• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis Tanah/Batuan

Dalam dokumen Roadmap Pengembangan Perikanan Tangkap u (Halaman 83-95)

4.6. Sumberdaya Pesisir dan Laut

4.2.2. Jenis Tanah/Batuan

Tanah lapisan atas(top soil) yang menyusun lahan wilayah pesisir

Kabupaten Langkat umumnya terdiri dari alluvial, regosol, organosol, hidromorfik kelabu dan podsolik kuning. Jenis tanah alluvial, regosol dan organosol berada pada daerah dengan topografi datar yaitu Kecamatan Pangkalan Susu, Tanjung Pura dan Secanggang. Jenis tanah hidromorfik kelabu juga terdapat pada daerah dengan topografi datar yaitu Kecamatan Besitang, Brandan Barat, dan Gebang, sedangkan jenis tanah podsolik kuning dengan topografi bergelombang terdapat pada Kecamatan Besitang, Sei Lepan dan Babalan.

Litologi wilayah pesisir Kabupaten Langkat terdiri dari endapan aluvium, endapan sungai rawa dan pantai, bongkahan batu gamping, pasir, lumpur dan lempung yang terdapat di sepanjang Pantai Timur Laut Langkat. Sedangkan litologi batu gamping Gunung Sitoli (Qtg), batu gamping lanauan, batu pasir gampingan, kuarsa halus gampingan, batu pasir, napal dan lempung pasiran terdapat di Kecamatan Gebang, Brandan Barat dan sebagian kecil Pangkalan Susu.

P

Peennggeemmbbaannggaann

P

Peerriikkaannaann

TTaannggkkaapp

Sumberdaya pesisir laut Kabupaten Langkat memiliki

keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan non hayati, serta jasa lingkungan yang berpotensi ekonomi, yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama pesisir. Wilayah Pesisir laut Kabupaten Langkat, sebagai daerah pertemuan antara pengaruh daratan dan lautan, merupakan ekosisitem yang sangat rentan terhadap berbagai perubahan dan gangguan, baik yang berasal dari kegiatan di daratan maupun di lautan. Ekosistem ini diketahui sangat produktif menghasilkan beranakaragam sumberdaya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Wilayah pesisir seringkali termarginalkan dalam

pembangunan bahkan tidak jarang pula menjadi korban dari

pembangunan itu sendiri, terutama dengan hadirnya berbagai jenis bahan pencemar, sehingga seolah-olah daerah ini telah menjadi tempat pembuangan sampah. Oleh karena itu wilayah pesisir sudah saatnya untuk, ditata batas-batas pengelolaannya serta dipulihkan berbagai fungsi ekologisnya agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, terutama untuk memenuhi hajat hidup penduduknya.

Walaupun ekosistem pesisir tidak mengenal batas-batas

administratif, namun penetapan batas-batas pengelolaannya berkaitan sangat erat dengan kebijakan dan rencana pemanfaatannya karena harus

berbatasan. Hal ini disebabkan karena permasalahan yang sekarang dihadapi pada dasarnya merupakan dampak negatif dari berbagai kegiatan yang berada di luar wilayah Kabupaten Langkat, terutama daerah-daerah di atasnya (upland areas). Oleh karena itu rencana

pengelolaannya harus diintegrasikan dengan rencana pengelolaan

kawasan-kawasan di sekitarnya. Penetapan batas wilayah pengelolaan merupakan hasil konsensus antar sektor yang memuat komitmen bahwa setiap kegiatan pembangunan di dalam wilayah pengelolaan harus dikoordinasikan terlebih dahulu secara lintas sektor. Dengan demikian maka penetapan batas wilayah pengelolaan merupakan suatu batas kewenangan pengelola sebagai pemegang mandat atas nama Pemerintah

Kabupaten Langkat untuk melakukan koordinasi kegiatan-kegiatan

pembangunan. Pengkoordinasian kegiatan pembangunan dimaksudkan

untuk memberikan jaminan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai

pengelolaan wilayah pesisir dapat diterapkan sebagai acuan bersama. Dengan kata lain wewenang-wewenang sektoral tidak perlu dan tidak

akan berkurang atau dikurangi melainkan diupayakan semaksimal

mungkin untuk diintegrasikan dengan kegiatan sektor-sektor terkait lainnya.

Produksi laut yang berasal dari sumberdaya perairan laut sebagian besar masih berasal dari hasil pengambilan di alam. Keadaan ini dapat memperbesar tekanan terhadap sumberdaya perairan laut, dan dapat mempengaruhi kesinambungan produksi. Usaha budidaya laut merupakan suatu alternatif usaha untuk mengurangi ketergantungan kepada usaha pengambilan dari alam (anonim, 2000)

Gambar 34. Hasil tangkapan ikan di TPI

Kegiatan perikanan tangkap menurut UU No.27 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkannya. Dalam hal ini perlu diketahui Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam pemanfaatan sumberdaya hayati berupa kegiatan penangkapan ikan harus memperhatikan jalur-jalur penangkapan yang telah ditetapkan. Penangkapan ikan pada jalur IA dilakukan melalui jalur penangkapan sampai dengan 3 (tiga) mil dari garis pantai diperuntukkan bagi penangkapan ikan dengan menggunakan perahu tanpa motor dan atau perahu motor tempel bermesin kurang dari 16 PK dan kapal motor di bawah 3 GT.

Jalur penangkapan IB adalah antara 3 mil sampai dengan 4 mil dari garis pantai diperuntukkan bagi kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu bermotor tempel 16 PK sampai dengan 25 PK dan kapal motor di bawah 5 GT dengan mesin berkekuatan sebesar-besarnya 10 PK dengan menggunakan alat tangkap jenis pancing ulur, pancing rawai dengan jumlah mata pancing kurang dari 100 unit, trammel net

(jaring apollo) dan geruk kerang tradisional, sedangkan jalur II

diperuntukkan untuk kapal-kalal yang besarnya >10 PK.

Pendaratan ikan hasil

tangkapan hanya dapat dilakukan di tempat-tempat pendaratan ikan

atau di tangkahan. Pendaratan

ikan wajib melakukan pencatatan hasil tangkapan dan membayar retribusi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang

berlaku.

Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak. Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia,

keadaan ini, maka pengembangan perikanan tangkap yang efisien dan

ramah lingkungan sangat diperlukan sehingga sektor ini dapat

menyumbang produksi ikan secara berkelanjutan.

Sumberdaya Pesisir adalah sumberdaya alam hayati seperti ikan dan biota laut lainnya dan sumberdaya non-hayati seperti pasir dan sumberdaya buatan serta jasa-jasa lingkungan yang berupa keindahan panorama alam wilayah pesisir. Sedangkan Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan satu sama lain dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas. Penetapan batas wilayah pesisir diperlukan demi kepastian dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah ini. Penetapan batas wilayah pengelolaan ke arah darat didasarkan pada pendekatan administrasi pemerintah, sedangkan penetapan batas wilayah pengelolaan kearah laut didasarkan pada ketentuan Pasal 18 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu bertujuan untuk menetapkan

kebijakan pengaturan pemanfaatan, perlindungan serta pelestarian

sumber daya pesisir dengan memperhatikan kepentingan ekonomi dan pelestarian fungsi-fungsi lingkungan hidup dimana perencanaan masing- masing sektor senantiasa melibatkan semua pemangku kepentingan. Dasar hukum bagi penanaman modal merupakan aspek yang sangat penting karena pemanfaatan potensi ekonomi dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir secara optimal memerlukan pembiayaan melalui investasi dalam jumlah besar, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar Kabupaten Langkat. Dalam hal ini pelaksanaan kebijakan pengaturan secara konsisten dapat menjamin kepastian antara lain karena dapat diprediksikan bahwa modal yang ditanamkan akan membawa keuntungan.

Perlindungan terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat diharapkan dapat menumbuhkan umpan balik berupa dukungan dalam bentuk peran serta masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan

yang dapat disepakati. Perlindungan terhadap situs-situs budaya

dimaksudkan untuk memelihara dan melestarikan ciri-ciri khas Kabupaten Langkat yang dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata dan pemberdayaan masyarakat dalam dorongan meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara lestari

Gambar 36. Konsep Kawasan Pesisir Terpadu

Penataan struktur ruang (zonasi) kawasan merupakan tindak lanjut dari penetapan batas pengelolaan wilayah pesisir yang selanjutnya menajdi roadmap pengembangan perikanan tangkap untuk mendukung program agromarinepolitan di Kabupaten Langkat. Dengan struktur ruang

kawasan di dalam wilayah pengelolaan. Penataan struktur ruang diarahkan untuk mengatur pemanfaatan ruang ruang berdasarkan potensi sumber alam, jenis kegiatan, besaran kegiatan, fungsi setiap zona, kualitas ruang, dan estetika lingkungan. Dengan demikian maka faktor keserasian dan keseimbangan merupakan visualisasi dari daya dukung dan daya tampung wilayah pengelolaan dilihat dari potensi ekologi dan potensi ekonominya. Oleh karena itu perkembangan setiap kawasan perlu dikendalikan sedemikian rupa guna mencegah benturan kepentingan antar kegiatan yang dapat merugikan kepentingan bersama. Pembatasan- pembatasan yang dapat dilakukan adalah melalui penerapan kriteria- kriteria tertentu untuk setiap kawasan, terutama berkaitan dengan volume kegiatan, besaran modal, maupun jenis teknologi yang diperkenankan

untuk diintroduksikan ke dalam setiap zona. Kemudian dari itu,

berdasarkan pertimbangan potensi sumber-sumber kekayaan alam yang dikandungnya, zona-zona tertentu dari wilayah pengelolaan pesisir Kabupaten Langkat dapat diprioritaskan pembangunannya sehingga dapat dijadikan sebagai andalan bagi pembangunan Kabupaten Langkat pada skala yang lebih luas. Pemerintah daerah menyiapkan infrastruktur untuk mendukung kegiatan perikanan, seperti gudang berpendingin (cold storage), bengkel, Solar Pocked Dealer untuk Nelayan (SPDN), Tempat Pendaratan Ikan, Pangkalan Pendaratan Ikan dan Dermaga

Gambar 37. Penataan Zonasi di Kaw.Pesisir

Daerah pesisir dan laut sekarang telah mengalami ketertinggalan dan

keterbelakangan dimana terjadi degradasi ekosistem lingkungan pesisir

dan laut (mangrove, terumbu karang, estuaria, padang lamun).

Masyarakat pesisir khususnya nelayan kini merupakan kelompok

masyarakat termiskin oleh karena itu saatnya pembangunan di mulai dari wilayah pesisir dan laut. Gerakan Masyarakat untuk membangun ekonomi berbasis pesisir laut di kawasan terpilih yang dirancang dan dilaksanakan dengan pendekatan sistem.

Program Agromarinepolitan adalah pendekatan pembangunan wilayah berbasis pada sumberdaya alam (pertanian, kelautan dan perikanan) yang dilaksanakan secara terpadu, efisien, berdaya saing, berkeadilan dan ramah lingkungan untuk menciptakan kemajuan dan

 Adanya peningkatan aksesibilitas pasar yg dapat menurunkan biaya transportasi, sehingga meningkatkan pendapatan petani

 Adanya peningkatan kelembagaan mampu mendorong terbukanya

akses keuangan dan investasi

 Tumbuhnya partisipasi dan peranan stakeholder

 Adanya berbagai pertemuan yg melibatkan pemerintah dan

masyarakat, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat

 Adanya peningkatan sarana & prasarana kawasan yg berdampak pada

peningkatan mutu dan hasil pengolahan produk di kawasan (Sub

Terminal Agribisnis, Packing House, jalan antar desa, air baku, dll)

 Tercegahnya arus urbanisasi serta termanfaatkannya kearifan lokal

(indigenous technology) untuk kesejahteraan masyarakat

Gambar 38 . Pola Pemanfaatan Ruang di wilayah pesisir dalam

Pendanaan program agromariepolitan bersumber dari pemerintah kabupaten/kota menyiapkan anggaran (APBD) untuk melaksanakan kegiatan program sedangkan fasilitasi dari pusat dan provinsi (sesuai dengan tugas masing-masing) sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan

tahunan darimaster plan.

Unsur-unsur dari Pusat lokalitas agromarinpolitan adalah sebagai berikut :

• Suatu hamparan lahan/ kawasan dengan luasan 1000 – 1500 ha, yang

memiliki kesamaan agroekosistem dengan komoditas unggulan yang berkembang/dikembangkan.

• Luasan tertentu antara 20 – 40 ha (khusus perikanan)

• Memiliki sejumlah usahatani individu yang terorganisir dalam kelompok-

kelompok tani.

• Memiliki usaha kelompok/koperasi atau usaha individu yang bergerak

dalam perdagangan bibit, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian (unit penyedia jasa alat dan mesin pertanian) seperti : traktor mini

multifungsi, hand tractor, angkutan pedesaan, dryer, pergudangan, cold

storage, dan lain-lain, usaha grading dan standarisasi, serta usaha packaging dan sortasi.

• Memiliki kelembagaan dan sistem penyuluhan agribisnis.

• Memiliki lembaga keuangan mikro dan atau jaringan ke perbankan.

• Memiliki jaringan ke sumber teknologi dan jaringan informasi pasar.

• Memiliki jalan antar usahatani (farm road) dan jalan penghubung

lokalitas ke daerah lain

• Memiliki infrastruktur (jalan, listrik dan telekomunikasi)

• Terdapat sarana produksi perikanan tangkap setingkat TPI, sarana

Gambar 39. Rancang bangun lokalitas pada Program Agromarinepolitan

Dalam dokumen Roadmap Pengembangan Perikanan Tangkap u (Halaman 83-95)

Dokumen terkait