahun 2007. Hal yang serupa terjadi pula di tahun 2008, titik panas terbanyak ditemukan di bulan Agustus yaitu 502 titik dengan kondisi curah hujan rendah yaitu 286.46 mm/bulan. Pada tahun 2009, titik panas yang terlihat di bulan Agustus sebanyak 2602 titik dengan kondisi curah hujan 176mm/bulan. Curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2009 cukup rendah, hal ini terkait dengan fenomena El-Nino yang terjadi.

Hal yang berbeda justru terjadi di tahun 2010, titik panas tertinggi muncul di bulan Oktober sebanyak 383 titik dengan intensitas curah hujan 344 mm/bulan atau bukan pada kondisi curah hujan yang paling rendah sepanjang tahun. Sementara pada bulan Agustus terdapat 246 titik dengan curah hujan 333 mm/bulan. Curah hujan paling rendah terjadi pada awal tahun dengan kondisi

(9)

kemunculan titik panas terendah pula. Untuk data yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang berbanding terbalik antara kemunculan titik panas dengan curah hujan. Seperti yang terlihat pada Gambar 9, titik panas mengalami kemunculan yang maksimum ketika kondisi curah hujan yang rendah dan mulai memasuki musim kemarau seperti pada bulan Agustus. Intensitas kemunculan titik panas mulai mengalami penurunan ketika memasuki musim penghujan dengan curah hujan yang meningkat. Menurut Pasaribu dan Friyatno tahun 2006, kebakaran hutan selalu terjadi di bulan Agustus dikarenakan masyarakat Kalimantan Barat sudah selesai menebas semak yang biasanya dilakukan selama sekitar 40 hari, yaitu sekitar bulan April dan Mei dan sejak bulan Juni semak yang di tebas mulai mengering. Pada periode tersebut sedang terjadi musim kemarau yang sangat terik dan panas, sehingga mendorong masyarakat untuk membakar semak belukar atau rumput/serasah yang sudah ditebas sebelumnya. Jika pembakaran sudah dimulai, maka terjadilah rentetan kebakaran yang tidak diharapkan dan seringkali tidak terkendali terutama pada lahan-lahan tidur yang kepemilikannya tidak terdata.

Gambar 9. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 2005 2006 2007 2008 2009 2010 C u r a h H u j a n T i t i k P a n a s Tahun Titik Panas Curah Hujan

(10)

5.6Penggunaan Lahan Tahun 2000, Tahun 2005, dan Tahun 2010

Pada tahun 2000, penggunaan lahan yang dominan di provinsi Kalimantan Barat adalah kebun campuran yang mencakup luasan 39,03 % atau 5.725.820 ha dan penggunaan lahan hutan yang mencakup luasan 33,46% atau 4.909.200 ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,67% atau sebesar 2.004.944 ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luas penggunaan lahan yaitu mangrove (0,99 %), pemukiman (0,10%), perkebunan (2,89%), pertambangan (0,08%), sawah (1,96%), semak belukar (5,39%), tambak (0,04%), tanah terbuka (1,12%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%).

Pada tahun 2005, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,87% atau 5.703.016 ha dan penggunaan lahan hutan 33,36% atau sebesar 4.894.315 ha. Penggunaan lahan yang mendominasi lainnya adalah rawa sebesar 13,46% atau sebesar 1.974.091 ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (3,50%), pertambangan (0,08%), sawah (1,98%), semak belukar (5,31%), tambak (0,05%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%).

Pada tahun 2010, penggunaan lahan kebun campuran masih mendominasi wilayah penelitian sebesar 38,94% atau 5.713.407 ha dan penggunaan lahan hutan 32,98% atau sebesar 4.838.413 ha. Kemudian penggunaan lahan rawa sebesar 12,74% atau sebesar 1.869.335 ha. Sedangkan penggunaan lahan lainnya hanya terdapat dengan masing-masing proporsi < 10 % dari total luasan penggunaan lahan yaitu mangrove (0,96%), pemukiman (0,10%), perkebunan (4.86%), pertambangan (0,08%), sawah (2.09%), semak belukar (4,95%), tambak (0,06%), tegalan/ladang (0,04%) dan tubuh air (1,24%).

Gambar 10 menunjukkan persentase masing-masing penggunaan lahan selama tahun 2000, 2005 dan 2010. Penggunaan lahan pada daerah penelitian didominasi oleh kebun campuran, hutan, dan rawa pada rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2010. Penggunaan lahan sebagai kebun campuran terdapat sebesar 32.98% dari total luasan provinsi Kalimantan Barat. Penggunaan lahan terluas lainnya adalah penggunaan lahan hutan. Provinsi Kalimantan Barat

(11)

memiliki kawasan hutan yang luas setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Dari ke 14 kabupaten yang terdapat di cakupan wilayah penelitian, penggunaan lahan hutan paling banyak ditemukan di Kabupaten Kapuas Hulu yaitu sebesar 45,23% dari total luasan hutan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan pada wilayah Kapuas Hulu banyak areal yang ditetapkan peruntukkannya sebagai hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi. Bahkan di bagian timur batas provinsi Kalimantan Barat terdapat Taman Nasional Betung Kehirun. Kenampakan Taman Nasional pada citra satelit Landsat akan terklasifikasi sebagai penggunaan lahan hutan. Hal sebaliknya terjadi di Kota Pontianak dan Kota Singkawang, pada wilayah perkotaan seperti ini justru tidak ditemukan penggunaan lahan hutan.

Gambar 10. Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005 dan 2010

Penggunaan lahan pemukiman hanya terdapat di beberapa wilayah yaitu Kabupaten Kubu Raya, Kota Singkawang, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sintang, Kota Singkawang. Penggunaan lahan pemukiman hanya 0,09% dari total luasan wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Penggunaan lahan pemukiman yang sedikit tersebut dapat mengindikasikan bahwa jumlah penduduk yang mendiami Provinsi Kalimantan Barat pun berada pada angka yang rendah. Hal ini sesuai dengan data yang

33.46 39.03 0.99 0.10 2.89 0.08 13.67 1.96 5.39 0.04 1.12 0.04 1.24 33.36 38.87 0.96 0.10 3.50 0.08 13.46 1.98 5.31 0.05 1.05 0.04 1.24 32.98 38.94 0.96 0.10 4.86 0.08 12.74 2.09 4.95 0.06 0.96 0.04 1.24 Penggunaan Lahan Provinsi Kalimantan Barat

(12)

diperoleh dari BPS tahun 2010 bahwa jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat hanya sekitar 4,32 juta jiwa dengan luas provinsi sebesar 146.807 Km2. Berdasarkan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk Kalimantan Barat hanya sekitar 29 Jiwa/km2. Kondisi ini kurang menguntungkan dalam rangka percepatan pembangunan wilayah khususnya menyangkut pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dengan segala potensi dan keragamannya.

Penggunaan lahan semak belukar, tanah terbuka, rawa merupakan penggunaan lahan yang ditemukan menyebar hampir di keseluruhan Kabupaten. Berbeda dengan mangrove dan tambak yang hanya dapat ditemukan di daerah pinggiran pantai yaitu Kabupaten Ketapang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sambas, Kabupaten Kubu Raya. Badan air/sungai merupakan penggunaan lahan dengan luasan yang dianggap tetap meski memiliki luasan yang berbeda pada masing masing tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan volume badan air/sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan sebagai sumber utama ketersedian airnya. Peta penggunaan lahan pada tahun 2000, 2005 dan 2010 dapat dilihat pada gambar berikut :

(13)

Gambar 12. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005

(14)

5.7 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode Tahun 2000-2005 dan Tahun 2005-2010

Pada penelitian ini dilakukan pemantauan terhadap penggunaan lahan provinsi Kalimantan barat selama rentang waktu 10 tahun dari tahun 2000 hingga tahun 2010. Interpretasi visual dilakukan menggunakan citra landsat tahun 2000, 2005 dan 2010. Hasil interpretasi dapat menghasilkan peta penggunaan lahan masing-masing tahun, setelah dilakukan tumpang tindih antara ketiga tahun tersebut dapat diperoleh hasil perubahan penggunaan lahan.

Selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, luasan penggunaan lahan perkebunan mengalami peningkatan sebesar 89.790 ha. Hal ini pun terjadi kembali pada rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010, areal perkebunan luasannya bertambah sebesar 199.640 ha. Hal ini dapat dikarenakan semakin berkembangnya perkebunan di Kalimantan Barat sehingga masyarakat cenderung melakukan alih fungsi lahan menjadi perkebunan. Gubernur Kalimantan Barat Drs.Cornelius, MH mengatakan bahwa pemerintah daerah provinsi Kalimantan Barat memang mendorong perkembangan sektor perkebunan terutama pengembangan komoditi unggul seperti sawit, karet, kakao, lada, kopi dan lainnya. Berkembangnya sektor perkebunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Humasprov, 2011). Penambahan masing-masing luasan penggunaan pada tahun 2000 hingga tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2000-2005

-40000 -20000 0 20000 40000 60000 80000 100000

(15)

Penggunaan lahan lainnya yang mengalami peningkatan luas yang cukup besar adalah sawah. Luas sawah bertambah sebesar 3.460 ha dari tahun 2000 ke tahun 2005 dan kembali bertambah luasannya di tahun 2010 sebesar 16.890 ha. Peningkatan luas suatu penggunaan lahan pasti akan diimbangi dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya. Seperti telah dikemukakan bahwa penggunaan lahan perkebunan dan sawah terus mengalami peningkatan selama 10 tahun terakhir, maka hal sebaliknya justru terjadi pada penggunaan lahan hutan, rawa, kebun campuran, semak belukar dan tanah terbuka. Penggunaan lahan hutan mengalami konversi menjadi penggunaan lahan lain sebesar 14.880 di tahun 2005 dan mengalami penurunan luasan kembali di tahun 2010 sebesar 55.900 ha. Hal menarik adalah penggunaan lahan kebun campuran mengalami penurunan luas sebesar 22.800 ha di tahun 2005 tetapi mengalami peningkatan luas kembali di tahun 2010 yaitu seluas 10.390 ha. Sedangkan semak belukar mengalami penurunan luas sebesar 11.200 ha di selang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 dan kembali mengalami penurunan luas sebesar 53.660 ha di rentang tahun 2005 hingga tahun 2010. Sama halnya dengan tanah terbuka yang kehilangan luas sebesar 10.590 ha di tahun 2005 dan kembali mengalami penyusutan luas menjadi 13.830 ha. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak terjadi selama rentang waktu tahun 2000 hingga tahun 2005 adalah tanah terbuka menjadi semak belukar seluas 50.542 ha dan perubahan juga terjadi dari semak belukar menjadi tanah terbuka seluas 32.201 ha. Pada selang waktu tahun 2005 hingga tahun 2010 perubahan banyak terjadi pada penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan seluas 63.215 ha, semak belukar menjadi perkebunan seluas 57.906 ha dan hutan menjadi perkebunan seluas 50.565 ha. Penambahan masing-masing luasan penggunaan pada tahun 2005 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 15.

(16)

Gambar 15. Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Tahun 2005-2010

Gambar 16 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2000 hingga tahun 2005. Pada tahun 2000 hingga tahun 2005 hanya terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,89% dari luas total provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa perubahan lahan yang paling banyak terjadi adalah penggunaan lahan dari tanah terbuka menjadi semak belukar sebesar 50.540 ha atau 18,19% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan terbesar lainnya adalah semak belukar menjadi tanah terbuka yaitu sebesar 32.200 ha atau sebesar 11,59% dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan ini tidak sengaja dilakukan oleh masyarakat, hanya saja perubahan penggunaan lahan terjadi akibat banyak lahan yang dibiarkan terlantar. Selain itu, terdapat pula perubahan penggunaan lahan kebun campuran yang mengalami konversi lahan menjadi perkebunan yaitu sebesar 26.480 ha atau 9,53%. Perubahan penggunaan lahan yang selanjutnya banyak terjadi dari tahun 2000 hingga tahun 2005 adalah perubahan penggunaan lahan dari semak belukar menjadi perkebunan yaitu sebesar 25.010 ha atau sebesar 9%.

-150000 -100000 -50000 0 50000 100000 150000 200000

(17)

Gambar 16. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000-2005

Gambar 17 menunjukkan perubahan penggunaan lahan yang terjadi selama tahun 2005 hingga tahun 2010. Pada tahun 2005 hingga tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan sebesar 1,99% dari total luas Provinsi Kalimantan Barat. Perubahan penggunaan lahan yang paling banyak terjadi adalah perubahan penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan yaitu seluas 63.210 ha atau 21,64% dari total luasan perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Perubahan penggunaan lahan semak belukar menjadi perkebunan dan hutan menjadi perkebunan mendominasi pula selama tahun 2005 hingga tahun 2010 dengan persentase masing-masing sebesar 19,82% dan 17,31%. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa selama rentang tahun 2005 hingga tahun 2010, sektor perkebunan berkembang cukup pesat di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini dapat terlihat dari besarnya luasan penggunaan lahan yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lahan berupa perkebunan. Penggunaan lahan perkebunan bertambah dengan disertai penurunan luas penggunaan lahan kebun campuran, rawa, semak belukar, hutan.

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000

(18)

Gambar 17. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2005-2010

5.8 Inkonsistensi Penggunaan Lahan Tahun 2010 dengan Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan

Kalimantan Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang masih memiliki luasan hutan cukup besar. Disebutkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 10 Tahun 2010 bahwa kawasan hutan meliputi kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Peta peruntukkan fungsi kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 18.

Kawasan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasaan pengawetan keanekaragaman meliputi kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, taman buru). Berdasarkan peta peruntukan fungsi kawasan hutan, provinsi Kalimantan Barat menetapkan seluas 9,39 % dari total luasan provinsi Kalimantan Barat sebagai taman nasional, taman wisata alam, cagar alam dan suaka margasatwa.

Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara

0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000

(19)

kesuburan tanah. Sebesar 16% luasan provinsi Kalimantan Barat ditetapkan sebagai hutan lindung. Areal yang ditetapkan sebagai hutan lindung tidak diperbolehkan untuk di konversi menjadi penggunaan lahan lainnya.

Gambar 18. Peta Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan

Kawasan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Berdasarkan hasil perhitungan data atribut peta fungsi kawasan hutan maka dapat diketahui bahwa sebesar 16% dari total luasan provinsi Kalimantan Barat ditetapkan fungsinya sebagai kawasan hutan produksi. Hutan produksi terbagi menjadi dua yaitu hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat di konversi (HPK). Menurut PP No 10 tahun 2010 hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru. Sedangkan yang di maksud hutan produksi yang dapat di konversi adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar

(20)

kegiatan kehutanan. Sebesar masing-masing 16% areal ditetapkan peruntukannya sebagai HPT dan HPK.

Gambar 19 menunjukkan persentase luas fungsi kawasan hutan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa fungsi kawasan Area penggunaan lain (APL) ditetapkan sebesar 39%. Hal ini dikarenakan wilayah Kalimantan Barat memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkannya penggunaan lahan berupa perkebunan, lahan pertanian, tambak bahkan pertambangan. Sedangkan sebesar 61% luas areal provinsi Kalimantan Barat masih ditetapkan sebagai kawasan hutan baik berupa hutan lindung, hutan produksi, taman nasional, suaka alam, taman wisata alam, cagar alam. Hal ini dimaksudkan agar berkembangnya perkebunan dan area penggunaan lain tidak mengganggu keberadaan ekosistem hutan yang harus dilestarikan.

Gambar 19. Persentase Luas Fungsi Kawasan Hutan

Setelah melakukan tumpang tindih antara peta penggunaan lahan eksisting

dengan peta peruntukkan fungsi kawasan hutan, dapat diketahui bahwa sebesar 20% dari total luas provinsi Kalimantan Barat tidak sesuai antara penggunaan

lahan eksisting dengan rencana peruntukkan fungsi kawasan hutan. Berdasarkan

Gambar 20 terlihat bahwa pada kawasan hutan konservasi yakni cagar alam, suaka alam, taman nasional, taman wisata alam terdapat ketidaksesuaian penggunaan lahan saat ini dengan perencanaan yang telah dibuat.

0.21% 0.89%1% 2% 3% 7% 16% 16% 16% 39% Suaka Alam Taman Wisata Alam Sungai

Cagar Alam

Hutan Produksi dapat di Konversi Taman Nasional

Hutan Lindung

Hutan Produksi dapat di Konversi Hutan Produksi Terbatas

(21)

Cagar Alam merupakan suatu ekosistem yang memiliki suatu kekhasan sehingga ekosistem tersebut perlu dilindungi. Terdapat 4 cagar alam di provinsi Kalimantan Barat yaitu CA. GN Nyiut Penrinsen, CA. GN. Raya Pasi, CA Mandor dan CA. Kendawangan. Karena ekosistem di dalamnya baik flora maupun fauna terlindungi, maka pada kawasan cagar alam sangat kecil sekali kemungkinan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Ketidaksesuaian penggunaan lahan cagar alam paling banyak terjadi pada penggunaan lahan sebagai kebun campuran yaitu sebesar 25.210 ha atau 0,2% dari total luas wilayah. Selain cagar alam, terdapat pula peruntukkan kawasan untuk suaka alam (SA). Seperti halnya cagar alam, suaka alam pun memiliki ekosistem yang terlindungi sehingga akan sangat minim terjadinya perubahan. Hal ini dapat terlihat bahwa penggunaan lahan yang terdapat pada suaka alam adalah penggunaan lahan hutan dan semak belukar. Penyimpangan penggunaan lahan

eksisting dengan rencana peruntukkan ruang pun terjadi sedikit sekali pada areal

tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional yang berada di provinsi Kalimantan Barat yaitu TN Danau Sentarum, TN Bukit Baka-Bukit Raya, TN Gunung Palung, TN Betung Kerihun. Ketidaksesuaian peruntukkan kawasan taman nasional paling banyak menjadi penggunaan lahan berupa kebun campuran yaitu sebesar 10.280 ha atau sebesar 0,1%. Terdapat pula ketidaksesuaian peruntukkan taman nasional menjadi penggunaan lahan berupa sawah, semak belukar dan tanah terbuka dengan persentase luasan tidak lebih dari 0,1 %.

Perencanaan pemanfaatan kawasan hutan juga mengatur peruntukkan kawasan Taman Wisata alam (TWA). Pada provinsi Kalimantan Barat terdapat 6 kawasan yang ditetapkan sebagai TWA yaitu TWA. GN. Asuansang, TWA Belimbing, TWA. GN. Dungan, TWA. Melintang, TWA. GN. Kelam, HW.

(22)

Baning. Dari keseluruhan kawasan TWA, hampir semua kawasan berada pada penggunaan lahan sebagai hutan baik hutan primer maupun hutan mangrove.

Gambar 20. Persentase Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Eksisting dengan

Peruntukan Kawasan Cagar Alam, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Suaka Alam

Menurut undang-undang RI no 41/1999 hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem peyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir. Untuk itu, wilayah yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung sebaiknya dipertahankan penggunaanya sebagai hutan. Tetapi nyatanya terdapat seluas 402.950 ha peruntukkan lahan sebagai hutan lindung yang justru dimanfaatkan sebagai area penggunaan lahan lain. Walaupun demikian, kawasan hutan yang tetap dipertahankan peruntukkannya sebagai hutan lindung baik sebagai hutan primer, hutan mangrove dan hutan rawa jauh lebih besar yaitu seluas 1.868.130 ha. Ketidaksesuaian penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan fungsi kawasan hutan lindung ergambar secara lengkap pada Gambar 21.

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 P ersentase Ketidaksesu aian P engguna an La ha n d enga n RT RW Kaw asan Hutan Ko n serv asi No Penggunaan Lahan 1 CA-->kebun campuran 2 CA-->pertambangan 3 CA-->semak belukar 4 CA-->tanah terbuka 5 SA-->hutan 6 SA-->semak belukar 7 TN-->kebun campuran 8 TN-->sawah 9 TN-->semak belukar 10 TN-->tanah terbuka 11 TWA-->kebun campuran 12 TWA-->perkebunan 13 TWA-->tambak 14 TWA-->tanah terbuka

(23)

Hutan produksi adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Berdasarkan hasil analisis terdapat seluas 2.351.180 ha atau sebesar 16,1% terjadi ketidaksesuaian peruntukkan fungsi kawasan hutan produksi yang dimanfaatkan sebagai area penggunaan lain yaitu sebagai kebun campuran, perkebunan, sawah, semak belukar, tanah terbuka. Berdasarkan Gambar 22 terlihat bahwa ketidaksesuaian paling banyak terjadi pada penggunaan lahan kebun campuran yang berada pada kawasan hutan produksi. Sebesar 1.015.950 ha atau sebesar 7% terjadinya ketidaksesuaian penggunaan lahan kebun campuran pada kawasan hutan produksi. Akan tetapi penggunaan lahan hutan, hutan mangrove dan hutan rawa terdapat sebesar 2.829.800 ha pada peruntukkan fungsi kawasan hutan produksi.

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000

Gambar 21. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan

Lindung (HL) dengan Penggunaan Lahan Eksisting

Gambar 22. Ketidaksesuaian Peruntukkan Fungsi Kawasan Hutan

(24)

5.9Keterkaitan Sebaran Titik Panas dengan Perubahan Penggunaan Lahan

Keterkaitan titik panas dengan perubahan penggunaan lahan ditandai oleh banyaknya titik panas secara terus menerus setiap tahun pada suatu kawasan. Salah satu kasus yang terjadi adalah kemunculan titik panas yang terus-menerus di Kabupaten Bengkayang pada akhir tahun 2004 dan awal tahun 2005. Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada lokasi tersebut adalah hutan, hutan rawa, dan perkebunan. Jumlah titik panas pada areal tersebut terbilang rendah selama tahun 2000 hingga awal tahun 2004, bahkan pada bulan Agustus dimana jumlah titik panas biasanya terpantau maksimum tidak terlihat adanya titik panas. Pada bulan Juni tahun 2004 tampak kemunculan titik panas sebanyak 65 titik ketika memasuki musim kemarau. Titik panas selanjutnya ditemui pada lokasi yang berpindah-pindah dan pada bulan Agustus terdapat 22 titik. Bulan berikutnya yakni bulan September hingga Desember, tidak ada titik panas di sekitar areal hutan tersebut. Hal ini terjadi karena kondisi iklim yang telah memasuki awal musim penghujan. Titik panas kembali muncul sebanyak 20 titik di bulan Januari tahun berikutnya. Selanjutnya, titik panas muncul selama 2 bulan berturut-turut dengan jumlah yang cukup besar yakni 52 titik di bulan Februari, 84 titik di bulan Maret. Memasuki bulan Juli titik panas kembali tampak di areal sekita hutan rawa tersebut berjumlah 35 titik, dan meningkat jumlahnya di bulan Agustus menjadi 85 titik. Akhir bulan September tahun 2005 terpantau sebanyak 9 titik. Titik panas yang terpantau secara relatif singkat selama rentang waktu hanya satu tahun ternyata diikuti oleh terjadinya penambahan luas areal perkebunan sebesar 21.810 ha. Pola perkebunan yang terbentuk hampir serupa dengan pola kemunculan titik panas selama bulan Juni tahun 2004 hingga bulan September tahun 2005.

Setelah adanya konversi penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan perkebunan, pada areal tersebut tidak ditemukan adanya sebaran titik panas. Titik panas justru tampak di sekitar areal perkebunan tersebut yakni pada penggunaan lahan rawa. Pada bulan Juli tahun 2006 terjadi kemunculan titik panas pada penggunaan lahan rawa sebanyak 21 titik. Satu bulan setelahnya, yakni di bulan Agustus 2006 ditemukan kembali titik panas sebanyak 7 titik. Pada bulan Oktober di tahun yang sama jumlah titik panas terlihat sebanyak 5 titik. Di

(25)

awal tahun berikutnya, tidak terlihat adanya kemunculan titik panas. Titik panas kembali muncul di bulan Agustus tahun 2007 sebanyak 8 titik. Intensitas sebaran titik panas pada areal hutan rawa tersebut tidak sebesar sebaran titik panas yang ditemukan sebelumnya, tetapi kemunculan titik panas yang terus-menerus di areal yang sama menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya luas penggunaan lahan perkebunan yaitu sebesar 12.250 ha dalam waktu yang singkat. Secara lebih lengkap, kemunculan titik panas dan perubahan penggunaan lahan yang terjadi dapat dilihat pada Lampiran 21.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kemunculan titik panas yang terjadi pada penggunaan lahan hutan dan hutan rawa tersebut menyebabkan bertambahnya areal perkebunan sebesar 34.060 ha. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemunculan titik panas yang terus menerus (kontinyu) pada suatu areal dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Dalam kasus ini, perubahan penggunaan lahan yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan hutan dan hutan rawa menjadi perkebunan. Perubahan penggunaan lahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif cukup singkat.

Lampiran 22 menyajikan contoh kasus lain yang dapat menunjukkan bahwa kemunculan titik panas yang kontinyu mengakibatkan adanya perubahan penggunaan lahan. Sebelum ditemukan adanya kemunculan titik panas, penggunaan lahan pada areal tersebut adalah hutan, hutan rawa dan perkebunan. Pada tahun 2005, luas perkebunan yang terdapat pada kawasan tersebut sebesar 5.726 ha. Kemunculan titik panas pertama kali tampak sekitar bulan Maret tahun 2007 sebanyak 21 titik. Sebaran titik panas tersebut terjadi pada penggunaan lahan berupa hutan dan hutan rawa. Pada bulan berikutnya, titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik. Secara berturut-turut, kemunculan titik panas terpantau sejak bulan Maret tahun 2007 hingga bulan Agustus tahun 2007. Kemunculannya di bulan Mei terpantau sebanyak 4 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Memasuki bulan Juli, sebaran titik panas mulai meningkat yakni sebanyak 8 titik. puncak kemunculannya terjadi di bulan Agustus yaitu sebanyak 20 titik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bulan Agustus adalah waktu dimana intensitas kemunculan titik panas paling maksimal.

(26)

Ketika memasuki musim penghujan di bulan September tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas hingga akhir tahun. Titik panas kembali terlihat di bulan Januari sebanyak 11 titik. Tiga bulan setelahnya tidak diketahui ada kemunculan titik panas. Sebarannya baru terlihat di bulan Mei sebanyak 36 titik, bulan Juni sebanyak 7 titik dan di bulan Agustus sebanyak 4 titik. Pada tahun 2008 tersebut, kemunculan titik panas paling banyak di areal tersebut justru ditemukan di bulan Mei. Kemunculan titik panas tidak tampak selama kurun waktu hampir setahun, dan mulai terlihat kembali di bulan April tahun 2009 sebanyak 2 titik. Sebulan setelahnya terlihat sebanyak 6 titik dan di bulan Juni sebanyak 6 titik. Titik panas kembali terlihat sebanyak 6 titik di bulan Juli, 20 titik di bulan Agustus dan di bulan September sebanyak 7 titik.

Setelah kemunculannya di bulan September tahun 2009, tidak ditemukan adanya kemunculan titik panas kembali. Pada areal tersebut terlihat adanya perubahan penggunaan lahan hutan/hutan rawa menjadi perkebunan. Luasan areal perkebunan bertambah sebesar 27.870 ha. Walaupun kepadatan titik panas yang terpantau tidak sebanyak yang terjadi pada kasus sebelumnya, tetapi kemunculannya yang kontinyu dalam jangka waktu yang lebih lama dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan.

Gambar

Gambar 6. Jumlah Titik Panas Tahun 2000-2011
Gambar 7. Titik Panas Pada Masing-masing Penggunaan Lahan Selama Tahun  2000 hingga Tahun 2010
Gambar 8. Sebaran Titik Panas Bulanan 0500100015002000250030003500400045005000 200020012002200320042005200620072008200920102011Tahun
Gambar 9. Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas   0 50 1001502002503003504004505000200400600800100012001400200520062007200820092010 Curah HujanTitikPanasTahunTitik PanasCurah Hujan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk saluran drainase yang melayani Kawasan perkotaan di Kabupaten Ende adalah saluran terbuka yang belum diperkeras (berupa tanah) dan umumnya terletak di

Puji syukur penulis panjatkan kepada Bunda Maria dan Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat

a) Gejala stres yang paling banyak timbul akibat adanya perubahan didalam sistem bekerja para ibu tersebut antara lain adalah gejala stres secara fisik yang

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Kemampuan menulis naskah drama siswa kelas VIII MTs Nahdlatul Ulum Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar telah diperoleh secara keseluruhan

Membantu bengkel Auto 2000 Cabang Radio Dalam untuk mengetahui bagaimana menganalisa Pengaruh Bauran Pemasaran dan Lingkungan Sosio-Budaya Pelanggan terhadap Pengambilan Keputusan

motivasi kerja karyawan juga berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap. peningkatan

Putusan Pengadilan Agama Bukit Tinggi Nomor 618/Pdt.G/2012/PA.Bkt yang menetapkan dalam amar putusannya bahwa harta bersama dalam perkawinan dibagi menjadi 1/3

Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan nilai P = 0,243 yang berarti lebih besar dari