• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.4. Jenis Tanah

Jenis tanah yang dominan di wilayah Halmahera Timur adalah Podsol Merah Kuning dan Tanah Kompleks. Uraian masing-masing jenis tanah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tanah Latosol mempunyai bahan induk yang berasal dari Tuff Vulkan dan terdiri dari Latosol Vulkanik dan Latosol Gunung. Di atas tanah tersebut terdapat tanaman perkebunan serta kebun campuran berbagai tanaman (keras dan tanaman semusim);

2. Tanah aluvial terdapat di daerah datar (lereng < 15%) yang terbentuk dari endapan sungai. Terdiri dari 2 jenis, yaitu Aluvial Pantai dan Aluvial Lembah. Aluvial Pantai biasanya terdapat di wilayah pantai yang subur, dan ditanami oleh masyarakat dengan tanaman kelapa dan kebun campuran. Aluvial Lembah terdapat di pedalaman dan biasanya ditanami tanaman pangan (sawah) dan sayuran;

3. Tanah Podsol terdiri dari Podsol Merah Kuning yang mempunyai bahan induk metamorphosis yang terdapat di kecamatan Wasile, sedangkan Podsol Coklat Kelabu berasal dari batuan metamorphosis yang terletak di ecamatan Maba Selatan;

4. Tanah Kompleks terdiri dari beberapa jenis yang tidak dapat atau sulit dipisahkan sendiri-sendiri. Tanah ini umumnya terletak di bagian tengah pulau dan memiliki vegetasi hutan.

4.4.1. Pertanian dan Perkebunan

Berdasarkan data luas panen dan produksi kecamatan Wasile saja telah mencukupi (140 kg beras/kapita/tahun) untuk kebutuhan seluruh warga kabupaten Halmahera Timur, walaupun hasilnya masih rendah, yaitu hanya 2,8 ton GKG (gabah kering giling)/ha padi sawah dan 1,2 ton GKG/ha padi ladang. Hanya dengan meningkatkan hasil melalui program intensifikasi, hasil dapat ditingkatkan menjadi 4 - 5 ton GKG untuk padi sawah dan 2 - 2,5 ton GKG untuk padi ladang. Bila hal ini dapat dilakukan, maka kabupaten Halmahera Timur dapat menjadi supplier untuk daerah/propinsi yang kekurangan. Peningkatan produksi juga masih dapat dilakukan melalui ekstensifikasi, karena tanah yang sesuai cukup

luas, yaitu tanah Aluvial Pantai seluruhnya 58.614 ha dan tanah Podsolik Merah Kuning seluas 228.997 ha.

Jika dilihat pada sketsa komoditas dan peta kemiringan lahan, Halmahera Timur memiliki kemiringan lahan (>15 – 25%) yang cocok untuk pengembangan perkebunan terletak sepanjang wilayah pantai. Tanah dengan kemiringan >3-15% juga cocok untuk tanaman perkebunan, walaupun lebih baik untuk pengembangan tanaman pangan/semusim. Dari lahan dengan kemiringan 15-25% seluas hampir 150.000 ha, yang jenis tanahnya cocok untuk perkebunan, yaitu podsolik dan aluvial, luasnya sekitar 123.000 ha.

Selain pada lahan dengan kemiringan 15-25%, perkebunan juga dapat dikembangkan pada lahan dengan kemiringan 25-40%. Perkebunan yang dikembangkan pada lahan dengan kemiringan tersebut memerlukan perlakuan khusus tertentu, yang terutama sekali dimaksudkan untuk memperkecil dampak negatif berupa erosi dan longsor. Potensi lahan dengan kemiringan 25-40% yang dapat dikembangkan untuk perkebunan diperkirakan seluas 423.000 ha (RTRW, 2005).

Seperti terlihat pada Gambar 6 berikut bahwa, terdapat beberapa kecamatan yang sesuai untuk komoditas kelapa, cengkeh, sagu, padi dan jagung. dimana pembatas kesesuaia n lahan di wilayah ini adalah jenis tanah, curah hujan rata-rata sekitar 2.500 mm/tahun dan kelerengan yang berkisar antara 0 - 40 persen. Sedangkan sebagian besar pedalaman ‘kaki’ timur Pulau Halmahera memiliki kemiringan 15 – 40 persen. Kondisi tersebut menggambarkan potensi pengembangan komoditas perkebunan dan pertanian di wilayah Halmahera Timur masih sangat besar.

4.4.2. Pertambangan

Berbagai macam tambang terdapat di wilayah Kabupaten Halmahera Timur, dan yang telah dieksploitasi baru nikel, tetapi hambatan untuk meningkatkan luas eksploitasi terbentur pada adanya tumpang tindih lahan dengan sektor lain. Untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi perlu adanya program pengembangan atau pembangunan terpadu antar sektor, sehingga kekayaan alam yang ada dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Kenyataan yang ada adalah bahwa lahan bekas penambangan terbuka biasanya tidak segera diikuti oleh rehabilitasi lahan, yang sebenarnya sudah harus ditetapkan pada tahap perencanaan, baik sistemnya maupun jadwalnya, serta ditaati sesuai dengan yang seharusnya, lebih jelasnya dapat dilihat pada identifikasi potensi.

Produksi biji nikel selama tahun 2007 untuk yang berkadar tinggi sebanyak 1,87 juta ton atau rata-rata sekitar 155.965 ton setiap bulan. Untuk biji nikel berkadar rendah sebanyak 135.313 ton atau rata-rata sebanyak 16.914 ton setiap bulan. Biji Nikel sebagian besar dipasarkan ke luar negeri yakni diekspor ke Jepang sebanyak 1,56 juta ton untuk yang berkadar tinggi dan ke Australia sebanyak 119,616 ton untuk yang berkadar rendah (Bappeda, 2005), dapat dilihat pada Tabel 20.

4.4.3. Kehutanan

Kabupaten Halmahera Timur masih didominasi (sekitar 70%) oleh hutan dari berbagai jenis hutan dan kondisi. Luas hutan produksi yang dapat dikonversi dan luas lahan yang telah digunakan (sekitar 210.000 Ha) masih jauh lebih besar dari yang telah digunakan untuk non-hutan (sekitar 131.500 Ha). Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat areal yang luas untuk berbagai pengembangan non hutan.

4.4.4. Perikanan dan Kelautan

Mengingat lokasi kabupaten Halmahera Timur yang ‘menghadap’ ke Lautan Pasifik, potensi ikan pelagis (tuna, cakalang, tongkol) pasti besar, sehingga pembangunan industri perikanan mempunyai potensi yang baik. Selain ikan tersebut di atas, ikan lain yang biasa ditangkap adalah julung, kembung, layang, lemuru, ekor kuning, selar, tembang dan teri. Pengalaman industri perikanan laut

di Pulau Bitung (Sulawesi Utara), Biak (Papua) dan daerah lain di tepi laut Pasifik, perlu dipelajari dengan seksama sebelum investasi besar ditanamkan. Titik tolak pengembangan harus dari segi pemasaran yang harus mantap, terutama untuk pemasaran ke luar kabupaten, bahkan ke luar propinsi. Idealnya dapat dikembangkan untuk ekspor, mengingat posisinya yang dekat dengan laut Pasifik yang kaya akan ikan pelagis dan/atau dekat dengan potensi pasar seperti Jepang, baik untuk komoditas ikan tangkap maupun hasil marikultur non- ikan, seperti rumput laut. Potensi pasar rumput laut cukup besar (Dinas Perikanan, 2007), sedangkan budidaya dan pengolahan pasca panen juga sederhana, cukup dikeringkan dengan sinar matahari; penanganan selanjutnya tidak berisiko besar. Untuk pengembangannya jelas memerlukan studi khusus, termasuk dalam hal pelatihan dan pemasaran. Untuk itu, wilayah yang diidentifikasi sesuai, seperti di Teluk Kao yang kondisi ombaknya relatip tenang, sehingga baik untuk pengembangan marikultur, harus dipertahankan kualitasnya sebagai cadangan untuk pengembangan lebih lanjut.

Demikian pula halnya untuk wilayah yang potensial untuk pengembangan budidaya tambak. Sedangkan di Teluk Buli, pada musim angin timur, kondisinya tidak bersahabat. Pengembangan budidaya ikan air tawar mungkin masih belum saatnya, mengingat geografi wilayah yang didominasi laut. Untuk pengembangan usaha penangkapan di laut, pengalaman usaha yang ada di Bitung, Sulawesi Utara atau di Biak dan Sorong, Papua, merupakan acuan, baik untuk pengembangan sendiri atau dalam rangka kerjasama.

Dokumen terkait