• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

NO JENIS SPONS LOKAS

SAMPEL/ HABITAT RENDEMEN % 1 8,02 2 44,92 3 30,59 4* 0,96 Bagian Barat Pulau Pari

5* 6,14

1* 12,33

2* 4,43 Bagian Selatan Pulau Pari

3* 4,78 1* 17,65 1 Aaptos aaptos Transplantasi,Barat Pulau Pari 2* 16,01 1 17,30 2 12,28 Bagian Barat Pulau Pari

3 10,09

1 7,38 Bagian Selatan Pulau Pari

2 21,17 1* 2,38 2* 7,09 2 Petrosia sp. Transplantasi,Barat Pulau Pari 3* 5,07 * tanpa ulangan individu (hanya satu individu/habitat)

Analisa Kandungan dan Aktivitas Antimikrob Fraksi Senyawa Ekstrak Kasar Spons

Ekstrak metanol spon Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang difraksinasi menggunakan etil asetat kemudian dianalisis menggunakan metode kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography/TLC). Hasil analisis TLC menunjukkan

ekstrak kasar yang difraksinasi memiliki beberapa kandungan senyawa yang terpisah.

Spons Aaptos aaptos yang difraksinasi berasal dari bagian Barat P. Pari dengan rendemen ekstrak kasar sebesar 4,7 % dari bobot total spons (500 g). Fraksinasi spons ini hanya menghasilkan dua fraksi, yaitu fraksi organik yang diperkirakan mengandung senyawa bioaktif dan fraksi air. Fraksi organik sampel spons menunjukkan adanya 6 spot kandungan senyawa yang terpisah pada Kromatografi lapis tipis. Tabel 6 memperlihatkan nilai Rf senyawa yang terpisah pada analisis TLC.

Sementara itu sampel spons Petrosia sp. yang difraksinasi berasal dari bagian Selatan P. Pari menghasilkan rendemen sebesar 1,22 % dari bobot total spons (470 g). Fraksi yang dihasilkan dari ekstrak kasar spons Petrosia sp. adalah fraksi organik dan semi organik, serta fraksi air (Gambar 9). Analisa TLC di bawah sinar UV (254 dan 365 nm) menunjukkan fraksi organik spons Petrosia

sp. mengandung tiga spot kandungan senyawa yang terpisah, dan fraksi semi organiknya mengandung empat spot senyawa yang terpisah (Tabel 6; Gambar 10). Identifikasi awal senyawa-senyawa yang terpisah tersebut dicirikan oleh Rf (faktor retardasi) yang didapatkan dengan membagi jarak spot senyawa dengan jarak eluen dari titik awal sampel.

Gambar 9 Fraksinasi ekstrak kasar spons (a) Aaptos aaptos dan (b) Petrosia sp. Fraksi organik

Fraksi air Fraksi semi

organik

Tabel 6 Nilai Rf kandungan senyawa ekstrak kasar hasil fraksinasi di bawah sinar UV (254 dan 365 nm)

UV (Rf x 100) JENIS SPONS FRAKSI

254 nm 365 nm 4,49 42,13 80,33 50,56

58,42

Aaptos aaptos organik

95,5 5,68 97,7 organik 64,7 14,77 52,8 Petrosia sp. semi organik 96,59 96,59

Gambar 10 Hasil kromatografi lapis tipis (TLC) spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. Masing-masing plat TLC diuji bioautografi untuk melihat aktivitas antibakteri senyawa yang terkandung dalam fraksi ekstrak kasar spon Aaptos aaptos dan

Petrosia sp. Hasil uji bioautografi yang dilakukan terhadap A. hydrophylla

menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang tidak terlalu jelas pada masing- masing sampel spons (Gambar 11 – 13). Hal ini kemungkinan disebabkan bakteri target tersebut tidak cukup sensitif terhadap senyawa-senyawa yang dianalisis. Selain itu, ketidakjelasan zona hambat juga dikarenakan pengamatan yang dilakukan tidak menggunakan reagen pereaksi yang sesuai untuk melihat zona yang terbentuk.

Fraksi organik sampel spons Petrosia sp. menunjukkan aktivitas antibakteri pada ketiga senyawa yang dikandung (Rf: 0,0568, 0,647 dan 0,977). Demikian

pula pada fraksi semi-organik sampel spons Petrosia sp., semua senyawa yang terpisah menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap A. hydrophylla (Rf: 0,1477, 0,528 dan 0,9659). Sementara itu, pada fraksi organik sampel spons

Aaptos aaptos, hanya ada 3 senyawa yang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap A. hydrophylla. Ketiga senyawa tersebut memiliki nilai Rf 0,0449, 0,8033 dan 0,955.

Gambar 11 Bioautografi fraksi organik spons Aaptos aaptos terhadap A. hydrohylla.

Gambar 12 Bioautografi fraksi organik spons Petrosia sp. terhadap A. hydrohylla. Zona hambat

Gambar 13 Bioautografi fraksi semi-organik spons Petrosia sp. terhadap A. hydrohylla.

Bakteri Simbion dan Biomassa Sel Spons

Sampel segar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. ditriturasi untuk kemudian diinokulasi pada media Sea Water Complete Agar (SWC), dengan tujuan mengisolasi bakteri simbionnya. Setelah inkubasi selama 10 hari, koloni bakteri dimurnikan dan diidentifikasi secara konvensional dengan mengamati morfologinya dan uji fisiologi menggunakan Microgen ID GN A + B Panel Kit produksi Microgen Bioproducts.

Spons Aaptos aaptos mengandung 8 bakteri simbion yang berhasil diisolasi, sementara isolat yang didapatkan dari spons Petrosia sp. setelah inkubasi 10 hari hanyalah 2 isolat fungi simbion, dan tidak adanya bakteri simbion yang berhasil diisolasi (Gambar 14). Tabel 7 menunjukkan morfologi bakteri simbion yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos.

Tabel 7 Morfologi bakteri simbion yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos MORFOLOGI

NAMA

ISOLAT Pigmentasi Gram Bentuk sel A1 putih + batang panjang A2 oranye + bulat (kokus) A3 putih + batang (basil) A4 putih - batang pendek A5 putih - batang pendek A6 putih - bulat (kokus) A7 putih - bulat (kokus) A8 putih + batang panjang

Gambar 14 Isolat fungi simbion spons Petrosia sp.

Hasil pengamatan morfologi menunjukkan bahwa bakteri yang berhasil diisolasi, empat isolat diantaranya merupakan bakteri Gram (+) dan empat lainnya merupakan bakteri Gram (-). Uji fisiologi terhadap 4 bakteri Gram (+), yaitu isolat A1, A2, A3 dan A8, menunjukkan bahwa isolat A1, A3 dan A8 memiliki ciri ciri yang sama dengan bakteri dari genus Bacillus. Sementara isolat A2 memiliki ciri bakteri dari genus Staphylococcus. Identifikasi bakteri Gram (+) berdasarkan ciri morfologi dan fisiologi dilakukan dengan menggunakan buku Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (Holt et al. 1994).

Bakteri Gram (-) yang berhasil diisolasi antara lain adalah isolat A4, A5, A6 dan A7. Isolat A4 dan A6 memiliki ciri-ciri yang sama dengan Acinetobacter haemolyticus. Isolat yang lain, yaitu A5 memiliki ciri yang menyerupai

Xenorhabdus nemathopilis, atau dulu dikenal sebagai Pseodomonas nematophilus. Ketiga isolat ini belum dapat dipastikan sebagai Acinetobacter haemolyticus dan Xenorhabdus nematophilus karena kesamaan ciri fisiologi ke-3 isolat tersebut masih berada di bawah 90%. Selain itu, hasil uji fisiologi menunjukkan bahwa ke-3 isolat tersebut termasuk kategori Poor identification

menurut analisis identifikasi Microgen ID versi 1.08.11. Hal ini disebabkan ada beberapa sifat fisiologi ke-3 isolat tersebut yang tidak sesuai dengan sifat fisiologi

A. Haemolyticus dan X. nematophilus. Sementara itu, isolat A7 dapat dipastikan merupakan bakteri Vibrio alginolyticus, dengan kesamaan ciri morfologi dan fisiologi sebesar 99,84%.

Pengamatan biomassa sel spons dilakukan dengan melihat struktur sel dari preparat histologi dan penghitungan jenis sel masing-masing spesies spons di bawah miksroskop fase kontras. Pengamatan preparat histologi menunjukkan bahwa spons Aaptos aaptos memiliki spikula oxea yang tersebar di bagian

ektosom (korteks) dan spikula style serta strongyle yang terdapat di bagian ektosom (korteks) dan endosom (medulla). Gambar 15 menunjukkan struktur sel spons Aaptos aaptos. Pada gambar tersebut juga dapat diamati sel-sel archaeocyt (amoebocyt) dengan nukleus berukuran besar (Richelle-Maurer 2001). Sementara itu, hasil fraksinasi sel spons dengan metode sentrifugasi (Richelle-Maurer 2001) menunjukkan bahwa bobot spikula dan sel debris spons mencakup 55,9% bobot total sel, dan pellet bakteri simbion mencapai sekitar 29,9% (Tabel 8). Skema fraksi sel spons untuk Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dapat dilihat pada Gambar 17.

Tabel 8 Persentase fraksi sel spons setelah sentrifugasi FRAKSI SEL (%) JENIS SPONS

spikula+ sel debris sel spons (choanosome) pellet bakteri simbion

Aaptos aaptos 55,9 14,2 29,9

Petrosia sp. 68,6 19,7 11,7

Gambar 15 Struktur sel Aaptos aaptos (pengamatan histologis pada perbesaran 20x10). spikula

Gambar 16 Struktur sel spons Petrosia sp. (preparat histologi pada perbesaran 20 x 10 (a-c: spikula) dan 40 x 10 (d: bagian medulla spons), tanda panah pada Gambar 16d menunjukkan sel berwarna kemerahan dengan nukleus yang besar, dan spikula terikat jaringan spongin, yang ditandai lapisan transparan di sekeliling spikula.

Struktur sel spons Petrosia sp. yang teramati dari preparat histologi menunjukkan jaringan skeleton yang terdiri dari susunan spikula isotropik (seragam) yang padat. Gambar 16 memperlihatkan spikula yang terdapat pada jaringan spons Petrosia sp. Susunan spikula tersebut terdiri dari spikula oxea, style dan strongyle. Archaeocyt tidak terlihat jelas pada preparat histologi yang diamati dengan mikroskop fase kontras. Jaringan spongin terlihat sedikit

a

oxea style

b

strongyle

transparan, mengikat spikula yang padat, terutama pada bagian ektosom (korteks).

Hasil fraksi sel spons Petrosia sp. dengan menggunakan metode sentrifugasi (Richelle-Maurer 2001), menunjukkan bahwa fraksi spikula dan sel debris spons merupakan fraksi yang paling besar (68,6%), sementara pellet bakteri simbion yang ditemukan hanya mencapai 11,7 %. Hal ini mengindikasikan bahwa biomassa spons Petrosia sp. lebih dipengaruhi oleh sel- sel penyusun skeleton spons, daripada bobot simbionnya.

Gambar 17 Distribusi fraksi sel spons setelah sentrifugasi.

Penghitungan jumlah dan jenis sel spons serta bakteri simbion pada spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dilakukan setelah fraksi spons berhasil dipisahkan. Namun, jumlah masing-masing sel tidak berhasil diketahui. Hal ini disebabkan fraksi-fraksi sel tersebut bersifat transparan, sehingga sulit untuk diamati.

Sentrifugasi 1000 rpm 5 menit

SUPER NATAN Sel spons + cyanobacteria

(choanosome) Sel spons yang

telah dihancurkan

spikula + sel debris Sentrifugasi 4000 rpm

10 menit

Sel spons

(choanosome)

PEMBAHASAN

Bioaktivitas Senyawa Ekstrak Kasar Spons dan Pengaruh Lingkungan Hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. terhadap bakteri target dan Artemia salina menunjukkan hasil yang bervariasi pada sampel dari alam dan hasil transplantasi. Secara keseluruhan, spons Aaptos aaptos menunjukkan bioaktivitas yang lebih tinggi terhadap organisme target (bakteri dan A. salina) daripada spons Petrosia sp., untuk sampel yang berasal dari alam maupun sampel yang merupakan hasil transplantasi. Hal ini disebabkan oleh senyawa bioaktif yang dikandung oleh kedua spons merupakan senyawa dengan struktur dan jenis yang berbeda.

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap kandungan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos menunjukkan senyawa tersebut antara lain adalah homarine dan piridiniumbetain B (Granato et al. 2000). Menurut Bergquist dan Hartman (1969), ordo Hadromerida (termasuk di dalamnya genus

Aaptos) mengandung senyawa aktif ninhidrin. Bergquist (1991, diacu dalam Miller et al. 1998) dan Pelletier et al. (1987) mengemukakan lebih lanjut bahwa

Aaptos mengandung senyawa aaptamine dan senyawa demethyloxyaaptamine yang termasuk dalam golongan alkaloid. Selain itu, penelitian lain menyatakan bahwa genus ini memiliki kandungan senyawa aktif lektin, seperti pada Aaptos papillata (Bretting et al. 1976). Sementara itu, spons Petrosia sp. diketahui mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok poliasetilen. Senyawa ini diketahui memiliki potensi sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, H+, inhibitor K+-ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas antitumor serta immunosuppresive

(Young et al. 1999; Kim et al. 2002; www.cas.muohio.edu). Sarma et al. (2005) juga mengemukakan bahwa senyawa weinbergsterol dan ikatan sterol orthoester yang memiliki rantai samping 16 β-OH (dan 20-OH serta 22-O-butyrat) berhasil diisolasi dari Petrosia weibergii. Selain itu, senyawa lembehsterol A dan B serta 6-O-sulfat ester berhasil diisolasi dari P. strongylata yang berasal dari Indonesia.

Perbedaan bioaktivitas spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur morfologinya. Morfologi spons

Petrosia sp. yang keras dengan komposisi spikula yang padat memungkinkan mekanisme pertahanan diri secara fisik menjadi lebih dominan daripada mekanisme secara kimiawi. Menurut Hill dan Hill (2002), spikula skeleton dapat

berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap predasi spons. Hasil preparat histologi spons Petrosia sp., menunjukkan struktur organisasi selnya lebih didominasi oleh materi mineral, ini memungkinkan spons dapat mereduksi produksi metabolit sekundernya. Penelitian Hill dan Hill (2002) mengenai plastisitas morfologi spons Anthosigmella varians juga menunjukkan bahwa pada saat tingkat predasi tinggi, spons akan memproduksi spikula dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi senyawa bioaktif spons, karena produksi spikula merupakan proses yang membutuhkan energi tinggi. Selain itu, tidak semua predator spons dapat dihalau dengan mekanisme pertahanan secara kimiawi, seperti ikan Chaetodon melannotus (Allino et al. 1992, diacu dalam Hill & Hill 2002). Sehingga, kemungkinan spons akan mengurangi produksi senyawa kimiawi untuk efisiensi energi.

Senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang berasal dari alam memiliki tingkat bioaktivitas yang bervariasi pada habitat dan lokasi yang berbeda. Sementara sampel yang berasal dari hasil transplantasi cenderung menunjukkan hasil yang lebih seragam, kecuali untuk spons Petrosia

sp. Kurangnya jumlah sampel menyebabkan analisa secara statistik tidak dapat dilakukan untuk menentukan faktor lingkungan yang berperan terhadap aktivitas senyawa bioaktif.

Secara keseluruhan, sampel spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari bagian Selatan P. Pari memiliki tingkat toksisitas ekstrak kasar yang lebih tinggi terhadap Artemia salina daripada sampel (alam dan hasil transplantasi) yang berasal dari bagian Barat P. Pari. Keragaman tingkat bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons dapat disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan mikro pada habitat (lokal) dan lokasi yang berbeda. Lokasi pengambilan sampel di bagian Barat P. Pari memiliki lingkungan perairan dengan substrat pasir yang agak berlumpur dengan kekeruhan yang lebih tinggi, sementara bagian Selatan memiliki substrat karang dengan arus yang lebih kencang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap metabolisme spons, karena mekanisme filter feeder yang dilakukan spons untuk mendapatkan nutrisinya. Menurut Bell dan Barnes (2003), morfologi dan fisiologi spons dipengaruhi oleh faktor lingkungan mikro tempat hidupnya. Pertumbuhan dan metabolisme serta simbion yang berasosiasi dengan spons akan dipengaruhi juga oleh faktor-faktor tersebut. Bell dan Barnes (2003) juga menyatakan bahwa substrat tumbuh spons dapat berpengaruh

terhadap morfologi spons, yang dengan demikian, juga akan mempengaruhi bioaktivitasnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi adaptasi morfologi spons antara lain adalah aliran air, sedimentasi dan tipe substrat (Bell & Barnes 2000, diacu dalam Bell & Barnes 2003). Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perbedaan morfologi dan bioaktivitas secara signifikan di dalam satu habitat.

Lingkungan perairan yang cenderung subur (terkontaminasi limbah organik) juga sangat berpengaruh besar terhadap produksi senyawa bioaktif spons. Hal ini disebabkan lingkungan yang subur dapat menyebabkan spons dapat mengurangi jumlah jenis dan kelimpahan simbion yang berasosiasi dengan spons tersebut (Wilkinson 1987, diacu dalam Steindler 2002). Sementara terdapat kemungkinan bahwa organisme simbion tersebut memiliki peran penting dalam produksi senyawa bioaktif.

Penelitian lain juga memaparkan bahwa suhu berpengaruh besar terhadap respirasi dan metabolisme primer, serta metabolisme sekunder spons. Zocchi et al. ( 2001, 2002) berhasil membuktikan bahwa kenaikan suhu dapat mengaktivasi pembentukan ADP-ribosa cylase. ADP-ribose cylase ini berperanan dalam sekresi insulin dan proliferase sel. Penelitian yang dilakukan Zocchi et al. (2002) terhadap Axinella polypoides menunjukkan bahwa stimulasi suhu pada jangka pendek dapat menyebabkan penurunan (depresi) asam amino yang berkepanjangan, dan meningkatkan laju respirasi spons. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi metabolit sekunder (senyawa bioaktif), karena beberapa senyawa metabolit sekunder merupakan hasil samping dari metabolisme primer (antara lain asam amino).

Selain itu, bioaktivitas yang berbeda juga dapat ditemukan pada bagian tubuh yang berbeda dari satu organisme, seperti bagian basal (dasar) yang melekat pada substrat akan memiliki bioaktivitas dan struktur sel yang berbeda dengan bagian atas yang jauh dari substrat. Proksch et al. (2003), menyatakan bahwa distribusi senyawa alkaloid dari spons Oceanapia sp. mengikuti model yang sama dengan produksi senyawa metabolit sekunder pada tanaman. Ini ditunjukkan dengan distribusi alkaloid yang berbeda antara bagian tubuh spons yang terpapar dan yang tidak terpapar. Konsentrasi alkaloid yang tinggi pada spons tersebut ditemukan pada bagian fistullae dan cabang aseksualnya. Sementara konsentrasi terendah (hanya sekitar 0,8% berat kering) ditemukan pada bagian dasar tubuh (basal) yang terkubur pasir, dan seringkali luput dari

predator. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bagian tubuh serta habitat spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang memproduksi senyawa bioaktif secara optimal.

Spons Aaptos aaptos yang merupakan hasil transplantasi menunjukkan tingkat aktivitas antibakteri dan toksisitas yang tidak jauh berbeda. Ini dapat disebabkan faktor habitat yang cenderung sama, antara lain substrat dan aliran air yang sama, serta tingkat sedimentasi yang tidak berbeda antara sampel yang dianalisa. Hal yang berlawanan terjadi pada spons Petrosia sp. yang berasal dari hasil transplantasi. Tingkat bioaktivitas yang ditunjukkan pada sampel-sampel yang dianalisa cenderung sangat beragam, terutama aktivitas terhadap bakteri target S. aureus dan toksisitas terhadap Artemia salina.

Keragaman tingkat bioaktivitas tersebut dapat disebabkan oleh struktur morfologi Petrosia sp. yang lebih padat akan komponen mineral penyusun skeleton. Nichols dan Werheide (2005), menyatakan bahwa dalam usahanya mempertahankan diri, spons yang mengalami kerusakan jaringan akan lebih cepat pulih jika tidak memiliki pertahanan secara kimiawi. Sipkema et al. (2005) juga menyatakan bahwa sintesis metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi spons tersebut. Sebagai contohnya, spesimen Crambe crambe yang mendapatkan cahaya cukup akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik dan lebih cepat daripada spesimen yang terlindung dari cahaya. Namun, spesimen yang terlindung dari cahaya akan memiliki pertahanan kimiawi yang lebih baik, karena adanya akumulasi senyawa bioaktif (Turon et al. 1998, diacu dalam Sipkema et al. 2005).

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan (korelasi) antara tingkat bioaktivitas antibakteri dengan toksisitas terhadap

Artemia salina pada senyawa ekstrak kasar dengan konsentrasi yang sama. Hal ini disebabkan mekanisme inhibisi terhadap bakteri target tidak sama dengan toksisitas terhadap organisme multiseluler. Aktivitas antibakteri dapat bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik) atau membunuhnya (bakterisidal). Kelly et al. (2003) membuktikan bahwa senyawa antibakteri dari spons dapat saja menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga berfungsi sebagai antifouling terhadap pembentukan biofilm. Namun, senyawa yang sama belum tentu bersifat toksik, atau sebaliknya.

Kandungan dan Aktivitas Antimikrob Fraksi Senyawa Ekstrak Kasar Spons Hasil kromatografi lapis tipis (TLC) fraksi organik senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos menunjukkan 6 kandungan senyawa organik yang terpisah. Sementara spons Petrosia sp. memiliki 3 kandungan senyawa yang terpisah untuk fraksi organiknya, dan 4 kandungan senyawa fraksi semi organik. Kandungan senyawa tersebut direfleksikan oleh spot-spot yang terpisah dengan nilai Rf (faktor retardasi) yang berbeda.

Beberapa penelitian mengenai spons Aaptos aaptos menunjukkan bahwa terdapat 4 senyawa aktif berbeda yang telah berhasil diisolasi dari spons tersebut, yaitu homarine, piridiniumbetain B, aaptamine dan demethyloxyaaptamine. Sementara penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap spons Petrosia sp. berhasil mengisolasi lima senyawa berbeda, yaitu weinbergsterol, sterol orthoester dengan rantai samping 16 β-OH (dan 20-OH serta 22-O-butyrat), lembehsterol A dan B serta 6-O-sulfat ester. Hasil analisis kandungan senyawa aktif Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang dilakukan pada penelitian ini menunjukkan 6 kandungan senyawa aktif yang terpisah dari spons

Aaptos aaptos dan 7 kandungan senyawa terpisah dari spons Petrosia sp. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan ditemukannya 2 senyawa baru dari spons Aaptos aaptos dan 2 senyawa dari spons Petrosia sp. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa tersebut.

Nilai Rf (faktor retardasi) TLC belum dapat dijadikan sebagai identifikasi komponen senyawa, tetapi hanya dapat untuk melihat jumlah komponen yang terkandung dalam ekstrak kasar spons dan sebagai dasar purifikasi pada kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC). Hal ini disebabkan nilai Rf tergantung pada beberapa hal, yaitu sistem pelarut, jenis adsorbent (plat TLC) yang digunakan, jumlah senyawa organik yang dianalisa,

dan temperatur dalam sistem (Furniss et al. 1978;

http://chem.chem.rochester.edu). Walau demikian, salah satu kandungan

senyawa organik yang berasal dari spons Aaptos aaptos dengan nilai Rf 0,42 diperkirakan adalah senyawa yang menyerupai senyawa norharman (β- carboline, 9H-Pyrido [3,4-b] indole), yang ditemukan oleh Zheng et al. (2005) dari bakteri yang berasosiasi dengan spons Hymeniacidon perleve. Senyawa tersebut dapat diperkirakan sama dengan senyawa yang ditemukan Zheng et al. karena jenis adsorbent (plat TLC), sistem pelarut dan temperatur sistem yang

digunakan pada penelitian ini sama dengan jenis adsorbent, sistem pelarut dan temperatur yang digunakan pada penelitian Zheng et al. (2005).

Aktivitas antimikrob kandungan senyawa ekstrak kasar (bioautografi) juga dilakukan pada masing-masing plat hasil TLC, dengan menggunakan bakteri target A. hydrophylla. Hasil bioautografi menunjukkan aktivitas antimikrob yang rendah, karena zona bening yang dihasilkan tampak tidak jelas. Ini dapat disebabkan oleh kurang sensitifnya bakteri target terhadap kandungan senyawa bioaktif, atau bioaktivitas kandungan senyawa lebih rendah daripada ekstrak kasarnya. Senyawa murni dapat kehilangan bioaktivitasnya karena beberapa hal, antara lain senyawa-senyawa yang bersifat sinergisme dalam mekanisme bioaktivitas kehilangan kemampuannya karena adanya pemisahan komponen. Alasan lainnya adalah metabolit tersebut teroksidasi atau rusak selama proses fraksinasi, sehingga kehilangan bioaktivitasnya (Sjögren 2006). Facchini (2001, diacu dalam Sjögren 2006) juga menyatakan bahwa beberapa jalur enzimatik yang berperan dalam produksi metabolit sekunder, terbukti sangat mudah terinduksi, terutama produksi metabolit yang berupa senyawa alkaloid.

Penentuan identifikasi kandungan senyawa fraksi kedua spons dalam penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut dengan melakukan purifikasi senyawa menggunakan kromatografi kolom atau HPLC, kemudian penentuan struktur spektroskopi massa. Senyawa yang telah murni, kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut secara komersial, setelah proses paten dan lisensi produk. Gambar 17 menunjukkan skema alur penelitian dan pengembangan produk senyawa bioaktif dari spons.

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap Aaptos aaptos menunjukkan bahwa spons ini memiliki senyawa bioaktif berupa senyawa homarine dan pridiniumbetain (Granato et al. 2000). Selain itu, Pelletier dan Cava (1987) menemukan senyawa aaptamine, demethylaaptamine dan demethyloxyaaptamine pada spons Aaptos aaptos yang berasal dari Laut Okinawa. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan sebagai antitumor, antimikroba dan kemampuan menghalangi (blocking) aktivitas α-adrenoceptor.

Kemampuan menghalangi aktivitas α-adrenoceptor diperkirakan berperan dalam pertahanan spons Aaptos terhadap predator (Bergquist 1991, diacu dalam Miller

et al. 1995).

Penelitian mengenai senyawa bioaktif yang dikandung spons Petrosia sp. juga telah banyak dilakukan sebelumnya. Gung (2001) menyatakan bahwa spons

tersebut mengandung senyawa yang termasuk dalam kelompok polyacetilene. Kelompok senyawa ini memiliki aktivitas biologi yang beragam, antara lain sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, inhibitor H+ dan K+- ATPase, inhibitor HIV, dan aktivitas immunosupressive serta antitumor. Baru- baru ini telah ditemukan juga senyawa polyacetylenetriol, pada spons Petrosia sp. dari laut Mediterania, yang memiliki kemampuan sebagai inhibitor DNA polimerase (Loya

et al. 2002, diacu dalam Chelossi 2004). Kandungan senyawa bioaktif spons

Aaptos aaptos dan Petrosia sp. juga telah dikemukakan pada bagian awal

Dokumen terkait