• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP PRODUKSI DAN JUAL BELI DALAM ISLAM

B. Jual Beli

1. Pengertian Dan Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli dalam KUH Perdata Pasal 1457 adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.23

Jual beli menurut bahasa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Taqiyyudin dalam Kitab Kifayah Al–Akhyar, yaitu memberikan sesuatu karena menerima sesuatu ( imbalan ).24 Menurut Abu Syeikh Yahya Zakariya Al–Anshory dalam Kitab Fath Al-Wahhab, yaitu tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.25 Menurut Abu Abdillah Muhammad bin Abi Al–Qosim As–Samiry dalam Kitab Radd Al–Muhtar, yaitu jual beli menurut bahasa adalah pencerminan dari ijab dan qobul ketika ada ikatan dari 2 ( dua ) hal atau benda dengan harga.26

Kesimpulan dari pengertian jual beli menurut bahasa merupakan pengertian secara umum, yaitu mengganti sesuatu dengan sesuatu.

Jual beli menurut istilah adalah

Menurut Imam Taqiyyudin dalam Kitab Kifayah Al-Akhyar adalah pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan ( ijab qobul ) dengan cara yang diijinkan.27

23. R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, ( Jakarta : Pradya Paramita ), cet. 77, hlm.366

24. Imam Taqiyyudin Abi Bakr bin Muhammad Khusaini, Kifayah Al-Akhyar, ( Indonesia : Dar Ihya’ Al-Kutub Arabiyyah ), Juz. I, hlm. 239

25. Syeikh Yahya Zakariya Al-Anshory, Fath Al-Wahhab, ( Dar Al-Fikr ), Juz. I, hlm. 157

26. Abu Abdillah Muhammad bin abi Al-Qosim As-Samiry, Rodd Al-Muhtar, ( Dar Al-Fikr ),

Juz. 7, hlm. 3

Dalam Kitab Fath Al-Wahhab, jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta lain dengan cara tertentu.28 Menurut Sayyid Sabbiq, jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.29 Dalam Kitab Rad Al-Mukhtar, yaitu penukaran sesuatu dengan harapan mendapat sepadannya dengan cara tertentu.30

Kesimpulan penulis dari definisi–definisi diatas, bahwa jual beli adalah suatu peristiwa atau kejadian yang terdiri dari ijab dan qobul yang menetapkan kerelaan diantara 2 ( dua ) orang, yaitu penjual dan pembeli yang menyangkut barang dan harga, dimana ijab qobul itu dapat menimbulkan kewajiban bagi pembeli untuk membayar harga dan berhak menerima barangnya, begitu juga penjual berkewajiban menyerahkan barangnya kepada pembali dan berhak menerima harganya atas barang tersebut.

Jual beli tersebut melibatkan beberapa unsur yaitu pihak pembeli menyerahkan uangnya sebagai penyerahan atas barang yang diterimanya dan pihak penjual menyerahkan barangnya sebagai ganti dari uang ynag diterimanya, atas dasar kesepakatan dari kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk ijab dan qobul.

Dasar hukum jual beli termaktub dalam Al–Qur’an dan Al–Hadist. Firman Allah :

اﻮﺑﺮﻟا مﺮﺡو ﻊﻴﺒﻟا ﷲا ﻞﺡاو

28. Syeikh Yahya Zakariya Al-Anshory, loc. cit.

29. Sayyid Sabbiq, Fiqh Sunnah, ( Dar Al-Fikr ), Juz. III, hlm.126

Artinya : “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “. ( QS. Al–Baqarah : 275 ). 31

Ayat diatas mengandung pengertian bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-Nya dengan jalan yang baik dan melarang jual beli yang mengandung riba atau merugikan orang lain.

سﺎﻨﻟا لاﻮﻣا ﻦﻣ ﺎﻘﻳﺮﻓ اﻮﻠآ ءﺎﺘﻟ مﺎﻜﺤﻟا ﻰﻟا ﺎﻬﺑ اﻮﻟﺪﺗو ﻞﻃﺎﺒﻟاﺎﺑ ﻢﻜﻨﻴﺑ ﻢ ﻜﻟاﻮﻣا اﻮ ﻠآ ءﺎ ﺗ ﻻو

نﻮﻤﻠﻌﺗ ﻢﺘﻥاو ﻢﺛﻻﺎﺑ

Artinya : “ Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan ( janganlah ) kamu membawa ( urusan ) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benada orang lain itu dengan ( jalan berbuat ) dosa, padahal kamu mengetahui. ( QS. Al-Baqarah : 188 ).32

ﻦﻳﺬﻟا ﺎﻬﻳا ﺎﻳ

ا

اﻮﻨﻣ

ﻢﻜﻨﻣ ضاﺮﺗ ﻦﻋ ةرﺎﺠﺗ نﻮﻜﺗ ن ا ﻻا ﻞﻃﺎﺒﻟﺎﺑ ﻢﻜﻨﻴﺑ ﻢﻜﻟاﻮﻣا اﻮﻠآ ءﺎﺗ ﻻ

Artinya : “ Janganlah kamu makan harta yang ada diantara kamu dengan jalan batil melainkan dengan jual beli suka sama suka “ (QS. An-Nisa : 29).33

Ayat diatas menjelaskan bahwa kita diharamkan memakan harta sesama manusia dengan jalan yang batil, baik itu dengan jalan mencuri, menipu, merampok, merampas, maupun dengan jalan lain yang tidak dibenarkan Allah, kecuali dengan jalan perniagaan atau jual beli yang didasari atas dasar suka dan saling menguntungkan. Karena memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar akan merugikan orang lain dan akan menimbulkan perselisihan. Allah menyuruh manusia agar mencari penghidupan dengan cara yang baik yang selalu dilandasi dengan iman dan taqwa kepada Allah.

31. Depag RI, Op. Cit., hlm. 48 32. Ibid., hlm. 30

Hadist Rosulullah menyebutkan :

ضاﺮﺗ ﻦﻋ ﻊﻴﺒﻟا ﺎﻤﻥا

Artinya : “ Sesungguhnya jual beli atas dasar kerelaan “34

ﻲﺒﻨﻟا نا ﻪﻨﻋ ﷲا ﻰﺿر ﻊﻓار ﻦﺑ ﺔﻋﺎﻓر ﻦﻋ

ﺐﻴﻃا ﺐﺴﻜﻟا يأ ﻞﺌﺳ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ

لﺎﻗ

:

روﺮﺒﻣ ﻊﻴﺑ ﻞآو ﻩﺪﻴﺑ ﻞﺝﺮﻟا ﻞﻤﻋ

)

راﺰﺒﻟا ﻩاور

(

Artinya : “ Dari Rifa’ah RA, Sesungguhnya Nabi SAW ditanya : mata pencarian apa yang paling baik, jawabnya : seorang laki–laki yang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang baik “35

Hadist diatas mengandung pengertian bahwa seseorang diwajibkan memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan tangannya sendiri (bekerja). Allah melarang manusia yang malas (tidak mau bekerja) yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Allah juga menyuruh manusia dalam berjual beli yaitu dengan cara yang baik ( mabrur ) yang didasari kejujuran hati tanpa kecurangan juga penipuan. Kata mabrur menurut penulis dapat diartikan diterima dan dibenarkan syara’. Jual beli yang dapat diterima dan dibenarkan syara’ adalah jual beli yang memenuhhi syarat dan rukunnya.

Landasan hukum diatas, menjelaskan bahwa manusia dituntut untuk bekerja dalam memenuhi kebutuhannya, salah satu contohnya yaitu dengan jual beli. Jual beli merupakan suatu bentuk mu’amalah yang ada landasan hukumnya dalam syari’at Islam dan merupakan suatu usaha yang baik dalam mencari rizki yang halal asalkan dengan jalan yang baik pula tanpa ada pihak yang dirugikan.

34. Muhammad bin Ismail al Khalani as San’ani, Subulus Salam, Juz II, Maktabah wa Matbaah, ( Semarang : Thoha Putra ), t/th, hlm. 4

2. Rukun Dan Syarat Jual Beli

Disyari’atkan jual beli dimaksudkan agar kemerdekaan individu dalam melaksanakan aktivitas ekonomi akan terikat oleh hak dan kewajiban sesamanya yang berdasarkan ketentuan sumber Hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Jual beli dapat dikatakan sah menurut Hukum Islam, apabila terpenuhi syarat dan rukunnya sesuai dengan Syari’at Islam sebagai acuan dalam pelaksanaan jual beli dan juga dalam melaksanakan syari’at.

Rukun dan Syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli adalah : 1) Sighat Akad

Pengertian Akad menurut bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung sesuatu barang, sedangkan menurut istilah ahli fiqh, aqad ialah ikatan ijab qobul menurut cara yang disyari’atkannya, sehingga tampak akibatnya.36 Menurut Hasbi As-Siddieqy, aqad merupakan perkataan antara ijab dengan qobul secara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan kedua belah pihak.37 Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja yang memulainya. Qobul ialah jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuan.38 Misal dari pengertian ini adalah penjual menjajakan barangnya dengan berkata, aku jual barang itu kepadamu dengan harga sekian rupiah, kemudian disambut oleh pembeli, ya aku setuju untuk membeli barang itu. Perkataan penjual itu dinamakan ijab, dan jawaban pembeli dinamakan qobul.

36. Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada ), Cet. I, 2002, hlm.76

37. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, ( Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra ), Cet. I, 1997, hlm. 26.

Syarat sighat ijab qobul adalah :

a. Satu sama lain berhubungan disatu tempat tanpa ada pemisah yang merusak. b. Ada kesepakatan antara ijab dan qobul pada barang dan saling ada kerelaan

diantara mereka, berapa barang yang dijual dan harga barang, jika keduanya tidak sepakat, maka jual beli ( aqad ) dinyatakan tidak sah, sebaliknya apabila keduanya menyatakan sepakat maka jual beli itu sah.

c. Ungkapan harus menunjukkan masa lalu ( madli ) seperti perkataan penjual “aku rela jual“ dan perkataan pembeli “aku telah terima“ atau menunjukkan masa sekarang ( mudhori’ ), jika yang diinginkan pada masa yang akan datang dan semisalnya, maka hal itu merupakan janji untuk beraqad dan bukanlah sebagai aqad yang sah secara hukum.39

d. Sigaht aqad harus menunjukkan bahwa sighat akad harus memperlihatkan kesungguhan, tidak diucapkansecara ragu–ragu, tanpa kesungguhan aqad menjadi tidak sah. Sebagaimana yang dikatakan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa berjanji akan menjual belum merupakan akad penjualan, dan orang yang berjanji tidak dapat dipaksa menjualnya “. 40

Perkataan atau ucapan bukanlah satu–satunya jalan untuk mengadakan akad dan tidak harus sama ( tiap–tiap daerah bisa berubah ), asalkan akad tersebut dapat dipahami oleh kedua belah pihak dan menunjukkan ikatan jual beli yang baik.

Cara lain yang dapat ditempuh dalam berakad adalah : a. Kitabah ( tertulis )

b. Isyarah

39. Sayyid Sabbiq, Op. Cit., hlm. 49

c. Ta’athi ( beri memberi dalam Bai’ Mu’athah ).41

Syarat yang terkai dengan kekuatan hukum akad jual beli, bahwa jual beli baru mempunyai sifat mengikat, apabila jual beli itu terbebas dari khiyar maka jual beli itu belum mengikat dan masih dapat dibatalkan.42

2) Aqid

Aqid adalah orang–orang yang melakukan aqad. Jual beli tidak akan terjadi tanpa adanya orang yang melakukan, karena itu aqid adalah rukun yang pertama yang harus dipenuhi dalam jual beli. Aqid jual beli ada 2 ( dua ), yaitu : penjual dan pembeli. Aqid ini dapat dilihat pada waktu terjadi transaksi jual beli damana pada saat itu terjadi aqad.

Syarat Aqid adalah : a. Berakal dan Baligh

Jumhur Ulama’ berpendapat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu, harus baligh dan berakal. Apabila orang yang berakad itu masih mumayyiz, maka jual beli itu tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.43

Syarat aqil bagi aqid, adalah logis, karena hanya orang yang sadar dan berakallah yang sanggup melakukan transaksi secara sempurna. Jual beli anak kecil yang biasa terjadi di masyarakat, seperti jual beli minuman, makanan. Menurut hemat penulis, jual beli ini diperbolehkan karena telah menjadi kebiasaan asalkan nilainya relatif kecil.

41. Ibid.., hlm. 30.

42. Khiyar : Hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan jual beli. Khiyar dibagi menjadi 4

macam, yaitu Khiyar Majlis, Khiyar Syarath, Khiyar Aib, Khiyar Ru’yah. Lihat : M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2003, hlm. 139-141.

b. Kehendak sendiri

Jual beli dilakukan tanpa adanya unsur paksaan dari pihak lainnya. Jual beli yang dilakukan bukan atas dasar kehendaknya sendiri adalah tidak sah.

3) Ma’qud Alaih

Ma’qud Alaih adalah barang yang menjadi obyek dalam jual beli, baik barang yang diperjualbelikan dan sesuatu yang dipergunakan untuk membeli. Pada prinsipnya seluruh mazhab sepakat bahwasanya obyek jual beli haruslah berupa mal mutaqawwim, suci, wujud (ada), diketahui secara jelas dan dapat diserahterimakan.45 Syarat–syaratnya secara terperinci adalah :

a. Barang yang diperjualbelikan harus suci. Jual beli tidak sah apabila barang yang diperjualbelikan itu itu najis.

b. Barang yang diperjualbelikan harus ada manfaatnya.46

c. Keadaan barang harus dapat diserahterimakan, maka tidak sah jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan, kecuali jual beli salm.47

d. Barang yang diperjualbelikan milik sendiri dari orang yang melakukan aqad, atau telah mendapat kuasa dari pemilik asli barang tersebut.

e. Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui oleh penjual dan pembeli baik dzatnya, bentuk, kadar maupun sifatnya, sehingga tidak terjadi keluh mengeluh diantara kedua belah pihak.

45.Gufron A. Mas’adi, Op. Cit., hlm.125 46. Sayyid Sabbiq, Op. Cit., hlm. 55 47.

Jual Beli salm yaitu “jual beli barang secara tangguh dengan harga yang dibayarkan dimuka”, atau dengan bahasa lain “jual beli dimana harga dibayarkan dimuka sedangkan barang dengan kriteria tertentu akan diserahkan pada waktu tertentu “.Lihat : Gufron A. Mas’adi,

Alat pembayaran dalam jual beli antara lain : a. Barang

Ketentuannya, barang tersebut harus sama nilainya, pembayarannya harus dengan kontan, serah terima dalam satu majlis, yaitu penjual menyerahkan barangnya kemudian pembeli menyerahkan harganya yang telah disepakati bersama.48

b. Uang

Uang merupakan bentuk pembayaran yang sering dilakukan dalam jual beli. Karena uang merupakan alat pembayaran yang paling efektif dan efisien.

3. Pembagian Macam–Macam Jual Beli.49

Dari aspek obyeknya jual–beli dapat dibedakan menjadi empat macam :

a. Bai’ al-Muqayadhah, atau bai’ al-‘ain bil-‘ain, yakni jul beli barang dengan barang yang lazim disebut jual beli barter, seperti menjual hewan dengan gandum.

b. Bai’ al-Muthlaq, atau bai’ al-‘ain bil-dain, yakni jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan tsaman secara mutlaq, seperti rupiah.

c. Bai’ al-Sharf, atau bai’ al-dain bil-dain, yakni menjualbelikan tsaman ( alat pembayaran ) dengan tsaman lainnya.

d. Bai’ al-Salam, atau bai’ al-dain bil-‘ain.

48. Sayyid Sabbiq, Op. Cit., hlm. 62

Dari aspek tsaman, jual beli dapat dibedakan menjadi empat :

a. Bai’ al-Murabahah, yakni jual beli barang dengan harga pokok ditambah sejumlah keuntungan tertentu yang disepakati bersama dalam akad.

b. Bai’ al-Tauliyah, yakni jual beli barang dengan harga asal tanpa ada penambahan harga atau pengurangan.

c. Bai’ al-Wadhi’ah, yakni jual beli barang dengan harga asal dengan pengurangan sejumlah harga atau diskon.

d. Bai’ al-Musawamah, yakni jual beli barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak, karena pihak penjual cenderung merahasiakan harga asalnya. Jual beli ini adalah jul beli yang biasa berkembang di masyarakat sekarang ini.

Islam melarang segala ketidakadilan dalam praktek perdagangan antara lain :

a. Bai’ Najasy

Transaksi ini diharamkan karena si penjual menuruh orang lain untuk memuji barang atau menawar barang dagangannya tersebut dengan harga yang tinggi agar ada pembeli lain yang tertarik untuk membeli. Si penawar tidak ada maksud untuk membeli barang tersebut.

b. Ikhtikar

Ikhtikar, sering diterjemahkan sebagai monopoli dan atau penimbunan. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu–satunya penjual (monopoli). Menyimpan stock barang untuk keperluan persediaanpun tidak dilarang dalam Islam.Yang dilarang adalah mengambil keuntungan diatas

keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi.Singkatnya kategori ikhtikar adalah :

a) Mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock. b) Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum

munculnya kelangkaan.

c) Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum 1 dan 2 dilakukan.

c. Tadlis ( Penipuan )

Kondisi ideal dalam pasar adalah apabila penjual dan pembeli mempunyai informasi yang sama tentang barang yang akan diperjualbelikan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Macam-macam Tadlis : a) Tadlis Kuantitas

Tadlis Kuantitas, termasuk kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitasnya banyak. Misalnya, menjual baju sebanyak satu kontainer, karena jumlahnya banyak maka tidak mungkin pembeli untuk menghitung satu per satu, penjual berusaha melakukan penipuan dengan mengurangi jumlah barang yang dikirim kepada pembeli.

b) Tadlis Kualitas

Tadlis Kualitas, termasuk menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakti oleh penjual dan pembeli. Contohnya, menjual televisi kualitas rendah 20 inci dengan harga Rp. 700.000,-. Dan ada penjual menjual televisi dengan kualitas sedang dengan harga yang sama.

c) Tadlis Harga

Tadlis Harga, termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual. Misalnya, harga pasaran taksi Rp. 12.000,-. Sopir taksi menawarkan dengan harga Rp. 50.000,- kepada calon pengguna yang tidak tahu harga taksi. Dan setelah tawar menawar antara sopir taksi dan calon pengguna, akhirnya disepakati harga Rp. 40.000,-, Meskipun kedua belah pihak saling rela, namun hal ini dilarang karena kerelaan pengguna taksi adalah kerelaan dalam keadaan tertipu.

d) Tadlis Waktu Penyerahan.

Misalnya, si penjual tahu persis ia tidak akan dapat menyerahkan barang pada besok hari, namun menjanjikan akan menyerahkan barang tersebut pada besok hari.

d. Taghrir ( Ketidakpastian Kedua Belah Pihak ). a) Taghrir Kuantitas.

Contohnya, sistem ijon. Kesepakatan dalam akad tanpa menyebutkan berapa kuantitas ( berapa ton, berapa kuintal ) padahal harga sudah ditetapkan. Dengan demikian tidak ada kepastian kuantitas barang yang ditransaksikan. Seperti menjual padi yang masih hijau disawah, menjual buah yang masih menempel di pohonnya.

b) Taghrir Kualitas

Contohnya, menjual anak sapi dalam kandungan. Yakni, penjual tidak dapat memastikan kondisi fisik anak sapi tersebut bila nanti sudah lahir. Apakah

nanti anak sapi tersebut lahir dengan keadaan yang sehat ataukah dalam keadaan yang cacat

c) Taghrir Harga

Contohnya, seorang penjual menjual barang A dengan harga dua harga, yaitu Rp. 10.000,- untuk harga tunai, dan Rp. 20.000,- untuk harga kredit, kemudian pembeli menyetujuinya. Akad ini tidak sah, karena dalam satu akad ada dua harga.

e. Talaqqi Rukban, yaitu pedagang membeli barang dari penjual sebelum penjual masuk kota. Praktek ini dilarang karena pedagang yang menyonsong di pinggir kota mendapat keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari kampung akan harga yang berlaku di kota.50

50. Adiwarman Azhar Karim, Ekonomi Mikro Islami, ( Jakarta : IIIT Indonesia ), 2002, hlm. 152-165.

BAB III

LARANGAN BAGI PELAKU USAHA DALAM

MEMPRODUKSI DAN / ATAU MEMPERDAGANGKAN

BARANG DAN / ATAU JASA DALAM PASAL 8

UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

A. Sekilas Tentang Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

Perkembangan perekonomian yang semakin pesat serta didukung dengan kemajuan teknologi informasi telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing barang dan / atau jasa yang dapat dikonsumsi, sehingga memberikan dampak negatif maupun dampak positif. Dampak positifnya bagi konsumen adalah terpenuhinya segala kebutuhan akan barang dan jasa dan semakin terbuka lebarnya kebebasan untuk memilih aneka jenis barang dan jasa yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Dampak negatifnya, keadaan ini mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Keadaan ini semakin lama menjadi perhatian banyak orang.1

1. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama ), 2000. hal. 11

Di Indonesia masalah perlindungan konsumen mulai terdengar pada tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk memperlancar barang-barang dalam negeri. Atas desakan suara-suara dari masyarakat baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan di media masa, kegiatan promosi ini kemudian diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan terhadap barang-barang, dan diperuntukan agar masyarakat tidak dirugikan dari barang yang rendah mutunya dan kualitasnya terjamin serta telah memacu masyarakat untuk melindungi dirinya.2

Puncaknya, pada tanggal 20 April 1999, Pemerintah Replubik Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diberlakukan sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang ini diharapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak dan kewajibannya yang dimiliki terhadap pelaku usaha, yaitu untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu ditingkatkan kasadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen uuntuk melindungi dirinya, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.3

2. Ibid,. Hal. 12 3. Ibid,. Hal. 2

Selain itu, pemberlakuan undang-undang ini dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen, dan mendorong iklim berusaha yang sehat dengan serta mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang berkualitas. Pemberlakuannya undang-undang ini juga akan tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah melalui pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.4

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha;

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan;

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang – bidang perlindungan pada bidang – bidang lain.5

4. Rachmadi Usman. Hukum Ekonomi Dalam Dinamika. Jakarta ; Djambatan. Cet.1. 2000. hal.195

5. Erman Rajaguguk, et.al.., Hukum Perlindungan Konsume, ( Bandung : Mandar Maju ), 2000. hal. 7

Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini terdiri dari 15 bab dan 65 pasal serta 11 bagian, dengan cakupan materinya sebagai berikut :

a. Asas dan tujuan perlindungan konsumen; b. Hak dan kewajiban konsumen;

c. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha; d. Ketentuan pencantuman klausula baku; e. Tanggung jawab pelaku usaha;

f. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen; g. Badan perlindungan konsumen;

h. Lembaga perlindungan konsumen; i. Penyelesaian sengketa konsumen; j. Badan penyelesaian konsumen;

k. Penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen; l. Sanksi administratif dan pidana;

Dan dilengkapi pula dengan Penjelasan Umum serta Penjelasan Pasal demi Pasal. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini lebih didominasi mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini disebabkan karena kerugian yang dialami konsumen barang dan jasa, lebih khusus konsumen makanan,

Dokumen terkait