BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.7 Jerawat dan Bakteri Penyebab Jerawat
Jerawat adalah kondisi abnormal kulit akibat terjadi gangguan berlebihan produksi kelenjar minyak (sebaceous gland) yang menyebabkan penyumbatan saluran folikel rambut dan pori-pori kulit. Jerawat dapat timbul
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
di permukaan kulit muka, bagian dada dan atas lengan. Ada 3 tipe jenis jerawat yang sering dijumpai, yaitu (Dewi, 2009) :
a. Tipe yang pertama adalah komedo.
Komedo adalah pori-pori yang tersumbat, bisa terbuka atau tertutup. Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti pori-pori yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya bukan kotoran tetapi merupakan penyumbat pori yang berubah warna karena teroksidasi dengan udara. Komedo yang tertutup atau whiteheads, biasanya memiliki kulit yang tumbuh di atas pori-pori yang tersumbat maka terlihat seperti tonjolan putih kecil-kecil di bawah kulit. Jerawat jenis ini disebabkan sel-sel kulit mati dan kelenjar minyak yang berlebihan pada kulit (Dewi, 2009).
b. Tipe yang kedua adalah Jerawat biasa atau klasik.
Jenis jerawat klasik ini mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil berwarna pink atau kemerahan. Hal ini terjadi karena pori-pori yang tersumbat terinfeksi dengan bakteri yang terdapat di permukaan kulit, kuas make-up, dan jari tangan. Stress, hormon, dan udara yang lembab dapat memperbesar kemungkinan infeksi jerawat karena menyebabkan kulit memproduksi minyak yang merupakan tempat berkembangbiaknya bakteri. Pengobatan pada tipe ini dapat diatasi dengan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab jerawat dengan suatu zat antibakteri misalnya benzoil peroksida, tetrasiklin, dan lain-lain (Dewi, 2009).
Kadar benzoil peroksida 2,5-10% sangat aktif dalam melawan bakteri penyebab jerawat, namun kerugian utama antibakteri ini adalah dapat menyebabkan iritasi (Pramasanti, 2008). Antibakteri tetrasiklin dan oksitetrasiklin yang diberikan dengan dosis 500 mg, rutin dua hari sekali selama 2 bulan terbukti efektif mengobati jerawat. Demikian pula dengan
Erythromycin dengan dosis 250-500 mg 2 kali sehari secara rutin juga efektif mengobati jerawat (Pramasanti, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Tipe yang ketiga adalah Cystic Acne (Jerawat Batu atau Jerawat Jagung).
Biasanya jerawat batu memiliki bentuk yang besar dengan tonjolan-tonjolan yang meradang hebat dan berkumpul di seluruh wajah. Penderita jerawat ini dikarenakan faktor genetik yang memiliki banyak kelenjar minyak sehingga pertumbuhan sel-sel kulit tidak normal dan tidak dapat mengalami regenerasi secepat kulit normal (Dewi, 2009).
Jerawat dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri seperti
Propionibacterium acne, Staphylococcus epidermidis, dan
Staphylococcus auerus (Loveckova dan Havlikova, 2002).
Staphylococcus epidermidis tumbuh cepat pada kondisi kulit yang anerob yaitu pada saat pori-pori kulit tersumbat akibat adanya produksi kelenjar minyak yang berlebih. Bakteri ini juga dapat mensintesis enzim lipase yang dapat mengubah triasigliserol pada kelenjar minyak menjadi asam lemak bebas yang memacu terjadinya infeksi pada kulit. Infeksi ini membuat jerawat makin bertambah parah dan berwana kemerahan (Oakley, 2009).
2.7.1 Bakteri Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang sering ditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia.
Staphylococcus epidermidis merupakan salah satu bakteri Gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti anggur dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini merupakan penyebab infeksi kulit ringan yang disertai abses (Syarurachman et al., 1994). Bakteri ini juga berperan dalam pelepasan asam oleat, hasil hidrolisisnya oleh lipase yang diduga berpengaruh terhadap perkembangan jerawat (Saising et al., 2008). Klasifikasi Staphylococcus epidermidis menurut Nilsson et al. (1998) adalah:
Kerajaan : Bacteria Devisi : Firmicutes Kelas : Bacilli
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bangsa : Bacilliales
Suku : Staphylococcaceae Marga : Staphylococcus
Jenis : S. Epidermidis
2.7.2 Bakteri Staphylococcus aureus
A. Morfologi dan Sifat
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif anggota famili Micrococcaceae berbentuk bulat, bergerombol seperti susunan buah anggur koloni berwarna abu-abu hingga kuning tua, koagulase positif dan sifatnya sebagai bakteri komensal dalam tubuh manusia yang jumlahnya berimbang dengan flora normal lain. Staphylococcus aureus
pada manusia diantaranya ditemukan pada hidung, kulit, tenggorok dan lain-lain (Syahrurachman et al., 1994). Bakteri ini dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti pneumonia, meningitis, empiema, endokarditis, jerawat, pioderma atau impetigo (Brooks et al., 2005).
Klasifikasi Bakteri Staphylococcus aureus menurut Syahrurachman (1994) : Kerajaan : Eubacteria Devisi : Firmicutes Bangsa : Eubacteruales Suku : Micrococcaceae Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
B. Patogenesis dan Manifestasi Klinis
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen penyebab infeksi. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit mulai dari yang ringan sampai yang berat bahkan sampai sepsis. Staphylococcus aureus sering menyebabkan jerawat dan frunkulosis pada kulit, infeksi
Staphylococcus aureus pada tulang juga sering menyebabkan osteomielitis, infeksi Staphylococcus aureus pada organ dalam dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menyebabkan endokarditis, pneumonia dan infeksi berat lainnya. Pada luka terbuka Staphylococcus aureus juga sering menyebabkan infeksi (Syahrurachman et al., 1994).
Staphylococcus aureus mempunyai bagian-bagian dan produk yang mendukungnya sebagai salah satu bakteri patogen diantaranya adalah dinding sel Staphylococcus sp sebagian besar terdiri dari peptidoglikan. Peptidoglikan mempunyai aktivitas seperti endotoksin, menstimulasi keluarnya sitokin dari makrofag yaitu interleukin-1 dan aktivasi komplemen, kapsul akan mencegah fagositosis, adanya toxin dan enzim yang dihasilkan untuk merusak sel inang. Selain itu, faktor dari bakteri Staphylococcus aureus yang menyebabkan sukarnya penanganan infeksi adalah adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Syahrurachman et al., 1994).
C. Pengobatan dan Resistensi
Pengobatan terhadap infeksi Staphylococcus aureus biasanya menggunakan berbagai jenis antibiotik seperti tetrasiklin, vankomisin atau penisilin resisten β-laktamase. Perbedaan jenis obat yang diberikan dipertimbangkan dari angka resistensi bakteri terhadap suatu antibiotik. Antibiotik yang biasa digunakan dalam penelitian adalah tetrasiklin, oxacillin, gentamicin, eritromicin, kloramfenikol dan trimetroprim-sulfametoxazole (Endang Sri Lestari, 2009).
2.7.3 Bakteri Propionibacterium acnes
Propionibacterium acnes adalah flora normal kulit terutama di wajah yang tergolong dalam kelompok bakteri Corynebacteria. Bakteri ini berperan pada patogenesis jerawat yang dapat menyebabkan inflamasi. Bakteri ini berbentuk batang dan dapat hidup di udara serta menghasilkan spora. Inflamasi timbul karena perusakan stratum corneum dan stratum germinativum dengan mensekresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori. Jerawat timbul karena asam lemak dan minyak kulit tersumbat. Obat-obat yang digunakan untuk terapi topikal kebanyakan
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengandung sulfur dan astrigen lainnya. Sementara untuk terapi sistemik digunakan tetrasiklin dan enteromisin (Khan, 2009).
Propionibacterium acnes berperan pada patogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase yang memecah asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi jaringan ketika berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terjadinya jerawat (Khan, 2009).
Propionibacterium acnes termasuk bakteri yang tumbuh relatif lambat. Bakteri ini tipikal bakteri anaerob Gram positif yang toleran terhadap udara. Genome dari bakteri ini telah dirangkai dan sebuah penelitian menunjukkan beberapa gen yang dapat menghasilkan enzim untuk meluruhkan kulit dan protein, yang mungkin immunogenik (mengaktifkan sistem kekebalan tubuh). Ciri-ciri penting dari bakteri
Propionibacterium acnes adalah berbentuk batang tak teratur yang terlihat pada pewarnaan Gram positif. Bakteri ini dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora. Bakteri ini dapat berbentuk filamen bercabang atau campuran antara bentuk batang/filamen dengan bentuk kokoid.
Propionibacterium acnes memerlukan oksigen mulai dari aerob atau anaerob fakultatif sampai ke mikroerofilik atau anaerob. Beberapa bersifat patogen untuk hewan dan tanaman (Khan, 2009).
Klasifikasi Propionibacterium acnes (Khan, 2009) : Kerajaan : Bacteria Devisi : Actinobacteria Kelas : Actinobacteridae Bangsa : Actinomycetales Suku : Popionibacteriaceae Marga : Propionibacterium
Jenis : Propionibacterium acnes
Mekanisme terjadinya jerawat adalah bakteri Propionibacterium acnes merusak stratum corneum dan stratum germinat dengan cara menyeksresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori-pori. Kondisi ini dapat menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan minyak kulit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tersumbat kemudian mengeras. Jika jerawat disentuh maka inflamasi akan meluas sehingga padatan asam lemak dan minyak kulit yang mengeras akan membesar (Sugita, 2010).
Obat-obat yang biasa digunakan untuk terapi topikal kebanyakan mengandung unsur sulfur dan astrigen lainnya. Benzoil peroksida 2,5-10% sangat aktif dalam melawan Propionibacterium acnes. obat ini bersifat komedolitik, karena obat ini mengandung antimikroba, antikomedo, dan efek antiinflamasi. Namun kerugian utamanya adalah dapat menyebabkan iritasi. Topikal eritromisin dan klindamisin juga sama efektifnya dengan benzoil peroksida (Sugita, 2010).
Obat terapi sistemik yang digunakan adalah tetrasiklin dan eritromisin. Namun demikian, pemakaian pada sistem gastrointestinal pada penggunaan ketika perut kosong akan mengakibatkan dampak yang buruk. Studi terbaru menyatakan bahwa doksisiklin, minosiklin, dan trimetroprim-sulfametoksazol lebih efektif daripada tetrasiklin (Sugita, 2010).
2.7.4 Penentuan Aktivitas Antimikroba
Potensi dari suatu antimikroba diperkirakan dengan membandingkan zona hambat pertumbuhan terhadap mikroorganisme yang sensitif dari hasil penghambatan suatu konsentrasi larutan uji dibandingkan dengan antibiotik (Anonim, 2001).
Penentuan aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode difusi dan metode dilusi. Pada metode difusi termasuk didalamnya metode disk diffusion (tes Kirby & Baur), E-test,
ditch-plate technique, cup-plate technique. Sedangkan pada metode dilusi termasuk didalamnya metode dilusi cair dan dilusi padat (Pratiwi, 2008). a. Metode difusi menurut Pratiwi (2008) diantaranya :
1) Metode disk diffusion (tes Kirby & Baur) menggunakan piringan yang berisi agen antimikroba, kemudian diletakkan pada media agar yang sebelumnya telah ditanami mikroorganisme sehingga agen antimikroba dapat berdifusi pada media agar tersebut. Area
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar.
2) Metode E-test digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar terendah sampai tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkan yang menunjukan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.
3) Ditch-plate technique. Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakka pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan kearah parit yang bersi agen antimikroba tersebut. 4) Cup-plate technique. Metode ini serupa dengan disk diffusion,
dimana dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.
b. Metode dilusi menurut Pratiwi (2008) diantaranya adalah :
1) Metode dilusi cair / broth dilution test (serial diution). Metode ini digunakan untuk mengukur Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penanaman mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi umumnya selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM.
2) Metode dilusi padat (solid dilution test). Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.
2.7.5 Pengukuran Zona Hambat
Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambat berupa zona bening disekeliling kertas cakram. Bagian yang dihitung dengan jangka sorong adalah diameter dari zona hambat yang terbentuk (Pratiwi, 2008). Diameter zona hambat dideskripsikan dengan gambar dibawah ini :
Gambar 3. Perhitungan diameter zona hambat antibakteri (Pratiwi, 2008).
Keterangan: a = Diameter kertas cakram (6 mm)
b = Diameter zona hambat yang terbentuk (mm) c = Daerah yang ditumbuhi bakteri
Menurut Suryawiria (1978) dalam Pradana (2013), berdasarkan zona hambat yang terbentuk maka aktivitas antibakteri dapat digolongkan menjadi beberapa golongan yaitu antibakteri yang tergolong lemah (zona hambat < 5 mm), sedang (zona hambat antara 5-10 mm), kuat (zona hambat antara 10-20 mm), dan tergolong sangat kuat (zona hambat > 20 mm).
27