• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Jenis Persalinan yang Berisiko Terjadi Stres

Abdul (2001) menyatakan Persalinan Pervaginam adalah proses pengeluaran bayi melalui vagina, baik berupa persalinan spontan, dengan bantuan alat vakum atau forsep. Persalinan spontan pervaginam adalah proses pengeluaran bayi dengan usia kehamilan cukup bulan, letak memanjang, presentasi belakang kepala dan dengan tenaga ibu sendiri. Hampir sebagian besar persalinan merupakan persalinan normal, sebesar 12%-15% berupa persalinan patologik.

Sedangkan menurut Saifudin (2001) Persalinan Pervaginam adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37 – 42 minggu) dengan presentasi belakang kepala tanpa komplikasi baik pada ibu atau janin.

2.2.2. Persalinan dengan Ekstraksi Vakum

Menurut Saifudin (2001) Proses persalinan dengan ekstraksi vakum adalah proses persalinan dengan tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi.

Menurut Abdul (2001) Persalinan dengan ekstraksi vakum adalah persalinan dengan bantuan alat yang dipakai untuk memegang kepala janin yang masih berada dalam jalan lahir. Ekstraksi vakum merupakan tindakan obstetrik yang bertujuan untuk mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan ekstraksi pada bayi. Oleh karena itu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk mengekspresikan bayinya, merupakan faktor yang sangat penting dalam menghasilkan akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke arah yang sama. Ada tiga gaya yang bekerja pada prosedur ini yaitu: (1) Tekanan intra uterin (kontraksi), (2) Tenaga mengedan, (3) Gaya tarik.

2.2.3. Seksio Sesaria

Seksio sesaria adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gr, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (intact) (Abdul, dkk, 2001). Sedangkan menurut Pilliteri (2003), seksio sesaria adalah persalinan melalui insisi abdominal dan uterus dengan prosedur pembedahan, tindakan dilakukan jika persalinan pervaginam merugikan.

Menurut Gulardi dalam Pilliteri (2003), Indikasi seksio seksaria dari faktor ibu adalah ibu dengan penyakit herpes genital atau papiloma, positif menderita HIV-AIDS, disproporsi kepala panggul, servik kaku/tidak membuka, hipertensi dalam

kehamilan, pre eklampsi, induksi atas indikasi tanpa kemajuan persalinan, obstruksi tumor benigna/maligna dan sebelumnya dilakukan operasi seksio sesaria. Dari faktor plasenta diantaranya adalah plasenta previa, solusio plasenta dan prolaps tali pusat. Dari faktor janin meliputi kondisi fetus besar, “fetal distress” (gawat janin), anomali mayor fetal, multi gestasi atau kembar siam, dan presentasi abnormal.

Read, et.al (2001) mengatakan pelaksanaan persalinan seksio sesaria ada 2 yaitu, seksio sesaria terencana (elektif) dan seksio sesaria darurat (emergensi). Seksio sesaria terencana adalah tindakan seksio sesaria yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan teliti sebelum periode melahirkan, seperti pada kasus panggul sempit, presentasi lintang, herpes genitalia, dan plasenta previa totalis. Sedangkan menurut Pileteri (2003) seksio sesaria darurat adalah tindakan yang dilakukan dengan persiapan, “informed consent” dan “support” yang sangat cepat dilakukan untuk upaya penyelamatan ibu dan bayi. Seksio sesaria emergensi dilakukan pada plasenta previa dengan perdarahan yang mengancam, solusio plasenta, “fetal distress” dan persalinan tak maju. Resiko tindakan emergensi seksio sesaria meningkatkan resiko bedah secara umum, di mana ibu tidak siap secara psikologis menghadapinya.

Adapun efek pembedahan pada wanita menurut Townsend (2003) jika seorang wanita mengalami tindakan seksio sesaria, dapat mengalami stress baik fisik maupun psikologis. Dampak stres terhadap fisik diantaranya adalah terjadinya perubahan pada mata, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, hati, sistem perkemihan, kelenjar keringat, dan pada sel lemak terjadi pemecahan

lemak. Selain itu hipotalamus juga merangsang pelepasan hormon-hormon dari glandula pituary.

Pilliteri, A (2003) mengatakan bahwa adanya komplikasi fisik akibat prosedur bedah sesaria adalah yang dapat menyebabkan terjadinya hipovolemia, karena sekitar 500-1000 ml darah dikeluarkan selama proses pembedahan. Komplikasi fisik lainnya dapat terjadi pada ibu pasca bedah seksio sesaria adalah terjadinya infeksi, terutama pada klien yang telah mengalami pecah ketuban lebih dari 4 jam, kondisi ini memerlukan memerlukan antibiotik untuk mencegah endometritis pasca bedah. Di samping itu stress menyebabkan fungsi kandung kemih menjadi kurang sensitif dan peristaltik usus menurun, kondisi ini akan semakin menurun lagi dengan adanya efek dari anastesi pembedahan.

Menurut Pilleteri (2003) dampak stres setelah pembedahan seksio sesaria terhadap psikologis ibu post partum diantaranya adalah gangguan rasa percaya diri dan gangguan gambaran diri terkait adanya skar pada kulit akibat pembedahan. Ganggugan psikologis lain yang dapat terjadi akibat pembedahan seksio sesaria dan pasca melahirkan adalah kemurungan, depresi dan psikosis pasca melahirkan.

Johnson (1989) mengatakan melahirkan merupakan kejadian hidup yang sangat berarti bagi wanita, begitu pula peran tambahan sebagai orang tua. Masalah yang terjadi sebagai akibat dari perubahan yang terjadi antara lain penyesuaian akan ketertarikan untuk selalu berada di rumah, membiasakan diri untuk terbangun setiap saat, ketidakmampuan melakukan kegiatan rumah tangga, kelelahan dan perasaan

terabaikan oleh suami. Hal ini sangat berperan dalam perubahan psikologis ibu post partum.

Menurut Whibley (2006) perubahan emosi ibu post partum secara umum antara adalah:

a. Thrilled dan excited, ibu merasakan bahwa persalinan merupakan peristiwa besar dalam hidup. Ibu terheran-heran dengan keberhasilan melahirkan seorang bayi dan selalu bercerita seputar peristiwa persalinan dan bayinya. b. Overwhelmed, merupakan masa kritis bagi ibu dalam 24 jam pertama untuk

merawat bayinya. Ibu mulai melakukan tugas-tugas baru.

c. Let down, status emosi ibu berubah-ubah, merasa sedikit kecewa khususnya dengan perubahan fisik dan perubahan peran.

d. Weepy, ibu mengalami baby blues pasca salin, karena perubahan yang tiba-tiba dalam kehidupan, merasa cemas dan takut dengan ketidakmampuan merawat bayinya dan merasa bersalah. Perubahan emosi ini dapat membaik dalam beberapa hari setelah ibu dapat merawat diri dan bayinya serta mendapat dukungan keluarga.

e. Feeling beat up, merupakan masa kerja keras fisik dalam hidup dan akhirnya merasa kelelahan.

Kishore (2006) mengatakan bahwa masalah kesehatan jiwa pada masa melahirkan dan menjadi orang tua diantaranya adalah: Baby blues terjadi antara hari ketiga sampai kesepuluh setelah melahirkan. Terjadi 30%-80%. Gejala meliputi episode menangis, sangat lelah, insomnia, mudah tersinggung dan sulit konsentrasi.

Sindrom stres dan mood postpartum dapat menetap sampai mencapai 2 bulan. Gejala berupa rasa malu, merasa sangat sibuk, tidak berdaya, tidak nafsu makan, masalah tidur, mudah marah, dan iritabel. Reaksi kecemasan dapat berlangsung sampai 6 bulan atau lebih, dengan gejala rasa percaya diri rendah, tidak berharga, agitasi, bingung, distraksi, cemas berlebih dan kurang tidur. Kejadian psikosis postpartum 1-2 dari 1000 ibu postpartum dengan gejala halusinasi, bingung dan delusi.

Penelitian Coben (2004), yang meneliti tentang stres pasca trauma pada ibu hamil, melahirkan dan pasca melahirkan. Dari sejumlah 253 responden ibu postpartum yang diobservasi di RS Toronto Canada dan 200 ibu postpartum di rumah yang diinterview melalui telepon, diperoleh hasil bahwa kelompok ibu yang mengalami kesulitan persalinan berhubungan signifikan dengan tingginya kejadian stres pasca trauma.

Dokumen terkait