• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian

C. Jenis Tanah

Jenis tanah yang diupayakan dalam budidaya pertanian di wilayah Desa Limbung secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: Alluvial dan Organosol (gambut).

Tanah Alluvial yang terbentuk pada daerah pinggiran sungai dan delta saat ini cukup luas tingkat pemanfaatannya, walaupun dengan kondisi fisik dan kimia tanah yang terbatas. Tanah Organosol (gambut) merupakan lahan yang sangat berpotensi untuk dikembangkan, terdapat dengan kondisi kematangan yang beragam, mulai dari gambut mentah, setengah matang maupun gambut yang sudah siap untuk ditanam setelah diberi teknologi yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologinya.

D. Penduduk

Jumlah penduduk Desa Limbung pada tahun 2006 yaitu 13. 848 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 7.066 jiwa dan perempuan 6.782 jiwa. Penyebaran penduduk terutama terkonsentrasi pada dusun yang berada relatif dekat dengan pusat desa, dengan kondisi infrastruktur dan prasarana transportasi yang cukup baik. Sebagian lain berdomisili pada dusun yang berjauhan dengan pusat pemerintahan dengan kondisi prasarana transportasi yang umumnya belum memadai.

Deskripsi Petani Jagung di Desa Limbung

Penelitian ini menganalisis faktor internal petani (umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, dan motivasi) dan faktor eksternal petani (lahan, interaksi dengan penyuluh, sarana produksi, keterlibatan dalam kelompoktani, dan akses kredit) dan hubungan faktor-faktor tersebut dengan tingkat kompetensi petani jagung di lahan gambut. Hasil analisis faktor-faktor internal dan eksternal di bagi dalam tiga kategori, yaitu: rendah, sedang, dan tinggi; berikut ini disajikan deskripsi keluarga petani di desa studi pada setiap kategori tersebut.

Bapak W lahir di Pontianak dan pada saat penelitian berumur 40 tahun, mempunyai istri yang berumur 34 tahun serta dua orang anak, masing-masing 9 tahun dan 3 tahun. Bapak W disamping berusahatani jagung sebagai mata pencaharian utama, juga mempunyai warung di samping rumahnya menjual kebutuhan sehari-hari untuk menambah penghasilan. Pendidikan formal bapak W adalah tamat SMU (12 tahun) dan telah berusahatani jagung selama tujuh tahun. Sebelum berusahatani jagung, bapak W pernah bekerja sebagai buruh pabrik di kota Pontianak. Bapak W berusahatani jagung atas keinginan sendiri dan di dorongan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan serta karena merasakan keuntungan dari hasil panen yang didapatkan, sehingga berpendapat usahatani jagung di lahan gambut relatif berhasil. Lahan gambut milik bapak W seluas 0,25 hektar yang digunakan untuk berusahatani jagung dan untuk mengembangkan kegiatan usahatani jagung, bapak W menyewa lahan orang lain seluas 0,5 hektar. Bapak W adalah ketua kelompoktani, sehingga aktif dalam kegiatan penyuluhan dan kegiatan kelompoktani yang diadakan di desa studi; dalam setahun terakhir, bapak W mengikuti lima kali kegiatan penyuluhan dan delapan kali kegiatan kelompoktani. Program penyuluhan yang pernah diikuti menurut bapak W diantaranya adalah teknis penanaman, pengendalian hama, dan teknis pascapanen. Warung milik bapak W, disamping menjual keperluan sehari- hari juga menyediakan sarana produksi (benih, pupuk, dan obat-obatan), sehingga bapak W dapat menyediakan sarana produksi secara lengkap untuk proses

produksi usahatani jagung. Bapak W pernah lima kali memanfaatkan sumber modal dari koperasi, dan berpendapat bahwa proses mendapatkan sumber modal dari koperasi adalah mudah.

Bapak S lahir di Kediri dan pada saat penelitian berumur 75 tahun, mempunyai istri yang berumur 65 tahun serta tiga orang anak, masing-masing 31 tahun, 30 tahun, dan 4 tahun. Dua orang anaknya sudah menikah dan tinggal di desa lain. Bapak S pernah menempuh sekolah formal sampai tamat SD dan menetap di desa Limbung sejak tahun 1956, ikut transmigrasi dari Jawa. Sejak saat itu Bapak S berusahatani di lahan gambut dengan menanam kopi dan juga pernah menanam sayuran. Mulai tahun 1992 mencoba untuk berusahatani jagung, karena merasa relatif menguntungkan usahatani jagung terus dilanjutkan. Lahan gambut yang dimiliki untuk usahatani jagung adalah satu hektar, dan bapak W tidak ada menyewa lahan orang lain. Bapak S menyebutkan tidak mengenal penyuluh, dan tidak pernah ikut dalam kegiatan penyuluhan, serta tidak aktif dalam kegiatan kelompoktani. Bapak S beralasan bahwa penyuluh jarang datang ke desa studi sehingga kegiatan penyuluhan jarang dilakukan dan hanya khusus untuk anggota kelompoktani. Kegiatan kelompoktani tidak diikuti oleh bapak S karena merasa keberatan adanya kewajiban iyuran dari anggota yang dibayar kepada kelompok pada setiap setelah panen, serta bapak S merasa tidak punya waktu untuk ikut dalam pertemuan-pertemuan kelompok. Sarana produksi didapatkan oleh bapak S dengan membeli di kios-kios saprodi di desa studi, yang menurut bapak S selalu tersedia dan harga yang terjangkau; namun bapak S tidak dapat menyediakan sarana produksi tersebut secara lengkap dalam setiap kegiatan usahatani, karena faktor modal yang kurang. Bapak S mengutarakan pernah sekali memanfaatkan sumber modal dari bank pemerintah (BRI), tetapi dengan persyaratan yang berbelit-belit; sehingga bapak S tidak pernah mencoba lagi memanfaatkan sumber modal dari bank pemerintah ataupun dari pihak lain.

Bapak C lahir di Blora, pada saat penelitian berumur 44 tahun dan istri berumur 39 tahun, sedangkan anak bapak C dua orang yang berumur 18 tahun dan 12 tahun. Bapak C pernah mengenyam pendidikan formal sampai tamat SMP, dan berusahatani jagung sudah tujuh tahun di lahan gambut. Sebelumnya, bapak C pernah menanam kopi dan sayuran di lahan gambut sekitar selama 10 tahun, sebelum berusahatani jagung. Alasan bapak C berusahatani jagung di lahan gambut karena memang tidak ada pilihan lain untuk mencari nafkah. Luas lahan gambut yang dipunyai oleh bapak C adalah satu hektar dan diusahakan sendiri dengan ditanami jagung. Bapak C mengaku mengenal penyuluh yang pernah datang dan bertugas di desa Limbung, tapi bapak C tidak pernah ikut kegiatan penyuluhan dan juga tidak pernah mengunjungi penyuluh jika ada masalah dalam kegiatan usahatani; jika ada masalah dalam usahatani, bapak C lebih senang bertanya kepada sesama petani yang ada. Benih, pupuk dan obat-obatan selalu disediakan oleh bapak C setiap pelaksanaan proses produksi dalam kegiatan usahatani, karena menurutnya sarana produksi tersebut selalu tersedia sehingga mudah didapat di desa studi. Bapak C ikut menjadi anggota kelompoktani yang ada di desa studi; walaupun jarang ikut dalam kegiatan kelompoktani, tapi jika ada kesempatan bapak C mengaku menyempatkan untuk mengikuti kegiatan kelompoktani yang diadakan. Modal yang digunakan dalam kegiatan usahatani adalah dari modal sendiri, dan belum pernah mencoba memanfaatkan sumber modal dari pihak lain.

Faktor Internal Petani Jagung di Lahan Gambut

Faktor internal petani jagung yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) umur, (2) pendidikan formal, (3) pengalaman berusahatani di lahan gambut, dan (4) motivasi berusahatani jagung di lahan gambut. Deskripsi selengkapnya, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi Faktor Internal Petani Jagung

No Faktor Internal (X1) Rataan Kisaran Kategori Persen

1 Umur 52 tahun 29 – 77 tahun

Muda (29 – 40 tahun) Sedang (41 – 64 tahun) Tua (> 64 tahun) 26,3 52,6 21,1

2 Pendidikan formal 6 tahun 0 – 12 tahun

Tidak sekolah (0 tahun) Tidak tamat SD (1 - 5 tahun)

Tamat SD (6 tahun) Tamat SMP (9 tahun) Tamat SMU (12 tahun)

10,5 26,3 31,6 10,5 18,4 3 a. Pengalaman berusahatani jagung di lahan gambut 11 tahun 1 – 20 tahun Rendah (< 7,3 tahun) Sedang (7,3 - 13,8 tahun) Tinggi (> 13,8 tahun) 26,3 47,4 26,3 b. Pengalaman berusahatani selain jagung di lahan gambut, sebelum berusahatani jagung 12 tahun 0 – 53 tahun Rendah (< 17,8 tahun) Sedang (17,8 - 35,3 tahun) Tinggi (> 35,3 tahun) 68,4 26,3 5,3 4 Motivasi 10 8 – 12 Rendah (> 9,3) Sedang (9,3 – 10,7) Tinggi (> 10,7) 10,5 65,8 23,7 Keterangan: n = 38 Umur

Umur produktif tenaga kerja adalah antara 15 sampai dengan 64 tahun (BPS, 2001), dan sejumlah besar (78,9 persen) petani jagung di lahan gambut di desa Limbung berumur antara 29 – 64 tahun; sehingga kelompok usia tersebut masih produktif untuk mengembangkan diri dan mengembangkan usahatani. Petani usia produktif mempunyai kemampuan bekerja atau beraktivitas yang lebih tinggi

dibandingkan dengan petani yang sudah tidak produktif. Sektor pertanian dalam konteks beraktivitas idealnya ditekuni oleh usia produktif, hal ini dikarenakan beraktivitas dalam sektor pertanian harus didukung oleh kekuatan fisik. Kecenderungan lain bahwa dalam proses adopsi inovasi baru, petani yang berumur muda lebih tanggap bila dibandingkan dengan petani yang berumur tua. Kelemahan dari petani yang berumur lebih tua, disatu sisi sudah berkurang kekuatan fisik, kemudian lambat dalam proses pengambilan keputusan, penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wiriaatmadja (1990), bahwa umur petani mempengaruhi penerimaan petani terhadap hal-hal baru.

Sebagian besar (73,7 persen) petani jagung di lahan gambut berusia di atas 40 tahun. Tampaknya sektor pertanian tidak menarik bagi tenaga kerja berusia muda. Minat tenaga kerja muda ke sektor pertanian rendah. Pemuda di desa studi lebih tertarik untuk menjadi buruh pabrik, karena mendapatkan gaji yang lebih cepat tanpa harus menunggu musim panen yang lebih lama. Rendahnya jumlah tenaga pertanian usia muda, dalam jangka panjang dapat mengkhawatirkan keberlanjutan sektor pertanian, karena kecenderungan menurunnya minat kepada sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan perlunya penyuluhan dalam upaya meningkatkan motivasi masyarakat untuk menyenangi sektor pertanian.

Pendidikan Formal

Pendidikan formal yang dimaksud dalam penelitian adalah tingkat pendidikan responden dalam mengikuti proses belajar mengajar di bangku sekolah formal. Pendidikan formal bertujuan untuk menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, termasuk dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan formal akan mempengaruhi perilaku seseorang, baik dari segi pola pikir, bertindak serta kemampuan menerapkan inovasi baru.

Responden dengan tingkat pendidikan rendah disebabkan oleh keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan dan rendahnya kesadaran orang tua jaman dulu dalam menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Terdapat sejumlah kecil (10,5 persen) petani yang tidak pernah duduk di bangku sekolah formal, tetapi seluruh responden dalam penelitian ini mampu membaca, menulis dan berbahasa Indonesia. Kemampuan ini merupakan modal dasar yang utama

dalam memperoleh dan memahami berbagai informasi dan inovasi dalam usahatani.

Pendidikan memudahkan bagi diri petani dan kelompok masyarakat dalam menerima informasi atau pengetahuan yang berasal dari berbagai sumber informasi yang dapat memberikan nilai tambah (add value) dalam pengembangan usahataninya serta dapat meningkatkan kesadaran dalam memperhatikan setiap anjuran di bidang pertanian.

Sektor pertanian dinilai kurang memberikan insentif lebih dibandingkan sektor lain, sehingga cenderung ditinggalkan oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Rendahnya tingkat pendidikan petani dikhawatirkan akan makin menurunkan secara relatif kualitas sektor pertanian, karena kurang mampu merespon tuntutan kebutuhan pasar. Tingkat pendidikan menentukan kemampuan seseorang, khususnya dalam mencerna informasi, yang selanjutnya berhubungan dengan kualitas kinerjanya dalam berusaha. Tilaar (1997) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan adalah proses menguak potensi individu dan cara manusia mampu mengontrol potensinya yang telah dikembangkan agar dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidupnya.

Sebagian besar (68,4 persen) petani jagung memiliki pendidikan di bawah 7 tahun; namun petani umumnya tergolong usia dewasa awal (early adult) dan dewasa pertengahan (middle adult), yaitu: 26,3 persen berusia 29 - 40 tahun dan 52,6 persen berusia 41 – 64 tahun. Pada usia dewasa awal seseorang punya kemampuan belajar yang cukup tinggi dan pada usia dewasa pertengahan, seseorang masih memungkinkan untuk diberi tambahan pendidikan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan (Feldman, 1996). Pendidikan nonformal dapat diberikan untuk mendukung tingkat pendidikan formal yang rendah; misalnya penyuluhan atau pelatihan sesuai kebutuhan petani. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia petani lebih utama karena merupakan investasi jangka panjang di sektor pertanian.

Pengalaman Berusahatani

Sesuatu yang telah dialami seseorang akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Pengalaman berusahatani yang diukur dalam penelitian adalah lama (tahun) petani melakukan usahatani di

lahan gambut, baik usahatani jagung maupun usahatani selain jagung yang dilakukan sebelum petani berusahatani jagung. Pengalaman berusahatani memiliki peranan yang sangat penting bagi petani dalam mengembangkan usahataninya, dan menerima serta menerapkan teknologi baru

Petani jagung di lahan gambut di desa Limbung adalah petani yang memiliki mata pencaharian utama berusahatani jagung. Petani jagung di lahan gambut telah memiliki bekal relatif cukup lama untuk menekuni profesi sebagai petani jagung. Petani belajar bertani umumnya sejak masih kecil dari para orang tuanya. Terhitung sejak usia remaja atau telah dewasa, maka biasanya petani sudah memulai menggarap lahan milik orang tuanya. Orang tua membiarkan anaknya memutuskan sendiri bagaimana lahan pertanian diusahakan. Umumnya teknik- teknik usahatani yang dikembangkan oleh para orang tuanya terdahulu tidak berbeda jauh dengan teknik-teknik yang dikembangkan oleh anaknya sehingga teknik pertanian yang banyak diterapkan adalah teknologi warisan.

Sebagian besar petani, sebelum berusahatani jagung di lahan gambut, pernah berusahatani komoditas selain jagung di lahan gambut. Komoditas yang ditanam dalam berusahatani sebelumnya, diantaranya kopi, singkong, dan sayuran (tomat, kacang panjang, dan seledri). Pengalaman berusahatani selain jagung, dapat menjadi bekal ketika berusahatani jagung, dalam hal pengolahan lahan gambut. Teknik yang digunakan dalam pengelolaan lahan gambut ketika berusahatani komoditas lain, juga dapat diterapkan pada waktu berusahatani jagung di lahan gambut.

Lahan gambut punya keterbatasan dengan tingkat kemasaman lahan yang tinggi; tetapi dengan pengalaman yang cukup lama, mengantarkan petani untuk bertahan dan berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Sesuai dengan pendapat Mubyarto (2002) yang menyebutkan bahwa pengalaman dan kemampuan bertani yang telah dimiliki sejak lama, sehingga telah menjadi cara hidup (way of life) yang telah memberikan keuntungan dalam hidupnya.

Pengalaman bertani telah menjadikan petani memiliki mekanisme menghadapi kendala dari lingkungan atau mengelola resiko dalam berusaha (coping mechanism atau risk management). Hal ini dapat menjadi faktor pendukung dalam peningkatan kompetensi petani; kegiatan penyuluhan dapat

diarahkan untuk mengembangkan keterampilan yang sudah benar, yang diperoleh petani dari pengalaman dan mengarahkan keterampilan yang belum tepat.

Motivasi

Motivasi yang diukur dalam penelitian ini adalah faktor yang mendorong petani untuk berusahatani jagung di lahan gambut. Keberhasilan dan keuntungan yang dirasakan dan didapatkan petani merupakan faktor motivasi petani dalam aktivitas usahatani. Dorongan pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan merupakan alasan terbesar yang mendasari petani untuk melakukan kegiatan usahatani jagung di lahan gambut, artinya ada tujuan yang akan dicapai yang memberi dorongan lebih kepada petani untuk berusahatani. Hal ini sejalan dengan pendapat McClelland (Barbutto et al., 2004) dan Bird (1989), bahwa motivasi terkait dengan kebutuhan seseorang. Seseorang memiliki motif atau dorongan berusahatani karena ada kebutuhan yang harus dipenuhi. Dorongan tersebut bisa disebabkan adanya faktor dari luar petani ataupun faktor internal atau keyakinan dan kepuasan internalnya; artinya ada tujuan yang akan dicapai yang memberi dorongan lebih kepada petani untuk berusahatani jagung di lahan gambut.

Rata-rata motivasi petani jagung dalam melakukan aktivitas dan proses usahatani adalah sedang. Petani melakukan usahatani jagung di lahan gambut adalah atas keinginan sendiri, dan petani merasakan keuntungan dari hasil panen yang didapatkan, sehingga para petani berpendapat usahatani jagung di lahan gambut relatif berhasil.

Pemenuhan kebutuhan pokok merupakan motivasi utama berusahatani petani jagung di lahan gambut saat ini; agar petani memiliki motivasi atau dorongan kuat berusahatani, perlu ditumbuhkan kesadaran petani misalnya melalui penyuluhan terhadap kebutuhan lain yaitu kebutuhan sosial dan berkembang. Kesadaran terhadap kebutuhan tersebut, berarti ada tujuan lebih tinggi yang akan dicapai dalam berusahatani. Hasil penelitian yang dilakukan Barbuto (2004) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan motivasi seseorang maka yang perlu diketahui: (1) kejelasan tujuan yang ingin dicapai, (2) kebutuhan yang dianggap paling penting, dan (3) lingkungan yang kondusif yang mendukung seseorang mencapai tujuan. School (2002) juga menjelaskan tentang lima sumber motivasi, yaitu: (1) proses bersifat intrinsik, proses meningkatkan

keyakinan terhadap sesuatu hal, (2) sarana di lingkungan yang mendukung, (3) keyakinan akan diri yang berasal dari luar, (4) keyakinan akan diri yang berasal dari dalam, dan (5) tujuan yang jelas.

Motivasi merupakan modal yang sangat penting bagi petani untuk menunjang kesuksesan dalam berusahatani. Motivasi yang tinggi diperlukan untuk mendorong petani dalam berusahatani dan menerima atau mengadopsi informasi atau teknologi yang baru guna meningkatkan hasil usahataninya.

Faktor Eksternal Petani Jagung di Lahan Gambut

Faktor eksternal petani jagung yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) lahan, (2) interaksi dengan penyuluh, (3) sarana produksi, (4) keterlibatan dalam kelompoktani, dan (5) akses kredit. Deskripsi selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Deskripsi Faktor Eksternal Petani Jagung

No Faktor

Eksternal (X2)

Rataan Kisaran Kategori Persen

1 a. Lahan

sendiri 1 hektar 0 – 6 hektar

Sempit (< 0,5 ha) Sedang (0,5 – 2 ha) Luas (> 2 ha) 42,1 44,7 13,2 b. Lahan orang

lain 0,3 hektar 0 – 2 hektar

Sempit (< 0,5 ha) Sedang (0,5 – 2 ha) Luas (> 2 ha) 81,6 18,4 0 2 Interaksi dengan penyuluh 5 4 - 13 Rendah (< 7) Sedang (7 – 10) Tinggi (> 10) 86,8 2,6 10,5 3 Sarana produksi 9,5 3 – 12 Rendah (< 6) Sedang (6 – 9) Tinggi (> 9) 13,2 34,2 52,6 4 Keterlibatan dalam kelompoktani 3,7 3 – 10 Rendah (< 5,3) Sedang (5,3 – (7,7) Tinggi (> 7,7) 86,8 5,3 7,9 5 Akses kredit 12,1 12 - 13 Rendah (< 12,3) Sedang (12,3 – 12,7) Tinggi (> 12,7) 81,6 5,3 13,2 Keterangan: n = 38

Lahan

Lahan pertanian merupakan modal utama dalam berusahatani dan dalam pengembangan kompetensi petani. Pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan melalui kegiatan penyuluhan atau pelatihan dapat dipraktekkan dan dikembangkan oleh petani di lahannya; ketiadaan atau kurangnya lahan akan menyulitkan petani mengembangkan kompetensinya. Luas lahan usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas lahan gambut petani yang dimanfaatkan untuk berusahatani jagung, baik milik sendiri maupun milik orang lain, yang dihitung dalam hektar.

Petani di lahan gambut desa Limbung Kabupaten Pontianak adalah petani transmigrasi dari pulau Jawa sejak tahun 1956. Setiap rumah tangga petani (RTP) dahulunya masing-masing mendapatkan lahan seluas dua hektar (di luar pekarangan), dalam rentang waktu puluhan tahun sebagian petani ada yang menjual/membeli lahan, sehingga ada yang mempunyai lahan lebih sempit atau lebih luas.

Sejumlah kecil petani menggarap lahan orang lain, yang digunakan untuk berusahatani jagung dan umumnya disewa per tahun. Sejumlah besar (86,8 persen) petani menggarap lahan sendiri, dan sejumlah kecil diantaranya disamping menggarap lahan sendiri juga sekaligus menggarap lahan milik orang lain, untuk pengembangan kegiatan usahatani.

Sejumlah besar (86,8 persen) petani yang menggarap lahan kurang dari 2 hektar menunjukkan bahwa petani mampu bertahan dan memanfaatkan lahan tersebut untuk memenuhi kebutuhannnya. Ketersediaan lahan merupakan salah satu faktor penentu keberlanjutan usahatani; namun petani berusaha menyiasati keterbatasan lahan garapannya. Kegiatan pertanian merupakan pekerjaan yang dikuasainya, sehingga dalam menghadapi lahan yang sempit, petani melakukan upaya (coping mechanism) dengan cara: (1) bertahan di lahan sempit dan melakukan pemanfaatan lahan secara optimal; (2) menyewa lahan orang lain.

Interaksi dengan Penyuluh

Interaksi dengan penyuluh yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat kualitas dan kuantitas hubungan petani dengan penyuluh, yaitu: seberapa akrab petani dengan penyuluh (keakraban akan memudahkan interaksi), seberapa sering

petani mengikuti kegiatan penyuluhan, serta seberapa sering petani menghubungi penyuluh jika ada persoalan dalam usahatani. Interaksi petani jagung di lahan gambut di desa Limbung dengan penyuluh masih rendah, sejumlah besar (86,8 persen) petani menyebutkan tidak mengenal penyuluh, dan tidak pernah mengikuti kegiatan penyuluhan, dan hanya sejumlah kecil petani yang menghubungi penyuluh jika ada persoalan usahatani.

Hubungan yang akrab antara penyuluh dan petani sangatlah penting, untuk menuju keberhasilan program penyuluhan. Jika hubungan dekat, maka merupakan entry point atau pintu masuk bagi penyuluh untuk mengembangkan program penyuluhan.

Petani jagung di desa Limbung yang terlibat aktif dalam kegiatan penyuluhan, maka petani tersebut memperoleh pengetahuan, wawasan yang lebih baik sehingga dapat melakukan cara-cara bertani yang lebih baik, seperti selalu menggunakan bibit-bibit yang unggul, membuat dan memelihara drainase, dan mengetahui cara yang tepat mengendalikan hama penyakit.

Beberapa faktor penyebab tidak kenalnya petani kepada penyuluh, antara lain adalah: (1) penyuluh tidak bertempat tinggal di desa setempat. Tempat tinggal penyuluh yang berdekatan dengan desa-desa wilayah kerjanya, atau bahkan yang tinggal di wilayah kerjanya sangat mempengaruhi pengenalan program penyuluhan maupun pengenalan dengan penyuluh itu sendiri, (2) lokasi desa relatif sulit dijangkau, sehingga tidak memungkinkan setiap saat penyuluh mengunjungi desa, (3) kegiatan penyuluhan tidak intensif dilakukan, sehingga momentum pertemuan antara penyuluh dengan petani sangat terbatas, dan hanya sebagian kecil dari petani yang ikut dalam pertemuan tersebut.

Alasan petani kurang menghubungi penyuluh jika ada persoalan usahatani, adalah karena jarak yang jauh, penyuluh tidak selalu ada di tempat, dan menurut petani informasi yang disampaikan penyuluh belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan masalah petani. Hal ini sejalan dengan temuan Agunga dan Chris (2005), bahwa materi penyuluhan sangat berhubungan dengan persepsi petani terhadap penyuluhan.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan petani, rendahnya kesertaan petani dalam kegiatan penyuluhan disebabkan antara lain: (1) kegiatan

penyuluhan jarang ada, (2) ada kegiatan penyuluhan tetapi petani tidak berminat hadir, petani memiliki pengalaman penyuluhan masa lalu yang kurang sesuai dengan kebutuhannya, (3) petani menganggap penyuluh belum banyak pengalaman dalam berusahatani. Penyuluh tidak melakukan demplot, sehingga tidak bisa memberi contoh langsung kepada petani mengenai penerapan teknologi anjuran, (4) petani tidak menyadari manfaat atau pentingnya penyuluhan, serta (5) petani tidak mempunyai waktu. Akibatnya, saat ini sebagian besar petani tidak mendapatkan peningkatan kemampuan sesuai kebutuhan atau masalah yang dihadapinya dari penyuluh yang ada.

Petani jika mendapat masalah akan datang ke pihak yang dekat dan tersedia saat dibutuhkan, yaitu antar petani, pedagang pengumpul, dan sedikit interaksi dengan penyuluh. Namun demikian, diantara sumber informasi yang berasal dari luar institusi penyuluh (seperti pedagang pengumpul), dikhawatirkan memiliki beberapa kelemahan, yaitu: kurang memiliki bekal ilmu penyuluhan, tidak memiliki motivasi meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan petani, keberpihakan kepada petani rendah, informasi yang dimiliki belum tentu baru atau akurat sesuai perkembangan pertanian. Contoh: pedagang pengumpul, memberikan informasinya sesuai dengan tujuannya, agar petani dapat menghasilkan produk sesuai kehendaknya, dan keuntungan terbesar untuk pedagang pengumpul.

Dokumen terkait