• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambut adalah lahan yang mengandung bahan organik lebih dari 30 persen, yang terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-bahan organik seperti daun, ranting, semak belukar, dll, yang berlangsung dalam kecepatan lambat dan dalam suasana anaerob. Berdasarkan ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu: (1) gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 – 1 m, (2) gambut sedang dengan ketebalan 1 – 2 m, (3) gambut dalam dengan ketebalan 2 – 3 m, dan (4) gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m (Nakertrans, 2005).

Kesuburan alamiah lahan gambut sangat beragam tergantung pada beberapa faktor antara lain: (1) ketebalan lahan gambut, (2) komposisi tanaman penyusun gambut, dan (3) lahan mineral yang berada di bagian bawah lapisan lahan gambut. Lahan gambut mempunyai tingkat kemasaman yang sangat tinggi dan akan menurun bersamaan dengan kedalamannya. Sebagian besar lahan gambut bereaksi masam hingga sangat masam (pH < 4,0). Kapasitas Tukar Kation (KTK) gambut tinggi, dan kejenuhan basa (KB) rendah. Sehingga ketersediaan basa-basa pada lahan gambut rendah. Ketersediaan hara makro dan mikro juga rendah seperti N, P, Cu, Co, dan Mo (Hatta dan Dwi, 2002).

Lebih lanjut Hatta dan Dwi (2002) menyebutkan bahwa dengan keterbatasan yang dimiliki lahan gambut, diperlukan metode usahatani yang tepat supaya produktivitas sesuai harapan. Berusahatani di lahan gambut memerlukan perlakuan khusus oleh petani, sehingga diperlukan kompetensi tertentu dari petani.

Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat (2003), upaya konservasi lahan gambut dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

(1) Pengelolaan drainase untuk pengaturan tata air dalam lahan gambut. Pengelolaan tata air perlu dilakukan untuk menghindari kering tidak balik dan penurunan permukaan gambut yang dipercepat.

(2) Pemberian amelioran, untuk menaikkan pH lahan dan penyediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Kapur sangat efektif untuk meningkatkan pH lahan dan kejenuhan basa, serta meningkatkan pertumbuhan tanaman (seperti kedelai dan jagung). Alternatif lain adalah dengan menambah abu (misalnya

dari sekam, kayu gergaji atau gunung api) dengan takaran 3-5 ton per hektar dalam larikan, atau menambah tanah mineral lempung dengan takaran 3-5 ton per hektar, atau dapat juga dengan mencampur lapisan gambut dengan lapisan tanah mineral yang ada dibawahnya, hal ini dapat dilaksanakan jika gambutnya cukup dangkal dengan memanfaatkan tanah mineral yang terangkat ke permukaan lahan ketika membuat parit.

(3) Pemupukan berimbang

(4) Tidak melakukan pembakaran vegetasi di lahan gambut yang dapat mengakibatkan terbakarnya gambut, sehingga dapat merusak lingkungan.

Faktor Internal Petani

Sampson (Rakhmat, 2001) menyatakan faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Faktor internal meliputi variabel seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi, bangsa, agama, dan sebagainya, yang saling berinteraksi satu sama lain dalam proses pemberdayaan. Faktor internal petani menentukan pemahaman petani terhadap informasi pertanian. Menurut Rogers dan Shoemaker (1986), faktor internal petani berpengaruh dalam penyebaran suatu ide baru. Adapun faktor internal petani adalah: umur, pendidikan formal, pengalaman berusahatani, dan motivasi.

Umur

Padmowihardjo (1994: 36) mengatakan umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Wiraatmadja (1990: 13) mengemukakan bahwa umur petani akan mempengaruhi penerimaan petani terhadap hal-hal baru.

Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki (Bettinghaus,

1973: 84). Rakhmat (2001) mengatakan bahwa kelompok orangtua melahirkan pola tindakan yang pasti berbeda dengan anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat sampai awal dua puluhan, dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun terakhir (Berelson dan Garry, 1973).

Umur merupakan aspek yang berhubungan terhadap kemampuan fisik, psikologis, dan biologis seseorang (Setiawan et al., 2006: 47). Umur dengan demikian merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam belajar, baik dalam proses belajar maupun mengaktualisasikan hasil belajar dalam pengalaman hidup. Umur dalam penelitian ini adalah jumlah tahun hidup petani.

Pendidikan Formal

Menurut Soekartawi et al., (1986), salah satu faktor yang dapat mengubah pola pikir dan daya nalar petani adalah pendidikan. Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas pengetahuannya. Pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang, sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman dan cara bertingkah laku (Winkel, 1986: 19-20). Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Russel (1993: 39) mengatakan bahwa pendidikan senantiasa mempunyai dua sasaran, yaitu pengajaran dan pelatihan perilaku yang lebih baik. Pengertian secara sempit, pendidikan berarti perubahan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Syah, 2002: 10). Salam (1997: 12) mengemukakan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Slamet (2003a) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan pada perilaku manusia. Soekanto (2002: 327-328) menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah.

Pendidikan dengan demikian merupakan proses yang dijalani seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan dalam penelitian ini dibatasi pada jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh oleh petani.

Pengalaman Berusahatani

Pengalaman seseorang bertambah sejalan dengan bertambahnya usia. Pengalaman dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang dalam bidang usahatani; serta pengalaman yang bersifat kualitatif. Konsekuensi masa depan ditentukan oleh pengalaman masa lalu, dampak dari pengalaman, serta pengamatan seseorang terhadap yang lain (Bandura, 1986).

Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas petani dalam usahataninya. Cita-cita petani berdasarkan pangalaman yang baik, mengenai cara bercocok tanam yang baik dan menguntungkan akan mempengaruhi terlaksananya pembangunan pertanian (Mosher, 1987: 47).

Tohir (1983: 180) menyatakan bahwa dalam mengelola usahataninya, petani masih banyak menggunakan pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain dan perasaan (feeling). van den Ban dan Hawkins (1999: 314) mengemukakan bahwa seseorang yang belajar dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap, melalui pengalaman dan praktek.

Pengalaman berusahatani dengan demikian dapat berupa pengalaman kuantitatif yaitu jumlah tahun berusahatani dan pengalaman kualitatif yaitu proses belajar yang dialami selama berusahatani yang mempengaruhi tindakan petani dalam usahataninya. Pengalaman berusahatani dalam penelitian ini adalah lamanya waktu dalam tahun yang telah dicurahkan oleh petani jagung dalam berusahatani di lahan gambut. Pengalaman petani jagung dalam berusahatani di

lahan gambut dapat berasal dari pengalaman sebagai petani jagung dan dapat juga dari pengalaman sebelumnya sebagai petani yang menanam komoditas selain jagung di lahan gambut (di lahan yang sama).

Motivasi

Morgan et al., (1963) mengemukakan bahwa konsep motivasi tidak bisa dilepaskan dari adanya motif (motive), dorongan (drive) dan kebutuhan (needs). Tindakan yang bermotif dapat dikatakan sebagai tindakan yang didorong oleh kebutuhan yang dirasakannya, sehingga tindakan tersebut tertuju ke arah suatu tujuan yang diidamkan.

Menurut Padmowihardjo (1994: 135), motivasi merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Sudjana (1991: 162) mengatakan motivasi belajar adalah motivasi insentif. Motivasi tersebut menggambarkan kecenderungan asli manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan di sekelilingnya.

Suparno (2000: 83-90) mengemukakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu jika mengharapkan akan melihat hasil, memiliki nilai (value) atau manfaat. Perasaan berhasil (the experience of success) akan menimbulkan motivasi seseorang untuk mempelajari dan melakukan sesuatu.

Motivasi dengan demikian merupakan dorongan yang berasal dari dalam maupun luar diri seseorang untuk melakukan tindakan dalam upaya mencapai suatu tujuan. Motivasi dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong petani untuk berusahatani jagung di lahan gambut.

Faktor Eksternal Petani

Menurut Sampson (Rakhmat, 2001) faktor eksternal adalah ciri-ciri yang menekan seseorang yang berasal dari luar dirinya, yang merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan suatu usaha. Pengertian faktor eksternal dalam penelitian ini adalah keadaan/peristiwa yang mempengaruhi petani yang berasal dari luar diri, seperti: lahan, interaksi dengan penyuluh, sarana produksi, keterlibatan dalam kelompoktani dan akses kredit.

Lahan

Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi yang saling mempengaruhi potensi penggunaannya. Lahan garapan adalah lahan yang diusahakan, baik lahan milik sendiri maupun sewa (BPS, 2003). Menurut Hernanto (1993: 46), lahan merupakan unsur produksi asli.

Menurut Tjakrawiralaksana (1996) lahan merupakan manifestasi atau pencerminan dari faktor-faktor alam yang berada di atas dan di dalam permukaan bumi, dan berfungsi sebagai: (1) tempat diselenggarakan kegiatan pertanian, seperti bercocok tanam dan memelihara ternak atau ikan, (2) tempat pemukiman keluarga tani. Hernanto lebih lanjut menyatakan luas lahan usahatani dapat

digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu (1) sempit, dengan luas < 0,5 ha (2) sedang, dengan luas 0,5 – 2 ha (3) luas, jika lebih dari 2 ha.

Mardikanto (1993: 217) mengatakan bahwa luas lahan usahatani merupakan aset bagi petani dalam menghasilkan produksi total, dan sekaligus sumber pendapatan. Pada umumnya, petani dengan kepemilikan lahan usaha yang luas akan menempati posisi status sosial lebih tinggi di lingkungan sosialnya.

Lahan dengan demikian merupakan tempat diselenggarakan kegiatan pertanian untuk menghasilkan produk pertanian sebagai sumber pendapatan ataupun tempat pemukiman petani. Lahan dalam penelitian ini dibatasi pada luasan lahan gambut yang digunakan oleh petani untuk berusahatani jagung.

Interaksi dengan Penyuluh

Menurut Gerungan (1996: 57-58), interaksi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.

Hubungan antara petani dengan penyuluh terjadi karena adanya interaksi dengan penyuluh. Wiriaatmadja (1990: 29-30) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penyuluhan, seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan petani, hubungan tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan komunikasi. Komunikasi yang baik akan berjalan timbal balik atau terjadi feedback. Hal ini penting bagi penyuluh, karena dapat mengambil tindakan-tindakan selanjutnya,

dengan demikian maka komunikasi tersebut dapat dilanjutkan dan dipelihara dengan baik.

Asngari (2001: 11) mengemukakan bahwa, dalam hal menyajikan atau menyampaikan informasi dari agen pembaruan ke klien, berupa pengetahuan, teknologi, gagasan, pengalaman, dan lainnya perlu adanya komunikasi yang bersifat: (1) prosesnya harus komunikatif, isi pesannya harus bermakna bagi klien, dengan anjuran/saran/alasan yang bermakna ini akan mengobarkan imajinasi, yang selanjutnya membuat orang tergerak baik mental maupun fisik, (2) cara penyampaiannya harus persuasif dan bukannya paksaan, (3) dapat diterima dengan menyenangkan.

Interaksi dengan penyuluh merupakan hubungan yang selanjutnya terjadi komunikasi untuk saling bertukar informasi antara petani dengan penyuluh. Interaksi dengan penyuluh dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat kualitas dan kuantitas hubungan petani dengan penyuluh dalam upaya mendapatkan informasi/teknologi baru guna pengembangan kompetensi petani.

Sarana Produksi

Menurut Sudjati (1981: 83) sarana merupakan alat-alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. van den Ban (1999: 67) menyebutkan sarana usahatani meliputi: tanah atau lahan, pupuk, benih bersertifikat, alat penyemprot, bahan bangunan, mesin pertanian, dan subsidi produksi. Mosher (1987) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian, memerlukan penggunaan bahan-bahan dan alat-alat produksi oleh petani, diantaranya: bibit, pupuk, pestisida, makanan dan obat ternak serta perkakas. Mosher lebih lanjut menyatakan bahwa tersedianya sarana merupakan syarat pokok dalam pembangunan pertanian. Ketersediaan sarana produksi mutlak diperlukan agar dapat menjadi pendukung dalam peningkatan produksi.

Lunandi (1993: 41) mengemukakan bahwa dalam hal tertentu penyediaan materi (peralatan dan sarana produksi) dibutuhkan dalam suatu proses belajar ke arah perubahan perilaku disamping pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam usaha atau kegiatan yang dilakukan.

Sarana produksi dengan demikian merupakan bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan dalam proses produksi untuk mencapai target yang telah

ditentukan. Sarana produksi dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan benih, pupuk, obat-obatan dan kelengkapan penyediaannya untuk kegiatan proses produksi.

Keterlibatan dalam Kelompoktani

Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani (Deptan, 2007), kelompoktani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.

Penumbuhan kelompoktani didasarkan atas faktor-faktor pengikat sebagai berikut : (a) adanya kepentingan bersama antara anggotanya, (b) adanya kesamaan kondisi sumber daya alam dalam berusahatani, (c) adanya kondisi masyarakat dan kondisi sosial yang sama, (d) adanya saling percaya mempercayai antara sesama anggota. Melalui pendekatan kelompok akan terjalin kerjasama antara individu anggota kelompok dalam proses belajar, proses berproduksi, pengolahan hasil dan pemasaran hasil untuk peningkatan pendapatan dan kehidupan yang layak (Abbas, 1995).

Slamet (2003b) mengemukakan bahwa pendekatan kelompok disarankan bukan hanya karena pendekatan ini lebih efisien, tetapi karena pendekatan ini menghasilkan interaksi antar petani dalam kelompok yang merupakan forum komunikasi yang demokratis. Forum itu juga sebagai forum belajar sekaligus forum pengambilan keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui forum semacam inilah pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian rakyat petani.

Keterlibatan dalam kelompoktani dengan demikian merupakan tindakan petani menjadi anggota, mengikuti kegiatan kelompoktani, dan bekerjasama antara sesama anggota untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usahatani. Keterlibatan dalam kelompoktani dalam penelitian ini adalah tingkat keaktifan petani dalam kegiatan kelompoktani sebagai wadah interaksi saling bertukar informasi dan pengalaman sesama petani.

Akses Kredit

Menurut Mosher (1987), untuk memproduksi lebih banyak, petani harus lebih banyak memerlukan uang untuk bibit unggul, pestisida, pupuk, dan alat-alat pertanian. Pengeluaran-pengeluaran tersebut harus dibiayai dari uang sendiri atau dengan meminjam selama jangka waktu antara saat pembelian sarana produksi dan saat penjualan hasil panen. Badan-badan efisien yang memberikan kredit produksi kepada petani dapat merupakan faktor pelancar penting bagi pembangunan pertanian.

Menurut Hernanto (1993: 84), akses kredit adalah kemampuan untuk mendapat barang atau jasa pada saat sekarang untuk dikembalikan di kemudian hari. Soekartawi, et al., (1986: 113) mengemukakan bahwa kebutuhan kredit tersedia pada pelepas uang atau bank dan petani dapat membayar bunga atau jumlah pinjaman pokok dari arus pendapatan yang diproyeksikan.

Akses kredit dengan demikian merupakan sumber modal yang dapat diakses dan dimanfaatkan petani dalam memperoleh uang, barang atau jasa untuk kelangsungan kegiatan usahatani, yang dikembalikan dengan jumlah dan pada waktu yang sesuai dengan perjanjian. Akses kredit dalam penelitian ini dibatasi pada kemudahan mengakses sumber modal/kredit untuk kelanjutan dan pengembangan usahatani jagung di lahan gambut.

Kompetensi

Menurut McAshan (Mulyasa, 2002: 38) “competency is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviours”. Syah (2002: 229) menyatakan bahwa pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan.

Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau sebagai “memiliki keterampilan dan kecakapan yang disyaratkan”. Pengertian yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah mengembangkan manusia yang bermutu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sebagaimana disyaratkan. Kata kompetensi dipilih

untuk menunjukkan tekanan pada “kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan” (Suparno, 2001: 14).

Menurut Lucia dan Lepsinger (1999: 6-7) kompetensi merupakan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan dan karakteristik yang dibutuhkan secara efektif untuk berperan. Pada dasarnya kompetensi terdiri atas unsur-unsur personal karakteristik, bakat (aptitude), pengetahuan, keterampilan, dan berujung pada perilaku.

National Council of State Boards of Nursing Inc., (Shellabear, 2002: 1) menyatakan bahwa kompetensi adalah penerapan dari pengetahuan yang bersifat interpersonal, pembuatan keputusan dan keterampilan (psychomotor skills) yang diharapkan dalam menjalankan suatu peran.

Lasmahadi (2002: 2) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, dan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.

Kompetensi manusia adalah kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak yang mendasari dan merefleksikan wujud perilaku dan kinerja seseorang dalam aktivitas dan pergaulan hidupnya (Mangkuprawira, 2004). Kompetensi dapat diterjemahkan sebagai penerapan dari pengetahuan, kemampuan, dan karakteristik individu yang akan menghasilkan kinerja yang menonjol (Stone dan Bieber, 1997).

Terdapat berbagai pengertian ”kompetensi” yang dikembangkan oleh berbagai institusi. Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab/komitmen yang dimiliki seseorang sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (Undang-undang nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi). Elemen-elemen yang menentukan kompetensi seseorang, meliputi: (1) landasan kepribadian, (2) penguasaan ilmu dan keterampilan, (3) kemampuan berkarya, (4) sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, dan (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.

Menurut Spencer dan Spencer (1993), kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Tingkat kompetensi seseorang, dengan demikian dapat digunakan untuk memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Kompetensi juga menentukan cara-cara seseorang dalam berperilaku atau berpikir, menyesuaikan dalam berbagai situasi, dan bertahan lama dalam jangka panjang.

Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal jumlah bagian-bagiannya. Suparno lebih lanjut menyebutkan bahwa makin kompleks, kreatif, atau profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang sama.

Menurut Willis dan Samuel (Puspadi, 2003: 120), kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Klemp (Puspadi, 2003: 120) mengungkapkan “a job competency in an underlying characteristic of a person which results in effective and or superior performance in a job. A job competency is an undelying characteristic of a person in that it may be a motive, trait, skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge which he or she uses”. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima.

Mulyasa (2002: 40) mengemukakan bahwa dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kompetensi dikatakan perbuatan karena berbentuk perilaku yang dapat diamati, meskipun sering terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.

Menurut Widyarini (2004: 2) untuk bertahan (survive) dan meraih keberhasilan dalam hidup, manusia perlu mengembangkan kompetensi. Kompetensi lebih dari sekedar mengembangkan keterampilan, mencakup keberhasilan mengatasi tantangan-tantangan, sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan, mampu menyusun tujuan-tujuan, dan memandang diri sendiri sebagai orang yang cakap (mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain). Seseorang perlu memiliki tiga hal berikut untuk mengembangkan kompetensi:

1. Sense of control adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya sendirilah yang mengendalikan hidupnya atau peristiwa-peristiwa yang ia alami (bukan ditentukan oleh nasib/takdir atau orang lain yang berkuasa). Orang yang memiliki sense of control merasa bahwa sesuatu yang akan terjadi dalam hidupnya dapat diprediksi. Hal ini merupakan pemenuhan atas kebutuhan untuk kelangsungan hidup (survival).

2. Kebutuhan untuk berprestasi dan penguasaan. Kebutuhan untuk mencapai tujuan dan menguasai keterampilan tertinggi ini merupakan dasar penting untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk sukses dalam berinteraksi dengan lingkungan dan meraih yang diharapkan dalam hidup.

3. Self esteem, dalam psikologi sering diterjemahkan sebagai harga diri dan didefinisikan sebagai penilaian seseorang terhadap diri sendiri, baik positif maupun negatif. Manusia yang mempunyai keyakinan akan kemampuan- kemampuan yang dimiliki dan merasa dirinya bernilai adalah orang yang harga dirinya positif. Sebaliknya, mereka yang harga dirinya negatif akan merasa lemah, tidak berdaya.

Kompetensi seseorang, dengan demikian dibentuk terutama oleh pengetahuan, keterampilan, sikap mentalnya dalam pelaksanaan pekerjaannya sesuai peran seseorang yang dilakukan secara optimal dalam kondisi normal ataupun situasi berbeda. Kompetensi petani adalah kemampuan yang dimiliki petani berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai ukuran yang ditentukan.

Unsur-unsur Kompetensi Pengetahuan

Menurut Padmowihardjo (1978: 83), pengetahuan adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia.

Purwanto (2002: 158) menyebutkan bahwa kualitas dan kuantitas

Dokumen terkait