• Tidak ada hasil yang ditemukan

B a r) Kontrol Roofing

Feb 07 Juli 07 Ags 07 Sep 07 Mar 08

(5 bulan ) (6 bulan ) (7 bulan ) (13 bulan )

periode roofing

(sebelum roofing)

Gambar 14 Potensial air akar G. sepium (Bar) sebelum dan selama cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Apabila ditinjau waktu penurunan potensial air akar, akar tanaman kakao mengalami penurunan lebih dahulu dibandingkan akar G.sepium (pada bulan ke 5 roofing kandungan air tanah di sekitar pohon G.sepium sama antara plot kontrol dan roofing). Demikian juga penurunan potensial air akar pada tanaman

kakao juga lebih tajam dibanding G. sepium karena pada saat potensial air akar kakao mencapai 9,31 ± 1,98 Bar potensial air akar G.sepium hanya 4,85 ± -1,25 Bar. Penurunan potensial air akar kakao pada siang hari yang cukup signifikan itu menunjukkan tanaman tersebut telah mengalami cekaman. Cekaman kekeringan dapat dibagi dalam tiga kelompok, (1) cekaman ringan : jika potensial air daun menurun -0,1 MPa (-10 Bar), (2) cekaman sedang : jika potensial air daun menurun 1,2 – 1,5 MPa dan (3) cekaman berat : jika potensial air daun menurun > 1,5 MPa. Potensial air daun kakao yang terukur berkisar -10 sampai -16 Bar (Data Michael Kohler, komunikasi pribadi), dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa tanaman kakao pada bulan September 2007 mengalami cekaman kekeringan sedang. Menurut Harjadi & Yahya (1988) bahwa cekaman air yang sedikit saja (-1 sampai -3 Bar) cukup menyebabkan pelambatan atau berhentinya pembelahan dan pembesaran sel. Cekaman kekeringan dengan TDE selama 13 bulan juga tidak berpengaruh nyata terhadap produksi buah kakao 10 %. Pada plot roofing produksi buah 10% lebih rendah dibanding plot kontrol. Namun demikian pengamatan produksi buah kakao selama periode rewetting (Mei 2008) menunjukkan perbedaan nyata dimana produksi buah kakao pada plot roofing 53% lebih rendah dari plot kontrol (Data Gerald Moser 2008, belum dipublikasikan).

Akar kakao pada lapisan tanah 20 cm lebih sensitif terhadap perubahan kandungan air tanah dibanding G.sepium. Pada lapisan tanah 20 cm, air tanah di sekitar perakaran kakao lebih cepat turun, hal itu disebabkan pada lapisan ini merupakan zona perakaran aktif terbanyak bagi tanaman kakao. Menurut Zuidema et al. (2005) dan Susanto (1994) akar lateral kakao sebagian besar (sekitar 56%) tumbuh pada lapisan tanah atas sedalam 0-10 cm. Sedangkan 26% pada bagian lapisan yang lebih dalam (11-20 cm), dan sekitar 14% pada bagian yang lebih dalam lagi (21-30 cm), dan hanya sekitar 4,5% tumbuh pada kedalaman lebih dari 30 cm. Dengan demikian berkurangnya kandungan air tanah di sekitar perakaran kakao akan menurunkan kelembaban tanahnya oleh karena itu akar kakao harus mempunyai potensial air akar lebih rendah agar air dari tanah dapat masuk ke dalam akar.

Pada saat air tanah di sekitar tanaman kakao berkurang/habis dan air hanya terdapat di lapisan yang lebih dalam lagi, maka akar-akar G.sepium yang masih dapat menyerapnya. Zona penyerapan air pada tanaman G.sepium oleh akar lebih luas dan dalam daripada akar kakao, oleh karenanya kelembaban

Meskipun penurunan potensial air pada tanaman kakao cukup signifikan namun potensial air akar kakao pada jam 04.00-05.00 menunjukkan kenaikan (Tabel 5). Pada waktu pagi hari nilai potensial air akar kakao naik hingga < –0,5 Bar, sementara pada jam 12.00-14.00 potensial akar kakao dapat mencapai -10 Bar. Demikian juga yang terjadi pada akar G.sepium, potensial air akarnya juga mengalami kenaikan, hanya saja potensial air akar pada siang hari penurunannya tidak setajam pada akar kakao. Naiknya potensial air akar pada pagi hari pada tanaman kakao dimungkinkan karena adanya peristiwa nocturnal hydraulic lift dari pohon G.sepium. Tanaman melakukan transpirasi pada waktu siang hari, sementara pada malam harinya ketika transpirasi menurun masih terjadi sisa tarikan transpirasi sehingga terjadi proses nocturnal hydraulic lift. Peristiwa nocturnal hydraulic lift merupakan suatu mekanisme gerakan pasif air pada xilem akar karena adanya perbedaan potensial air tanah. Karena potensial air tanah pada lapisan permukaan atas tanah lebih rendah dari lapisan tanah yang lebih dalam, maka terjadi aliran air dari dalam ke atas.

Tabel 5 Potensial air akar kakao dan G. sepium yang diukur pada pukul 04.00 - 05.00 WITA pada bulan September 2007

Tanaman Plot Kontrol Plot Roofing Kakao < -0,5 Bar (n=5) < -0,5 – -0,5 Bar (n=5) G sepium << -0,5 – -0,5 Bar (n=4) < -0,5 – -0,5 Bar (n=2)

Menurut Richards and Caldwell (1987); Dawson (1993); Yoder & Nowak (1999) hydraulic redistribution oleh akar tanaman biasanya terjadi pada malam hari ketika transpirasi berkurang, oleh karenanya disebut juga nocturnal hydraulic lift. Ditambahkan oleh Richards & Caldwel (1987) akar pohon yang berada di dalam tanah dapat mengangkut air secara hidrolik dari daerah yang letaknya beberapa meter di bawah permukaan tanah ke daerah yang lebih kering di atasnya dengan cara melepaskan air tersebut. Penelitian dari Burgess et al. 1998,; Schulze et al. 1998; Sakuratani et al. 1999; Smith et al. 1999, menunjukkan aliran getah akar tunggang dan akar lateral pohon dapat

meredistribusikan air ke arah bawah atau lateral dari lapisan tanah yang lembab ke tanah yang lebih kering. Menurut Amenu & Kumar ( 2007) peristiwa hydraulic redistribution ini dapat juga terjadi dari akar yang berada di lapisan dangkal ke lapisan dalam atau sebaliknya.

Analisis kandungan proline total fineroot kakao TM dan G.sepium

Analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan proline total akar kakao dan akar G. sepium tidak dipengaruhi oleh perlakuan TDE (p akar kakao = 0,1751 dan p akar G. sepium = 0,1093), namun dipengaruhi oleh waktu (p = 0,0002 untuk akar kakao dan G. sepium) (Tabel 6).

Tabel 6 Kandungan proline total akar fineroot kakao dan G. sepium (μg/bobot kering) selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE

Juli 07

(5 bulan roofing)

Maret 08

(13 bulan roofing)

Pohon

Roofing Kontrol Roofing Kontrol

Kakao 0,47±0,15a 0,44±0,24a 3,76±2,56b 6,90±6,77b

G sepium 1,75±1,25A 1,70±1,32A 11,70±6,73B 7,00±4,79B Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap baris

menunjukkan berbeda nyata (Uji DMRT pada p<0,05).

Kandungan proline total fineroot kakao maupun G.sepium pada plot roofing maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, meskipun pada plot roofing kandungan air tanahnya lebih rendah dari plot kontrol. Hasil pengukuran kandungan proline total pada bulan ke 5 dari fineroot kakao adalah 0,47±0,15 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 0,44±0,25 μg/berat kering (pada plot kontrol) sedangkan fineroot G.sepium relatif lebih tinggi yaitu 1,75±1,25 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 1,70±1,32 μg/berat kering (pada plot kontrol).

Pengukuran kandungan proline total fineroot kakao dan G.sepium pada bulan ke 13, menunjukkan peningkatan yang signifikan dibanding bulan ke 5. Kandungan proline total fineroot kakao meningkat menjadi 3,76±2,55 μg/bobot kering pada plot roofing dan plot kontrol 6,90±6,77 μg/bobot kering, sementara itu pada fineroot G.sepium naik menjadi 11,70±6,73 μg/bobot kering (pada plot roofing) dan 7,00±4,79 (pada plot kontrol).

Apabila dilihat dari peningkatan kandungan proline fineroot nampak bahwa fineroot kakao mengalami peningkatan lebih tinggi dibanding fineroot G.sepium. Peningkatan proline total pada fineroot kakao mencapai 11,59 kali,

G.sepium menunjukkan tanaman kakao lebih cepat merespon adanya kekurangan air dibanding akar G.sepium. Kandungan air tanah pada lapisan 20 cm lebih rendah di sekitar akar kakao di banding akar G.sepium. Oleh karenanya potensial air akarnya lebih rendah. Tanaman yang toleran dan bertahan pada kondisi defisit air eksternal akan mempertahankan turgor agar tetap di atas nol, dengan cara potensial air jaringan tetap rendah dibanding potensial air eksternalnya sehingga tidak terjadi plasmolisis (Jones and Turner 1980).

Meski demikian tidak semua tanaman mengembangkan penyesuaian osmotik sebagai respon terhadap cekaman kekeringan. Penyesuaian osmotik dipengaruhi oleh laju perkembangan cekaman, tingkat cekaman, kondisi lingkungan dan genotip tanaman. Hal serupa dikemukakan oleh Kirkham (1990) dan Yoshiba et al.(1997) yang menyatakan bahwa proline dijumpai terakumulasi lebih banyak pada tanaman yang toleran terhadap stres kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang peka.

Pengukuran kandungan proline total fineroot juga dilakukan pada seedling kakao umur 12 bulan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan air tanah yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kandungan proline total fineroot semai kakao (p=0,1577). Namun demikian kandungan proline fineroot pada semai kakao (Tabel 7) yang tumbuh pada tanah dengan kandungan air 25% mempunyai proline tertinggi, diikuti oleh kandungan air 50% dan 75%.

Tabel 7 Kandungan proline total semai kakao (μg/berat kering) pada kandungan air tanah yang berbeda

Kandungan air tanah

75% 50% 25%

Proline total 0,26±0,014 10,62± 9,26 15,05± 3,06

Nampaknya penyesuaian osmotik tanaman terhadap adanya stres kekeringan dapat terlihat jelas pada semai kakao. Analisa diatas mendukung pendapat Nabil & Coudret (1995) yang menyatakan bahwa sewaktu tanah menjadi lebih kering, akan menyebabkan potensial air tanah turun, sel-sel hidup

akan menyesuaikan status air selnya dengan cara mengakumulasi senyawa aktif osmotik yang dapat mereduksi potensial osmotik dan hal ini akan membantu menjaga turgor sel. Sebagai akibat adanya kenaikan konsentrasi larutan osmotik, sel akan mempunyai turgor yang lebih tinggi ketika terjadi hidrasi. Ditambahkan oleh Hanson (1980) bahwa kemampuan tanaman merespon kondisi lingkungan yang kurang baik sangat ditentukan oleh spesies dan umur tanaman.

Jika dibandingkan dengan proline total fineroot pohon, semai kakao umur 12 bulan (TBM) mempunyai pola yang jelas dimana proline total fineroot meningkat seiring dengan menurunnya kandungan air tanah. Sistem perakaran dan kanopi sangat berbeda antara pada pohon dan semai. Pohon kakao yang berumur 7 tahun mempunyai perakaran yang tersebar sampai kedalaman 160 cm, sehingga bila kekeringan terjadi dipermukaan tanah. Pada semai yang di tanamn dalam pot-pot sistem perakaran menjadi terbatas, oleh karenanya semai terlebih dahulu yang mengalami cekaman. Menurut Lampinen et al. (2007) menyatakan tanaman dewasa seperti pohon berkayu mempunyai sistem perakaran yang lebih banyak dibanding pada tanaman semai pada tanaman tahunan atau setahun, oleh karenanya pohon mempunyai kapasitas yang lebih besar dalam menyimpan nutrien, karbohidrat dan air sehingga lebih toleran terhadap kondisi yang merugikan.

Simpulan

1. Cekaman kekeringan dengan menggunakan sistem TDE dapat menurunkan kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao dan G.sepium. Selama perlakuan roofing, kandungan air tanah di sekitar tanaman kakao pada plot roofing 41-57% lebih rendah dibandingkan plot kontrol. Sementara itu kandungan air tanah di sekitar tanaman G.sepium pada plot roofing 10-47% lebih rendah dibanding plot kontrol.

2. Penurunan kandungan air tanah kedalaman 20 cm di sekitar tanaman kakao lebih cepat dari kandungan air tanah di sekitar tanaman G.sepium karena air diambil oleh fineroot kakao lebih kuat (Ψ akar kakao lebih negatif), potensial air yang lebih negatif ditambah dengan pertumbuhannya lebih tinggi (94,52-181,57 g/m3) sehingga akar menyerap air lebih banyak dan lebih jauh Perakaran G.sepium lebih banyak mati, karena kalah berkompetisi dengan fineroot kakao; suplai air lebih banyak diambil dari lapisan yang lebih dalam.

kekeringan ringan sedangkan potensial air akar G.sepium terendah adalah -4,81 Bar.

4. Selama cekaman kekeringan kandungan proline total fineroot kakao TM maupun G.sepium pada plot roofing maupun kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Proline total fineroot kakao TM mengalami kenaikan lebih tinggi dibanding fineroot G.sepium. Peningkatan proline total pada fineroot kakao mencapai 11,59 kali, sedangkan pada fineroot G. sepium 5,44 kali.

5. Proline total fineroot semai kakao umur 12 bulan cenderung meningkat seiring dengan menurunnya kandungan air tanah.

Pendahuluan

Penelitian tentang respon cekaman kekeringan tanaman kakao sudah banyak dilakukan terutama pada semai. Namun demikian informasi tentang respon tanaman kakao menghasilkan (TM) masih sangat sedikit. Beberapa penelitian yang telah dilakukan pada pohon difokuskan pada status air daun, pertumbuhan dan fenologi daun serta efeknya pada fotosintesis, efisiensi penggunaan air dan konduktansi daun (Wullschleger dan Hanson 2006). Pada kenyataannya akar juga memegang peran penting dalam merespon stres kekeringan (Becker and Castillo 1990). Pada umumnya tanaman kakao ditanam pada sistem agroforestri dengan beberapa pohon pelindung seperti Gliricidia sepium, kelapa (Cocos sp), kaliandra, dan lain-lain.

Kohesi yang merupakan daya tarik menarik antar molekul sejenis ikut berperan dalam pergerakan air dalam lintasan mulai dari tanah, masuk ke epidermis, kortek, dan endodermis, masuk ke jaringan pembuluh akar, naik melalui unsur xilem, masuk ke daun, dan akhirnya ke stomata untuk kemudian ditranspirasikan ke atmosfer. Struktur khusus lintasan ini (diameter kecil dan dinding tebal yang mencegah kempesnya tabung pembuluh), potensial osmotik yang rendah pada sel batang dan daun, serta kemampuan hidrasi dinding sel terutama di daun membuat sistem ini berfungsi (Cruiziat et al. 2002).

Studi cekaman kekeringan pada tumbuhan menggaris bawahi pentingnya perubahan adaptif dari sistem pembuluh xilem, yang memaksimalkan absorpsi air dan mengurangi defisist air. Respon plastis xilem terhadap hydraulic conductivity dan kemudahan terjadinya kavitasi dalam cekaman kekeringan mungkin merupakan karakter yang diturunkan.

Pengetahuan tentang hydraulic conductivity diperlukan sebagai dasar untuk mempelajari kapasitas xilem seperti aliran mekanik, distribusi dan resistensi serta gradien dari transpor air pada pembuluh xilem. Stres kekeringan direspon oleh tanaman secara teoritis melalui : (1) pengurangan transpirasi dari daun dan (2) menaikkan laju absorpsi air oleh akar. Di antara dua hal itu terbentang jaringan pengangkut air, yaitu xilem yang berperan besar dalam transportasi air dari akar ke daun. Kemampuan melewatkan air dari akar ini

akar tertentu (MPa/m). Jadi hydraulic conductivity ini dinyatakan sebagai kg.m.MPa-1.s-1. Apabila nilai ini dikonversikan untuk setiap luasan yang dilalui air, maka nilai itu disebut specific conductivity.

Struktur pembuluh xilem merupakan faktor penting dalam penentuan keberadaan embolisme yang diinduksi oleh cekaman kekurangan air dan bervariasi dari satu jenis ke jenis lainnya. Embolisme adalah peristiwa terbentuknya gelembung-gelembung gas berupa uap air dan kemudian menjadi gelembung udara yang terperangkap dalam xilem dan hal ini akan membatasi aliran air yang melewatinya sehingga dapat menurunkan kapasitas tanaman untuk mengangkut air menuju kanopi. Kolom air dalam pipa tegak berukuran besar biasanya mudah membentuk rongga (Tyree et al. 1999). Embolisme terjadi saat tegangan air xilem naik melalui kenaikan transpirasi atau tanah yang kering. Keberadaan embolisme umum terjadi pada kondisi alami, hal ini bisa diketahui dan dihitung dengan berbagai macam metode eksperimen, di antara dengan metode dari Sperry et al. (1988). Embolisme yang ekstrim selain dapat menghambat aliran air dalam kolom itu, juga dapat menyebabkan kematian tajuk, cabang bahkan seluruh tanaman (Tyree et al. 1999).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis respon morfofisiologi tanaman kakao pada sistem agroforestri sebelum dan selama perlakuan cekaman kekeringan dengan sistem TDE dengan mengkaji perubahan hydraulic conductivity dan persentase embolisme akar serta menganalisis anatomi akar dari tanaman kakao dan G. Sepium menurut metode Sperry et al. 1988.

Bahan Dan Metode

Pengukuran nilai hydraulic conductance dan persentase embolisme 1. Pengambilan sampel akar

Pengambilan sampel dilakukan pada akar kakao dan G sepium yang mempunyai diameter 3-5 mm. Setiap pohon diambil tiga buah akar yang letaknya berbeda. Akar yang diperoleh dengan cepat dimasukkan ke dalam wadah berisi air. Hal itu dilakukan agar akar tidak terkena emboli dari udara. Selanjutnya akar dibersihkan dan dipotong dengan panjang kurang lebih 20 cm. Potongan akar

kemudian dimasukkan ke dalam plastik berukuran 3 cm x 30 cm yang telah diisi air terdeionisasi dan 0.0005% (v/v) ‘micropur’. Sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam container bersuhu 20oC dan dibawa ke laboratorium.

2. Pengukuran nilai hydraulic conductance akar di laboratorium

Di laboratorium, pengukuran hydraulic conductivity dilakukan dengan menggunakan metode Sperry et al (1988). Gambar 14 memperlihatkan skema peralatan yang digunakan untuk mengukur konduktivitas akar. Prinsip kerja alat ini adalah menggunakan perbedaan gravitasi dan pompa. Seluruh air dalam sistem Sperry ini adalah air deionisasi yang dicampur dengan 0.0005% (v/v) ‘micropur’ serta sudah melewati filter (diameter pori adalah 0.22 μm). Fungsi ‘micropur’ adalah untuk membunuh bakteri dalam air.

Sampel akar dari lapangan terlebih dahulu dipindahkan kedalam wadah berisi air (dipilih bagian akar yang tidak rusak). Selanjutnya akar dipotong rata pada ujungnya dengan menggunakan pisau tajam sehingga mempunyai panjang kurang lebih 5 cm (dilakukan pengukuran panjang akar setelah dilakukan pengukuran nilai hydraulic conductance). Bagian proksimal akar dimasukkan ke slang silikon, lalu dijepit pada tabung (adapter) agar tidak terlepas saat dilakukan flushing.

Pengukuran nilai hydraulic conductance awal diperoleh dengan mengukur bobot air yang melewati segmen akar selama 5 menit hanya dengan diberi tekanan dari storage tank. Jarak vertikal antara tinggi air di storage tank dan ujung akar adalah 60 cm atau setara dengan tekanan 0,006 MPa. Pengukuran nilai hydraulic conductance awal dilakukan selama 5 menit. Volume air yang keluar melewati segmen akar ditampung dalam collect jar atau E-cup dan kemudian ditimbang bobotnya.

Pengukuran nilai hydraulic conductance maksimum dilakukan setelah segmen akar diflushing. Flushing merupakan proses untuk membersihkan sisa-sisa embolisme dalam xilem akar dengan pemberian tekanan sebesar -0,12 MPa (Sperry et al. 1988). Setelah flushing dilakukan pengukuran nilai hydraulic conductance kembali. Proses flushing dilakukan sebanyak 2 kali. Nilai hydraulic conductance tertinggi setelah flushing inilah yang menggambarkan nilai hydraulic conductance maksimum.

dimana :

a = bobot air yang melewati xylem (kg) b = panjang akar (m)

c = jarak akar dengan air pada tangki (storage tank)

d = waktu yang diperlukan untuk melewatkan air pada segmen akar (detik) dalam penelitian ini d = 5 menit (300 detik) (Sperry et al. 1988),

Untuk menghitung persentase embolisme digunakan rumus sebagai berikut : Persentase embolisme = 100 (1- Khi/ Khf) dimana,

Khi = Hydraulic conductivity awal

Khf = Hydraulic conductivity pada flushing maksimum

Gambar 15 Sistem Sperry untuk mengukur hydarulic conductivitance akar (Skema oleh B. Rewald, Gottingen University, Germany)

Selanjutnya akar yang telah diukur nilai hydraulic conductance di masukkan ke dalam alkohol 70% untuk selanjutnya dilakukan pengamatan anatomi.

Hasil Dan Pembahasan

Analisis nilai hydraulic conductance akar

Perubahan nilai hydraulic conductance akar tanaman kakao pada kedalaman tanah ± 20 cm sebelum dan selama roofing disajikan pada Gambar 15 dan Tabel 8. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan dengan TDE tidak berpengaruh terhadap nilai hydraulic conductance akar kakao (p = 0,7224) dan G. sepium (p = 0,3857), namun demikian nilai hydraulic conductance dipengaruhi oleh waktu (p = 0,0001).

0 0,00002 0,00004 0,00006 0,00008

Dokumen terkait