• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Lama Ketidaklangsungan Pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) pada Ibu Pasangan Usia Subur

2.4.2 Jumlah Anak (Paritas)

Tingkat paritas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan AKDR. Semakin banyak jumlah anak yang telah dilahirkan semakin tinggi keinginan

responden untuk membatasi kelahiran. Pada akhirnya hal ini akan mendorong responden untuk menggunakan AKDR (Dewi, 2012).

Menurut Suratun (2008) sebaiknya keluarga setelah mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30 tahun tidak hamil lagi. Kondisi keluarga seperti ini dapat menggunakan kontrasepsi yang mempunyai efektifitas tinggi, karena jika terjadi kegagalan hal ini dapat menyebabkan terjadinya kehamilan dengan risiko tinggi bagi ibu dan anak. Di samping itu jika pasangan akseptor tidak mengharapkan untuk mempunyai anak lagi, kontrasepsi yang paling cocok disarankan adalah AKDR.

Paritas dapat memengaruhi kehamilan, paritas 2-3 (multipara) merupakan paritas paling aman untuk melahirkan ditinjau dari sudut kematian maternal, risiko paritas dapat ditangani dengan asuhan obstetrik, sedangkan pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan KB, sebagian paritas tinggi tidak direncanakan.

Untuk mendapatkan efektivitas pemakaian alat kontrasepsi yang baik, banyak ibu paritas multipara yang memilih menggunakan alat kontrasepsi yang efektif.

Berkaitan dengan paritas ibu yang memilih drop out dalam penggunaan akseptor KB karena jumlah anak masih 1 orang (primipara), ataupun 2 orang (scundipara) karena ibu masih menginginkan mempunyai anak 1 atau 2 orang lagi (Wiknjosastro, 2008).

2.4.3 Pendidikan

Pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pemakaian kontrasepsi. Berkaitan dengan informasi yang mereka terima dan kebutuhan untuk

menunda atau membatasi jumlah anak. Wanita yang berpendidikan kecenderungan lebih sadar untuk menerima program KB (Dewi, 2012). Pendidikan dengan penggunaan IUD menunjukkan hubungan yang signifikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden semakin kecil jumlah anak yang diinginkan, sehingga peluang responden untuk membatasi kelahiran semakin besar. Keadaan ini akan mendorong responden untuk membatasi kelahiran dengan menggunakan IUD. Pendidikan seseorang berhubungan dengan kesempatan seseorang menerima serta menyerap informasi sebanyak-banyaknya, termasuk informasi mengenai kesehatan reproduksi serta manfaat penggunaan metode kontrasepsi secara rasional Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan penggunaan alat kontrasepsi. Alasan pengaruh pendidikan terhadap peningkatan penggunaan alat kontrasepsi adalah semakin tinggi pendidikan formal seseorang, usia kawin akan semakin tua sehingga menurunkan jumlah kelahiran (Pastuti dkk, 2007).

Menurut Pastuti dkk. (2007) menunjukkan bahwa responden yang berpendidikan tinggi secara signifikan berpeluang lebih tinggi untuk menggunakan IUD dan implan dibandingkan dengan responden yang berpendidikan rendah. Tingkat pendidikan secara statistik berpengaruh positif terhadap penggunaan metode kontrasepsi, namun berpengaruh negatif terhadap jumlah anak yang dilahirkan.

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap akses dan status wanita dalam meningkatkan prevalensi penggunaan kontrasepsi.

2.4.4 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimiliki (mata, hidung, telinga dan sebagainya).

Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai dengan menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi objek.

Sebagian besar pengetahuan seseorang dipengaruhi melalui indra pendengaran (telinga) dan penglihatan (mata) (Taufik, 2007).

Menurut Polanyi dalam Turban (2005) pengetahuan dapat pula dibagi dua yaitu pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) dan pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge). Pengetahuan eksplisit adalah kebijakan, petunjuk prosedural, laporan

resmi, laporan, desain produk, strategi, tujuan, misi dan kemampuan inti dari perusahaan dan teknologi informasi insfrastruktur. Hal itu adalah pengetahuan yang telah dikodifikasi (terdokumentasi) dalam format yang dapat dibagikan kepada orang lain atau ditransformasikan ke dalam suatu proses tanpa menuntut interaksi antar pribadi. Sedangkan pengetahuan tersembunyi merupakan penyimpanan kumulatif dari pengalaman, peta mental, pengertian yang mendalam (insight) ketajaman, keahlian, know-how, rahasia perdagangan, kumpulan keterampilan, pemahaman dan pembelajaran yang dimiliki organisasi, juga budaya organisasi yang telah melekat di masa lalu.

Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena itu dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2007) Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation).

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

Oleh sebab itu tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui yang dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau pada kondisi yang sebenarnya (real). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan

masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu komponen atau meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasari pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

Menurut Notoatmodjo (2010a), dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah dapat dikelompokkan menjadi dua yakni:

1. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan

Cara kuno atau tradisional dipakai orang untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sebelum ditemukan metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi:

a. Cara coba salah (trial and error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan satu hingga beberapa kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil maka dicoba dengan kemungkinan yang lain, sampai masalah tersebut dapat terpecahkan.

b. Secara kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan.

c. Cara kekuasaan atau otoritas

Pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pimpinan agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

d. Berdasarkan pengalaman pribadi

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lain.

e. Cara akal sehat (Common sense)

Akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat menemukan teori kebenaran pengetahuan. Sebelum ilmu pendidikan berkembang, para orangtua zaman dahulu agar anaknya mau menuruti nasehat orangtuanya, atau agar anak disiplin menggunakan cara hukuman. Sampai sekarang berkembang menjadi teori atau kebenaran bahwa hukuman adalah merupakan metode pendidikan anak (meskipun bukan paling baik).

f. Kebenaran melalui wahyu

Ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para nabi.

g. Kebenaran secara intuitif

Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara tepat sekali melalui proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berpikir.

h. Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia juga ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia menggunakan jalan pikirannya.

2. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode ilmiah, atau lebih populer disebut metodologi penelitian.

2.4.5 Sikap (Attitude)

Sikap adalah merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007). Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu (purely physic inner state), tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap

individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu (Wawan & Dewi, 2011).

Menurut Sheriff (1998) dalam Rakhmat (2008), sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis yang diperoleh melalui proses belajar. Sementara Allport (1984) dalam Rakhmat (2008) melihat sikap sebagai kesiapan saraf (neural setting) sebelum memberikan respon. Dari kedua definisi tersebut Rakhmat (2008) menyimpulkan dalam beberapa hal, yaitu pertama, sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai.

Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif. Dan kelima, sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar.

Menurut Thurstone (1974) yang dikutip Ahmadi (2007) menyatakan sikap sebagai kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan obyek psikologis. Obyek psikologis disini meliputi simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologis apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap obyek psikologi bila ia tidak suka atau sikap (unfavorable) terhadap obyek psikologis.

Menurut Walgito (2008), sikap individu mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Sikap itu tidak dibawa sejak lahir

Ini berarti bahwa manusia pada waktu dilahirkan belum membawa sikap tertentu terhadap suatu objek.

2. Sikap itu selalu berhubungan dengan objek sikap

Sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan objek-objek tertentu, yaitu proses persepsi terhadap objek tertentu.

3. Sikap dapat tertuju pada suatu objek saja, tetapi juga dapat tertuju kepada sekumpulan objek-objek.

Bila seseorang mempunyai sikap negatif pada seseorang, maka orang tersebut akan mempunyai kecenderungan menunjukkan sikap negatif pada kelompok dimana orang tersebut bergabung.

4. Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar

Jika suatu sikap telah terbentuk dalam diri seseorang, maka sikap tersebut akan sulit berubah dan memakan waktu yang lama. Tetapi sebaliknya jika sikap itu belum mendalam dalam dirinya, maka sikap tersebut tidak bertahan lama, dan mudah berubah.

5. Sikap itu mengandung faktor perasaan dan motivasi

Sikap terhadap suatu objek akan diikuti oleh perasaan tertentu baik positif maupun negatif terhadap objek tertentu. Sikap juga mengandung motivasi, yang mempunyai daya dorong bagi perilaku individu terhadap obyek yang diamati.

Menurut Ahmadi (2007), sikap dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

1. Sikap positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu berada.

2. Sikap negatif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu berada.

Apabila individu memiliki sikap positif terhadap suatu obyek ia akan siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu.

Sebaliknya bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka ia akan mengecam, mencela, menyerang bahkan membinasakan (Ahmadi, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2007) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu:

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus yang diberikan.

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengaerjakan dan mendiskusikan suatu masalah.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling penting.

2.4.6 Persepsi

Menurut Setiadi (1994) dalam Syafrudin (2011) persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya aktivitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu obyek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu obyek (pelayanan) berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan yang diterimanya tersebut.

Persepsi sebagai salah satu sumbangan pemikiran yang berasal dari masyarakat merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus melalui alat indera. Namun proses itu tidak hanya berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Persepsi terbagi atas dua bagian, yaitu secara sempit dan secara luas. Secara sempit berarti penglihatan atau bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan secara luas merupakan pandangan seseorang mengenai bagaimana ia mengartikan dan menilai sesuatu (Walgito, 2008)

Dokumen terkait